Perlahan Arza berbalik.
Di hadapannya terlihat sosok Azkiya yang tengah berdiri menatapnya.
Arza menutup wajah dengan telapak tangannya. Ia benar-benar frustasi.
“Sepertinya halusinasiku makin parah,” monolog Arza dalam batinnya.
Dengan mata tertutup, perlahan Arza menghembuskan nafasnya beberapa kali. Ia mencoba untuk tenang saat seperti ini.
Gejala PTSD yang ia alami sepertinya semakin parah. Ia harus menemui psikiatrenya lagi pikir Arza.
Lelaki itu kemudian kembali berbalik dan berniat untuk melanjutkan langkah.
Namun, tiba-tiba ada seseorang yang mencekal tangannya dari belakang.
“Kamu sakit, Kak?”
Seketika Arza membeku. Perlahan kepalanya menoleh ke bawah. Tepatnya ke arah tangannya yang dicekal.
Arza termenung. Apakah halusinasinya separah itu hingga ia bisa merasakan sentuhan tangan Azkiya?
Tapi itu tidak mungkin pikir Arza.
Dengan hati yang berkecamuk Arza menolehkan k
Mata Arza kini tertuju pada benda yang ada di hadapannya. Lelaki itu tak gegas langusng mengambilnya, melainkan tertegun beberapa saat.Arza kemudian beralih melihat Azkiya. Perempuan itu hanya membisu seraya menyuruh Arza mengambil map tersebut dengan wajahnya.“Surat cerai?” monolog Arza dalam hatinya.Seketika perasaannya menjadi tidak karuan. Arza mendadak takut.“Apa kamu sudah menandatanganinya?” tanya Arza dengan hati yang entah.Azkiya hanya menjawab pertanyaan Arza dengan senyum tipisnya. Membuat hati Arza semakin resah.Tapi bukankah bagus jika Azkiya sudah menyetujui pereraian ini? Ada apa dengan hatinya? Pikiran dan hati Arza mulai berseberangan.Arza meraih map tersebut dengan perasaan gamang. Ia menatapnya sejenak.Padahal ia sendiri yang menyiapkan surat cerai tersebut. Tapi kini Arza justru malah takut dan tak berharap Azkiya menyutujuinya.Arza mungkin bisa menyembunyikan wajah gu
Dua orang itu saling menunjuk satu sama lain dengan ekspresi terkejut.“Mas yang membantu saya waktu itu bukan?” tanya Azkiya memastikan bahwa tidak salah orang.Lelaki itu mengangguk.”Mbak yang waktu itu tersesat?”Azkiya juga membenarkan pertanyaan lelaki itu dengan antusias.Azkiya kemudian mempersilakan lelaki itu untuk duduk di meja yang masih kosong.Selang beberapa saat Azkiya kembali dengan nampan di tangannya. Ia lalu menyanyikan minuman serta makanan yang dibawanya.“Silakan,” ujar Azkiya ramah.Sesaat Azkiya melihat lelaki itu dari atas hingga bawah. Penampilan lelaki itu sangat berbeda dengan yang waktu itu.Lelaki itu memakai setelan kemeja panjang yang menutupi tato di tangannya. Rambutnya juga tertata rapi.“Sekali lagi terima kasih untu bantuannya saat itu,” tukas Azkiya yang masih berdiri di hadapan lelaki itu.Lelaki itu menggeleng sambil tersenyum.”Bukan apa-apa, Mbak.”Waktu masih belum terlalu siang sehingga kafe belum terlalu ramai. Azkiya memiliki waktu untuk s
Mendengar kata cemburu membuat Arza tertegun. Ia kemudian menatap Azkiya dengan ekspresi yang sulit diartikan.Tiba-tiba terdengar suara pintu yang dibuka oleh seseorang dari luar.Tatapan keduanya langsung beralih ke sumber suara.Ternyata itu adalah Ria.Wanita itu tampak terkejut saat mendapati Arza dan Azkiya berada di ruangan tersebut.Ria berjalan dengan pongahnya. Ia menatap Azkiya dengan tatapan tak sukaPerbincangan mereka berakhir seketika dan pertanyaan Azkiya menguap begitu saja.Azkiya memutar bola mata malas melihat kedatangan wanita menyebalkan itu. Ia membuang pandangan ke arah lain dan tetap berdiri di tempat yang sama.Ria menatap Azkiya dari atas hingga ke bawah. Namun, kali ini Azkiya tak menghindar ataupun takut. Ia justru membalasnya dengan tatapan yang sama.“Sayang!” Ria memutus kontak matanya dengan Azkiya dan kini beralih pada Arza.Lelaki itu hanya diam dan tak merespon pangg
