Hi readers! Gimana? seru kan ceritanya? terus nantikan dan ikuti perjalanan Aazkiya, ya! mohon maaf atas keterlambatan update hari ini.
“Mbak!”“Mbak!”Panggilan lelaki itu menyadarkan Azkiya.Mata Azkiya mengerjap. Ia tersadar.“Jangan takut Mbak! Saya bukan orang jahat,” ujar lelaki tersebut. Ia menyadari gelagat ketakutan Azkiya.Bibir Azkiya tersenyum canggung. Ia merasa bersalah karena bertingkah seperti tadi.Azkiya menyibak poninya gugup lalu membungkuk sedikit sebagai permohonan maaf.Lelaki dengan penampilan bak preman dan beberapa tato di tangannya itu membalas senyum Azkiya.“Saya lihat Mbak seperti sedang bingung.”Azkiya menatap ujung sandalnya sekilas lalu kembali beralih pada lelaki di hadapannya. Wajahnya terlihat ragu untuk mengucapkan sesuatu.Sebuah angkutan umum melaju dengan kecepatan sedang. Azkiya duduk tepat di belakang sopir. Rambutnya terbang karena tersapu oleh angin.Sementara lelaki tadi duduk berjarak di samping Azkiya. Setelah perbincangan singkat tadi akhirnya Azkiya diantar oleh lelaki tersebut menuju ….. . Awalnya Azkiya ragu dan takut. Tapi setelah melihat bagaimana cara bicara lela
Arza menggeliat dari tidurnya. Lelaki itu membuka mata perlahan lalu mengerjap beberapa kali.Hampir semalaman Arza hanya diam termenung dan baru bisa tertidur saat sepertiga malam.Lelaki itu memutuskan untuk menginap di kafe. Ia tertidur di atas sofa yang hanya berukuran sebesar tubuhnya.Perlahan Arza bangkit dari pembaringannya lalu mengambil kunci mobil dan ponselnya. Ia bahkan tak mencuci mukanya dan langsung pergi begitu saja.Entah apa yang ada dalam pikirannya. Saat itu Arza hanya ingin pulang.Ia ingin melihat Azkiya.Matahari telah muncul dari peraduannya sejak tadi. Arza memarkirkan mobilnya dengan perlahan. Ia telah sampai di rumah dengan selamat.Arza menatap ke arah pintu rumah yang masih tertutup.Lelaki itu kemudian menjatuhkan pandangannya ke arah balkon kamar. Sepi. Tirainya juga masih tertutup.“Apa Azkiya sudah berangkat?” Monolog Arza dalam hatinya. Ia melirik pergelangan tangannya untuk melihat jam. Masih terlalu pagi untuk berangkat ke kafe.Akhirnya Arza melan
Azkiya terperanjat saat seseorang memegang bahunya dari belakang. Ia menoleh lalu mendapati Laila yang tengah menatapnya dengan heran.“Kenapa kamu melamun? Ada apa?” tanya Laila yang ikut duduk setelah menaruh minuman di atas meja.“Aku?” Azkiya tergagap. Ia mengusap-ngusap pahanya dengan telapak tangan.”Tidak ada apa-apa, Bu,” ujar Azkiya seraya menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan dengan pelan. Perempuan itu kemudian kembali mengarahkan padangannya ke depan.“Oh, iya. Kamu ke sini diantar oleh suamimu?”Pertanyaan yang keluar dari mulut ibu panti tersebut membuat Azkiya menoleh seketika.Azkiya tak langsung menjawab. Ia tertegun sesaat.“Suamiku belum pulang dari luar kota. Jadi aku naik angkutan umum,” tutur Azkiya dengan senyum tipis.Sejujurnya Azkiya tidak tahu pasti apakah Arza sudah pulang atau belum. Saat ini Azkiya benar-benar tak ingin tahu tentang Arza, ia ingin mengistirahatkan hatinya lebih dulu.Laila melirik ke arah tas yang Azkiya bawa. Benda tersebut cukup b
