Wajah Yudha kian mendekat, membuat mata Jihan terpejam ketakutan. Ia ingin berlari menjauh, tapi cekalan tangan Yudha semakin kuat memeluk tubuhnya dari belakang.
Tinggal beberapa centi bibir mereka hampir bertemu, ponsel Jihan berdering dengan nyaring. Reflek membuat Jihan menjauh dan bangkit dari pangkuan Yudha. Ia meraih ponsel itu dan langsung di tempelkan di telinganya. "Hallo Jihan. Maaf sudah mengganggu kesenanganmu dan Yudha," ucap dokter Reno dari seberang. Jihan melirik Yudha sekilas yang juga menatapnya. "Tidak, Dok. Sama sekali tidak menganggu." Perasaannya menjadi tidak enak karena tidak biasanya dokter Reno langsung meneleponnya. "Jihan, kamu tahu kan apa yang akan saya bicarakan?" "Operasi ibu saya ya, dok?" "Betul Jihan. Operasinya akan segera dilaksanakan. Bisakah_" "Iya, dok. Jihan mengerti. Setelah ini insya Allah Jihan kesana dan membayar semuanya. Terima kasih, dokter," "Oke. Baik, Jihan." "Si Reno?" tanya Yudha setelah Jihan selesai melakukan panggilan. Jihan mengangguk. "Kenapa dia telpon kamu segala?" Tanpa sadar Yudha merasa cemburu. "Cuma kasih tau jika administrasi harus segera dibayar biar secepatnya ibu bisa operasi." "Baiklah kalau begitu. Lebih baik sekarang kita ke rumah sakit. Biar aku antar. Tapi maaf aku tidak bisa menemanimu karena aku harus kembali ke Jakarta." Jihan mengerti. Istri Yudha bukan hanya dia. Seharusnya dia menerimanya dengan logowo karena menjadi yang kedua, bukan malah merebut segalanya. "Iya, Mas. Tidak apa-apa." Entah perasaan apa ini. Hatinya berbunga saat Jihan memanggilnya dengan sebutan mas. Apakah rasa cinta itu masih ada di hatinya? Sempat rasa benci itu memenuhi hatinya saat perpisahan mereka dulu. Tapi luka itu perlahan hilang saat Maura hadir di hidupnya. Tapi setelah dia benar-benar mencintai Maura? Kenapa Jihan malah kembali datang? Ya Tuhan, berikan jalan terbaik untukku kedepannya, harap Yudha sungguh-sungguh. Dalam perjalanan, hanya ada keheningan di antara mereka. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sampai di rumah sakit, Jihan melangkah dengan semangat setelah mengantarkan Yudha yang harus kembali hari ini juga. Mungkin itu lebih baik. Karena saat ibunya sembuh nanti, ia bakal cerita yang sebenarnya pada ibunya bahwa ia sudah menikah dengan Yudha. Tak lupa dia pun membawakan buah tangan untuk ibunya. Walaupun hanya buah, tapi itu sudah membuat sang ibu bahagia. Dia memegang handel pintu, sejenak dia berhenti untuk memasang senyum terbaiknya. Jangan sampai ibunya melihat ada kemuraman di wajahnya. Karena itu sangat mempengaruhi kesehatan sang ibu. Jihan menghirup nafas dalam-dalam, kemudian.. "Assalamualaikum, Bu," Jihan masuk ke dalam. Dan terlihat ibunya pun menyambut dengan senyuman terkembang di bibirnya. "Waalaikumsalam. Jihan, anak ibu!!" Ibu Jihan merentangkan tangannya untuk menyambut kedatangan anaknya tersebut. Jihan langsung memeluk ibunya yang masih terbaring lemah itu. "Jihan rindu sekali dengan ibu. Sangat." Jihan tidak bisa menyembunyikan suara seraknya. Sebisa mungkin ia menikmati momen ini bersama ibunya menjelang operasi. "Ibu juga sangat merindukanmu, Sayang." Mereka saling berpelukan erat. Menyalurkan rasa rindu yang terpendam di dalam dalam paling terdalam. Senyum manis manis menghiasi bibir mereka berdua. Seolah