Arza menggeliat dari tidurnya. Lelaki itu membuka mata perlahan lalu mengerjap beberapa kali.Hampir semalaman Arza hanya diam termenung dan baru bisa tertidur saat sepertiga malam.Lelaki itu memutuskan untuk menginap di kafe. Ia tertidur di atas sofa yang hanya berukuran sebesar tubuhnya.Perlahan Arza bangkit dari pembaringannya lalu mengambil kunci mobil dan ponselnya. Ia bahkan tak mencuci mukanya dan langsung pergi begitu saja.Entah apa yang ada dalam pikirannya. Saat itu Arza hanya ingin pulang.Ia ingin melihat Azkiya.Matahari telah muncul dari peraduannya sejak tadi. Arza memarkirkan mobilnya dengan perlahan. Ia telah sampai di rumah dengan selamat.Arza menatap ke arah pintu rumah yang masih tertutup.Lelaki itu kemudian menjatuhkan pandangannya ke arah balkon kamar. Sepi. Tirainya juga masih tertutup.“Apa Azkiya sudah berangkat?” Monolog Arza dalam hatinya. Ia melirik pergelangan tangannya untuk melihat jam. Masih terlalu pagi untuk berangkat ke kafe.Akhirnya Arza melan
Azkiya terperanjat saat seseorang memegang bahunya dari belakang. Ia menoleh lalu mendapati Laila yang tengah menatapnya dengan heran.“Kenapa kamu melamun? Ada apa?” tanya Laila yang ikut duduk setelah menaruh minuman di atas meja.“Aku?” Azkiya tergagap. Ia mengusap-ngusap pahanya dengan telapak tangan.”Tidak ada apa-apa, Bu,” ujar Azkiya seraya menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan dengan pelan. Perempuan itu kemudian kembali mengarahkan padangannya ke depan.“Oh, iya. Kamu ke sini diantar oleh suamimu?”Pertanyaan yang keluar dari mulut ibu panti tersebut membuat Azkiya menoleh seketika.Azkiya tak langsung menjawab. Ia tertegun sesaat.“Suamiku belum pulang dari luar kota. Jadi aku naik angkutan umum,” tutur Azkiya dengan senyum tipis.Sejujurnya Azkiya tidak tahu pasti apakah Arza sudah pulang atau belum. Saat ini Azkiya benar-benar tak ingin tahu tentang Arza, ia ingin mengistirahatkan hatinya lebih dulu.Laila melirik ke arah tas yang Azkiya bawa. Benda tersebut cukup b
Arza menoleh, mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. Tampak Ria yang tengah berjalan ke arahnya.Jarinya urung menyentuh layar ponsel. Fokus Arza kini beralih pada wanita yang baru saja datang itu.“Kemarin aku datang, tapi kamu tidak ada.”“Kamu kemana?”Ria menghampiri Arza lalu berdiri tepat di samping lelaki itu.Dengan santai Ria menaruh tangannya di pundak Arza. Ia merangkul lelaki itu seraya merapatkan tubuhnya.Wajah Arza terlihat sangat tidak nyaman dan risih.Dengan cepat ia menyingkirkan tangan wanita dari pundaknya. Hal itu membuat Ria terlihat kesal.“Kenapa mencariku?” tanya Arza dingin. Ia kemudian meletakkan ponselnya di atas meja.Meski Arza menolak rangkulannya tadi, Ria tidak kehabisan akal.Tangan Ria menggeser ponsel Arza yang tergeletak di atas meja. Wanita itu berniat untuk duduk tepat di hadapan Arza.Namun, tiba-tiba Ria tertegun. Ia menatap ponsel Arza yang masih menyala.Ria memicingkan matanya.”Sejak kapan kamu memiliki nomor wanita itu?”“Kamu akan
