Arza menoleh, mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. Tampak Ria yang tengah berjalan ke arahnya.Jarinya urung menyentuh layar ponsel. Fokus Arza kini beralih pada wanita yang baru saja datang itu.“Kemarin aku datang, tapi kamu tidak ada.”“Kamu kemana?”Ria menghampiri Arza lalu berdiri tepat di samping lelaki itu.Dengan santai Ria menaruh tangannya di pundak Arza. Ia merangkul lelaki itu seraya merapatkan tubuhnya.Wajah Arza terlihat sangat tidak nyaman dan risih.Dengan cepat ia menyingkirkan tangan wanita dari pundaknya. Hal itu membuat Ria terlihat kesal.“Kenapa mencariku?” tanya Arza dingin. Ia kemudian meletakkan ponselnya di atas meja.Meski Arza menolak rangkulannya tadi, Ria tidak kehabisan akal.Tangan Ria menggeser ponsel Arza yang tergeletak di atas meja. Wanita itu berniat untuk duduk tepat di hadapan Arza.Namun, tiba-tiba Ria tertegun. Ia menatap ponsel Arza yang masih menyala.Ria memicingkan matanya.”Sejak kapan kamu memiliki nomor wanita itu?”“Kamu akan
Jam pulang telah tiba. Satu persatu pegawai mulai meninggalkan kafe.Arza masih berada di dalam ruangannya. Matanya menatap laptop tapi pikirannya melayang entah kemana.Hembusan nafas berat keluar dari mulutnya. Arza melirik benda yang melingkar di tangan kirinya lalu menutup laptop. Ia bersiap untuk pulang.Terlihat beberapa pegawai masih ada di sana saat Arza keluar dari ruangannya.Kepala Arza celingukan kesana kemari seperti mencari seseorang. Tapi ia tak menemukannya.“Dimana dia?” gumam Arza seraya tetap mengedarkan pandangannya. Biasanya Azkiya berdiri di dekat kasir untuk menunggu Arza keluar.Namun, tiba-tiba Arza berhenti mencari. Ia baru sadar jika Azkiya memang tak ada.Tangannya meremas kunci mobil. Arza seperti orang bodoh saat ini. Apa yang terjadi padanya pikir Arza.Kemudian dengan langkah gontai Arza berjalan menuju pintu keluar.Jalanan tampak ramai seperti biasanya. Arza mengemudikan kend
Tangan Arza menarik gagang pintu agar terbuka sepenuhnya.Genderang jantung yang sedari tadi bertalu seakan terhenti kala matanya kini menatap dengan jelas seseorang yang tengah memegang selang.Seseorang yang tengah menyiram tanaman itu bukanlah Azkiya.Melainkan sang ibu.Gurat kekecewaan terukir di wajah Arza. Harapannya seketika hangus dan menguap begitu saja.Arza masih terdiam dengan posisi yang sama.Lina berbalik karena merasakan kehadiran seseorang yang tengah memperhatikannya.Melihat sang anak yang hanya termangu di mulut pintu membuat Lina terheran.Perempuan paruh baya itu kemudian melepaskan selang di tangannya dan beralih menghampiri sang anak.“Kamu baru bangun?” tanya Lina saat sudah berada di hadapan Arza. Pertanyaan sang ibu segera menyadarkan Arza dari kebisuannya.Mata Lina mengikuti arah pandang sang anak. Ia ingin tahu apa yang Arza lihat sehingga membuatnya melamun seperti itu.Tapi tak ada apapun di halaman.“Apa yang sedang kamu lihat Arza?”Tatapan Arza sege
Perlahan Arza berbalik.Di hadapannya terlihat sosok Azkiya yang tengah berdiri menatapnya.Arza menutup wajah dengan telapak tangannya. Ia benar-benar frustasi.“Sepertinya halusinasiku makin parah,” monolog Arza dalam batinnya.Dengan mata tertutup, perlahan Arza menghembuskan nafasnya beberapa kali. Ia mencoba untuk tenang saat seperti ini.Gejala PTSD yang ia alami sepertinya semakin parah. Ia harus menemui psikiatrenya lagi pikir Arza.Lelaki itu kemudian kembali berbalik dan berniat untuk melanjutkan langkah.Namun, tiba-tiba ada seseorang yang mencekal tangannya dari belakang.“Kamu sakit, Kak?”Seketika Arza membeku. Perlahan kepalanya menoleh ke bawah. Tepatnya ke arah tangannya yang dicekal.Arza termenung. Apakah halusinasinya separah itu hingga ia bisa merasakan sentuhan tangan Azkiya?Tapi itu tidak mungkin pikir Arza.Dengan hati yang berkecamuk Arza menolehkan k
