Share

Bab 3. Operasi

Wajah Yudha kian mendekat, membuat mata Jihan terpejam ketakutan. Ia ingin berlari menjauh, tapi cekalan tangan Yudha semakin kuat memeluk tubuhnya dari belakang.

Tinggal beberapa centi bibir mereka hampir bertemu, ponsel Jihan berdering dengan nyaring. Reflek membuat Jihan menjauh dan bangkit dari pangkuan Yudha.

Ia meraih ponsel itu dan langsung di tempelkan di telinganya.

"Hallo Jihan. Maaf sudah mengganggu kesenanganmu dan Yudha," ucap dokter Reno dari seberang.

Jihan melirik Yudha sekilas yang juga menatapnya. "Tidak, Dok. Sama sekali tidak menganggu."

Perasaannya menjadi tidak enak karena tidak biasanya dokter Reno langsung meneleponnya.

"Jihan, kamu tahu kan apa yang akan saya bicarakan?"

"Operasi ibu saya ya, dok?"

"Betul Jihan. Operasinya akan segera dilaksanakan. Bisakah_"

"Iya, dok. Jihan mengerti. Setelah ini insya Allah Jihan kesana dan membayar semuanya. Terima kasih, dokter,"

"Oke. Baik, Jihan."

"Si Reno?" tanya Yudha setelah Jihan selesai melakukan panggilan.

Jihan mengangguk.

"Kenapa dia telpon kamu segala?" Tanpa sadar Yudha merasa cemburu.

"Cuma kasih tau jika administrasi harus segera dibayar biar secepatnya ibu bisa operasi."

"Baiklah kalau begitu. Lebih baik sekarang kita ke rumah sakit. Biar aku antar. Tapi maaf aku tidak bisa menemanimu karena aku harus kembali ke Jakarta."

Jihan mengerti. Istri Yudha bukan hanya dia. Seharusnya dia menerimanya dengan logowo karena menjadi yang kedua, bukan malah merebut segalanya.

"Iya, Mas. Tidak apa-apa."

Entah perasaan apa ini. Hatinya berbunga saat Jihan memanggilnya dengan sebutan mas. Apakah rasa cinta itu masih ada di hatinya?

Sempat rasa benci itu memenuhi hatinya saat perpisahan mereka dulu. Tapi luka itu perlahan hilang saat Maura hadir di hidupnya.

Tapi setelah dia benar-benar mencintai Maura? Kenapa Jihan malah kembali datang? Ya Tuhan, berikan jalan terbaik untukku kedepannya, harap Yudha sungguh-sungguh.

Dalam perjalanan, hanya ada keheningan di antara mereka. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Sampai di rumah sakit, Jihan melangkah dengan semangat setelah mengantarkan Yudha yang harus kembali hari ini juga. Mungkin itu lebih baik. Karena saat ibunya sembuh nanti, ia bakal cerita yang sebenarnya pada ibunya bahwa ia sudah menikah dengan Yudha.

Tak lupa dia pun membawakan buah tangan untuk ibunya. Walaupun hanya buah, tapi itu sudah membuat sang ibu bahagia. Dia memegang handel pintu, sejenak dia berhenti untuk memasang senyum terbaiknya. Jangan sampai ibunya melihat ada kemuraman di wajahnya. Karena itu sangat mempengaruhi kesehatan sang ibu.

Jihan menghirup nafas dalam-dalam, kemudian.. "Assalamualaikum, Bu," Jihan masuk ke dalam. Dan terlihat ibunya pun menyambut dengan senyuman terkembang di bibirnya.

"Waalaikumsalam. Jihan, anak ibu!!" Ibu Jihan merentangkan tangannya untuk menyambut kedatangan anaknya tersebut.

Jihan langsung memeluk ibunya yang masih terbaring lemah itu. "Jihan rindu sekali dengan ibu. Sangat." Jihan tidak bisa menyembunyikan suara seraknya. Sebisa mungkin ia menikmati momen ini bersama ibunya menjelang operasi.

"Ibu juga sangat merindukanmu, Sayang."

Mereka saling berpelukan erat. Menyalurkan rasa rindu yang terpendam di dalam dalam paling terdalam. Senyum manis manis menghiasi bibir mereka berdua. Seolah menggambarkan apa yang mereka rasakan saat ini.

"Maaf sudah meninggalkan ibu sebentar."

"Tidak apa-apa. Kamu pasti sibuk mencari uang untuk operasi ibu kan? Maaf ya sayang sudah merepotkanmu," ibu Jihan menyentuh pipinya dengan tatapan sendu.

Jihan meraih tangan keriput itu dan digenggamnya erat. "Jihan sama sekali tidak keberatan, Bu. Justru Jihan senang karena Jihan bisa berbakti sama ibu. Bisa memperjuangkan kesehatan ibu. Jihan ingin ibu sembuh dan menemani Jihan lagi."

"Tapi pasti membutuhkan biaya yang sangat banyak. Ibu_"

"Tidak usah ibu pikirkan. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Tuhan bersama kita, Bu. Ibu tenang saja ya."

Walau bibir itu tampak tersenyum, Jihan bisa melihat sebuah keterpaksaan di sana. Mungkin ibunya masih merasa tidak enak padanya. Tapi apapun yang terjadi, Jihan akan memperjuangkan kesembuhan ibunya. Walau ia harus menggadaikan harga dirinya.

"Ibu takut, ibu tidak akan sembuh, Jihan."

Degh..

Hati Jihan mencolos. Berusaha tidak mengambil hati kalimat ibunya.

