Butiran air mata terus berjatuhan meski Azkiya tak berkedip. Perempuan itu masih diam seraya menatap nanar lelaki di hadapannya.Pikirannya kalut. Azkiya tak lagi dapat berpikir harus melakukan apa.Azkiya berbalik. Dengan gamang ia melangkah lalu meraih tasnya yang tergeletak di sofa.Dengan langkah yang berat ia mengayunkan kakinya menuju pintu. Azkiya berjalan melewati Arza yang masih berdiri bagai patung.Hatinya benar-benar terluka. Azkiya bahkan tak sadar saat melewati Ria yang berdiri sambil menatapnya dengan sinis.Setelah melewati pintu, Azkiya dengan segera mengusap wajahnya yang basah. Ia tidak ingin menarik perhatian orang-orang saat melihatnya dengan keadaan yang kacau.Azkiya menunduk. Kakinya dengan cepat melangkah melewati orang-orang di sana. Perempuan itu akhirnya melenggang meninggalkan kafe.Dengan tergesa Alwi melangkah menuju ruangan tempat di mana Arza kini berada. Lelaki itu tengah mencari keberadaan Azkiya.Tangannya membuka pintu dengan kasar. Alwi melangkah m
“Mbak!”“Mbak!”Panggilan lelaki itu menyadarkan Azkiya.Mata Azkiya mengerjap. Ia tersadar.“Jangan takut Mbak! Saya bukan orang jahat,” ujar lelaki tersebut. Ia menyadari gelagat ketakutan Azkiya.Bibir Azkiya tersenyum canggung. Ia merasa bersalah karena bertingkah seperti tadi.Azkiya menyibak poninya gugup lalu membungkuk sedikit sebagai permohonan maaf.Lelaki dengan penampilan bak preman dan beberapa tato di tangannya itu membalas senyum Azkiya.“Saya lihat Mbak seperti sedang bingung.”Azkiya menatap ujung sandalnya sekilas lalu kembali beralih pada lelaki di hadapannya. Wajahnya terlihat ragu untuk mengucapkan sesuatu.Sebuah angkutan umum melaju dengan kecepatan sedang. Azkiya duduk tepat di belakang sopir. Rambutnya terbang karena tersapu oleh angin.Sementara lelaki tadi duduk berjarak di samping Azkiya. Setelah perbincangan singkat tadi akhirnya Azkiya diantar oleh lelaki tersebut menuju ….. . Awalnya Azkiya ragu dan takut. Tapi setelah melihat bagaimana cara bicara lela
Arza menggeliat dari tidurnya. Lelaki itu membuka mata perlahan lalu mengerjap beberapa kali.Hampir semalaman Arza hanya diam termenung dan baru bisa tertidur saat sepertiga malam.Lelaki itu memutuskan untuk menginap di kafe. Ia tertidur di atas sofa yang hanya berukuran sebesar tubuhnya.Perlahan Arza bangkit dari pembaringannya lalu mengambil kunci mobil dan ponselnya. Ia bahkan tak mencuci mukanya dan langsung pergi begitu saja.Entah apa yang ada dalam pikirannya. Saat itu Arza hanya ingin pulang.Ia ingin melihat Azkiya.Matahari telah muncul dari peraduannya sejak tadi. Arza memarkirkan mobilnya dengan perlahan. Ia telah sampai di rumah dengan selamat.Arza menatap ke arah pintu rumah yang masih tertutup.Lelaki itu kemudian menjatuhkan pandangannya ke arah balkon kamar. Sepi. Tirainya juga masih tertutup.“Apa Azkiya sudah berangkat?” Monolog Arza dalam hatinya. Ia melirik pergelangan tangannya untuk melihat jam. Masih terlalu pagi untuk berangkat ke kafe.Akhirnya Arza melan
Azkiya terperanjat saat seseorang memegang bahunya dari belakang. Ia menoleh lalu mendapati Laila yang tengah menatapnya dengan heran.“Kenapa kamu melamun? Ada apa?” tanya Laila yang ikut duduk setelah menaruh minuman di atas meja.“Aku?” Azkiya tergagap. Ia mengusap-ngusap pahanya dengan telapak tangan.”Tidak ada apa-apa, Bu,” ujar Azkiya seraya menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan dengan pelan. Perempuan itu kemudian kembali mengarahkan padangannya ke depan.“Oh, iya. Kamu ke sini diantar oleh suamimu?”Pertanyaan yang keluar dari mulut ibu panti tersebut membuat Azkiya menoleh seketika.Azkiya tak langsung menjawab. Ia tertegun sesaat.“Suamiku belum pulang dari luar kota. Jadi aku naik angkutan umum,” tutur Azkiya dengan senyum tipis.Sejujurnya Azkiya tidak tahu pasti apakah Arza sudah pulang atau belum. Saat ini Azkiya benar-benar tak ingin tahu tentang Arza, ia ingin mengistirahatkan hatinya lebih dulu.Laila melirik ke arah tas yang Azkiya bawa. Benda tersebut cukup b
