Di dalam mobil aku dan Melati terlibat perbincangan sejenak, sedikit bernostagia tentang masa sekolah dulu.
Hingga akhirnya aku baru tahu bahwa tujuan kami sama yaitu kantor Pak Bagas. Ternyata posisi Melati sebagai Manajer pemasaran, pengganti Aldi yang resigen ingin membuat usaha dikampungnya dari cerita Aldi yang kuketahui. "Kita pisah disini ya Mel, aku ada rapat sama petinggi perusahaan. Nanti kita ngobrol lagi saat makan siang," ucapku mengakhiri perjumpaan kami di depan kantor. "Oke, nanti telepon aja ya, kamu masih nyimpan nomorku kan?" Aku terdiam sebab kenyataannya aku telah mengganti kartu karena ingin melupakan Melati. Karena dulu terlanjur kecewa bahwa ia menerima cinta Alex. "Aku ganti nomor baru." "Oh gitu, nanti kita ketemuan di depan restoran itu aja yuk." Setelah menyetujui saran Melati aku segera menuju ruang rapat. Untunglah masih ada waktu 5 menit, setelah itu barulah datang Pak Bagas selaku CEO dan Direktur serta petinggi perusahaan lainya. Sesuai janjiku dengan Melati saat ini kami berdua sedang duduk direstoran depan kantor. Memang tempat penyedia untuk makan karyawan kantor, sebab restoran ini milik Pak Bagas. "Ngak nyangka kita dipertemukan lagi ya Bi!" "Ya itulah takdir," jawabku sekenannya karena sedang menyuap makanan kemulut. "Kamu ngak berubah ya, tambah tampan aja." Uhuk..uhuk. Sepontan aku langsung tersedak mendengar pujian blak blakan dari Melati, saat tatapan kami bertemu ia mengedip jahil bahkan menji**lati bi birnya dengan sensual. Segera aku membuang muka bukan karena tak tertarik, tapi sadar posisi kami saat ini. Berdehem singkat menetralkan rasa aneh menyerang sarafku. "Mm.. Gimana kabar orang tuamu?" tanyaku meskipun ada rasa amarah saat mengingat orang tua Melati. "Hemm.. Seperti itulah Bi, masih suka memaksakan kehendak. Aku masih dianggap boneka yang bisa diatur sesuka hati mereka." Jawaban sendu Melati membuatku ikut sedih, aku paham betul seperti apa sifat orang tuanya. Gila harta dan jabatan juga suka memandang orang lain rendah. "Lalu hubunganmu dengan Alex?" tanyaku hati-hati takut membuat Melati kembali sedih. "Masih seperti itu-itu aja, maklumlah hubungan bisnis memang seperti itu," Suara Melati terdengar bergetar, setetes air jatuh dari mata indahnya. Meskipun aku tak tahu pasti seperti apa yang telah Melati alami, tapi aku bisa turut merasakan rasa sakit yang ia rasakan. "Tenang ada aku disini Mel," bujukku mengambil duduk disampingnya. Meraih kepalanya untuk disandarkan dibahuku, kini tangisan Melati semaki kencang. *** Pulang kerumah lebih larut dari biasanya, bukan karena urusan masalah kantor melainkan menghabiskan waktu bersama Melati sepulang dari kantor. Aku ingin menghibur gadis itu, selain itu juga hatiku lebih damai dan nyaman saat bersamanya. Membayangkan pulang melihat wajah Alinda membuatku benar-benar malas. "Mas uda pulang? Allhamdulilah, aku kahwatir sekali." Aku tersentak kaget saat membuka pintu langsung melihat kehadiran Alinda, sepertinya ia menunggu diruang tamu terbukti dari TV yang masih menyala. "Kamu belum tidur? Ini uda jam 20.17, uda hampir larut," kataku berniat mengusirnya ketika ia mengikutiku ingin kedapur. Aku menyeritkan