Jam pulang telah tiba. Satu persatu pegawai mulai meninggalkan kafe.Arza masih berada di dalam ruangannya. Matanya menatap laptop tapi pikirannya melayang entah kemana.Hembusan nafas berat keluar dari mulutnya. Arza melirik benda yang melingkar di tangan kirinya lalu menutup laptop. Ia bersiap untuk pulang.Terlihat beberapa pegawai masih ada di sana saat Arza keluar dari ruangannya.Kepala Arza celingukan kesana kemari seperti mencari seseorang. Tapi ia tak menemukannya.“Dimana dia?” gumam Arza seraya tetap mengedarkan pandangannya. Biasanya Azkiya berdiri di dekat kasir untuk menunggu Arza keluar.Namun, tiba-tiba Arza berhenti mencari. Ia baru sadar jika Azkiya memang tak ada.Tangannya meremas kunci mobil. Arza seperti orang bodoh saat ini. Apa yang terjadi padanya pikir Arza.Kemudian dengan langkah gontai Arza berjalan menuju pintu keluar.Jalanan tampak ramai seperti biasanya. Arza mengemudikan kend
Tangan Arza menarik gagang pintu agar terbuka sepenuhnya.Genderang jantung yang sedari tadi bertalu seakan terhenti kala matanya kini menatap dengan jelas seseorang yang tengah memegang selang.Seseorang yang tengah menyiram tanaman itu bukanlah Azkiya.Melainkan sang ibu.Gurat kekecewaan terukir di wajah Arza. Harapannya seketika hangus dan menguap begitu saja.Arza masih terdiam dengan posisi yang sama.Lina berbalik karena merasakan kehadiran seseorang yang tengah memperhatikannya.Melihat sang anak yang hanya termangu di mulut pintu membuat Lina terheran.Perempuan paruh baya itu kemudian melepaskan selang di tangannya dan beralih menghampiri sang anak.“Kamu baru bangun?” tanya Lina saat sudah berada di hadapan Arza. Pertanyaan sang ibu segera menyadarkan Arza dari kebisuannya.Mata Lina mengikuti arah pandang sang anak. Ia ingin tahu apa yang Arza lihat sehingga membuatnya melamun seperti itu.Tapi tak ada apapun di halaman.“Apa yang sedang kamu lihat Arza?”Tatapan Arza sege
Perlahan Arza berbalik.Di hadapannya terlihat sosok Azkiya yang tengah berdiri menatapnya.Arza menutup wajah dengan telapak tangannya. Ia benar-benar frustasi.“Sepertinya halusinasiku makin parah,” monolog Arza dalam batinnya.Dengan mata tertutup, perlahan Arza menghembuskan nafasnya beberapa kali. Ia mencoba untuk tenang saat seperti ini.Gejala PTSD yang ia alami sepertinya semakin parah. Ia harus menemui psikiatrenya lagi pikir Arza.Lelaki itu kemudian kembali berbalik dan berniat untuk melanjutkan langkah.Namun, tiba-tiba ada seseorang yang mencekal tangannya dari belakang.“Kamu sakit, Kak?”Seketika Arza membeku. Perlahan kepalanya menoleh ke bawah. Tepatnya ke arah tangannya yang dicekal.Arza termenung. Apakah halusinasinya separah itu hingga ia bisa merasakan sentuhan tangan Azkiya?Tapi itu tidak mungkin pikir Arza.Dengan hati yang berkecamuk Arza menolehkan k
Mata Arza kini tertuju pada benda yang ada di hadapannya. Lelaki itu tak gegas langusng mengambilnya, melainkan tertegun beberapa saat.Arza kemudian beralih melihat Azkiya. Perempuan itu hanya membisu seraya menyuruh Arza mengambil map tersebut dengan wajahnya.“Surat cerai?” monolog Arza dalam hatinya.Seketika perasaannya menjadi tidak karuan. Arza mendadak takut.“Apa kamu sudah menandatanganinya?” tanya Arza dengan hati yang entah.Azkiya hanya menjawab pertanyaan Arza dengan senyum tipisnya. Membuat hati Arza semakin resah.Tapi bukankah bagus jika Azkiya sudah menyetujui pereraian ini? Ada apa dengan hatinya? Pikiran dan hati Arza mulai berseberangan.Arza meraih map tersebut dengan perasaan gamang. Ia menatapnya sejenak.Padahal ia sendiri yang menyiapkan surat cerai tersebut. Tapi kini Arza justru malah takut dan tak berharap Azkiya menyutujuinya.Arza mungkin bisa menyembunyikan wajah gu
