"Buka cadarmu Alinda!" pintaku pelan kepada wanita bergamis hitam senada dengan kain yang menutupi kepala juga wajahnya.
Namanya Alinda Tasifa Bella, nama yang sangat indah. Seindah wajah dan tutur bahasanya. " Ta-tapi Mas.." Aku tersenyum maklum menanggapi wajah gugup wanita yang baru kunikahi siang tadi. Alinda wanita yang telah kukenal selama lima bulan telah berhasil kuikat dengan janji suci di depan saksi juga ahli agama. Alinda yatim piatu tinggal bersama Paman dan Bibinya, dia gadis yang mandiri, sebab itulah membuatku langsung jatuh hati. "Aku suamimu Alinda," ucapku mengingatkan setatus kami. Meskipun kegugupan masih kentara terlihat, Alinda tetap membuka cadar penutup wajahnya. Setelah kain itu terbuka seketika membuatku terpaku takjub dengan ciptaanya. Alinda, istriku benar benar cantik. "Kamu cantik Alin." Sambil beringsut mendekatinya. Gadis itu tersenyum malu-malu terlihat sangat mengemaskan. Kulit putih bersih terbukti karena ia sering berwuduh kini tanpak merona saat jari jemariku berhasil menjangkau wajahnya. "Bolehkah Malam ini?" pintaku tercekat "Besok pun sama saja, Alin," kataku sebelum Alinda menjawab. Senyumku melebar ketika Alinda mengganguk meskipun rasa gugup hingga berkeringat dingin tak luput dari perhatianku. "Tapi Mas...!" Aku menghentikan aksi ketika Alinda tanpak keberatan, namun pada akhirnya gadis itu mengganguk pasrah setelah berkali kali kuyakinkan. Bukankah hal konyol untuk menunda jika kami sudah menikah. Perlahan lahan tapi pasti kegugupan Alinda berangsur menghilang terbukti dari respon yang ia berikan. Tersenyum senang membayangkan setelah ini Alinda akan menjadi satu satunya istriku, kami akan hidup bahagia bersama anak-anak kami nanti. Namun saat memulai semuanya, keningku menyerit. Merasakan sesuatu yang berbeda. "Aku bukan yang pertama Alin, jujur katakan siapa yang pertama?" Setelah mengatakan itu aku segera bangkit kembali memakai pakaianku. Rasa kecewa dan amarah meletup letup didalam d4da, salahkah kami para suami mengingikan hal yang pertama? Bagiku itu sebuah keharusan. Sama saja semuanya sia sia aku menjaga diri jika akhirnya mendapatkan barang bekas. Arghh.. "Cepat katakan, siapa lelaki itu?" tuntutku menatap wanita itu nyalang. Tak ada jawaban hanya tangisan yang terdengar, isakan Alinda semakin membuat emosiku naik keubun-ubun. "Tak kusangka disebalik tertutupnya dirimu ternyata ada rahasia yang kau sembunyikan Alinda. Argh.. Kenapa harus kepadaku!" erangku frustasi. "Saat kamu melamar aku telah menolakmu duluan Mas, karena aku sadar diri tidak pantas bersanding dengamu Mas. Tapi kamu memaksa karena kamu terlihat benar benar mencintaiku dengan tulus," sahutnya disela tangisan. "Jadi kamu menyalahkanku Alin, asal kamu tahu dari awal jika kamu jujur padaku, tak akan sudi aku menikahimu." Benar benar wanita penipu, sosok yang dulu kupuja puja kini melihatnya sangat enggan terasa muak sekali. Bahkan menj*ijikan. "Ternyata kain penutup yang kau pakai hanya menutupi kebusukanmu saja Alinda. Lepaskan saja, kau tidak cocok mengenakannya." "Jaga ucapanmu Mas, aku diam ketika kamu menghinaku tapi tidak ketika menghina pakaianku. Jika kamu seperti itu, lalu apa bedanya kamu dengan orang munafik." "Kamu...!" "Apa Mas, tampar. Ayo tampar saja," teriak Alinda menantang. "Arghh.. Kurang ajar, gil4 ini sangat gil4." "Cepat bereskan barang-barang kamu, keluarlah dari rumah ini." "Baik. Aku akan pergi Mas!" Mengusap kasar pipinya. Alinda bergegas setelah mengenakan pakaian , memasukan pakiannya kedalam koper . Aku hanya diam kemudian membuka pintu kamar lebar lebar. Mempersilahkan Alinda keluar. "Ternyata bualan manismu selama ini omong kosong Mas, nyatanya rasa cintamu tak ada seujung kuku," sindir Alinda, tapi aku tak peduli. "Terserah, cepatlah enyah dariku wanita menji*jikan." Ia tak menjawab hanya menatapku penuh luka. "Siapa yang menyuruhmu pergi nak Alin? Jangan pernah pergi sebelum aku yang menyuruhmu. Selain itu tak ada yang