Saat Arza berkata ingin memberitahukan sesuatu, Ria mulai merasa aneh.Ditambah lelaki itu menatapnya sekilas sebelum berbicara. Kekhawatiran mulai menyelimuti hati Ria.Apakah Arza akan mengungkapkan kebenaran tentang sikap buruknya? Ria mengepalkan tangannya dengan perasaan tak tenang.“Sebenarnya…”Mahendra menatap lelaki itu dengan intens.“Saya merasa belum siap secara mental, Pak.”“Selain itu saya masih ingin mengembangkan diri lagi dalam berbisnis,” tutur Arza dengan suara pelan.Tentu saja. Itu hanyalah alasan yang sengaja Arza buat untuk terus mengulur waktu.Entah sampai kapan. Mungkin sampai Arza siap untuk memberitahu Mahendra semua kebenarannya.Perasaan lega merambah di hati Ria saat mendengar ucapan itu. Ia pikir nasib dirinya akan habis hari ini juga.Tapi tentu saja ia juga kecewa karena Arza menolak menikahinya dalam waktu dekat.Mahendra terdiam. Ia lalu menganggukkan kepalanya seraya tersenyum ke arah Arza.Waktu berlalu begitu cepat. Matahari bahkan sudah pulang k
Langkah kaki Azkiya terlihat pasrah mengikuti tarikan tangan suaminya.Bukan tanpa sebab. Arza melakukannya karena merasa bertanggung jawab atas pegawainya.Namun, kali ini sedikit berbeda. Ada rasa khawatir yang mengusik hati lelaki itu.Sampai di dalam, Arza melepaskan tangan Azkiya. Lelaki itu kini beralih menuju laci meja kerjanya.Arza membungkukkan tubuh dan mulai mencari sesuatu di sana.Sementara Azkiya hanya berdiri memperhatikan.Setelah beberapa saat, Arza mendapatkan apa yang dicari. Ia kemudian beralih menuju sofa.“Obati lukamu!” titah Arza seraya menatap Azkiya.Arza meletakkan kotak P3K yang ia bawa tadi di atas meja.Meski masih merasa heran, tak ayal Azkiya tetap menurut. Perempuan itu segera mendekat lalu duduk di sofa.Arza kembali ke meja kerjanya. Ia duduk dengan laptop yang menyala di hadapannya.Dengan hati-hati Azkiya membersihkan darah yang masih keluar.Azkiya l
Azkiya menatap ke atas lemari. Bukan. Lebih tepatnya ke arah koper yang tersimpan di atas sana.Setelah selesai makan malam tadi Azkiya langsung bergegas masuk ke kamar.Mertuanya melarang Azkiya untuk membereskan bekas makan malam saat melihat tangan Azkiya yang terluka.Lina juga sempat memarahi Arza yang dinilai lalai menjaga Azkiya.Beruntung Azkiya bisa mengelak dan membela suaminya sehingga omelan mertuanya tidak berlangsung lama.Akhirnya Azkiya memilih untuk berkemas karena besok mereka akan berangkat pagi-pagi.Ya. Mereka berdua tak punya pilihan lain selain berangkat untuk bulan madu.Azkiya berjinjit. Tangannya mencoba meraih koper di atas sana.Tapi itu terlalu tinggi. Azkiya bahkan tak bisa menyentuh ujung lemari meski sudah berjinjit.Azkiya mengedarkan pandangannya ke sekitar.“Ah! Itu dia!” gumamnya saat melihat kursi kecil yang biasa ia gunakan saat duduk di meja rias.Segera Az
