Bukannya ikut berjalan Azkiya justru malah terpaku sambil menengadah menatap Arza. Proporsi tubuh Arza yang tinggi memang membuat Azkiya harus mengangkat wajahnya saat ingin menatap sang suami.
Otomatis Arza juga ikut berhenti dan menahan langkahnya karena Azkiya tak bergerak.
“Ada apa lagi?” tanya Arza sambil menoleh. Ia menatap gandengan tangannya pada Azkiya. Arza tersadar, lalu gegas melepaskan genggamannya.
“Tetap berjalan di belakangku!” tukas Arza seraya melanjutkan langkahnya.
Azkiya mengulum senyum melihat tingkah Arza. Kemudian ia bergegas untuk menyusul langkah lelaki itu.
Tatapan Arza menyapu seluruh toko yang ada di hadapannya.”Apa saja yang kamu butuhkan?”
Azkiya hanya terdiam.
Merasa tak ada jawaban membuat Arza frustasi.”Ibu menyuruhmu untuk membeli apa?”
“Baju, tas…” Azkiya diam sejenak untuk berpikir. Ia menggenggam tali tas slempangnya dengan
Kaki Azkiya terus berjalan mundur seiring lelaki asing tersebut mendekat. Perasaannya sudah tak karuan.“Apa yang akan kau lakukan?” Arza tiba-tiba muncul entah dari mana. Ia menarik Azkiya agar berdiri di belakangnya.Arza menatap lelaki asing di hadapannya dengan tajam dari atas hingga bawah.“Jawab!” Arza mendorong bahu lelaki itu.Dorongan Arza cukup kuat sehingga lelaki asing tersebut terpental ke belakang dan hampir terbentur mobilnya sendiri.“Siapa kau tiba-tiba ikut campur?” tanya lelaki itu dengan nada bicara tak senang.“Aku suaminya! Kau siapa?!”Seketika wajah lelaki itu berubah pias. Ia terkejut saat mendengar kata suami yang meluncur dari mulut Arza.Dengan tergesa lelaki itu masuk ke dalam mobilnya. Arza berniat mengejar tapi langsung ditahan oleh Azkiya.Mobil tersebut langsung melesat pergi meninggalkan parkiran.Arza berbalik menghadap pada Azkiya.”Ada yang terluka?”Kepala Azkiya menggeleng. Tidak ada yang terluka, Azkiya hanya takut.Arza menatap Azkiya yang terli
Tangan Arza meraih plastik kecil itu. Matanya mengernyit saat menatap benda tersebut. Ia merasa tidak asing dengan pil yang ada di dalamnya.Azkiya berbalik setelah menaruh belanjaannya di atas sofa. Betapa terkejutnya ia saat melihat Arza yang tengah memegang pil tersebut.Dengan cepat Azkiya berjongkok lalu merampas plastik kecil itu dari tangan Arza.Tatapan Arza beralih saat pil tersebut sudah berpindah tangan. Ia menatap Azkiya yang kini sudah berada di hadapannya.“Biar aku saja!” ujar Azkiya seraya mengumpulkan satu persatu barang yang berceceran di lantai. Tangannya bergerak dengan begitu cepat seolah takut orang lain mengambil barang miliknya.Sementara Arza hanya terdiam dan membiarkan Azkiya melakukan keinginanya.“Obat apa itu?”Tangan Azkiya yang semula hendak meraih ponsel seketika berhenti. Ia terpaku dengan jantung yang mulai berdebar tak karuan.“Hah? O-obat tadi?” tanya Azki
Azkiya termenung. Matanya terkunci pada sosok yang tengah tersenyum sinis sambil menatapnya.“Hai sayang!” sapa Ria pada Arza. Tapi matanya tetap tak beralih dari Azkiya.Tatapan Azkiya beralih pada Arza. Ia meminta penjelasan lewat matanya. Tapi lelaki itu tak mengatakan sepatah katapun.Azkiya melengos ke depan. Ia benar-benar tak percaya dengan semua ini. Mengajak Ria?“Aku harus duduk dimana? Tak mungkin di belakang bukan?” tanya Ria dengan suara yang dibuat manja. Azkiya merasa jijik mendengarnya.“Duduklah dimanapun kau mau,” seloroh Arza yang membuat Azkiya kembali terkejut.Ria tersenyum penuh kemenangan.”Aku ingin duduk di sampingmu.”Arza langsung menoleh ke samping menatap Azkiya. Raut wajah itu mengatakan segalanya.Tentu saja. Azkiya sudah dapat menebak apa yang Ria inginkan. Hatinya penuh dengan kekesalan. Ingin rasanya Azkiya membantah tapi sudah pasti hal itu akan