Dua orang itu saling menunjuk satu sama lain dengan ekspresi terkejut.“Mas yang membantu saya waktu itu bukan?” tanya Azkiya memastikan bahwa tidak salah orang.Lelaki itu mengangguk.”Mbak yang waktu itu tersesat?”Azkiya juga membenarkan pertanyaan lelaki itu dengan antusias.Azkiya kemudian mempersilakan lelaki itu untuk duduk di meja yang masih kosong.Selang beberapa saat Azkiya kembali dengan nampan di tangannya. Ia lalu menyanyikan minuman serta makanan yang dibawanya.“Silakan,” ujar Azkiya ramah.Sesaat Azkiya melihat lelaki itu dari atas hingga bawah. Penampilan lelaki itu sangat berbeda dengan yang waktu itu.Lelaki itu memakai setelan kemeja panjang yang menutupi tato di tangannya. Rambutnya juga tertata rapi.“Sekali lagi terima kasih untu bantuannya saat itu,” tukas Azkiya yang masih berdiri di hadapan lelaki itu.Lelaki itu menggeleng sambil tersenyum.”Bukan apa-apa, Mbak.”Waktu masih belum terlalu siang sehingga kafe belum terlalu ramai. Azkiya memiliki waktu untuk s
Arza terkapar ke sandaran sofa sebelum sempat menuntaskan ucapannya. Satu pukulan keras melayang tepat di sisi kiri wajahnya. Benar. Pukulan tersebut melayang dari tangan Alwi.Dengan cepat Alwi meraih kerah baju Arza dan memaksa lelaki itu untuk berdiri.”Apa kau sudah tidak waras?”Arza tampak pasrah dalam cengkraman Alwi yang tengah dikuasai amarah. Entah karena merasa bersalah atau tidak memiliki tenaga, tapi lelaki itu terlihat tidak berniat melawan sahabatnya.Lagi-lagi satu pukulan mentah mendarat mulus di wajah Arza. Lelaki itu terhuyung ke belakang hingga menabrak meja kerjanya.Arza ambruk tepat di bawah meja.“Bagaimana bisa kalian melakukan itu pada Azkiya?” cicit Alwi dengan mata nyalang menatap ke arah Arza. Dia sudah berusaha menekan emosinya, tapi akhirnya meledak juga.Perbuatan Arza dan orangtuanya sungguh tidak manusiawi. Mereka telah merenggut nyawa ayah Azkiya lalu kini membodohi perempuan itu deng
Alwi mengendarai motor dengan kecepatan tinggi menembus gelapnya malam. Sepanjang perjalanan hatinya merasa tidak tenang.Setelah berkendara beberapa saat, akhirnya Alwi sampai di tempat tujuan. Ia langsung melepas helm yang bertengger di kepalanya lalu bergegas turun.Tangannya mengetuk pintu beberapa kali. Alwi tampak tidak sabar menunggu pintu tersebut terbuka.Seorang perempuan muncul dari balik pintu yang terbuka perlahan dari dalam. Dia adalah Atifa. Mereka saling menatap satu sama lain sebelum akhirnya Alwi diizinkan masuk.“Kamu tahu di mana Azkiya?” tanya Alwi langsung pada intinya. Mereka bahkan masih dalam posisi berdiri.Atifa terdiam dan tampak ragu.Tiba-tiba fokus Alwi teralihkan saat seseorang melangkah keluar dari dalam kamar.“Azkiya,” lirih Alwi dengan mata yang menatap ke arah perempuan tersebut.Mereka kini tengah duduk lesehan di ruang tamu berukuran kecil tersebut. Tampaknya tidak ada yang berniat memulai percakapan karena sedari tadi mereka hanya terdiam dengan
