Share

RDCI: Enam

Bunyi sepatu bergesekan pada lantai kramik rumah sakit memecahkan keheningan, waktu yang sudah sore tentu saja sudah tak banyak pengunjung rumah sakit.

Hanya sebagian orang saja, sebagian suster yang berlalu lalang dalam diam. Setelah menanyakan pada perawat dimana ruangan Melati Adista aku segera menuju ruang rawat Melati.

Aku hanya bisa berdo'a dalam hati bahwa pilihanku ingin menemui Melati lebih dulu adalah pilihan yang tepat, jika nanti tak ada lagi waktuku untuk berbicara pada Alinda tapi masih ada hari esok.

Sedangkan saat ini aku harus menghibur Melati sebab aku tahu bahwa jiwa gadis itu sedang terguncang.

Terlebih dahulu kuketuk pintu kamar, setelah itu barulah terdengar suara menyuruhku masuk.

"Bagaimana keadaanmu? Maaf datangnya agak telat," sapaku lebih dulu. Kemudian meraih bangku untuk kududuki tepat disamping Melati yang sedang berbaring.

Melihat kondisi lemah Melati aku hanya bisa diam penuh kasihan, kemarahanku semakin menjadi saat melihat bekas merah di pipi putihnya. Entah siapa dengan lancang menampar pipi wanita itu.

"Ngak masalah Bi, kamu datang aja uda buat aku bahagia," jawab Melati pelan sekali-kali ia meringis kesakitan.

Aku pun baru sadar disudut bibirnya terdapat luka sobek.

"Sudah makan?"

"Belum." Aku hanya bisa menghembuskan nafas keras, dari dulu Melati memang seperti itu. Dia tidak akan mau makan jika dalam masalah... Contohnya seperti saat ini.

"Yasudah! Sekarang makan, kebetulan aku tadi beli makanan kesukaanmu. Makan sekarang ya!" kataku sambil menegeluarkan makanan kesukaan Melati yang tadi sempat kubeli sebelum kesini.

"Suapiin," pinta gadis itu merengek manja.

"Hufft.. Baiklah," putusku langsung menyuapi Melati tanpak antusias setelah aku menyetujui untuk menyuapinya.

Saking bersemangatnya ia kini makanan habis tak tersisa, aku hanya bisa tersenyum melihat tingkah Melati yang begitu mengemaskan.

"Kamu bertengkar lagi sama Papamu, masalah apa?" tanyaku setelah Melati selesai meneguk air dalam aqua botol itu.

"Iya Bi, Papa menyuruhku kembali kedunia model lagi. Tapi aku ngak mau, aku uda capek! Jadi model itu ngak seindah yang terlihat. Itu ini diatur, kamu kan tahu aku dari dulu ngak suka diatur. Yah, beginilah akhirnya kalau menentang permintaan Papa," jelas Melati terlihat sangat benci saat menyebut nama sang Papa. Tapi aku setuju Pak Mario memang pantas dibenci oleh Melati.

"Sementara waktu kamu ikuti aja kemauan Papamu, sampai situasi memungkinkan untukku mengamankanmu Mel. Kita jangan gegabah, kamu juga tahu seperti apa kuasa Papamu itu."

"Tapi Bi.."

"Mel, kali ini aja. Aku ngak mau lihat kamu kayak gini terus," sahutku menekan kalimat agar Melati mengerti ucapanku.

Untunglah Melati wanita yang penurut, meskipun butuh tenaga ekstra untuk membujuk wanita itu.

Tepat pada angka jam menunjukan 22.00, aku pulang secara diam-diam karena Melati terus merengek tak mau kutinggalkan. Sampai akhirnya barulah aku bisa pergi setelah Melati terlelap.

Membutuhku waktu yang singkat untukku sampai kerumah, rumah dalam keadaan sepi namun lampu masih menyala membuatku langsung bertanya-tanya.

Seperti biasa aku membuka pintu sendiri, karena memang memegang kunci serap yang kubawa kemana-mana.

Saat pintu terbuka seketika tubuhku lemas tak bertulang, melihat pemandangan didepanku saat ini, membuatku merasa begitu bersalah pada Alinda.