Arza menoleh, mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara. Tampak Ria yang tengah berjalan ke arahnya.Jarinya urung menyentuh layar ponsel. Fokus Arza kini beralih pada wanita yang baru saja datang itu.“Kemarin aku datang, tapi kamu tidak ada.”“Kamu kemana?”Ria menghampiri Arza lalu berdiri tepat di samping lelaki itu.Dengan santai Ria menaruh tangannya di pundak Arza. Ia merangkul lelaki itu seraya merapatkan tubuhnya.Wajah Arza terlihat sangat tidak nyaman dan risih.Dengan cepat ia menyingkirkan tangan wanita dari pundaknya. Hal itu membuat Ria terlihat kesal.“Kenapa mencariku?” tanya Arza dingin. Ia kemudian meletakkan ponselnya di atas meja.Meski Arza menolak rangkulannya tadi, Ria tidak kehabisan akal.Tangan Ria menggeser ponsel Arza yang tergeletak di atas meja. Wanita itu berniat untuk duduk tepat di hadapan Arza.Namun, tiba-tiba Ria tertegun. Ia menatap ponsel Arza yang masih menyala.Ria memicingkan matanya.”Sejak kapan kamu memiliki nomor wanita itu?”“Kamu akan
Jam pulang telah tiba. Satu persatu pegawai mulai meninggalkan kafe.Arza masih berada di dalam ruangannya. Matanya menatap laptop tapi pikirannya melayang entah kemana.Hembusan nafas berat keluar dari mulutnya. Arza melirik benda yang melingkar di tangan kirinya lalu menutup laptop. Ia bersiap untuk pulang.Terlihat beberapa pegawai masih ada di sana saat Arza keluar dari ruangannya.Kepala Arza celingukan kesana kemari seperti mencari seseorang. Tapi ia tak menemukannya.“Dimana dia?” gumam Arza seraya tetap mengedarkan pandangannya. Biasanya Azkiya berdiri di dekat kasir untuk menunggu Arza keluar.Namun, tiba-tiba Arza berhenti mencari. Ia baru sadar jika Azkiya memang tak ada.Tangannya meremas kunci mobil. Arza seperti orang bodoh saat ini. Apa yang terjadi padanya pikir Arza.Kemudian dengan langkah gontai Arza berjalan menuju pintu keluar.Jalanan tampak ramai seperti biasanya. Arza mengemudikan kend
Tangan Arza menarik gagang pintu agar terbuka sepenuhnya.Genderang jantung yang sedari tadi bertalu seakan terhenti kala matanya kini menatap dengan jelas seseorang yang tengah memegang selang.Seseorang yang tengah menyiram tanaman itu bukanlah Azkiya.Melainkan sang ibu.Gurat kekecewaan terukir di wajah Arza. Harapannya seketika hangus dan menguap begitu saja.Arza masih terdiam dengan posisi yang sama.Lina berbalik karena merasakan kehadiran seseorang yang tengah memperhatikannya.Melihat sang anak yang hanya termangu di mulut pintu membuat Lina terheran.Perempuan paruh baya itu kemudian melepaskan selang di tangannya dan beralih menghampiri sang anak.“Kamu baru bangun?” tanya Lina saat sudah berada di hadapan Arza. Pertanyaan sang ibu segera menyadarkan Arza dari kebisuannya.Mata Lina mengikuti arah pandang sang anak. Ia ingin tahu apa yang Arza lihat sehingga membuatnya melamun seperti itu.Tapi tak ada apapun di halaman.“Apa yang sedang kamu lihat Arza?”Tatapan Arza sege