Arza menoleh, mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. Tampak Ria yang tengah berjalan ke arahnya.Jarinya urung menyentuh layar ponsel. Fokus Arza kini beralih pada wanita yang baru saja datang itu.“Kemarin aku datang, tapi kamu tidak ada.”“Kamu kemana?”Ria menghampiri Arza lalu berdiri tepat di samping lelaki itu.Dengan santai Ria menaruh tangannya di pundak Arza. Ia merangkul lelaki itu seraya merapatkan tubuhnya.Wajah Arza terlihat sangat tidak nyaman dan risih.Dengan cepat ia menyingkirkan tangan wanita dari pundaknya. Hal itu membuat Ria terlihat kesal.“Kenapa mencariku?” tanya Arza dingin. Ia kemudian meletakkan ponselnya di atas meja.Meski Arza menolak rangkulannya tadi, Ria tidak kehabisan akal.Tangan Ria menggeser ponsel Arza yang tergeletak di atas meja. Wanita itu berniat untuk duduk tepat di hadapan Arza.Namun, tiba-tiba Ria tertegun. Ia menatap ponsel Arza yang masih menyala.Ria memicingkan matanya.”Sejak kapan kamu memiliki nomor wanita itu?”“Kamu akan
Jam pulang telah tiba. Satu persatu pegawai mulai meninggalkan kafe.Arza masih berada di dalam ruangannya. Matanya menatap laptop tapi pikirannya melayang entah kemana.Hembusan nafas berat keluar dari mulutnya. Arza melirik benda yang melingkar di tangan kirinya lalu menutup laptop. Ia bersiap untuk pulang.Terlihat beberapa pegawai masih ada di sana saat Arza keluar dari ruangannya.Kepala Arza celingukan kesana kemari seperti mencari seseorang. Tapi ia tak menemukannya.“Dimana dia?” gumam Arza seraya tetap mengedarkan pandangannya. Biasanya Azkiya berdiri di dekat kasir untuk menunggu Arza keluar.Namun, tiba-tiba Arza berhenti mencari. Ia baru sadar jika Azkiya memang tak ada.Tangannya meremas kunci mobil. Arza seperti orang bodoh saat ini. Apa yang terjadi padanya pikir Arza.Kemudian dengan langkah gontai Arza berjalan menuju pintu keluar.Jalanan tampak ramai seperti biasanya. Arza mengemudikan kend
Tangan Arza menarik gagang pintu agar terbuka sepenuhnya.Genderang jantung yang sedari tadi bertalu seakan terhenti kala matanya kini menatap dengan jelas seseorang yang tengah memegang selang.Seseorang yang tengah menyiram tanaman itu bukanlah Azkiya.Melainkan sang ibu.Gurat kekecewaan terukir di wajah Arza. Harapannya seketika hangus dan menguap begitu saja.Arza masih terdiam dengan posisi yang sama.Lina berbalik karena merasakan kehadiran seseorang yang tengah memperhatikannya.Melihat sang anak yang hanya termangu di mulut pintu membuat Lina terheran.Perempuan paruh baya itu kemudian melepaskan selang di tangannya dan beralih menghampiri sang anak.“Kamu baru bangun?” tanya Lina saat sudah berada di hadapan Arza. Pertanyaan sang ibu segera menyadarkan Arza dari kebisuannya.Mata Lina mengikuti arah pandang sang anak. Ia ingin tahu apa yang Arza lihat sehingga membuatnya melamun seperti itu.Tapi tak ada apapun di halaman.“Apa yang sedang kamu lihat Arza?”Tatapan Arza sege
Perlahan Arza berbalik.Di hadapannya terlihat sosok Azkiya yang tengah berdiri menatapnya.Arza menutup wajah dengan telapak tangannya. Ia benar-benar frustasi.“Sepertinya halusinasiku makin parah,” monolog Arza dalam batinnya.Dengan mata tertutup, perlahan Arza menghembuskan nafasnya beberapa kali. Ia mencoba untuk tenang saat seperti ini.Gejala PTSD yang ia alami sepertinya semakin parah. Ia harus menemui psikiatrenya lagi pikir Arza.Lelaki itu kemudian kembali berbalik dan berniat untuk melanjutkan langkah.Namun, tiba-tiba ada seseorang yang mencekal tangannya dari belakang.“Kamu sakit, Kak?”Seketika Arza membeku. Perlahan kepalanya menoleh ke bawah. Tepatnya ke arah tangannya yang dicekal.Arza termenung. Apakah halusinasinya separah itu hingga ia bisa merasakan sentuhan tangan Azkiya?Tapi itu tidak mungkin pikir Arza.Dengan hati yang berkecamuk Arza menolehkan k