Share

RDCI: Tujuh

Rasa amarahku kian tak terbendung saat melihat pemandangan di depan sana, ada amarah yang meletup-letup siap dilampiaskan.

Ketika tangan lancang itu ingin menampar pipi Melati, dengan gerakan cepat kutahan dengan kuat. Kemudian menghempaskannya dengan kasar.

"Jauhkan tangan kotormu Alex," ucapku penuh penekanan.

Lelaki sesuisaku itu hanya tersenyum remeh setelah bisa menguasai diri yang awalnya tanpak kaget atas kedatanganku secara tiba-tiba. Juga berhasil menghentikan aksinya ingin berlaku kasar.

"Jangan ikut campur urusan saya juga Melati, Biantara," balasnya tertawa sumbang. Sungguh memuakan, dari dulu Alex tak pernah berubah tetap sombong karena kuasa yang dimilikinya.

"Jika berurusan dengan Melati, termasuk juga berurusan dengan saya," kataku membalas tatapan sengitnya.

"Oh ya? Tidak usah formal begitu. Hem, aku kekasihnya Melati, kamu siapa?"

"Biantara kekasih baruku! Puas kamu Alex?" teriak Melati berhasil membuatku kaget.

Tapi aku hanya bisa diam, mungkin saja Melati berkata begitu agar Alex berhenti mengusik hidupnya.

"Benarkah? Lalu aku siapa? Melati Adista."

"Ingat Alex, hubungan yang kita jalani hanya sebatas hubungan bisnis juga atas desakan Papa. Dan ketika Papa uda ngak ada maka hubungan kita sudah berakhir. Satu yang harus kau tahu, sesuatu yang kusesali seumur hidup adalah pernah dikenal publik sebagai kekasih Alexandra Mahesa.. Lelaki gila," pekik Melati mengeluarkan amarah yang selama ini hanya bisa terpendam.

"Kau.."

"Silahkan pergi, atau saya akan memanggil pihak keamanan rumah sakit," ancamku ketika Alex ingin kembali menampar Melati.

Alex balas menatapku dengan tajam. Kobaran api kemarahan dan permusuhan terlihat jelas.

"Awas kalian berdua, tunggu pembalasan untuk kalian." Setelah mengatakan itu Alex melangkah pergi diikuti ajudan setianya. Tidak heran lagi, Alex hanya lelaki lemah bermodalkan otak licik agar bisa tenar nama.

Ketika bayangan Melati benar-benar pergi barulah kurengkuh Melati dalam dekapan. Aku tahu apa yang dirasakannya, sebab hal menyakitkan itu lebih dulu kualami.

Meskipun Papa dan Mama Melati suka bertindak memaksa, tapi mereka hanya ingin yang terbaik untuk anaknya meskipun caranya yang salah.

Gadis itu tersenggal-sengal dalam tangisannya, jiwa Melati pasti terguncang hebat atas kepergian kedua orang tuanya.

Aku tak perlu dijelaskan lagi sebab pesan yang dikirim Melati semalam telah memperjelas semuanya, belum lagi banyak berita mengegerkan kota.

Bahwa pengusaha kaya Mario Adista bersama sang istri, Inara Adista. Mengalami kecelakaan hebat hingga nyawa keduanya tak bisa tertolong lagi.

"Aku ngak tahu harus bahagia atau sedih atas kepergian Papa dan Mama. Tapi jauh dalam lubuk hatiku, aku ingin berteriak sekerasnya bahwa aku telah bebas. Tapi ternyata aku ngak bisa Bi, aku ngak bisa." Tangisan keras Melati membuatku bingung ingin menanggapi seperti apa. Hanya bisa diam mengusap kepala Melati memberikan ketenangan.

"Kamu pantas sedih Mel, kamu pantas Menangis. Tapi terlepas dari semuanya. Aku cuma berharap mungkin ini jalan menujumu untuk bahagia. Tak akan ada lagi orang menuntutmu untuk terlihat sempurna, mari jalani kehidupan sesukamu Mel, tanpa kekangan orang tuamu!" bujukku agar Melati berhenti menangis, akan semakin membuat kesehatannya menurun.

"Makasih ya Bi, dari dulu kamu selalu ada untuk aku!" ucapnya merebakkan senyum meskipun terlihat terpaksa.

"Santai aja Mel."

"Bi?"

