"Lahirkan anak untukku, maka aku akan memenuhi semua kebutuhanmu dan memberimu mahar 2 miliar. Tapi ingat, ini hanya sementara," ucap Yudha tegas pada Jihan. "Jika bukan keinginan istriku, aku tidak akan pernah menikah denganmu," sambungnya lagi dengan sorot matanya yang tajam.
Lalu dia pergi begitu saja meninggalkan Jihan di kamar pengantinnya seorang diri. Brakk!! Suara pintu terbanting dengan keras. Jihan hanya bisa memejamkan matanya bersamaan dengan turunnya cairan bening di pipinya. Ada rasa sakit di hati Jihan ketika mendengar setiap kalimat yang Yudha ucapkan. Padahal Yudha yang dulu ia kenal sangat lembut dan penuh kasih sayang. Mungkin terkesan berlebihan jika Jihan ingin Yudha seperti yang dulu setelah luka yang ia torehkan. Ia pantas mendapatkan ini sebagai balasan. Sungguh, ia sangat terkejut saat mengetahui jika pria yang membutuhkan rahimnya adalah mantan kekasihnya dulu. Jihan yang saat itu sangat membutuhkan biaya untuk operasi ibunya, tanpa sengaja bertemu dengan dokter Reno ketik ia sedang menangis kebingungan di ujung lorong di sebuah rumah sakit rumah di kota Bandung. "Kamu kenapa?" Jihan yang terkejut langsung langsung mengangkat wajahnya. Melihat seorang pria memakai jas putih, reflek ia langsung berdiri dan mengusap air matanya kasar. "Dokter Reno." Dokter tampan itu hanya tersenyum tipis. "Dok, apakah rumah sakit ini tidak memberikan keringanan biaya untuk pasien yang kurang mampu seperti saya? Saya harus mencari kemana uang segitu banyaknya, dok?" tanya Jihan seraya terisak dalam tangisnya. Dia benar-benar dilanda kebingungan saat ini. Dokter Reno menggelengkan kepalanya lemah, bertanda tidak ada jalan lain untuk itu. "Maaf Jihan," jawabnya dengan wajah bersalah. Rumah sakit ini adalah rumah sakit milik pribadi dengan fasilitas yang lengkap dan terbaik di kota ini. Tak heran jika biaya perawatan dan obat-obatan terkenal mahal. "Jika ibumu dipindahkan ke rumah sakit lain, kamu pasti tau sendiri bagaimana," kata dokter itu lagi tidak secara gamblang karena menjelaskan. Jihan mengerti apa yang dimaksud dokter muda itu. Terbesit di pikirannya untuk menyerah pada takdir dan berobat seadanya. Mereka saling diam, berkubang dengan pikiran masing-masing. Dokter Reno hanya menatap Jihan yang masih menangis itu. Dia ragu saat akan mengatakan sesuatu yang mungkin bisa membantu Jihan untuk melewati masalah ini. "Jihan." Mendengar namanya disebut, Jihan mengalihkan pandangan pada dokter itu. "Iya, dok." Terdengar helaan nafas berat dan panjang sebelum dokter Reno mengatakan sesuatu. "Ada satu jalan yang mungkin bisa menyelamatkan ibumu, Jihan. Apa kamu mau mengambil jalan itu?" Sontak Jihan menatap penuh harap pada dokter muda tersebut, "Apa dok? Jika memungkinkan, Jihan akan mengambil jalan itu demi kesembuhan ibu." Ada secercah harapan di mata Jihan demi ibunya. "Maukah kamu menjadi rahim pengganti untuk sahabat saya?" tanya dokter itu dengan ragu. "Rahim pengganti? Ma_maksud dokter apa?" tanya Jihan yang masih belum mengerti arah pembicaraan dokter Reno. "Jadilah istri kedua serta menghasilkan anak untuk sahabat saya." Duarr!!! Bagai di sambar petir di siang bolong rasanya. Jihan yang sama sekali belum ada pikiran untuk menikah, harus menikah dengan pria yang tak di kenal sebelumnya. Yang lebih parahnya lagi ia harus menjadi orang ketiga dalam pernikahan seseorang. Rasanya lututnya lemas seketika. Membayangkan saja sudah membuatnya takut. Lalu bagaimana dia bisa menjalani pernikahan ini dan hanya menjadi alat pencetak anak untuk suaminya? Sungguh, ia bingung harus menerima atau menolak rejeki yang tak di sangka-sangka ini. "Jihan, kenapa kamu diam?" Jihan tersentak saat Reno menyentuh tangannya. Segera, dia menarik tangannya menjauh. Matanya menatap