"Sstt!! Ibu ini ngomong apa sih? Jangan ngomong aneh-aneh, Bu. Ibu akan sembuh dan kita akan berkumpul seperti sedia kala lagi." Jihan tidak ingin mendengar keburukan dari bibir ibunya. Ia berusaha berpikiran positif agar tidak mempengaruhi kondisi hatinya yang sebenarnya tak karuan.

Entah kenapa ada wajah berbeda pada ibunya kali ini. Dan ia mencoba menyingkirkan pikiran buruk yang bersarang di otaknya.

"Jadilah istri yang hebat, yang mampu membuat suamimu kelak bangga jika suatu saat kamu menikah, Jihan."

Jihan mengangguk. "Ibu tenang saja. Jihan kan berotot kawat bertulang besi. Jadi Jihan akan menjadi istri dan ibu yang hebat dan kuat bagi keluarga Jihan nanti."

Dikecupnya tangan ibunya berkali-kali. Ada perasaan sedih, tapi ia tidak tau itu apa? Ia sangat takut kehilangan ibunya, dan jangan sampai itu terjadi.

Ibunya memberi kesan tersendiri pada pertemuannya kali ini. Untuk menghilangkan rasa sedihnya, dia pun beranjak berdiri dan mengupaskan buah untuk ibunya.

"Ibu mau roti juga kah?" tanya Jihan di sela tangannya mengusap buah apel tangannya.

Ibunya hanya menggeleng.

"Jihan." Panggil Ibunya dengan lirih.

Jihan menoleh menanti kalimat yang akan dikatakan oleh ibunya selanjutnya.

"Ibu ingin melihatmu berhijab, Nak. Apakah kamu mau mengabulkannya?"

Membuat gerakan Kinan terhenti. Pertanyaan sang ibu membuatnya terhenyak. Ia bingung mau menjawab bagaimana.

Memang Yudha orang kaya, tapi ia sungkan pada pria itu. Terlebih mereka baru saja menikah. Tidak mungkin Jihan langsung meminta segalanya. Apalagi Yudha sudah memberikan mahar yang fantastis. Mungkin uang itu akan ia gunakan sebaik-baiknya.

Melihat anaknya terdiam, ibunya menoleh ke arah Jihan. "Jihan!!"

"Iya, Bu.." Jihan tersentak dari lamunannya.

"Bagaimana? Apa kamu bisa mengabulkan permintaan ibu untuk yang terakhir kalinya?"

Jihan tidak kuat. Ia meletakkan buah dan pisaunya begitu saja dan berlari memeluk ibunya. Dia menangis mendengar kalimat sang ibu seolah ini adalah amanat terakhirnya. Dia berusaha menghilangkan pikiran buruknya, tapi ibunya malah berkata seperti itu yang membuatnya semakin tak karuan.

"Ibu jangan berkata seperti itu!! Jihan akan menutup aurat jika itu yang ibu mau. Jadi Jihan harap Ibu tidak akan mengatakan apapun tentang perpisahan. Pasti ibu akan sembuh," ucap Jihan seraya tergugu dalam tangisnya. Ia tidak sanggup jika harus kehilangan ibunya secepat ini.

Bahkan dia belum bisa membahagiakan sang ibu yang sudah berjuang keras untuk kehidupannya yang lebih baik.

Mereka saling menangis, meluapkan rasa yang tak terlukiskan. Hingga suara ketukan pintu membuyarkan segalanya.

Tok..tok..tok..

Tak lama kemudian masuklah seorang suster dengan sesuatunya ditangannya.

"Mbak Jihan, ibunya saya periksa dulu ya sebelum operasi," ucap suster cantik itu seraya mendekat ke arah mereka.

Jihan mengangguk seraya berangsur menjauh agar memudahkan suster itu dalam memeriksa sang ibu menjelang operasi. Tangannya juga sibuk mengusap matanya yang basah.

Ya, ibunya akan melakukan operasi. Karena ibunya sering mengeluhkan dadanya sakit.

"Oh, ya mbak Jihan. Tadi dokter Reno memanggil mbak Jihan untuk menemui beliau di ruangannya. Ada beberapa hal yang ingin beliau sampaikan."

Jihan mengangguk. "Baik, Sus. Terima kasih. Jihan segera kesana." Jihan beralih menatap sang ibu. "Bu, Jihan ke ruangan dokter dulu, ya. Nanti Jihan kesini lagi."

Jihan akhirnya beranjak dari kamar ibunya menuju ke ruangan dokter Reno yang tidak jauh dari sana. Setelah sampai, Jihan terlebih dahulu mengetuk pintu kemudian masuk ke dalam ruangan setelah mendapat sahutan dari dokter Reno yang menyuruhnya untuk masuk. Walau tidak dipungkiri jika perasaan sedang was-was saat ini.

"Selamat siang dokter Reno."

Dokter Reno mendongak dan tersenyum melihat Jihan yang masuk ke dalam ruangannya. "Silahkan duduk, Han. Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan sama kamu."

"Apa, Dok?"

Untuk sejenak dokter Reno menghela nafas berat, seolah enggan mengatakan sebenarnya kepada Jihan.

"Ini masalah operasi ibu kamu, Nan."

"Masalah apa, Dok?" Jujur, seolah nyawanya terbang dari raganya menanti jawaban dari sang dokter. Tidak mungkin masalah biaya, karena saat berada di ruang administrasi, semua sudah lunas. Entah siapa yang membayar itu semua.

"Saya akan mengatakan kemungkinan buruknya, Jihan. Saya tidak mau membuat kamu kecewa dengan hasil operasinya nanti."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status