dahi sebab Alinda tak menjawab justru tersenyum. Memang dari pagi tadi Alinda tak mengenakan cadar hanya gamis dan jilbab panjangnya. Namun sebesar apa pun usaha Alinda untuk mengambil simpatiku, aku tak akan terkecoh karena terlanjur benci melihat wajah Alinda. Betapa sayangnya wajah cantik itu ditakdirkan untuk wanita hina seperti Alinda. "Kenapa senyum-senyum," ketusku. "Alin bahagia ternyata Mas masih peduli sama Alin. Alin bantu lepas dasinya ya Mas." "Stop, jangan sentuh. Jauhkan tanganmu Alin," sergahku berhasil membuat Alin menjauh tapi tak pergi. Tak memperdulikan sosok Alinda, bersikap seolah akulah yang berada disini. Melepaskan jas juga dasi terasa mencekik, menyisahkan kemeja putih membungkus tubuhku. Mulai saat ini tak akan kubiarkan Alinda melihat tubuhku sesuka hatinya, tak rela rasanya, walaupun istri tepatnya karena terpaksa. "Mas ada noda lipstik dikemejamu Mas, lipstik siapa itu? Kamu bermain api ya Mas?" Tubuhku menegang mendengar tuduhan Alinda, setelah kuperiksa benar saja ada noda lipstik dikemejaku. Pasti ini noda lipstik milik Melati saat kami berpelukan, ketika ia kembali mencurahkan beban hidupnya padaku. Dan aku bahagia merasa dibutuhkan tempat bersandar bagi Melati. "Jawab Mas." Aku terdiam memikirkan jawaban yang pas, tak mungkin aku jujur kepadanya. Bisa rusak citra yang selama ini kuagung-agungkan di depan Alinda. Harusku tegaskan aku dan dia berbeda. "Mas itu lipstik siapa?" desak Alinda. Jantungku berpacu cepat saat mendengar suara langkah kaki dari kamar Bunda, benar saja Bunda keluar dengan wajah khas baru bangun tidur.Nafasku memburu seiring antara jarakku dengan Alinda semakin menipis, bahkan bedak yang ia pakai telah tercium olehku. "Cukup kau telah mengambil simpati pada Bunda, tapi jangan sekali-kali kau menghancurkan nama baikku di depan Bunda. Tak akan kubiarkan semua itu terjadi, dasar wanita licik." bisikku serupa gumaman tepat disamping telinga Alinda. "Oh baguslah! Hubungan kalian sudah baik. Sudah Bunda duga kamu itu butuh istri seperti Alin, rela menunggu suaminya pulang kerja hingga larut, selain menunggu tidur bersama juga menunggu makan bersama." Sejenak aku terdiam mendengar ucapan Bunda memberitahu kondisi Alin saat menungguiku. Ada rasa kasihan sebab aku bukan berkerja melainkan berduaan dengan wanita. Tapi semua itu tak sepenuhnya salahku Alin, kau wanita penipu pantas merasakan itu. Masih teringat jelas kejadian malam pertama kami. Selain tak mempunyai selaput da rah, meskipun dari segi itu tak bisa diukur. Namun saat memulai segalanya bisa kurasakan terasa muda tanpa kendal
"Maaf Mel, aku ngak bisa membawamu pergi dari sini . Tapi aku berjanji akan selalu melindungi dan menjagamu sebisaku," ucapku menolak permintaan Melati. Bukan karena aku tak mampu tapi karena aku tak bisa, posisiku saat ini tak semudah itu. Selain itu ada konsekuensi yang besar di depan sana. Siapa yang tak kenal sepak terjang Pak Mario, Papanya Melati. Kedudukan yang ia punya bisa memudahkan segalanya. Kemudian bayangan Alinda terlintas dalam benakku, aku tahu ini salah saat aku berdekatan dengan Melati sebab ada bumerang di depan sana untuk kami nanti. Selain itu tak mungkin untukku melepaskan Alinda, karena dalam hatiku masih terlalu ambigu untuk memahami seperti apa kehidupan yang akan kujalani bersama Alinda kedepanya. Biarlah sementara waktu kurahasiakan pada Melati bahwa aku telah menikah. Jika aku berterus terang, aku tak yakin hubungan kami masih bisa sedekat ini. "Tapi kenapa Bi? Jangan katakan karena kamu uda ngak cinta lagi padaku, itu semua bohong kan? Sebab