menggambarkan apa yang mereka rasakan saat ini. "Maaf sudah meninggalkan ibu sebentar." "Tidak apa-apa. Kamu pasti sibuk mencari uang untuk operasi ibu kan? Maaf ya sayang sudah merepotkanmu," ibu Jihan menyentuh pipinya dengan tatapan sendu. Jihan meraih tangan keriput itu dan digenggamnya erat. "Jihan sama sekali tidak keberatan, Bu. Justru Jihan senang karena Jihan bisa berbakti sama ibu. Bisa memperjuangkan kesehatan ibu. Jihan ingin ibu sembuh dan menemani Jihan lagi." "Tapi pasti membutuhkan biaya yang sangat banyak. Ibu_" "Tidak usah ibu pikirkan. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Tuhan bersama kita, Bu. Ibu tenang saja ya." Walau bibir itu tampak tersenyum, Jihan bisa melihat sebuah keterpaksaan di sana. Mungkin ibunya masih merasa tidak enak padanya. Tapi apapun yang terjadi, Jihan akan memperjuangkan kesembuhan ibunya. Walau ia harus menggadaikan harga dirinya. "Ibu takut, ibu tidak akan sembuh, Jihan." Degh.. Hati Jihan mencolos. Berusaha tidak mengambil hati kalimat ibunya. "Sstt!! Ibu ini ngomong apa sih? Jangan ngomong aneh-aneh, Bu. Ibu akan sembuh dan kita akan berkumpul seperti sedia kala lagi." Jihan tidak ingin mendengar keburukan dari bibir ibunya. Ia berusaha berpikiran positif agar tidak mempengaruhi kondisi hatinya yang sebenarnya tak karuan. Entah kenapa ada wajah berbeda pada ibunya kali ini. Dan ia mencoba menyingkirkan pikiran buruk yang bersarang di otaknya. "Jadilah istri yang hebat, yang mampu membuat suamimu kelak bangga jika suatu saat kamu menikah, Jihan." Jihan mengangguk. "Ibu tenang saja. Jihan kan berotot kawat bertulang besi. Jadi Jihan akan menjadi istri dan ibu yang hebat dan kuat bagi keluarga Jihan nanti." Dikecupnya tangan ibunya berkali-kali. Ada perasaan sedih, tapi ia tidak tau itu apa? Ia sangat takut kehilangan ibunya, dan jangan sampai itu terjadi. Ibunya memberi kesan tersendiri pada pertemuannya kali ini. Untuk menghilangkan rasa sedihnya, dia pun beranjak berdiri dan mengupaskan buah untuk ibunya. "Ibu mau roti juga kah?" tanya Jihan di sela tangannya mengusap buah apel tangannya. Ibunya hanya menggeleng. "Jihan." Panggil Ibunya dengan lirih. Jihan menoleh menanti kalimat yang akan dikatakan oleh ibunya selanjutnya. "Ibu ingin melihatmu berhijab, Nak. Apakah kamu mau mengabulkannya?" Membuat gerakan Kinan terhenti. Pertanyaan sang ibu membuatnya terhenyak. Ia bingung mau menjawab bagaimana. Memang Yudha orang kaya, tapi ia sungkan pada pria itu. Terlebih mereka baru saja menikah. Tidak mungkin Jihan langsung meminta segalanya. Apalagi Yudha sudah memberikan mahar yang fantastis. Mungkin uang itu akan ia gunakan sebaik-baiknya. Melihat anaknya terdiam, ibunya menoleh ke arah Jihan. "Jihan!!" "Iya, Bu.." Jihan tersentak dari lamunannya. "Bagaimana? Apa kamu bisa mengabulkan permintaan ibu untuk yang terakhir kalinya?" Jihan tidak kuat. Ia meletakkan buah dan pisaunya begitu saja dan berlari memeluk ibunya. Dia menangis mendengar kalimat sang ibu seolah ini adalah amanat terakhirnya. Dia berusaha menghilangkan pikiran buruknya, tapi ibunya malah berkata seperti itu yang membuatnya semakin tak karuan. "Ibu jangan berkata seperti itu!! Jihan akan menutup aurat jika itu yang ibu mau. Jadi Jihan harap Ibu tidak akan mengatakan apapun tentang perpisahan. Pasti