“Kak! Lihat itu!”Mendengar Azkiya yang berseru, Arza lantas mengalihkan pandangannya ke arah yang ditunjuk.Tapi Arza tidak menemukan sesuatu yang aneh selain kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang.Arza bertanya lewat tatapannya pada Azkiya. Dahinya mengernyit bingung.“Lihat itu!”“Badutnya lucu!” seru Azkiya seraya menunjuk ke arah lua.Memang benar, di kejauhan Arza melihat pengamen yang menggunakan kostum badut.Arza kembali menatap perempuan di sampingnya dengan datar. Ia kira Azkiya melihat sesuatu yang penting. Ternyata hanya badut.“Hehe.” Azkiya tertawa canggung kala melihat ekspresi Arza yang terlihat tak antusias. Ia kembali menghadap ke arah depan.“Arza!” seru seseorang yang membuat Arza sadar jika teleponnya masih tersambung.“Kamu sedang bersama perempuan miskin itu?”Ya. Orang yang sedang berbicara dengan Arza di telepon adalah Ria.Arza menghembuskan nafasnya. Ia terlihat kesal.Sementara Azkiya hanya diam dan sesekali melirik ke arah Arza. Ia tidak tahu siapa yang
Arza teremenung.Tapi tidak ada yang salah sebenarnya, berharap apa dia dari vila yang memang dijadikan tempat untuk honeymoon?Lelaki itu mengusap wajahnya pelan lalu menunduk.Apa yang akan ia lakukan selama tiga hari di tempat ini? Bahkan liburanpun menjadi beban tersendiri bagi Arza.Dengan lemas Arza kembali merebahkan tubuhnya. Ia berpikir mungkin hanya akan tetap berbaring di tempat ini selama tiga hari ke depan.Belum lama Arza memejamkan matanya, suara seseorang memaksanya kembali sadar.“Kak!”Arza membuka matanya malas.Tampak Azkiya yang sudah berdiri tepat di sampingnya.Arza bertanya lewat tatapannya.“Aku lapar,” lirih Azkiya.Gegas lelaki itu bangkit dari tidurnya. Arza mengangkat tangan untuk melihat jam yang melingkar di pergelangannya.Ternyata sudah masuk waktu makan siang.Akhirnya Arza beranjak dari kamarnya dengan Azkiya yang mengekor dari belakang.Beruntung villa tersebut memiliki restoran khusus sehingga memudahkan para tamu untuk makan.Selepas mengisi perut
“Tidak.”“Tidak mungkin!” lirih Azkiya dengan wajah yang sudah pucat pasi. Tangannya mulai gemetar tidak karuan.Kepalanya menggeleng perlahan. Ia terus menyangkal meski hatinya mulai terbawa oleh ucapan Ria.“Kebohongan apalagi yang kau katakan?!” Azkiya menatap tajam Ria dengan mata yang tampak bergetar.Ria kembali merogoh tasnya. Kali ini ia mengambil ponsel miliknya.Wanita itu mengutak-ngatik benda pipih itu beberapa saat. Tak lama Ria menyodorkannya ke hadapan Azkiya.Azkiya meraih benda itu lalu melihatnya.Sebuah foto terpampang di layar smartphone tersebut.Itu adalah foto Arza.Bersama Ria.Azkiya mematung. Matanya bahkan tidak berkedip untuk beberapa saat.Dalam foto tersebut tampak Arza yang terkapar tidak sadarkan diri di atas sofa. Dan tepat di sampingnya ada Ria yang tengah bersandar di dada lelaki itu.Tangan Azkiya memegang ponsel itu dengan sangat
Raut wajah Azkiya seketika berubah tidak senang.Bagaimana tidak, ternyata yang datang adalah seseorang yang selama ini ikut membuatnya menderita.Di hadapannya kini berdiri seorang wanita dengan penampilan glamournya.Wanita itu tersenyum manis. Tapi mampu membuat Azkiya muak saat melihatnya.Dia adalah Ria.Untuk sesaat dua orang itu terdiam sambil menatap satu sama lain.“Ada perlu apa?” tanya Azkiya datar.Ria menaikkan satu alisnya ke atas. Matanya memindai Azkiya dari atas hingga bawah sambil tersenyum remeh.“Apa seperti ini caramu memperlakukan seorang tamu?”“Kau bahkan tidak membiarkanku untuk duduk terlebih dahulu,” cibir Ria.“Ada perlu apa?” Azkiya tidak menggubris cibiran Ria. Ia kembali memberikan pertanyaan yang sama.Ria memasang wajah tidak suka.“Jangan berlagak sok!”“Ingat dari mana kau berasal! Dasar perempuan miskin!” cerca Ria dengan wajah sinis.Wanita itu kemudian melangkah masuk seraya menyenggol bahu Azkiya dengan cukup keras.Ria berjalan menuju ruang tamu