"Hemm" gumamku menanggapi.

"Sekarang aku ngak punya siapa-siapa lagi, kamu mau ngak nikahi aku Bi. Aku ingin merasakan hidup bahagia."

Aku menelan ludah susah payah mendengar permintaan Melati. Tentu saja aku tak bisa, sebab sudah ada Alinda, melepaskannya tentu saja aku tak bisa apalagi kami baru berbaikan.

Melati tanpak merajuk sebab ucapannya tak kutanggapi, tapi kali ini biarlah ia merajuk sampai lelah. Bagaimana mau membujuk sedangkan aku sibuk bertarung dengan pikiran.

Merasa bosan karena kami saling mendiamkan, akhirnya aku pamit pulang. Tiba dirumah Alinda sedang sibuk bertarung dengan alat dapur.

Dalam hati aku memuji keterampilan Alinda yang tanpak cekatan dalam berkerja. Dari sinilah aku sadar melepaskan Alinda bukan pilihan yang benar.

"Lagi apa?" tanyaku meskipun sudah tau.

"Mas? Tadi kemana buru-buru?" Bukanya menjawab Alinda balik bertanya.

"Urusan perkerjaan!" jawabku terpaksa berbohong.

"Bukanya hari ini libur?"

Aku terngangap ketahuan berbohong pada Alinda.

"Emang, tapi tadi ada sedikit hal mendesak!".

"Bunda tadi kesini."

"Bunda kesini?" tanyaku was-was. Takut Alinda mengatakan yang tidak-tidak karena aku tidak ada dirumah.

"Bunda pasti nanya aku, kamu jawab apa?"

"Kepasar beli sayur."

"Hemm."

"Mas, aku ingin cerita sama kamu!" ucap Alinda bergerak kewastafel untuk mencuci tangan.

Setelah mengerikan tangannya, Alinda menariku untuk duduk dikursi meja makan. Ia juga duduk tepat di depanku.

"Ceritalah.." kataku lebih dulu karena Alinda tak kunjung berucap.

"Ini mengenai masalalu, Alin. Setelah ini Alin berharap kita tidak membahas masalalu yang sudah-sudah."

"Jadi benar kamu mantan, pel*cur,'' tanyaku sepontan. Meskipun masih ada rasa kecewa namun tak seperti awal mengetahuinya.

"Mas. Dengarkan dulu cerita Alin," pintanya memelas.

"Lanjutkan."

"Mas Bian pernah mendengar berita viral 2 tahun yang lalu, mengenai seorang wanita yang dianiaya, dirusak secara paksa. Setelah mengalami semua itu korban dirawat dirumah sakit selama 6 bulan. Pelaku semua itu selaku pamanya sendiri dan kawan-kawan pamanya yang dijual oleh Pamanya hanya demi uang, miris sekali bukan. Mereka semua dikenai 5 tahun penjara. Hanya 5 tahun Mas, semuanya dimudahkan hanya karena uang. Lalu bagaimana dengan korban yang telah mereka rusak. Selain kehormatan dan harga dirinya turut hilang. Ia juga butuh waktu untuk keluar dari rasa trauma yang hampir gila."

Penjelasan Alinda berhasil menarikku pada berita yang lagi hangat-hangatnya sekitar 2 tahun lalu. Berita itu sempat mengegerkan dunia masa lalu lenyap berjalan seperti biasanya.

"Mas juga merasa itu tidak adil.. Tapi banding yang diajukan pelaku sangat mempengaruhi."

Alinda tak menjawab hanya sibuk menghapus air matanya. Pada akhirnya aku sadar ada yang aneh dari cerita yang dibuka Alinda.

"Kamu kenal wanita itu?.. Atau?"

"Ya Mas, itu aku. Alinda Tasifa Bella, yang hanya dicantumkan pada berita inisial saja, ATB."

Aku terdiam mendengar semua itu, tak kusangka berita malang yang sempat viral ternyata dialami oleh istriku sendiri.. Rasa bersalah menyerang karena menuduhnya yang tidak-tidak. Padahal Alinda korban disini.

"Alin, kamu kenapa sayang?" tanyaku panik saat melihat Alinda mengalami sesak nafas hebat. Wajahnya yang putih terlihat pucat.

Tanpa pikir panjang aku segera membawa Alinda menuju rumah sakit.

-

-

-

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status