berhak." "Bunda..!?" Bersambung."Bunda!?" "Bunda kecewa dengan sikapmu kali ini Bian. Sekalipun Bunda tak pernah mengajarkanmu bersikap kurang ajar seperti ini," cetus Bunda menatapku penuh permusuhan. "Bunda, dengarkan dulu penjelasan Bian," pintaku memelas. Walau bagaimana pun juga aku tak mungkin meninggikan suara di depan beliau. Sosok bidadari tanpa sayap sekaligus pahlawan tanpa jasa, Bunda jugalah yang menggantikannya setelah Ayah pergi 10 tahun yang lalu. "Apa yang perlu dijelaskan jika Bunda telah mendengarnya dengan jelas." "Jadi tak ada gunanya kita menampung wanita ini Bunda. Dia tak ubahnya barang bekas yang berselimut ditumpukan kain bersih," ucapku berapi api ketika teringat Alinda wanita penipu. Plakk! "Jaga ucapanmu Bian, Alinda ini istrimu tidak pantas kau samakan dengan barang tak bernyawa," hardik Bunda dengan keras sambil melayangkan tamparan di pipi kiriku. Saking kuatnya bisa kurasakan rasa asin telah menyapu indra pengecap. "Sudah Bun, Mas Bian benar. Aku memang tak pantas dengan Mas
Di dalam mobil aku dan Melati terlibat perbincangan sejenak, sedikit bernostagia tentang masa sekolah dulu. Hingga akhirnya aku baru tahu bahwa tujuan kami sama yaitu kantor Pak Bagas. Ternyata posisi Melati sebagai Manajer pemasaran, pengganti Aldi yang resigen ingin membuat usaha dikampungnya dari cerita Aldi yang kuketahui. "Kita pisah disini ya Mel, aku ada rapat sama petinggi perusahaan. Nanti kita ngobrol lagi saat makan siang," ucapku mengakhiri perjumpaan kami di depan kantor. "Oke, nanti telepon aja ya, kamu masih nyimpan nomorku kan?" Aku terdiam sebab kenyataannya aku telah mengganti kartu karena ingin melupakan Melati. Karena dulu terlanjur kecewa bahwa ia menerima cinta Alex. "Aku ganti nomor baru." "Oh gitu, nanti kita ketemuan di depan restoran itu aja yuk." Setelah menyetujui saran Melati aku segera menuju ruang rapat. Untunglah masih ada waktu 5 menit, setelah itu barulah datang Pak Bagas selaku CEO dan Direktur serta petinggi perusahaan lainya. Sesuai janjiku
Nafasku memburu seiring antara jarakku dengan Alinda semakin menipis, bahkan bedak yang ia pakai telah tercium olehku. "Cukup kau telah mengambil simpati pada Bunda, tapi jangan sekali-kali kau menghancurkan nama baikku di depan Bunda. Tak akan kubiarkan semua itu terjadi, dasar wanita licik." bisikku serupa gumaman tepat disamping telinga Alinda. "Oh baguslah! Hubungan kalian sudah baik. Sudah Bunda duga kamu itu butuh istri seperti Alin, rela menunggu suaminya pulang kerja hingga larut, selain menunggu tidur bersama juga menunggu makan bersama." Sejenak aku terdiam mendengar ucapan Bunda memberitahu kondisi Alin saat menungguiku. Ada rasa kasihan sebab aku bukan berkerja melainkan berduaan dengan wanita. Tapi semua itu tak sepenuhnya salahku Alin, kau wanita penipu pantas merasakan itu. Masih teringat jelas kejadian malam pertama kami. Selain tak mempunyai selaput da rah, meskipun dari segi itu tak bisa diukur. Namun saat memulai segalanya bisa kurasakan terasa muda tanpa kendal
"Maaf Mel, aku ngak bisa membawamu pergi dari sini . Tapi aku berjanji akan selalu melindungi dan menjagamu sebisaku," ucapku menolak permintaan Melati. Bukan karena aku tak mampu tapi karena aku tak bisa, posisiku saat ini tak semudah itu. Selain itu ada konsekuensi yang besar di depan sana. Siapa yang tak kenal sepak terjang Pak Mario, Papanya Melati. Kedudukan yang ia punya bisa memudahkan segalanya. Kemudian bayangan Alinda terlintas dalam benakku, aku tahu ini salah saat aku berdekatan dengan Melati sebab ada bumerang di depan sana untuk kami nanti. Selain itu tak mungkin untukku melepaskan Alinda, karena dalam hatiku masih terlalu ambigu untuk memahami seperti apa kehidupan yang akan kujalani bersama Alinda kedepanya. Biarlah sementara waktu kurahasiakan pada Melati bahwa aku telah menikah. Jika aku berterus terang, aku tak yakin hubungan kami masih bisa sedekat ini. "Tapi kenapa Bi? Jangan katakan karena kamu uda ngak cinta lagi padaku, itu semua bohong kan? Sebab