Bunyi sepatu bergesekan pada lantai kramik rumah sakit memecahkan keheningan, waktu yang sudah sore tentu saja sudah tak banyak pengunjung rumah sakit. Hanya sebagian orang saja, sebagian suster yang berlalu lalang dalam diam. Setelah menanyakan pada perawat dimana ruangan Melati Adista aku segera menuju ruang rawat Melati. Aku hanya bisa berdo'a dalam hati bahwa pilihanku ingin menemui Melati lebih dulu adalah pilihan yang tepat, jika nanti tak ada lagi waktuku untuk berbicara pada Alinda tapi masih ada hari esok. Sedangkan saat ini aku harus menghibur Melati sebab aku tahu bahwa jiwa gadis itu sedang terguncang. Terlebih dahulu kuketuk pintu kamar, setelah itu barulah terdengar suara menyuruhku masuk. "Bagaimana keadaanmu? Maaf datangnya agak telat," sapaku lebih dulu. Kemudian meraih bangku untuk kududuki tepat disamping Melati yang sedang berbaring. Melihat kondisi lemah Melati aku hanya bisa diam penuh kasihan, kemarahanku semakin menjadi saat melihat bekas merah di p
Rasa amarahku kian tak terbendung saat melihat pemandangan di depan sana, ada amarah yang meletup-letup siap dilampiaskan. Ketika tangan lancang itu ingin menampar pipi Melati, dengan gerakan cepat kutahan dengan kuat. Kemudian menghempaskannya dengan kasar. "Jauhkan tangan kotormu Alex," ucapku penuh penekanan. Lelaki sesuisaku itu hanya tersenyum remeh setelah bisa menguasai diri yang awalnya tanpak kaget atas kedatanganku secara tiba-tiba. Juga berhasil menghentikan aksinya ingin berlaku kasar. "Jangan ikut campur urusan saya juga Melati, Biantara," balasnya tertawa sumbang. Sungguh memuakan, dari dulu Alex tak pernah berubah tetap sombong karena kuasa yang dimilikinya. "Jika berurusan dengan Melati, termasuk juga berurusan dengan saya," kataku membalas tatapan sengitnya. "Oh ya? Tidak usah formal begitu. Hem, aku kekasihnya Melati, kamu siapa?" "Biantara kekasih baruku! Puas kamu Alex?" teriak Melati berhasil membuatku kaget. Tapi aku hanya bisa diam, mungkin saja
"Dokter tolong istri saya segera," pintaku keras saking paniknya saat melihat jalan nafas Alinda tersendat-sendat kemudian melemah. Alinda tak sadarkan diri. "Anda suaminya? Tenang Pak! Ini sudah tugas kami, harap kerjasamanya. Bapak tunggu diluar." Mengusap rambut kasar lalu melangkah kebangku tunggu kemudian menjatuhkan bok*ongku disana. Terlalu lama berdiri persendian terasa kram semua. Butuh waktu hampir setengah jam barulah dokter wanita keluar dengan nama tertera didada kirinya, Dr. Indra Mufthi. "Anda suaminya? Mari ikut keruangan saya," ajak Dr. Indra tersenyum ramah. Tanpak banyak bicara aku segera mengikuti langkah Dr. Indra, tujuan kami keruangan yang tak terlalu luas. Diatas pintu tertanda Dr. Indra membuktikan bahwa ini ruangan pribadi Dokter itu. Ketika kami sampai Dr. Indra menyuruhku masuk juga duduk, meskipun sedikit pusing aku menurut. Sudah dari awal menjejakan kaki disini perutku terasa diaduk-aduk karena bau obat- obatan yang sangat menyengat. "Anda