Perlahan Arza berbalik.Di hadapannya terlihat sosok Azkiya yang tengah berdiri menatapnya.Arza menutup wajah dengan telapak tangannya. Ia benar-benar frustasi.“Sepertinya halusinasiku makin parah,” monolog Arza dalam batinnya.Dengan mata tertutup, perlahan Arza menghembuskan nafasnya beberapa kali. Ia mencoba untuk tenang saat seperti ini.Gejala PTSD yang ia alami sepertinya semakin parah. Ia harus menemui psikiatrenya lagi pikir Arza.Lelaki itu kemudian kembali berbalik dan berniat untuk melanjutkan langkah.Namun, tiba-tiba ada seseorang yang mencekal tangannya dari belakang.“Kamu sakit, Kak?”Seketika Arza membeku. Perlahan kepalanya menoleh ke bawah. Tepatnya ke arah tangannya yang dicekal.Arza termenung. Apakah halusinasinya separah itu hingga ia bisa merasakan sentuhan tangan Azkiya?Tapi itu tidak mungkin pikir Arza.Dengan hati yang berkecamuk Arza menolehkan k
Mata Arza kini tertuju pada benda yang ada di hadapannya. Lelaki itu tak gegas langusng mengambilnya, melainkan tertegun beberapa saat.Arza kemudian beralih melihat Azkiya. Perempuan itu hanya membisu seraya menyuruh Arza mengambil map tersebut dengan wajahnya.“Surat cerai?” monolog Arza dalam hatinya.Seketika perasaannya menjadi tidak karuan. Arza mendadak takut.“Apa kamu sudah menandatanganinya?” tanya Arza dengan hati yang entah.Azkiya hanya menjawab pertanyaan Arza dengan senyum tipisnya. Membuat hati Arza semakin resah.Tapi bukankah bagus jika Azkiya sudah menyetujui pereraian ini? Ada apa dengan hatinya? Pikiran dan hati Arza mulai berseberangan.Arza meraih map tersebut dengan perasaan gamang. Ia menatapnya sejenak.Padahal ia sendiri yang menyiapkan surat cerai tersebut. Tapi kini Arza justru malah takut dan tak berharap Azkiya menyutujuinya.Arza mungkin bisa menyembunyikan wajah gu
“Ayah!”Tiba-tiba Aluna berlari menghampiri dan langsung menubruk tubuh Arza. Seketika perhatian mereka langsung teralihkan pada gadis kecil itu.“Iya, kenapa?” tanya Arza seraya memegang tubuh putrinya.Aluna memegang telunjuk sang ayah lalu menariknya agar bangun dari duduknya. Arza bangun menuruti keinginan sang putri.“Ayo ke sana!” ajak Aluna seraya menunjuk ke suatu arah. Gadis itu ingin ayahnya ikut bergabung dan bermain bersamanya.Arza melirik ke arah Azkiya. Ia bahkan belum sempat menyelesaikan pertanyaannya tadi, padahal Arza sudah mempersiapkan diri untuk hal itu.Tetapi tidak ada yang bisa ia lakukan selain menuruti keinginan Aluna. Arza tidak sampai hati untuk menolak permintaan putrinya.Akhirnya Arza berjalan mengikuti langkah kecil Aluna. Matanya beberapa kali sempat melirik ke arah Azkiya. Perempuan itu hanya bisa tersenyum tipis karena sebenarnya ia juga penasaran dengan apa yang ingin Arza katakan.Tidak terasa mereka sudah seharian berada di pusat perbelanjaan ter
Arza tertegun sebentar sebelum akhirnya mengangguk pelan seraya tersenyum kecil.Saat menyetir Arza terus terngiang-ngiang ucapan Azkiya sebelum ia pergi tadi. Entah mengapa tiba-tiba ada yang menghangat di sudut hatinya saat kembali mengingat hal itu.Hatinya berdebar saat membayangkan wajah Azkiya. Bayangan perempuan tersebut membuat Arza terus tersenyum sepanjang perjalanan menuju rumah.Lelaki itu bersumpah perasaannya pada Azkiya tidak pernah berubah sedikitpun.Keesokan paginya saat Aluna bangun ia langsung langsung menanyakan keberadaan sang ayah. Gadis kecil itu berpikir akan hidup satu rumah dengan ayahnya.“Bunda!” seru Aluna.“Hem?” Azkiya tengah sibuk menyiapkan bekal untuk dibawa putrinya ke sekolah.“Kenapa ayah tidak tinggal bersama kita?” tanya Aluna polos.Azkiya tertegun sejenak. Ia bingung bagaimana menjelaskan mengenai perceraian pada anak sekecil itu.“Aku ju