ibu akan sembuh," ucap Jihan seraya tergugu dalam tangisnya. Ia tidak sanggup jika harus kehilangan ibunya secepat ini. Bahkan dia belum bisa membahagiakan sang ibu yang sudah berjuang keras untuk kehidupannya yang lebih baik. Mereka saling menangis, meluapkan rasa yang tak terlukiskan. Hingga suara ketukan pintu membuyarkan segalanya. Tok..tok..tok.. Tak lama kemudian masuklah seorang suster dengan sesuatunya ditangannya. "Mbak Jihan, ibunya saya periksa dulu ya sebelum operasi," ucap suster cantik itu seraya mendekat ke arah mereka. Jihan mengangguk seraya berangsur menjauh agar memudahkan suster itu dalam memeriksa sang ibu menjelang operasi. Tangannya juga sibuk mengusap matanya yang basah. Ya, ibunya akan melakukan operasi. Karena ibunya sering mengeluhkan dadanya sakit. "Oh, ya mbak Jihan. Tadi dokter Reno memanggil mbak Jihan untuk menemui beliau di ruangannya. Ada beberapa hal yang ingin beliau sampaikan." Jihan mengangguk. "Baik, Sus. Terima kasih. Jihan segera kesana." Jihan beralih menatap sang ibu. "Bu, Jihan ke ruangan dokter dulu, ya. Nanti Jihan kesini lagi." Jihan akhirnya beranjak dari kamar ibunya menuju ke ruangan dokter Reno yang tidak jauh dari sana. Setelah sampai, Jihan terlebih dahulu mengetuk pintu kemudian masuk ke dalam ruangan setelah mendapat sahutan dari dokter Reno yang menyuruhnya untuk masuk. Walau tidak dipungkiri jika perasaan sedang was-was saat ini. "Selamat siang dokter Reno." Dokter Reno mendongak dan tersenyum melihat Jihan yang masuk ke dalam ruangannya. "Silahkan duduk, Han. Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan sama kamu." "Apa, Dok?" Untuk sejenak dokter Reno menghela nafas berat, seolah enggan mengatakan sebenarnya kepada Jihan. "Ini masalah operasi ibu kamu, Nan." "Masalah apa, Dok?" Jujur, seolah nyawanya terbang dari raganya menanti jawaban dari sang dokter. Tidak mungkin masalah biaya, karena saat berada di ruang administrasi, semua sudah lunas. Entah siapa yang membayar itu semua. "Saya akan mengatakan kemungkinan buruknya, Jihan. Saya tidak mau membuat kamu kecewa dengan hasil operasinya nanti."Semua perkataan dokter Reno tidak ia percayai begitu saja. Jihan menganggapnya hanya angin belaka. Kenapa juga sang dokter harus mengatakan hal terburuk yang akan terjadi pada sang ibu. Seharusnya dia tidak mendahului takdir yang belum tentu terjadi. Masih ada Tuhannya yang akan mengabulkan doanya. Memberikan hadiah terbaik untuk ibunya yang telah berjuang melawan penyakitnya yang sudah dideritanya sejak lama. "Jihan." "Iya." Jihan mengangkat wajahnya dan menatap dokter itu. "Kamu mendengar apa yang saya katakan, kan?" "Iya, dok. Jihan mendengar semuanya dengan jelas," jawab Jihan seraya tersenyum tipis. Ia bahkan mendengarkan dengan jelas setiap kalimat yang terlontar dari bibir dokter itu dengan pikiran yang sulit terlukiskan oleh kata-kata. "Jihan." Dokter itu diam sesaat. Matanya menatap lekat Jihan. Jihan paham jika beban dokter Reno sangatlah besar. Percayalah, Jihan juga takut jika ini terjadi. Tapi mau bagaimana lagi, jika tidak dioperasi