"Kamu uda nikah kan Bi?" Aku terdiam beberapa saat, sudah kuduga bahwanya kebohonganku lambat laun akan diketahui Melati. Hanya saja aku tak menyangka dengan cara seperti ini, padahal aku berencana memberi tahunya secara pelan-pelan. "Aku berharap kamu jawab ngak." "Ngak Mel, aku memang sudah menikah," sahutku cepat. Melati tak menjawab, pancaran kecewa terlihat jelas diraut wajahnya. Ia membuang muka kearah jendela seolah enggan bertatap muka denganku. "Jangan seperti ini Mel," kataku pelan. "Lebih baik aku mat*i Bi, di dunia ini ngak ada lagi yang sayang dan peduli perasaanku." "Walaupun aku sudah menikah kita tetap bisa sedekat ini Mel, walaupun..." "Hanya teman kan , aku ngak mau Bi. Aku lebih mau menjadi selingkuhan kamu," tukas Melati membuatku menggeleng kepala pelan. Meskipun awal kami bertemu berhasil kembali membuat perasaanku bergetar aneh. Namun tak sedikit pun untukku terfikir melakukan hal ji*jik seperti itu. Tekatku semakin kuat saat mengetahui masalalu
"Mel, kamu baik-baik aja kan?" tanyaku ketika berhasil menemui Melati. Sesuai alamat yang dikirimnya jalan Raya Anggrek terlihat Melati sedang duduk ditepi jalan sambil menyeret kopernya. "Aku ngak papa kok, hanya saja bingung mau kemana? Mau pergi cari hotel atau apertemen takut ketahuan Alex. Ini aja aku habis dikejar anak buahnya!" jawaban Melati berhasil membuatku menghembuskan nafas lega. "Tapi ngak ada yang lecet kan?" Melati menggeleng. "Tapi kenapa orang-orang Alex cari kamu?" "Katanya Papa punya hutang besar dengan perusahaan Alex. Sebagai tembusnya aku harus menyerahkan diri, tentu saja aku ngak mau," sahut Melati. Aku berfikir mencari tempat aman untuk Melati. Tapi satu- satunya tempat terlintas dalam benakku adalah rumahku sendiri. Tapi apakah Alinda memgizinkan? Lalu aku harus jawab apa ketika Alinda bertanya siapa Melati. Tapi sepertinya tak ada jalan lain lagi, aku akan berterus terang pada Alinda. Memang kenyataannya aku dan Melati hanya sebatas teman, ti
Ditinggal oleh kedua orang tua saat usiaku masih belia bagaikan neraka yang kurasakan. Hidup serba pas-pasan masih membuatku bertahan. Tapi ketika harga diri dan kehormatanku dihempas jatuh, saat itulah aku kehilangan semangat untuk hidup. Pamanku, sosok yang seharusnya melindungiku pengganti Ayah justru membuatku menderita. Kehormatanku dirampas secara paksa, tak cukup sampai disitu, baj*ingan itu mencari keuntungan dengan menjual diriku. Harga diriku memang sudah tidak ada apa- apanya lagi. Hampir 2 bulan aku mengalami siksaan itu, barulah terbebas ketika bertemu seorang Dokter. Dr. Indra namanya. Awalnya kusangka dunia memang sudah gila karena uang bisa mengatur semuanya. Akhirnya pandangkanku berubah tentang itu ketika bertemu Dr. Indra. Menjadi wanita kuat dan tegar ternyata tak semudah itu. Terlepas dari siksaan Paman Bram tidak juga membuatku bahagia. Bayangan-bayangan malam kelam yang sempat kulalui berhasil mengusik mental dan jiwaku. Aku mengalami trauma yang hampi