Atifa mengangguk pelan seraya menatap perempuan yang hanya menyembulkan kepalanya dari dalam kamar.“Azkiya!”“Ada apa sebenarnya?” tanya Atifa seraya melangkah masuk ke dalam kamar.Sementara itu Azkiya kembali duduk di atas kasur. Ia menunduk menatap lantai.Setelah cukup lama berada di danau untuk meluapkan segala amarahnya, Azkiya terlunta-lunta di jalanan hingga malam sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi ke tempat Atifa.Azkiya sudah menduga Arza akan mencarinya ke kontrakan Atifa. Beruntung sahabatnya itu bersedia merahasiakan keberadaannya dari lelaki itu.Atifa ikut menjatuhkan bokongnya tepat di samping Azkiya. Matanya memindai wajah perempuan itu dengan seksama.Tampak jelas wajah Azkiya yang pucat disertai dengan mata yang bengkak. Atifa yakin sahabatnya itu menangis cukup lama.“Kamu bertengkar dengan Arza?” tanya Atifa dengan hati-hati. Ia semakin penasaran karena Azkiya membi
Lelaki itu merogoh ponselnya lalu mencoba menghubungi Azkiya.Berkali-kali panggilan itu tidak terjawab, membuat Arza semakin gelisah.Dengan debar jantung yang sudah tak terkendali, Arza melangkah cepat menuruni tangga. Ia kembali menghampiri orang tuanya di ruang tamu.“Bukankah Azkiya sudah pulang?”“Kemana Azkiya?” tanya Arza beruntun.Wajahnya tampak panik.Lina dan Darma hanya diam membisu.“Jawab aku!!” bentak Arza. Kesabarannya sudah hilang. Ia benar-benar sudah tenggelam dalam rasa takutnya. Benar, Arza takut kehilangan lagi.“Azkiya sudah tahu semuanya lalu dia pergi,” ungkap Lina disela isakkan kecilnya. Perasaan bersalah semakin menggunung menyelimuti hatinya.Seketika kaki Arza terasa lemas mendengar penuturan sang ibu.“Tidak! Azkiya!”Lelaki itu seketika berlari keluar.Dengan cepat Arza berlari menyusuri jalanan. Matanya menata
“Bagaimana bisa kau menikahkannya dengan Arza?!” Darma menatap Lina dengan tidak percaya.Lelaki itu mengusap wajah kasar. Sungguh ia tidak habis pikir dengan jalan pikiran Lina.“Kenapa tidak bisa?”“Hidupnya terjamin dan bahagia bersama Arza. Dan itu adalah caraku meminta maaf atas apa yang terjadi padanya,” ungkap Lina yang merasa tindakannya tidaklah salah.“Kau….” Darma hampir tidak bisa berkata-kata lagi.“Bagaimana jika dia tahu bahwa Arza adalah pelaku tabrak lari yang menyebabkan ayahnya meninggal dunia?”“Dan mertuanya yang membungkam kasus itu agar Arza tidak dipenjara?” cecar Darma dengan perasaan tidak karuan.Tindakan Lina sungguh diluar dugaannya.“Semua akan aman jika kamu tetap diam!” gertak Lina.Ia tahu mungkin ini terlalu beresiko, tapi tidak ada cara lain.“Tutup mulut….”&ldquo