Lina menoleh ke samping.Mereka beradu pandang sesaat.Tak lama Lina dengan cepat memutuskan kontak matanya.Ia menunduk menatap ke bawah untuk menghindari tatapan mata Azkiya.Tiba-tiba perasaan Lina menjadi tidak nyaman saat Azkiya bertanya hal tersebut."Tidak!""Ibu tidak pernah memberi sumbangan ke panti asuhan," ujar Lina tanpa menatap Azkiya. Suaranya terdengar gugup.Ia berusaha untuk bersikap seperti biasanya. Tapi wajah tetap tidak bisa berbohong.Sangat jelas jika saat ini ia sedang gugup."Memangnya kenapa?" tanya Lina.Azkiya sedikit tersentak karena tengah melamun."Ah?""Tidak apa-apa, Bu. Aku hanya sedikit penasaran karena Ibu dulu sangat baik padaku," jelas Azkiya seraya tersenyum canggung.Suasana menjadi hening setelah itu.Baik Azkiya maupun Lina hanya membisu hingga pekerjaan mereka selesai.Arza tampak sudah berbaring saat Azkiya masuk ke dalam kamar.
“Sepertinya Ibu tidak asing dengan mertuamu,” ujar Laila seraya menunjuk foto Lina yang terpampang di layar ponsel.Matanya menyipit. Laila berusaha mengingat-ngingatnya kembali.Azkiya tampak terkejut.”Ibu mengenalnya?”Laila tidak langsung menjawabnya, ia masih mencoba menerka-nerka. Ponsel tersebut beberapa kali diangkat agar Laila bisa melihatnya lebih dekat.“Tunggu!” Laila tampaknya menemukan kembali potongan ingatannya.“Benar!”“Ini beliau,” ujar Laila seraya menatap Azkiya.Azkiya terbengong. Ia menunggu kelanjutan dari ucapan Laila.“Ibu mengenalnya?” tanya Azkiya tidak sabar.Kepala Laila mengangguk mantap.“Bu Lina.”“Dulu dia donatur tetap di panti ini,” tutur Laila. Ia menyerahkan kembali ponsel tersebut kepada Azkiya.Mata Azkiya melebar.”Benarkah?”Ia tampak heran karena
Alwi menatap kedatangan Ria sekilas, ia kemudian kembali mengalihkan pandangannya ke depan.“Kamu sudah lama menungguku?” Ria menjatuhkan bokongnya di bangku tepat di samping Alwi.“Langsung saja pada intinya.”“Kenapa kau ingin bertemu denganku?” tanya Alwi datar.Ia awalnya berniat mengabaikan permintaan Ria yang ingin bertemu dengannya. Tapi Alwi takut ada sesuatu yang penting yang ingin Ria bicarakan.“Hei! Santai saja!”“Kau seperti tidak mengenalku saja,” celetuk Ria seraya terkekeh.Mereka berdua memang sudah saling mengenal satu sama lain cukup lama. Tepatnya saat Ria mulai dekat dengan Arza.Karena itu Alwi sudah cukup tahu banyak tentang Ria, termasuk sifat liciknya.“Aku ingin mengajakmu bekerjasama,” ujar Ria.Alwi mengernyit. Kerjasama?Ria menoleh ke samping untuk menatap Alwi.”Bantu aku mendapatkan Arza kembali.”Seketika Alwi terkejut. Wajahnya tercengang tidak percaya.Mendengar ucapan Ria yang menurutnya sangat konyol, Alwi lantas bangkit dan berniat meninggalkan tem