Reno sekilas lalu menunduk. "Apakah dokter akan menjualku?" tanya Jihan dengan perasaan gusar. Hatinya mulai tidak tenang. Reno sendiri menjadi gelagapan atas pertanyaan Jihan. "Bukan. Bukan seperti itu, Jihan." "Kalau dokter ingin menjualku, kenapa bukan dokter saja yang membeliku. Kenapa harus orang lain?" Suara Jihan bergetar menahan sakit hati. "Jihan, kamu salah paham. Aku bukan ingin menjualmu, aku ingin menolongmu." "Menolong yang bagaimana menurut dokter?" Jihan menatap dokter itu dengan tatapan tajam. Reno berdecak. Ia merutuki bibirnya yang tidak bisa lebih halus ketika berbicara dengan Jihan. Sekarang inilah akibatnya, Jihan salah paham. "Sahabatku membutuhkan rahim seorang wanita untuk bisa mengandung anaknya. Dan menurutku kamu adalah orangnya, Jihan. Dia juga menawarkan harga yang mahal untuk ini. Aku pikir, ini akan membantumu untuk melunasi biaya operasi ibu kamu," terang Reno panjang kali lebar. Ia juga menerangkan dengan pelan-pelan agar Jihan tak salah paham lagi dengannya. Jihan terdiam. Pikirannya masih kalut untuk memberikan jawaban. "Aku tidak memaksa, Jihan. Setidaknya sebelum menolaknya, bisakah kamu memikirkannya dengan baik-baik. Jangan memikirkan satu sisi saja. Pikirkan sisi yang lain juga." Awalnya Jihan enggan menjadi gundik penghasil anak, namun karena keadaan yang terus mendesak, akhirnya ia menyetujui penawaran itu. *** Disinilah ia sekarang. Di sebuah kamar penuh hiasan dan bertaburan kelopak bunga mawar merah di atas ranjang. Hatinya semakin tak karuan melihat dirinya sendiri yang masih memakai kebaya putih sisa pernikahan dadakan tadi siang. Wajahnya masih terpoles riasan tipis, tapi sama sekali tidak memancarkan aura kebahagiaan seperti pengantin pada umumnya. Belum juga bisa mengusir rasa gugupnya, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Membuat Jihan mendongak, menatap ke arah seseorang yang masih berdiri tegak di depan pintu dengan tatapan yang sulit di artikan. Takut, Jihan kembali menundukkan wajahnya dengan tangan meremas ujung kebaya putih yang ia kenakan. Ia semakin gemetaran saat ketukan sepatu pantofel yang membentur lantai itu perlahan bergerak mendekat. Reflek, dia menggerakkan tubuhnya merangsek mundur. "Kenapa? Kamu takut?" Suara berat itu seolah menyergapnya dalam kepungan rasa takut. Membuat tubuhnya kaku tak bergerak. Jihan memekik saat merasakan cengkraman di pipinya. Tarikan itu membuat wajahnya terangkat dan bisa melihat dengan jelas manik legam pria di depannya. Untuk sesaat mata mereka saling bersiborok, menyelami perasaan masing-masing. Sampai akhirnya Jihan memejamkan matanya tak mampu. "Tatap aku Jihan. Apa kamu lupa siapa aku?" Mata Jihan masih tertutup rapat. Bibirnya keluh tak mampu menjawab. Bagaimana bisa dia lupa dengan kehidupan masa lalunya bersama Yudha. Sampai matipun kenangan itu akan tersimpan di hatinya yang paling dalam. Tangan Jihan menepis tangan Yudha dan buru-buru menunduk ketika cengkraman itu terlepas dari pipinya. Berdekatan dengan Yudha, membuat hatinya bergejolak hebat. Yudha tersenyum tipis. Lalu menekuk kakinya seperti bersimpuh di depan Jihan. Membuat Jihan reflek memundurkan tubuhnya. Yudha berdecih. "Kamu masih sama seperti dulu, Jihan." Yudha terkekeh saat melihat wajah Jihan yang masih ketakutan. "Tidak usah takut. Aku kemari hanya ingin memberikan ini kepadamu," ucap Yudha seraya mengangkat amplop coklat di tangannya. Seketika mata Jihan terlempar pada amplop coklat yang berada di tangan Yudha."Itu apa?" Brug.. Amplop coklat itu dilempar dan mendarat tepat di samping Jihan. "Bukalah. Nanti juga kamu tau apa isinya." Setelah itu Yudha beranjak berdiri dan memutar tumitnya menuju balkon dan menggeser pintu itu hingga terbuka. Dikeluarkannya dari dalam sakunya