Bunyi sepatu bergesekan pada lantai kramik rumah sakit memecahkan keheningan, waktu yang sudah sore tentu saja sudah tak banyak pengunjung rumah sakit. Hanya sebagian orang saja, sebagian suster yang berlalu lalang dalam diam. Setelah menanyakan pada perawat dimana ruangan Melati Adista aku segera menuju ruang rawat Melati. Aku hanya bisa berdo'a dalam hati bahwa pilihanku ingin menemui Melati lebih dulu adalah pilihan yang tepat, jika nanti tak ada lagi waktuku untuk berbicara pada Alinda tapi masih ada hari esok. Sedangkan saat ini aku harus menghibur Melati sebab aku tahu bahwa jiwa gadis itu sedang terguncang. Terlebih dahulu kuketuk pintu kamar, setelah itu barulah terdengar suara menyuruhku masuk. "Bagaimana keadaanmu? Maaf datangnya agak telat," sapaku lebih dulu. Kemudian meraih bangku untuk kududuki tepat disamping Melati yang sedang berbaring. Melihat kondisi lemah Melati aku hanya bisa diam penuh kasihan, kemarahanku semakin menjadi saat melihat bekas merah di p
Rasa amarahku kian tak terbendung saat melihat pemandangan di depan sana, ada amarah yang meletup-letup siap dilampiaskan. Ketika tangan lancang itu ingin menampar pipi Melati, dengan gerakan cepat kutahan dengan kuat. Kemudian menghempaskannya dengan kasar. "Jauhkan tangan kotormu Alex," ucapku penuh penekanan. Lelaki sesuisaku itu hanya tersenyum remeh setelah bisa menguasai diri yang awalnya tanpak kaget atas kedatanganku secara tiba-tiba. Juga berhasil menghentikan aksinya ingin berlaku kasar. "Jangan ikut campur urusan saya juga Melati, Biantara," balasnya tertawa sumbang. Sungguh memuakan, dari dulu Alex tak pernah berubah tetap sombong karena kuasa yang dimilikinya. "Jika berurusan dengan Melati, termasuk juga berurusan dengan saya," kataku membalas tatapan sengitnya. "Oh ya? Tidak usah formal begitu. Hem, aku kekasihnya Melati, kamu siapa?" "Biantara kekasih baruku! Puas kamu Alex?" teriak Melati berhasil membuatku kaget. Tapi aku hanya bisa diam, mungkin saja
"Dokter tolong istri saya segera," pintaku keras saking paniknya saat melihat jalan nafas Alinda tersendat-sendat kemudian melemah. Alinda tak sadarkan diri. "Anda suaminya? Tenang Pak! Ini sudah tugas kami, harap kerjasamanya. Bapak tunggu diluar." Mengusap rambut kasar lalu melangkah kebangku tunggu kemudian menjatuhkan bok*ongku disana. Terlalu lama berdiri persendian terasa kram semua. Butuh waktu hampir setengah jam barulah dokter wanita keluar dengan nama tertera didada kirinya, Dr. Indra Mufthi. "Anda suaminya? Mari ikut keruangan saya," ajak Dr. Indra tersenyum ramah. Tanpak banyak bicara aku segera mengikuti langkah Dr. Indra, tujuan kami keruangan yang tak terlalu luas. Diatas pintu tertanda Dr. Indra membuktikan bahwa ini ruangan pribadi Dokter itu. Ketika kami sampai Dr. Indra menyuruhku masuk juga duduk, meskipun sedikit pusing aku menurut. Sudah dari awal menjejakan kaki disini perutku terasa diaduk-aduk karena bau obat- obatan yang sangat menyengat. "Anda
"Kamu uda nikah kan Bi?" Aku terdiam beberapa saat, sudah kuduga bahwanya kebohonganku lambat laun akan diketahui Melati. Hanya saja aku tak menyangka dengan cara seperti ini, padahal aku berencana memberi tahunya secara pelan-pelan. "Aku berharap kamu jawab ngak." "Ngak Mel, aku memang sudah menikah," sahutku cepat. Melati tak menjawab, pancaran kecewa terlihat jelas diraut wajahnya. Ia membuang muka kearah jendela seolah enggan bertatap muka denganku. "Jangan seperti ini Mel," kataku pelan. "Lebih baik aku mat*i Bi, di dunia ini ngak ada lagi yang sayang dan peduli perasaanku." "Walaupun aku sudah menikah kita tetap bisa sedekat ini Mel, walaupun..." "Hanya teman kan , aku ngak mau Bi. Aku lebih mau menjadi selingkuhan kamu," tukas Melati membuatku menggeleng kepala pelan. Meskipun awal kami bertemu berhasil kembali membuat perasaanku bergetar aneh. Namun tak sedikit pun untukku terfikir melakukan hal ji*jik seperti itu. Tekatku semakin kuat saat mengetahui masalalu