“Aku tidak akan menyarankan apapun. Keputusan ada padamu, Azkiya,” ujar Alwi.Azkiya tampak bingung setelah mendengar celotehan Aluna mengenai nenek dan kakeknya.Selama ini, Azkiya memang tidak pernah menunggu Aluna saat gadis kecil itu bersekolah karena ia memang harus bekerja.Azkiya hanya akan mengantarnya saat berangkat lalu menjemputnya saat waktu pulang tiba.Perempuan itu mendesah pelan setelah cukup lama berpikir. Meski ia dan Arza sudah berpisah, tapi Aluna tetaplah bagian dari keluarga Arza.Aluna tampak sangat gembira duduk di dalam mobil Arza. Gadis itu tak berhenti berceloteh membicarakan apapun yang ia lihat di sepanjang jalan.Setelah berpikir cukup lama, akhirnya Azkiya menerima ajakan Arza untuk membawa putri mereka menemui neneknya.Sesekali Arza tersenyum mendengar ocehan Aluna yang duduk di belakang bersama Azkiya. Arza sadar mungkin kebahagiaan ini tidak pantas ia dapatkan, tapi hari ini adalah
“Aluna! Kamu tidak apa-apa?”“Oh! Bunda! Iya, tadi Om ini menolongku,” jawab gadis kecil yang ternyata bernama Aluna tersebut.“Benarkah?” Seseorang yang dipanggil bunda tersebut kembali menanggapi.Arza masih terpaku dalam posisinya. Ia berjongkok membelakangi orang tua dari anak tersebut. Jantungnya mendadak berdebar. Apakah suara itu benar milik seseorang yang ia kenal?“Kamu harus mengucapkan terima kasih padanya!”“Terima kas….”Perempuan tersebut membeku dan tidak sempat menyelesaikan ucapannya saat Arza membalikkan tubuhnya.Arza mematung di tempatnya. Begitu juga perempuan tersebut yang terdiam seketika dengan mata membulat sempurna.Dua orang tersebut saling menatap satu sama lain dengan perasaan yang campur aduk.“Azkiya,” lirih Arza dengan suara yang hampir tidak terdengar.“Bunda?” panggil Aluna yang merasa heran
“Arza!” pekik Alwi saat melihat pemandangan di kamar Arza.Tampak Arza tengah berdiri di balkon. Sekilas tak ada yang salah memang. Namun, yang membuat Alwi segera berlari menghampiri adalah karena Arza berdiri di atas kursi tepat di depan pagar yang menjadi pembatas balkon.Benar. Arza memang berniat mengakhiri hidupnya.Alwi berlari dengan cepat lalu segera menarik tubuh Arza agar turun dari kursi tersebut. Ia kemudian membawa Arza menjauh dari pinggir balkon.Alwi benar-benar terkejut dengan apa yang ia lihat. Wajahnya tampak sangat tegang dan penuh ketakutan.“Apa yang akan kau lakukan, hah?” pekik Alwi. Ia menatap sahabatnya itu dengan segala emosi yang seketika bercampur baur.Tetapi tidak ada respon apapun dari Arza. Lelaki itu hanya diam seraya menatap lurus ke depan. Tatapannya kosong seperti tanpa jiwa.“Arza!”“Dengarkan aku!” bentak Alwi seraya mengguncang tubuh lelaki
“Dengan sadar aku menjatuhkan talak padamu.”Kalimat talak Arza bercampur dengan suara air hujan mengalun lirih di telinga Azkiya.