satu bungkus nikotin. Di ambilnya satu dan kemudian dijepit di lipatan bibirnya Disulutnya api untuk membakar nikotin itu. Kepulan asap seketika memenuhi ruangan saat Yudha menghembuskan ke udara. Setiap gerak gerik Yudha tidak luput dari tatapan Jihan. Sampai ia melupakan rasa penasarannya pada suatu benda yang masih berada di pangkuan tangannya. "Apa kamu tidak penasaran dengan isinya Jihan? Kenapa kamu malah sibuk menatapku seperti itu?" tanya Yudha seraya mengepulkan asap ke udara seraya tersenyum tipis. Jihan tersentak dengan kalimat Yudha. Ia langsung membuang pandangannya ke lain arah untuk mengikis rasa malunya karena sudah ketahuan diam-diam memerhatikan Yudha. Mengalihkan
Wajah Yudha kian mendekat, membuat mata Jihan terpejam ketakutan. Ia ingin berlari menjauh, tapi cekalan tangan Yudha semakin kuat memeluk tubuhnya dari belakang. Tinggal beberapa centi bibir mereka hampir bertemu, ponsel Jihan berdering dengan nyaring. Reflek membuat Jihan menjauh dan bangkit dari pangkuan Yudha. Ia meraih ponsel itu dan langsung di tempelkan di telinganya. "Hallo Jihan. Maaf sudah mengganggu kesenanganmu dan Yudha," ucap dokter Reno dari seberang. Jihan melirik Yudha sekilas yang juga menatapnya. "Tidak, Dok. Sama sekali tidak menganggu." Perasaannya menjadi tidak enak karena tidak biasanya dokter Reno langsung meneleponnya. "Jihan, kamu tahu kan apa yang akan saya bicarakan?" "Operasi ibu saya ya, dok?" "Betul Jihan. Operasinya akan segera dilaksanakan. Bisakah_" "Iya, dok. Jihan mengerti. Setelah ini insya Allah Jihan kesana dan membayar semuanya. Terima kasih, dokter," "Oke. Baik, Jihan." "Si Reno?" tanya Yudha setela
Semua perkataan dokter Reno tidak ia percayai begitu saja. Jihan menganggapnya hanya angin belaka. Kenapa juga sang dokter harus mengatakan hal terburuk yang akan terjadi pada sang ibu. Seharusnya dia tidak mendahului takdir yang belum tentu terjadi. Masih ada Tuhannya yang akan mengabulkan doanya. Memberikan hadiah terbaik untuk ibunya yang telah berjuang melawan penyakitnya yang sudah dideritanya sejak lama. "Jihan." "Iya." Jihan mengangkat wajahnya dan menatap dokter itu. "Kamu mendengar apa yang saya katakan, kan?" "Iya, dok. Jihan mendengar semuanya dengan jelas," jawab Jihan seraya tersenyum tipis. Ia bahkan mendengarkan dengan jelas setiap kalimat yang terlontar dari bibir dokter itu dengan pikiran yang sulit terlukiskan oleh kata-kata. "Jihan." Dokter itu diam sesaat. Matanya menatap lekat Jihan. Jihan paham jika beban dokter Reno sangatlah besar. Percayalah, Jihan juga takut jika ini terjadi. Tapi mau bagaimana lagi, jika tidak dioperasi
Jihan mengangkat kepalanya melihat siapa. "Dokter." Dokter Reno tersenyum lembut, menutupi rasa iba ketika melihat Jihan yang terpuruk seperti itu. Jihan menoleh sekilas, lalu kembali menatap gundukan tanah merah itu. Air matanya pun tumpah kembali. Dia tergugu ketika mengingat sosok ibunya. "Kamu harus kuat, Jihan. Ini yang terbaik untuk ibumu. Dia sudah tak sakit lagi." Dokter Reno mencoba menguatkan. Memberi perasaan nyaman agar Jihan kembali tenang. "Ibu sudah sembuh kemarin, Dok. Ibu sudah sembuh!! Bahkan sebelum operasi masih bisa bercanda bersamaku. Tapi kenapa ibu sekarang pergi secepat ini?" "Iya, Ibumu sudah sembuh, Han. Jadi kamu harus senang, bukan bersedih seperti ini." Jihan menggeleng, "Percuma ibu sembuh jika dia ninggalin Jihan, dok," Tangis Jihan terdengar semakin pilu ketika mengingat pesan sang Ibu. Dia tak menyangka jika itu adalah pesan terakhirnya sebelum menemui ajalnya. Jika dia tau, pasti dia akan selalu menemani sang ibu tanpa beranjak sedikitpun