Tatapan Arza dan Azkiya beradu. Dua orang itu saling menatap untuk sesaat.Wajah Azkiya sudah memerah, netranya mulai digenangi air mata. Tapi hal itu tak berlaku untuk Arza. Lelaki itu justru menatap Azkiya dengan wajah dinginnya.Tak ada penyesalan di wajah Arza.Setelah beberapa saat Arza memutuskan kontak matanya dengan Azkiya. Ia melengos menatap ke sembarang arah. Lelaki itu bahkan tak berkutik saat Ria melingkarkan jari jemarinya di lengan Arza.Tempat itu di penuhi dengan sorak sorai. Atmosfer bahagia seakan melingkup tiap manusia yang ada di sana. Terkecuali Azkiya.Dadanya sesak seakan tak ada oksigen di sekitarnya. Dia satu-satunya manusia yang menahan tangis di saat semua orang tertawa.Azkiya menggerakkan kakinya perlahan ke belakang. Ia harus pergi secepatnya dari sana sebelum air matanya tumpah.Azkiya mengayunkan kakinya dengan perlahan. Wajahnya tertunduk menghindari tatapan orang-orang.Air matanya tumpah sesaat setelah ia menutup pintu. Perempuan itu memutuskan untu
Butiran air mata terus berjatuhan meski Azkiya tak berkedip. Perempuan itu masih diam seraya menatap nanar lelaki di hadapannya.Pikirannya kalut. Azkiya tak lagi dapat berpikir harus melakukan apa.Azkiya berbalik. Dengan gamang ia melangkah lalu meraih tasnya yang tergeletak di sofa.Dengan langkah yang berat ia mengayunkan kakinya menuju pintu. Azkiya berjalan melewati Arza yang masih berdiri bagai patung.Hatinya benar-benar terluka. Azkiya bahkan tak sadar saat melewati Ria yang berdiri sambil menatapnya dengan sinis.Setelah melewati pintu, Azkiya dengan segera mengusap wajahnya yang basah. Ia tidak ingin menarik perhatian orang-orang saat melihatnya dengan keadaan yang kacau.Azkiya menunduk. Kakinya dengan cepat melangkah melewati orang-orang di sana. Perempuan itu akhirnya melenggang meninggalkan kafe.Dengan tergesa Alwi melangkah menuju ruangan tempat di mana Arza kini berada. Lelaki itu tengah mencari keberadaan Azkiya.Tangannya membuka pintu dengan kasar. Alwi melangkah m
“Mbak!”“Mbak!”Panggilan lelaki itu menyadarkan Azkiya.Mata Azkiya mengerjap. Ia tersadar.“Jangan takut Mbak! Saya bukan orang jahat,” ujar lelaki tersebut. Ia menyadari gelagat ketakutan Azkiya.Bibir Azkiya tersenyum canggung. Ia merasa bersalah karena bertingkah seperti tadi.Azkiya menyibak poninya gugup lalu membungkuk sedikit sebagai permohonan maaf.Lelaki dengan penampilan bak preman dan beberapa tato di tangannya itu membalas senyum Azkiya.“Saya lihat Mbak seperti sedang bingung.”Azkiya menatap ujung sandalnya sekilas lalu kembali beralih pada lelaki di hadapannya. Wajahnya terlihat ragu untuk mengucapkan sesuatu.Sebuah angkutan umum melaju dengan kecepatan sedang. Azkiya duduk tepat di belakang sopir. Rambutnya terbang karena tersapu oleh angin.Sementara lelaki tadi duduk berjarak di samping Azkiya. Setelah perbincangan singkat tadi akhirnya Azkiya diantar oleh lelaki tersebut menuju ….. . Awalnya Azkiya ragu dan takut. Tapi setelah melihat bagaimana cara bicara lela