Mata Arza kini tertuju pada benda yang ada di hadapannya. Lelaki itu tak gegas langusng mengambilnya, melainkan tertegun beberapa saat.Arza kemudian beralih melihat Azkiya. Perempuan itu hanya membisu seraya menyuruh Arza mengambil map tersebut dengan wajahnya.“Surat cerai?” monolog Arza dalam hatinya.Seketika perasaannya menjadi tidak karuan. Arza mendadak takut.“Apa kamu sudah menandatanganinya?” tanya Arza dengan hati yang entah.Azkiya hanya menjawab pertanyaan Arza dengan senyum tipisnya. Membuat hati Arza semakin resah.Tapi bukankah bagus jika Azkiya sudah menyetujui pereraian ini? Ada apa dengan hatinya? Pikiran dan hati Arza mulai berseberangan.Arza meraih map tersebut dengan perasaan gamang. Ia menatapnya sejenak.Padahal ia sendiri yang menyiapkan surat cerai tersebut. Tapi kini Arza justru malah takut dan tak berharap Azkiya menyutujuinya.Arza mungkin bisa menyembunyikan wajah gu
Dua orang itu saling menunjuk satu sama lain dengan ekspresi terkejut.“Mas yang membantu saya waktu itu bukan?” tanya Azkiya memastikan bahwa tidak salah orang.Lelaki itu mengangguk.”Mbak yang waktu itu tersesat?”Azkiya juga membenarkan pertanyaan lelaki itu dengan antusias.Azkiya kemudian mempersilakan lelaki itu untuk duduk di meja yang masih kosong.Selang beberapa saat Azkiya kembali dengan nampan di tangannya. Ia lalu menyanyikan minuman serta makanan yang dibawanya.“Silakan,” ujar Azkiya ramah.Sesaat Azkiya melihat lelaki itu dari atas hingga bawah. Penampilan lelaki itu sangat berbeda dengan yang waktu itu.Lelaki itu memakai setelan kemeja panjang yang menutupi tato di tangannya. Rambutnya juga tertata rapi.“Sekali lagi terima kasih untu bantuannya saat itu,” tukas Azkiya yang masih berdiri di hadapan lelaki itu.Lelaki itu menggeleng sambil tersenyum.”Bukan apa-apa, Mbak.”Waktu masih belum terlalu siang sehingga kafe belum terlalu ramai. Azkiya memiliki waktu untuk s
Mendengar kata cemburu membuat Arza tertegun. Ia kemudian menatap Azkiya dengan ekspresi yang sulit diartikan.Tiba-tiba terdengar suara pintu yang dibuka oleh seseorang dari luar.Tatapan keduanya langsung beralih ke sumber suara.Ternyata itu adalah Ria.Wanita itu tampak terkejut saat mendapati Arza dan Azkiya berada di ruangan tersebut.Ria berjalan dengan pongahnya. Ia menatap Azkiya dengan tatapan tak sukaPerbincangan mereka berakhir seketika dan pertanyaan Azkiya menguap begitu saja.Azkiya memutar bola mata malas melihat kedatangan wanita menyebalkan itu. Ia membuang pandangan ke arah lain dan tetap berdiri di tempat yang sama.Ria menatap Azkiya dari atas hingga ke bawah. Namun, kali ini Azkiya tak menghindar ataupun takut. Ia justru membalasnya dengan tatapan yang sama.“Sayang!” Ria memutus kontak matanya dengan Azkiya dan kini beralih pada Arza.Lelaki itu hanya diam dan tak merespon pangg
Saat Arza berkata ingin memberitahukan sesuatu, Ria mulai merasa aneh.Ditambah lelaki itu menatapnya sekilas sebelum berbicara. Kekhawatiran mulai menyelimuti hati Ria.Apakah Arza akan mengungkapkan kebenaran tentang sikap buruknya? Ria mengepalkan tangannya dengan perasaan tak tenang.“Sebenarnya…”Mahendra menatap lelaki itu dengan intens.“Saya merasa belum siap secara mental, Pak.”“Selain itu saya masih ingin mengembangkan diri lagi dalam berbisnis,” tutur Arza dengan suara pelan.Tentu saja. Itu hanyalah alasan yang sengaja Arza buat untuk terus mengulur waktu.Entah sampai kapan. Mungkin sampai Arza siap untuk memberitahu Mahendra semua kebenarannya.Perasaan lega merambah di hati Ria saat mendengar ucapan itu. Ia pikir nasib dirinya akan habis hari ini juga.Tapi tentu saja ia juga kecewa karena Arza menolak menikahinya dalam waktu dekat.Mahendra terdiam. Ia lalu menganggukkan kepalanya seraya tersenyum ke arah Arza.Waktu berlalu begitu cepat. Matahari bahkan sudah pulang k