“Seperti permintaanmu aku akan mengurus perceraian kita. Jadi, kamu tidak perlu datang,” ujar Arza.Gelegar petir menyambar mengiringi jatuhnya air mata dari sudut mata Arza. Lelaki itu semakin mengeratkan genggamannya pada payung, ia berusaha menahan sesak yang semakin menghimpit dadanya.Tak ada satu katapun yang keluar dari mulut Azkiya sebagai tanggapan dari ucapan Arza. Perempuan itu membeku mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar.Azkiya terpaku saat rasa sakit mulai merambah dalam hatinya. Meski ini yang Azkiya inginkan, tetap saja ia tidak dapat mengelak bahwa perasaannya hancur kala kata talak keluar dari mulut Arza.Mulut Azkiya terkatup rapat tetapi air matanya mengalir semakin deras. Ia berusaha menahan tangisnya agar tidak meledak di hadapan Arza.“Maaf, karena sampai akhir aku masih tidak mampu membahagiakanmu,” lirih Arza.Kakinya mela
Pukulan terakhir dari Alwi membuat Arza terkapar. Tidak ada perlawanan sama sekali dari Arza, lelaki itu benar-benar sudah pasrah.Alwi duduk di samping Arza yang terbaring di bawah. Ia mengatur nafasnya perlahan untuk meredam emosi yang sempat meluap.“Tolong sampaikan maafku pada Azkiya,” pinta Arza yang masih berada di posisi sebelumnya. Matanya menatap ke arah langit.“Tidak.”“Katakan pada Azkiya dengan mulutmu sendiri!” tolak Alwi dengan cepat. Ia sadar tidak berhak masuk ke dalam urusan tersebut karena ini menyangkut hubungan mereka berdua.Alwi bangkit dari duduknya. Ia berdiri membelakangi Arza.“Selesaikan semua ini!”“Kau harus melanjutkan hidup apapun yang terjadi!” tukas Alwi.Arza hanya terdiam mendengar ucapan Alwi. Melanjutkan hidup? Arza bahkan rasanya ingin menghilang dari muka bumi ini.“Obati lukamu!” ujar Alwi sebelum akhirnya mele
Tangannya gemetar saat memegang kertas tersebut. Arza tertegun cukup lama dengan netra yang berkaca-kaca.“Benarkah ini?” lirih Arza. Ia sungguh ingin mempercayai bahwa apa yang ia lihat tidaklah nyata. Tetapi tanda tangan Azkiya di kertas tersebut tidak dapat disangkal.Surat yang dulu pernah ia siapkan untuk perceraian kini benar-benar ditandatangani oleh Azkiya.Arza meremas kertas itu dengan kuat seiring rasa sakit yang makin menyesakkan dadanya. Apakah pernikahannya akan benar-benar berakhir seperti ini?Arza menggeleng. Lelaki itu kemudian bangkit dari duduknya. Ia menyambar kunci mobil di atas nakas lalu melangkah cepat keluar dari kamar.Kebahagiaannya bersama Azkiya terlalu cepat berakhir. Ini bahkan tidak sebanding dengan usaha Arza untuk menerima kehadiran perempuan itu dalam hidupnya.Kakinya melangkah dengan cepat menuruni tangga. Pikirannya kini hanya tertuju pada Azkiya. Arza harus bisa menemukan perempuan itu baga
Azkiya langsung tertegun. Matanya berkaca-kaca mendengar ucapan yang baru saja keluar dari mulut Atifa.“Apa kamu yakin Arza berkata jujur?” tanya Azkiya memastikan. Ia sepertinya trauma dengan semua kebohongan yang ditujukan padanya.“Dia mengatakannya kepadaku dan Alwi kemarin. Aku tidak melihat kebohongan di matanya,” jelas Atifa. Ia merasa serba salah saat mengatakannya. Pasalnya, Alwi bersikeras untuk tidak memberitahu Azkiya tentang hal itu.Tak ada tanggapan apapun. Azkiya hanya termangu dengan tatapan entah kemana.“Kemarin Alwi menghajarnya,” cicit Atifa yang masih bisa terdengar oleh Azkiya.“Kondisinya sangat memprihatinkan. Dia tidak pernah berhenti mencarimu, Azkiya,” tambah Atifa. Hatinya merasa dilema saat mengatakannya.Seketika Azkiya mengalihkan pandangannya. Air matanya mulai berjatuhan saat ia menatap sahabatnya itu.Ada rasa perih disudut hatinya saat mendengar hal t