Arza menggeliat dari tidurnya. Lelaki itu membuka mata perlahan lalu mengerjap beberapa kali.Hampir semalaman Arza hanya diam termenung dan baru bisa tertidur saat sepertiga malam.Lelaki itu memutuskan untuk menginap di kafe. Ia tertidur di atas sofa yang hanya berukuran sebesar tubuhnya.Perlahan Arza bangkit dari pembaringannya lalu mengambil kunci mobil dan ponselnya. Ia bahkan tak mencuci mukanya dan langsung pergi begitu saja.Entah apa yang ada dalam pikirannya. Saat itu Arza hanya ingin pulang.Ia ingin melihat Azkiya.Matahari telah muncul dari peraduannya sejak tadi. Arza memarkirkan mobilnya dengan perlahan. Ia telah sampai di rumah dengan selamat.Arza menatap ke arah pintu rumah yang masih tertutup.Lelaki itu kemudian menjatuhkan pandangannya ke arah balkon kamar. Sepi. Tirainya juga masih tertutup.“Apa Azkiya sudah berangkat?” Monolog Arza dalam hatinya. Ia melirik pergelangan tangannya untuk melihat jam. Masih terlalu pagi untuk berangkat ke kafe.Akhirnya Arza melan
Azkiya terperanjat saat seseorang memegang bahunya dari belakang. Ia menoleh lalu mendapati Laila yang tengah menatapnya dengan heran.“Kenapa kamu melamun? Ada apa?” tanya Laila yang ikut duduk setelah menaruh minuman di atas meja.“Aku?” Azkiya tergagap. Ia mengusap-ngusap pahanya dengan telapak tangan.”Tidak ada apa-apa, Bu,” ujar Azkiya seraya menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan dengan pelan. Perempuan itu kemudian kembali mengarahkan padangannya ke depan.“Oh, iya. Kamu ke sini diantar oleh suamimu?”Pertanyaan yang keluar dari mulut ibu panti tersebut membuat Azkiya menoleh seketika.Azkiya tak langsung menjawab. Ia tertegun sesaat.“Suamiku belum pulang dari luar kota. Jadi aku naik angkutan umum,” tutur Azkiya dengan senyum tipis.Sejujurnya Azkiya tidak tahu pasti apakah Arza sudah pulang atau belum. Saat ini Azkiya benar-benar tak ingin tahu tentang Arza, ia ingin mengistirahatkan hatinya lebih dulu.Laila melirik ke arah tas yang Azkiya bawa. Benda tersebut cukup b
“Tidak.”“Tidak mungkin!” lirih Azkiya dengan wajah yang sudah pucat pasi. Tangannya mulai gemetar tidak karuan.Kepalanya menggeleng perlahan. Ia terus menyangkal meski hatinya mulai terbawa oleh ucapan Ria.“Kebohongan apalagi yang kau katakan?!” Azkiya menatap tajam Ria dengan mata yang tampak bergetar.Ria kembali merogoh tasnya. Kali ini ia mengambil ponsel miliknya.Wanita itu mengutak-ngatik benda pipih itu beberapa saat. Tak lama Ria menyodorkannya ke hadapan Azkiya.Azkiya meraih benda itu lalu melihatnya.Sebuah foto terpampang di layar smartphone tersebut.Itu adalah foto Arza.Bersama Ria.Azkiya mematung. Matanya bahkan tidak berkedip untuk beberapa saat.Dalam foto tersebut tampak Arza yang terkapar tidak sadarkan diri di atas sofa. Dan tepat di sampingnya ada Ria yang tengah bersandar di dada lelaki itu.Tangan Azkiya memegang ponsel itu dengan sangat
Raut wajah Azkiya seketika berubah tidak senang.Bagaimana tidak, ternyata yang datang adalah seseorang yang selama ini ikut membuatnya menderita.Di hadapannya kini berdiri seorang wanita dengan penampilan glamournya.Wanita itu tersenyum manis. Tapi mampu membuat Azkiya muak saat melihatnya.Dia adalah Ria.Untuk sesaat dua orang itu terdiam sambil menatap satu sama lain.“Ada perlu apa?” tanya Azkiya datar.Ria menaikkan satu alisnya ke atas. Matanya memindai Azkiya dari atas hingga bawah sambil tersenyum remeh.“Apa seperti ini caramu memperlakukan seorang tamu?”“Kau bahkan tidak membiarkanku untuk duduk terlebih dahulu,” cibir Ria.“Ada perlu apa?” Azkiya tidak menggubris cibiran Ria. Ia kembali memberikan pertanyaan yang sama.Ria memasang wajah tidak suka.“Jangan berlagak sok!”“Ingat dari mana kau berasal! Dasar perempuan miskin!” cerca Ria dengan wajah sinis.Wanita itu kemudian melangkah masuk seraya menyenggol bahu Azkiya dengan cukup keras.Ria berjalan menuju ruang tamu