Permasalahan mengenai fitnah tersebut tampaknya sudah selesai setelah kepergian Gama.Lina berkali-kali meminta maaf kepada Azkiya karena sempat percaya dengan ucapan lelaki tersebut.Tapi Azkiya tidak terlalu mempermasalahkan hal itu.Ia memaklumi respon dari mertuanya, Azkiya pikir wajar dan siapapun akan percaya saat Gama mengatakan kebohongan tersebut.Apalagi fakta bahwa mereka memang pernah bertemu semakin mendukung kebohongan itu.Meski begitu, tampaknya semua belum selesai bagi Arza.Entah mengapa lelaki itu terus membisu.Setelah kepergian Gama, Arza terus berdiam diri di kamarnya hingga malam tiba.Azkiya mencoba memahaminya.Ia pikir Arza masih shock dengan kejadian tadi dan emosinya belum stabil.Seperti tidak terjadi apa-apa, Azkiya beraktivitas seperti biasanya.Ia bahkan memasak untuk makan malam.Namun, Arza masih tampak berbeda. Ia bahkan tidak mengatakan sepatah katapun saat makan malam.Lelaki itu hanya menggeleng atau mengangguk untuk menjawab setiap Azkiya bertany
Gama menggaruk kecil ujung alisnya, ia tampak berpikir sejenak."Eeh.""Itu...."Azkiya masih menunggu. Ia sudah sangat yakin akan kebohongan yang Gama ucapkan."Sudah dua bulan!""Ya! Sudah dua bulan," ujar Gama sambil tersenyum canggung.Azkiya tersenyum miring saat mendengar jawaban itu."Benarkah?" tanya Azkiya memancing.Wajah Gama tampak canggung, ia menatap kesana kemari untuk menghindari Azkiya."Jadi di mana kita bertemu untuk pertama kalinya?" Lagi Azkiya bertanya.Arza dan Lina tampak heran dengan apa yang Azkiya lakukan, tapi mereka hanya diam dan terus memperhatikan."Kita pertama kali bertemu di kota sebelah.""Apa kamu lupa? Aku yang menolongmu waktu itu," jelas Gama dengan percaya diri. Ia tidak sadar bahwa ucapannya adalah bumerang bagi dirinya sendiri."Ah, benar. Itu tepat saat pembukaan kafe suamiku di luar kota.""Jadi pasti aku ada di sana," ujar Azkiya seray
Arza masih menatap Azkiya tanpa mengatakan apapun. Kepalanya bergerak maju mendekat ada Azkiya.Jantung Azkiya sudah tidak aman. Tubuhnya tiba-tiba mematung tak bergerak.Jarak mereka semakin terkikis dan kini Arza sudah benar-benar menempel ada Azkiya.Tapi lelaki itu tiba-tiba berhenti bergerak."Aku tidak bisa tidur.""Bolehkah aku memelukmu?" tanya Arza dengan suara pelan. Ia tampak ragu saat mengatakannya."H-hah?""Tentu saja." Meski sedikit terkejut, tapi Azkiya akhirnya mengizinkannya.Tangan Arza bergerak perlahan ke atas tubuh Azkiya.Arza memeluk pinggang ramping perempuan itu.Sementara wajahnya ia tempelkan menempel pada pundak Azkiya.Azkiya hanya terdiam dan membiarkan Arza melakukan apapun yang lelaki itu inginkan.Ia meletakkan kedua tangannya di atas lengan kekar Arza lalu mengusapnya lembut.Ujung matanya melirik ke arah Arza. Lelaki itu tampak terpejam, sepertinya mencoba u
Azkiya tampak menggenggm garpu dan memilah-milah buah yang ada di piring. Tapi ia tak kunjung memakannya.Kepalanya menunduk. Ia menatap piring di hadapannya sambil melamun.Terdengar suara pintu kamar mandi yang terbuka.Seorang lelaki keluar dengan handuk yang bertengger di pinggangnya.Arza selesai dengan ritual mandinya.Azkiya menunduk semakin dalam saat mendengar suara langkah Arza padahal lelaki itu berjalan menuju lemari.Tampaknya Arza akan memakai pakainnya.Mengetahui hal itu, Azkiya baru sadar jika dia masuk ke kamar terlalu cepat. Biasanya ia akan menunggu hingga suaminya selesai lebih dulu.Ia ingin keluar dari sana. Tapi tubuhnya serasa membeku.Otak Azkiya seperti linglung, ia tidak tahu harus melakukan apa.Azkiya tidak bergerak sedikitpun. Matanya tetap menatap ke bawah. Ia tak berniat untuk melirik meski sekilas.Tak lama Arza sudah selesai memakai pakaiannya dengan rapi.Lelaki itu kemudian melangkah menuju sofa. Ia menatap Azkiya yang masih mematung dengan posisi