"Iya, sebentar!!" seru Maura seraya melangkahkan kakinya. Seketika tubuh Maura menegang ketika melihat tamu spesial sore ini. Tamu yang sangat tak di harapkan kedatangannya untuk memperumit keadaannya yang tengah dirundung nestapa. Meskipun sang tamu tampak tersenyum cerah menatapnya, namun Maura merasa jika wanita di hadapannya ini ingin menyampaikan sesuatu kepadanya. "Ibu.." Wanita paruh baya itu tersenyum, lalu menyapa Maura dengan tak kalah ramahnya sehingga membuatnya merinding. "Assalamualaikum, selamat malam, Maura." "Wa_waalaikumsalam, Ibu." jawab Maura terbata. Mayra tetap mematung, tangannya menggenggam erat pada handel pintu yang sedari tadi di pegangnya. Sehingga dia lupa mempersilahkan mertuanya itu masuk ke dalam rumahnya. Dia terlalu shock menerima kedatangan sang mertua yang tiba-tiba tanpa kabar sebelumnya. Padahal dulu sang mertua sangat jarang berkunjung ke rumahnya jika tak ada hal penting yang ingin di sampaikan
Kata-kata sang mertua masih terngiang di kepalanya. Seolah dengungan suara itu tak mau hilang dari pikirannya dan terus berputar di sana. Membuat hatinya semakin kalut dan tak karuan. Apalagi Yudha sampai sekarang belum juga menghubunginya lagi setelah kepergiannya tadi siang. Semakin merana karena tiada Yudha di sampingnya. Monika memilih pergi karena Maura sama sekali tidak memberi jawaban atas pertanyaannya. Maura juga memilih diam karena itu bukanlah masalah yang bisa dijawab dengan cepat. Butuh pemikiran matang dan benar-benar dengan hati yang ikhlas. Setelah kepergian mertuanya, Maura merebahkan tubuhnya di kasur. Mencoba mengistirahatkan tubuhnya dan pikirannya dari pengaruh buruk sang mertua. Namun bukannya hilang, kalimat itu semakin jelas di pikiran dan hatinya. Membuatnya susah melupakan segalanya. Apalagi perlakuan ibu mertuanya yang tiada perubahan terhadapnya. Masih sama dan masih menganggapnya sebagai menantu pembawa sial. Maura membayangkan
Erangan memilukan terdengar di telinga Yudha saat miliknya mencoba menerobos pertahanan Jihan. Sempit, bahkan Yudha kesusahan menerobosnya. "Sakit, Mas," rintih Jihan dibalik kungkungan Yudha. Bahkan, rasanya ia ingin berteriak jika ia tidak melihat keadaannya sekarang. "Sabar, Jihan. Sebentar lagi pasti sudah tidak sakit." Yudha berusaha membujuk wanita yang berada dibawah kendalinya itu. Meski ia sendiri bingung kenapa susah sekali. Antara kasihan dan juga nikmat. Yudha juga pernah merasakan sebelumnya bersama Maura yang kala itu masih perawan. Tapi perasaan tidak sesulit ini. Apakah Jihan kurang rangsangan sehingga ia meringis kesakitan? Yudha mencoba menekan lebih dalam, tapi sebuah cengkeraman dan tancapan kuku membuat ia kembali menarik miliknya pelan. Sakit dan perih ia rasakan. Apakah Jihan juga masih perawan? Sempat tersemat pertanyaan seperti itu di benaknya. Tapi cepat-cepat Yudha menepis pikirannya sendiri. Karena Ia tau jika Jihan berstatus jan
"Hah.."Jihan masih belum mengerti arah pembicaraan Yudha. "Maksud kamu apa, Mas?" tanya Jihan pada akhirnya. Yudha menunjuk dengan dagunya sebuah noda di atas sprei yang sengaja belum ia bersihkan. Jihan pun mengikuti kemana arah pandangan Yudha. Seketika matanya membulat sempurna saat melihat noda merah diatas sprei itu. Dengan cepat Jihan melangkah dan menarik sprei itu sampai terlepas dari ranjang. Kemudian ya membawanya ke dalam kamar mandi dan merendamnya di sana. Yudha hanya diam melihat apa yang dilakukan oleh Jihan. Ia semakin yakin jika Jihan tengah menyembunyikan sesuatu darinya. Saat Jihan melangkah di depannya, dengan cepat Yudha mencekal tangannya dan menariknya untuk duduk di sofa. Dia sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya lagi. "Coba kamu katakan yang sejujurnya padaku, Jihan. Jangan sampai aku mencari tahunya sendiri," ancam Yudha dengan tatapan mengerikan. Bahkan, Jihan sempat merasa takut melihat wajah itu. "Maksud kamu apa, Mas?