Share

RDCI: Tiga

Di dalam mobil aku dan Melati terlibat perbincangan sejenak, sedikit bernostagia tentang masa sekolah dulu.

Hingga akhirnya aku baru tahu bahwa tujuan kami sama yaitu kantor Pak Bagas. Ternyata posisi Melati sebagai Manajer pemasaran, pengganti Aldi yang resigen ingin membuat usaha dikampungnya dari cerita Aldi yang kuketahui.

"Kita pisah disini ya Mel, aku ada rapat sama petinggi perusahaan. Nanti kita ngobrol lagi saat makan siang," ucapku mengakhiri perjumpaan kami di depan kantor.

"Oke, nanti telepon aja ya, kamu masih nyimpan nomorku kan?"

Aku terdiam sebab kenyataannya aku telah mengganti kartu karena ingin melupakan Melati. Karena dulu terlanjur kecewa bahwa ia menerima cinta Alex.

"Aku ganti nomor baru."

"Oh gitu, nanti kita ketemuan di depan restoran itu aja yuk."

Setelah menyetujui saran Melati aku segera menuju ruang rapat. Untunglah masih ada waktu 5 menit, setelah itu barulah datang Pak Bagas selaku CEO dan Direktur serta petinggi perusahaan lainya.

Sesuai janjiku dengan Melati saat ini kami berdua sedang duduk direstoran depan kantor. Memang tempat penyedia untuk makan karyawan kantor, sebab restoran ini milik Pak Bagas.

"Ngak nyangka kita dipertemukan lagi ya Bi!"

"Ya itulah takdir," jawabku sekenannya karena sedang menyuap makanan kemulut.

"Kamu ngak berubah ya, tambah tampan aja."

Uhuk..uhuk. Sepontan aku langsung tersedak mendengar pujian blak blakan dari Melati, saat tatapan kami bertemu ia mengedip jahil bahkan menji**lati bi birnya dengan sensual.

Segera aku membuang muka bukan karena tak tertarik, tapi sadar posisi kami saat ini. Berdehem singkat menetralkan rasa aneh menyerang sarafku.

"Mm.. Gimana kabar orang tuamu?" tanyaku meskipun ada rasa amarah saat mengingat orang tua Melati.

"Hemm.. Seperti itulah Bi, masih suka memaksakan kehendak. Aku masih dianggap boneka yang bisa diatur sesuka hati mereka."

Jawaban sendu Melati membuatku ikut sedih, aku paham betul seperti apa sifat orang tuanya. Gila harta dan jabatan juga suka memandang orang lain rendah.

"Lalu hubunganmu dengan Alex?" tanyaku hati-hati takut membuat Melati kembali sedih.

"Masih seperti itu-itu aja, maklumlah hubungan bisnis memang seperti itu," Suara Melati terdengar bergetar, setetes air jatuh dari mata indahnya.

Meskipun aku tak tahu pasti seperti apa yang telah Melati alami, tapi aku bisa turut merasakan rasa sakit yang ia rasakan.

"Tenang ada aku disini Mel," bujukku mengambil duduk disampingnya.

Meraih kepalanya untuk disandarkan dibahuku, kini tangisan Melati semaki kencang.

***

Pulang kerumah lebih larut dari biasanya, bukan karena urusan masalah kantor melainkan menghabiskan waktu bersama Melati sepulang dari kantor.

Aku ingin menghibur gadis itu, selain itu juga hatiku lebih damai dan nyaman saat bersamanya. Membayangkan pulang melihat wajah Alinda membuatku benar-benar malas.

"Mas uda pulang? Allhamdulilah, aku kahwatir sekali."

Aku tersentak kaget saat membuka pintu langsung melihat kehadiran Alinda, sepertinya ia menunggu diruang tamu terbukti dari TV yang masih menyala.

"Kamu belum tidur? Ini uda jam 20.17, uda hampir larut," kataku berniat mengusirnya ketika ia mengikutiku ingin kedapur.

Aku menyeritkan dahi sebab Alinda tak menjawab justru tersenyum. Memang dari pagi tadi Alinda tak mengenakan cadar hanya gamis dan jilbab panjangnya.

Namun sebesar apa pun usaha Alinda untuk mengambil simpatiku, aku tak akan terkecoh karena terlanjur benci melihat wajah Alinda.

Betapa sayangnya wajah cantik itu ditakdirkan untuk wanita hina seperti Alinda.

"Kenapa senyum-senyum," ketusku.

"Alin bahagia ternyata Mas masih peduli sama Alin. Alin bantu lepas dasinya ya Mas."

"Stop, jangan sentuh. Jauhkan tanganmu Alin," sergahku berhasil membuat Alin menjauh tapi tak pergi.

Tak memperdulikan sosok Alinda, bersikap seolah akulah yang berada disini.

Melepaskan jas juga dasi terasa mencekik, menyisahkan kemeja putih membungkus tubuhku.

Mulai saat ini tak akan kubiarkan Alinda melihat tubuhku sesuka hatinya, tak rela rasanya, walaupun istri tepatnya karena terpaksa.

"Mas ada noda lipstik dikemejamu Mas, lipstik siapa itu? Kamu bermain api ya Mas?"

Tubuhku menegang mendengar tuduhan Alinda, setelah kuperiksa benar saja ada noda lipstik dikemejaku. Pasti ini noda lipstik milik Melati saat kami berpelukan, ketika ia kembali mencurahkan beban hidupnya padaku.

Dan aku bahagia merasa dibutuhkan tempat bersandar bagi Melati.

"Jawab Mas."

Aku terdiam memikirkan jawaban yang pas, tak mungkin aku jujur kepadanya. Bisa rusak citra yang selama ini kuagung-agungkan di depan Alinda. Harusku tegaskan aku dan dia berbeda.

"Mas itu lipstik siapa?" desak Alinda.

Jantungku berpacu cepat saat mendengar suara langkah kaki dari kamar Bunda, benar saja Bunda keluar dengan wajah khas baru bangun tidur.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status