Jihan mengangkat kepalanya melihat siapa. "Dokter." Dokter Reno tersenyum lembut, menutupi rasa iba ketika melihat Jihan yang terpuruk seperti itu. Jihan menoleh sekilas, lalu kembali menatap gundukan tanah merah itu. Air matanya pun tumpah kembali. Dia tergugu ketika mengingat sosok ibunya. "Kamu harus kuat, Jihan. Ini yang terbaik untuk ibumu. Dia sudah tak sakit lagi." Dokter Reno mencoba menguatkan. Memberi perasaan nyaman agar Jihan kembali tenang. "Ibu sudah sembuh kemarin, Dok. Ibu sudah sembuh!! Bahkan sebelum operasi masih bisa bercanda bersamaku. Tapi kenapa ibu sekarang pergi secepat ini?" "Iya, Ibumu sudah sembuh, Han. Jadi kamu harus senang, bukan bersedih seperti ini." Jihan menggeleng, "Percuma ibu sembuh jika dia ninggalin Jihan, dok," Tangis Jihan terdengar semakin pilu ketika mengingat pesan sang Ibu. Dia tak menyangka jika itu adalah pesan terakhirnya sebelum menemui ajalnya. Jika dia tau, pasti dia akan selalu menemani sang ibu tanpa beranjak sedikitpun
"Iya, sebentar!!" seru Maura seraya melangkahkan kakinya. Seketika tubuh Maura menegang ketika melihat tamu spesial sore ini. Tamu yang sangat tak di harapkan kedatangannya untuk memperumit keadaannya yang tengah dirundung nestapa. Meskipun sang tamu tampak tersenyum cerah menatapnya, namun Maura merasa jika wanita di hadapannya ini ingin menyampaikan sesuatu kepadanya. "Ibu.." Wanita paruh baya itu tersenyum, lalu menyapa Maura dengan tak kalah ramahnya sehingga membuatnya merinding. "Assalamualaikum, selamat malam, Maura." "Wa_waalaikumsalam, Ibu." jawab Maura terbata. Mayra tetap mematung, tangannya menggenggam erat pada handel pintu yang sedari tadi di pegangnya. Sehingga dia lupa mempersilahkan mertuanya itu masuk ke dalam rumahnya. Dia terlalu shock menerima kedatangan sang mertua yang tiba-tiba tanpa kabar sebelumnya. Padahal dulu sang mertua sangat jarang berkunjung ke rumahnya jika tak ada hal penting yang ingin di sampaikan
Kata-kata sang mertua masih terngiang di kepalanya. Seolah dengungan suara itu tak mau hilang dari pikirannya dan terus berputar di sana. Membuat hatinya semakin kalut dan tak karuan. Apalagi Yudha sampai sekarang belum juga menghubunginya lagi setelah kepergiannya tadi siang. Semakin merana karena tiada Yudha di sampingnya. Monika memilih pergi karena Maura sama sekali tidak memberi jawaban atas pertanyaannya. Maura juga memilih diam karena itu bukanlah masalah yang bisa dijawab dengan cepat. Butuh pemikiran matang dan benar-benar dengan hati yang ikhlas. Setelah kepergian mertuanya, Maura merebahkan tubuhnya di kasur. Mencoba mengistirahatkan tubuhnya dan pikirannya dari pengaruh buruk sang mertua. Namun bukannya hilang, kalimat itu semakin jelas di pikiran dan hatinya. Membuatnya susah melupakan segalanya. Apalagi perlakuan ibu mertuanya yang tiada perubahan terhadapnya. Masih sama dan masih menganggapnya sebagai menantu pembawa sial. Maura membayangkan
Erangan memilukan terdengar di telinga Yudha saat miliknya mencoba menerobos pertahanan Jihan. Sempit, bahkan Yudha kesusahan menerobosnya. "Sakit, Mas," rintih Jihan dibalik kungkungan Yudha. Bahkan, rasanya ia ingin berteriak jika ia tidak melihat keadaannya sekarang. "Sabar, Jihan. Sebentar lagi pasti sudah tidak sakit." Yudha berusaha membujuk wanita yang berada dibawah kendalinya itu. Meski ia sendiri bingung kenapa susah sekali. Antara kasihan dan juga nikmat. Yudha juga pernah merasakan sebelumnya bersama Maura yang kala itu masih perawan. Tapi perasaan tidak sesulit ini. Apakah Jihan kurang rangsangan sehingga ia meringis kesakitan? Yudha mencoba menekan lebih dalam, tapi sebuah cengkeraman dan tancapan kuku membuat ia kembali menarik miliknya pelan. Sakit dan perih ia rasakan. Apakah Jihan juga masih perawan? Sempat tersemat pertanyaan seperti itu di benaknya. Tapi cepat-cepat Yudha menepis pikirannya sendiri. Karena Ia tau jika Jihan berstatus jan