Lina menoleh ke samping.Mereka beradu pandang sesaat.Tak lama Lina dengan cepat memutuskan kontak matanya.Ia menunduk menatap ke bawah untuk menghindari tatapan mata Azkiya.Tiba-tiba perasaan Lina menjadi tidak nyaman saat Azkiya bertanya hal tersebut."Tidak!""Ibu tidak pernah memberi sumbangan ke panti asuhan," ujar Lina tanpa menatap Azkiya. Suaranya terdengar gugup.Ia berusaha untuk bersikap seperti biasanya. Tapi wajah tetap tidak bisa berbohong.Sangat jelas jika saat ini ia sedang gugup."Memangnya kenapa?" tanya Lina.Azkiya sedikit tersentak karena tengah melamun."Ah?""Tidak apa-apa, Bu. Aku hanya sedikit penasaran karena Ibu dulu sangat baik padaku," jelas Azkiya seraya tersenyum canggung.Suasana menjadi hening setelah itu.Baik Azkiya maupun Lina hanya membisu hingga pekerjaan mereka selesai.Arza tampak sudah berbaring saat Azkiya masuk ke dalam kamar.
“Sepertinya Ibu tidak asing dengan mertuamu,” ujar Laila seraya menunjuk foto Lina yang terpampang di layar ponsel.Matanya menyipit. Laila berusaha mengingat-ngingatnya kembali.Azkiya tampak terkejut.”Ibu mengenalnya?”Laila tidak langsung menjawabnya, ia masih mencoba menerka-nerka. Ponsel tersebut beberapa kali diangkat agar Laila bisa melihatnya lebih dekat.“Tunggu!” Laila tampaknya menemukan kembali potongan ingatannya.“Benar!”“Ini beliau,” ujar Laila seraya menatap Azkiya.Azkiya terbengong. Ia menunggu kelanjutan dari ucapan Laila.“Ibu mengenalnya?” tanya Azkiya tidak sabar.Kepala Laila mengangguk mantap.“Bu Lina.”“Dulu dia donatur tetap di panti ini,” tutur Laila. Ia menyerahkan kembali ponsel tersebut kepada Azkiya.Mata Azkiya melebar.”Benarkah?”Ia tampak heran karena
Alwi menatap kedatangan Ria sekilas, ia kemudian kembali mengalihkan pandangannya ke depan.“Kamu sudah lama menungguku?” Ria menjatuhkan bokongnya di bangku tepat di samping Alwi.“Langsung saja pada intinya.”“Kenapa kau ingin bertemu denganku?” tanya Alwi datar.Ia awalnya berniat mengabaikan permintaan Ria yang ingin bertemu dengannya. Tapi Alwi takut ada sesuatu yang penting yang ingin Ria bicarakan.“Hei! Santai saja!”“Kau seperti tidak mengenalku saja,” celetuk Ria seraya terkekeh.Mereka berdua memang sudah saling mengenal satu sama lain cukup lama. Tepatnya saat Ria mulai dekat dengan Arza.Karena itu Alwi sudah cukup tahu banyak tentang Ria, termasuk sifat liciknya.“Aku ingin mengajakmu bekerjasama,” ujar Ria.Alwi mengernyit. Kerjasama?Ria menoleh ke samping untuk menatap Alwi.”Bantu aku mendapatkan Arza kembali.”Seketika Alwi terkejut. Wajahnya tercengang tidak percaya.Mendengar ucapan Ria yang menurutnya sangat konyol, Alwi lantas bangkit dan berniat meninggalkan tem