Pandanganku tertuju pada kue diatas meja berbentuk kue ulang tahun, mengumpat diri sendiri bagaimana mungkin aku bisa melupakan hari ulang tahunku.

"Jangan... Jangan, aku bilang jangan."

Aku menyeritkan dahi saat melihat Alinda terus meracau padahal matanya masih terpejam.

"Jangan.. Kumohon jangan lakukan itu. Tolong, kamu jahat, jahat. Jangan lakukan itu."

Bukannya berhenti Alinda semakin menjadi, membuatku penasaran apa yang sedang dimimpikannya. Yang jelas Alinda bermimpi hal menakutkan terbukti dari raut wajahnya ketakutannya.

Ketika air mata Alinda turut keluar, ketika ia terus meracau. Ada perasaan tak tega.

Hingga kuberanikan diri untuk mendekap erat wanita itu, Alinda langsung terjaga namun tak mengurangi rasa cemas diwajahnya. Ia balas memel**ukku dan kini ia telah menangis terisak dida*daku.

"Mas Bian, aku takut."

"Tenang, Mas ada disini. Kamu cuma mimpi buruk," kataku tanpa sadar mengusap kepalanya tertutup hijab.

"Ngak Mas, semua itu ngak mimpi buruk," bantahnya. Aku hanya bisa diam sibuk bertarung dengan pikiran, mungkinkah Alinda pernah mengalami trauma hingga memasukti waktu tidurnya.

Menit berlalu tak ada gerakan Alinda ingin menjauh dengan pelan aku menjauhkan diri dari Alinda, tak memperdulikan tatapan protes darinya.

"Semua ini kamu yang nyiapin?" tanyaku melihat kue besar berbentuk manis sekali, diatasnya terdapat kreasi angka 29 tahun.

Disisi kanan dan kirinya terdapat banyak aneka makanan kesukaanku, berhasil membuatku menelan ludah.

"Iya Mas, semoga kamu suka ya!" jawab Alinda kini tanpak tenang.

"Aku makan ya!" pintaku meminta persetujuan darinya karena cacing-cacing diperut sudah minta diisi.

Alinda mengganguk sambil mengembangkan senyum.

"Kamu sudah makan?" tanyaku, Alinda menggeleng. Aku menghembuskan nafas keras apa semua wanita tidak mementingkan pola makannya terlebih dahulu, atau memang aku dikelilingi oleh wanita seperti itu.

"Kita makan bersama," ajakku.

"Hemm.. Makasih ya Mas tentang tadi kamu uda beri ketenangan padaku."

"Ngak masalah bukan hal besar."

"Dimata Mas memang bukan hal besar, tapi berbeda bagi Alin. Yang pantas untuk berterima kasih." Aku hanya mengganguk.

"Juga berterimakasih Mas tak sedingin biasanya!" kata Alinda lagi.

"Mas berfikir untuk memulai semuanya dari awal, Alin," kataku menatapnya serius. Alinda balas menatapku seolah mencari kejujuran.

"Mas serius?"

"Apa Mas terlihat bercanda?" Alinda menggeleng.

"Mungkin agak terlambat tapi lebih baik daripada tidak ada. Pertama Mas ingin minta maaf. Bunda benar kita fokus kemasa depan saja, kamu mau kan Alinda?"

Mata Alinda berkaca-kaca menatapku penuh haru sejurus kemudian Alinda meme*lukku dengan erat. Pancaran kelegaan terlihat jelas.

Seperti yang kurencanakan, penutup kisah malam ini berakhir di ranjang.

***

Mengumpat kasar melihat pesan Melati secara beruntun, dikirim saat jam 22.30 malam tadi. Dan bo dohnya aku menonaktifkan ponsel dan baru pagi ini kuperiksa benda cangih ini.

Banyaknya pesan Melati membuat da*daku kian sesak, tanpa aba-aba aku meraih kunci mobil setengah berlari. Tanpa memperdulikan teriakan Alinda memanggilku berulang kali.

-

-

-

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status