"Hah.."Jihan masih belum mengerti arah pembicaraan Yudha. "Maksud kamu apa, Mas?" tanya Jihan pada akhirnya. Yudha menunjuk dengan dagunya sebuah noda di atas sprei yang sengaja belum ia bersihkan. Jihan pun mengikuti kemana arah pandangan Yudha. Seketika matanya membulat sempurna saat melihat noda merah diatas sprei itu. Dengan cepat Jihan melangkah dan menarik sprei itu sampai terlepas dari ranjang. Kemudian ya membawanya ke dalam kamar mandi dan merendamnya di sana. Yudha hanya diam melihat apa yang dilakukan oleh Jihan. Ia semakin yakin jika Jihan tengah menyembunyikan sesuatu darinya. Saat Jihan melangkah di depannya, dengan cepat Yudha mencekal tangannya dan menariknya untuk duduk di sofa. Dia sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi. "Coba kamu katakan yang sejujurnya padaku, Jihan. Jangan sampai aku mencari tahunya sendiri," ancam Yudha dengan tatapan mengerikan. Bahkan, Jihan sempat merasa takut melihat wajah itu. "Maksud kamu apa, Mas?
Jihan menyambut paginya dengan senyuman lebar karena untuk pertama kalinya dia menjalankan tugasnya sebagai istri dari Yudha William. Ada beribu rasa yang membuncah dihatinya yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ia baru menyadari sesuatu jika Tuhan itu maha adil pada hambanya. Di saat Jihan terpuruk oleh kehilangan sang ibu, Tuhan menggantikan rasa kehilangan itu dengan kebahagiaan dengan kehadiran suami yang dikirimkan untuknya. Sungguh, jika dipikir dengan nalar, tentu itu sulit dicerna oleh otak manusia. Meski terdengar kejam, tapi dia juga tidak bisa lari dari takdir yang sudah tertulis. Jihan asyik berkutat di dapur, sampai tidak menyadari saat Yudha melangkah masuk ke dapur. "Kamu masak apa, Jihan?" Pertanyaan Yudha membuat Jihan terkejut. Sontak dia menoleh ke sumber suara. "Eh, mas Yudha. Bikin kaget saja," jawabnya. "Aku lagi masak nasi goreng untuk kita sarapan, Mas," sambungnya lagi seraya menggerakkan tangannya mengaduk nasi gore
"Pu_pulang??" tanya Jihan memastikan. Yudha mengangguk. "Iya. Siang ini aku pulang." Tiba-tiba hati Jihan merasa sedih atas kepergian Yudha pulang ke rumah istri pertamanya. Bukan ingin bersaing dan bersikap serakah, tapi apa salahnya jika dia juga ingin Yudha menemaninya lebih lama. Apalagi ia baru saja menikmati perannya sebagai istri Yudha, tapi kenapa hanya sebentar saja. Sejujurnya dia tak rela, namun dia akan berusaha memenuhi janji yang sudah di ikrarkan dalam hatinya untuk tak menjadi benalu pada hubungan orang lain. Lebih baik dia yang mengalah dari pada wanita lain yang tersakiti atas kehadirannya. Karena dia sangat menyadari jika dialah orang ketiga dalam hubungan suaminya. "Kenapa bersedih?" tanya Yudha seraya mendekat ke arah Jihan. Bahkan tangan kekar itu membelai lembut pipi Jihan. "Apakah aku pantas bersedih, Mas? Sedangkan aku hanya menjadi yang kedua untukmu," jawabnya dengan suara serak menahan sebah di dadan