Permasalahan mengenai fitnah tersebut tampaknya sudah selesai setelah kepergian Gama.Lina berkali-kali meminta maaf kepada Azkiya karena sempat percaya dengan ucapan lelaki tersebut.Tapi Azkiya tidak terlalu mempermasalahkan hal itu.Ia memaklumi respon dari mertuanya, Azkiya pikir wajar dan siapapun akan percaya saat Gama mengatakan kebohongan tersebut.Apalagi fakta bahwa mereka memang pernah bertemu semakin mendukung kebohongan itu.Meski begitu, tampaknya semua belum selesai bagi Arza.Entah mengapa lelaki itu terus membisu.Setelah kepergian Gama, Arza terus berdiam diri di kamarnya hingga malam tiba.Azkiya mencoba memahaminya.Ia pikir Arza masih shock dengan kejadian tadi dan emosinya belum stabil.Seperti tidak terjadi apa-apa, Azkiya beraktivitas seperti biasanya.Ia bahkan memasak untuk makan malam.Namun, Arza masih tampak berbeda. Ia bahkan tidak mengatakan sepatah katapun saat makan malam.Lelaki itu hanya menggeleng atau mengangguk untuk menjawab setiap Azkiya bertany
Gama menggaruk kecil ujung alisnya, ia tampak berpikir sejenak."Eeh.""Itu...."Azkiya masih menunggu. Ia sudah sangat yakin akan kebohongan yang Gama ucapkan."Sudah dua bulan!""Ya! Sudah dua bulan," ujar Gama sambil tersenyum canggung.Azkiya tersenyum miring saat mendengar jawaban itu."Benarkah?" tanya Azkiya memancing.Wajah Gama tampak canggung, ia menatap kesana kemari untuk menghindari Azkiya."Jadi di mana kita bertemu untuk pertama kalinya?" Lagi Azkiya bertanya.Arza dan Lina tampak heran dengan apa yang Azkiya lakukan, tapi mereka hanya diam dan terus memperhatikan."Kita pertama kali bertemu di kota sebelah.""Apa kamu lupa? Aku yang menolongmu waktu itu," jelas Gama dengan percaya diri. Ia tidak sadar bahwa ucapannya adalah bumerang bagi dirinya sendiri."Ah, benar. Itu tepat saat pembukaan kafe suamiku di luar kota.""Jadi pasti aku ada di sana," ujar Azkiya seray
Arza masih menatap Azkiya tanpa mengatakan apapun. Kepalanya bergerak maju mendekat ada Azkiya.Jantung Azkiya sudah tidak aman. Tubuhnya tiba-tiba mematung tak bergerak.Jarak mereka semakin terkikis dan kini Arza sudah benar-benar menempel ada Azkiya.Tapi lelaki itu tiba-tiba berhenti bergerak."Aku tidak bisa tidur.""Bolehkah aku memelukmu?" tanya Arza dengan suara pelan. Ia tampak ragu saat mengatakannya."H-hah?""Tentu saja." Meski sedikit terkejut, tapi Azkiya akhirnya mengizinkannya.Tangan Arza bergerak perlahan ke atas tubuh Azkiya.Arza memeluk pinggang ramping perempuan itu.Sementara wajahnya ia tempelkan menempel pada pundak Azkiya.Azkiya hanya terdiam dan membiarkan Arza melakukan apapun yang lelaki itu inginkan.Ia meletakkan kedua tangannya di atas lengan kekar Arza lalu mengusapnya lembut.Ujung matanya melirik ke arah Arza. Lelaki itu tampak terpejam, sepertinya mencoba u
Azkiya tampak menggenggm garpu dan memilah-milah buah yang ada di piring. Tapi ia tak kunjung memakannya.Kepalanya menunduk. Ia menatap piring di hadapannya sambil melamun.Terdengar suara pintu kamar mandi yang terbuka.Seorang lelaki keluar dengan handuk yang bertengger di pinggangnya.Arza selesai dengan ritual mandinya.Azkiya menunduk semakin dalam saat mendengar suara langkah Arza padahal lelaki itu berjalan menuju lemari.Tampaknya Arza akan memakai pakainnya.Mengetahui hal itu, Azkiya baru sadar jika dia masuk ke kamar terlalu cepat. Biasanya ia akan menunggu hingga suaminya selesai lebih dulu.Ia ingin keluar dari sana. Tapi tubuhnya serasa membeku.Otak Azkiya seperti linglung, ia tidak tahu harus melakukan apa.Azkiya tidak bergerak sedikitpun. Matanya tetap menatap ke bawah. Ia tak berniat untuk melirik meski sekilas.Tak lama Arza sudah selesai memakai pakaiannya dengan rapi.Lelaki itu kemudian melangkah menuju sofa. Ia menatap Azkiya yang masih mematung dengan posisi