“Kamu menemukan orangnya?” tanya Lina seraya menatap menantunya lekat.Ia bahkan menghadapkan seluruh tubuhnya ke arah Azkiya.Azkiya mengangguk pelan.“Siapa?” Lagi Lina bertanya.“Seorang pemulung yang tinggal tidak jauh dari tempat kejadian itu,” tukas Azkiya.Pandangannya menatap entah kemana.”Ternyata keluarga pelaku memberinya uang agar tetap diam.”“Aku tidak habis pikir ada manusia sejahat itu, Bu,” lirih AzkiyaIa menunduk seraya tersenyum miris.Manusia memang bisa lebih jahat dari yang ia kira pikirnya.“Aku sedang berusaha menemukan mereka.”“Kak Arza meminta bantuan temannya dan juga meminta polisi kembali mengusutnya,” tutur Azkiya menjelaskan.Tak ada tanggapan. Lina hanya diam mendengar semua ucapan Azkiya.“Aku akan meminta keadilan pada mereka.” Azkiya tersenyum seraya mengalihkan pandangannya pa
“Memangnya Azkiya kenapa?” tanya Arza lagi. Ia kembali melangkah lalu berdiri tepat di dekat Azkiya.“Kak Arza?” lirih Azkiya seraya mendongak untuk menatap sang suami.“Kapan kamu datang?” tanya Rania dengan gugup. Wajahnya tampak tegang.“Sejak kamu bertanya bagaimana wanita seperti Azkiya bisa menikah denganku,” seloroh Arza.Suasana menjadi canggung seketika. Teman-teman Arza hanya saling melirik satu sama lain.Sementara itu manik mata Rania bergerak kesana kemari. Ia merasa terintimidasi karena Arza menatapnya dengan dingin.“Wanita seperti apa maksudmu?” tanya Arza sekali lagi.Rania duduk dengan gelisah.”Sepertinya kamu salah paham, Arza.”“Jadi apa maksudmu?” sambar Arza cepat.Ia tidak bodoh. Arza tahu pertanyaan Rania memang bermaksud merendahkan Azkiya.“Kak!” Azkiya menarik baju Arza dengan pelan. Ia berusa
Arza terus menatap Azkiya cukup lama tanpa berkedip. Ia tampak terpana dengan penampilan perempuan itu.Make up yang dipakai sangat cocok dan menyatu dengan kulit wajahnya.Dress panjang yang simple namun tetap elegan juga terlihat indah di tubuh Azkiya.Penampilan perempuan itu mampu membuat Arza tidak berpaling.Azkiya sampai menyentuh wajah serta memeriksa kembali pakaian yang melekat di tubuhnya.Apa ada yang salah pikirnya?“Kak!” seru Azkiya.Suara perempuan itu menarik kesadaran Arza kembali.Ia mengerjap beberapa kali.”O-oh? Iya?”“Apa aku tidak pantas memakai ini?”“Atau aku jelek?” tanya Azkiya khawatir.Jika benar begitu, maka ia tidak perlu pergi. Azkiya tidak ingin membuat Arza malu.“Kalau begitu aku tidak usah pergi, ya?”Arza mengernyit.”Apa maksudmu?”Lelaki itu bergegas melangkah menghampiri Azkiya.“Ayo!” ajak Arza.Di dalam mobil, Arza berkali-kali melirik perempuan yang duduk di sampingnya.Azkiya memang sudah cantik, tapi hari ini dia terlihat sangat cantik.“Jad
“Kamu anaknya?” Suara pria tua itu terdengar bergetar. Wajahnya tampak sangat terkejut.Azkiya mengangguk pelan. Ia masih belum melepas cekalan tangannya pada pria tersebut.Untuk sesaat dua orang itu hanya terdiam sambil menatap satu sama lain.Mata Azkiya menatap kesana kemari, ia sudah masuk dan tengah duduk di dalam gubuk kecil tersebut.Hati Azkiya merasa tersentil mengingat seberapa seringnya ia berkata lelah dan terkadang merasa kurang beruntung, padahal masih banyak yang kehidupannya lebih sulit darinya.“Kakek tinggal sendirian di sini?” tanya Azkiya hati-hati.Pria itu mengangguk untuk menjawab pertanyaan Azkiya.Banyak hal yang sebenarnya ingin ia tanyakan, tapi Azkiya merasa tidak enak. Lagipula tujuannya datang karena ada alasan khusus.“Jadi benar kalau Kakek adalah saksi mata kejadian itu?” Azkiya membenarkan posisi duduknya. Tatapannya terlihat sangat serius saat berbicara.