Bunyi sepatu bergesekan pada lantai kramik rumah sakit memecahkan keheningan, waktu yang sudah sore tentu saja sudah tak banyak pengunjung rumah sakit.
Hanya sebagian orang saja, sebagian suster yang berlalu lalang dalam diam. Setelah menanyakan pada perawat dimana ruangan Melati Adista aku segera menuju ruang rawat Melati. Aku hanya bisa berdo'a dalam hati bahwa pilihanku ingin menemui Melati lebih dulu adalah pilihan yang tepat, jika nanti tak ada lagi waktuku untuk berbicara pada Alinda tapi masih ada hari esok. Sedangkan saat ini aku harus menghibur Melati sebab aku tahu bahwa jiwa gadis itu sedang terguncang. Terlebih dahulu kuketuk pintu kamar, setelah itu barulah terdengar suara menyuruhku masuk. "Bagaimana keadaanmu? Maaf datangnya agak telat," sapaku lebih dulu. Kemudian meraih bangku untuk kududuki tepat disamping Melati yang sedang berbaring. Melihat kondisi lemah Melati aku hanya bisa diam penuh kasihan, kemarahanku semakin menjadi saat melihat bekas merah di pipi putihnya. Entah siapa dengan lancang menampar pipi wanita itu. "Ngak masalah Bi, kamu datang aja uda buat aku bahagia," jawab Melati pelan sekali-kali ia meringis kesakitan. Aku pun baru sadar disudut bibirnya terdapat luka sobek. "Sudah makan?" "Belum." Aku hanya bisa menghembuskan nafas keras, dari dulu Melati memang seperti itu. Dia tidak akan mau makan jika dalam masalah... Contohnya seperti saat ini. "Yasudah! Sekarang makan, kebetulan aku tadi beli makanan kesukaanmu. Makan sekarang ya!" kataku sambil menegeluarkan makanan kesukaan Melati yang tadi sempat kubeli sebelum kesini. "Suapiin," pinta gadis itu merengek manja. "Hufft.. Baiklah," putusku langsung menyuapi Melati tanpak antusias setelah aku menyetujui untuk menyuapinya. Saking bersemangatnya ia kini makanan habis tak tersisa, aku hanya bisa tersenyum melihat tingkah Melati yang begitu mengemaskan. "Kamu bertengkar lagi sama Papamu, masalah apa?" tanyaku setelah Melati selesai meneguk air dalam aqua botol itu. "Iya Bi, Papa menyuruhku kembali kedunia model lagi. Tapi aku ngak mau, aku uda capek! Jadi model itu ngak seindah yang terlihat. Itu ini diatur, kamu kan tahu aku dari dulu ngak suka diatur. Yah, beginilah akhirnya kalau menentang permintaan Papa," jelas Melati terlihat sangat benci saat menyebut nama sang Papa. Tapi aku setuju Pak Mario memang pantas dibenci oleh Melati. "Sementara waktu kamu ikuti aja kemauan Papamu, sampai situasi memungkinkan untukku mengamankanmu Mel. Kita jangan gegabah, kamu juga tahu seperti apa kuasa Papamu itu." "Tapi Bi.." "Mel, kali ini aja. Aku ngak mau lihat kamu kayak gini terus," sahutku menekan kalimat agar Melati mengerti ucapanku. Untunglah Melati wanita yang penurut, meskipun butuh tenaga ekstra untuk membujuk wanita itu. Tepat pada angka jam menunjukan 22.00, aku pulang secara diam-diam karena Melati terus merengek tak mau kutinggalkan. Sampai akhirnya barulah aku bisa pergi setelah Melati terlelap. Membutuhku waktu yang singkat untukku sampai kerumah, rumah dalam keadaan sepi namun lampu masih menyala membuatku langsung bertanya-tanya. Seperti biasa aku membuka pintu sendiri, karena memang memegang kunci serap yang kubawa kemana-mana. Saat pintu terbuka seketika tubuhku lemas tak bertulang, melihat pemandangan didepanku saat ini, membuatku merasa begitu bersalah pada Alinda. Pandanganku tertuju pada kue diatas meja berbentuk kue ulang tahun, mengumpat diri sendiri bagaimana mungkin aku bisa melupakan hari ulang tahunku. "Jangan... Jangan, aku bilang jangan." Aku menyeritkan dahi saat melihat Alinda terus meracau padahal matanya masih terpejam. "Jangan.. Kumohon jangan lakukan itu. Tolong, kamu jahat, jahat. Jangan lakukan itu." Bukannya berhenti Alinda semakin menjadi, membuatku penasaran apa yang sedang dimimpikannya. Yang jelas Alinda bermimpi hal menakutkan terbukti dari raut wajahnya ketakutannya. Ketika air mata Alinda turut keluar, ketika ia terus meracau. Ada perasaan tak tega. Hingga kuberanikan diri untuk mendekap erat wanita itu, Alinda langsung terjaga namun tak mengurangi rasa cemas diwajahnya. Ia balas memel**ukku dan kini ia telah menangis terisak dida*daku. "Mas Bian, aku takut." "Tenang, Mas ada disini. Kamu cuma mimpi buruk," kataku tanpa sadar mengusap kepalanya tertutup hijab. "Ngak Mas, semua itu ngak mimpi buruk," bantahnya. Aku hanya bisa diam sibuk bertarung dengan pikiran, mungkinkah Alinda pernah mengalami trauma hingga memasukti waktu tidurnya. Menit berlalu tak ada gerakan Alinda ingin menjauh dengan pelan aku menjauhkan diri dari Alinda, tak memperdulikan tatapan protes darinya. "Semua ini kamu yang nyiapin?" tanyaku melihat kue besar berbentuk manis sekali, diatasnya terdapat kreasi angka 29 tahun. Disisi kanan dan kirinya terdapat banyak aneka makanan kesukaanku, berhasil membuatku menelan ludah. "Iya Mas, semoga kamu suka ya!" jawab Alinda kini tanpak tenang. "Aku makan ya!" pintaku meminta persetujuan darinya karena cacing-cacing diperut sudah minta diisi. Alinda mengganguk sambil mengembangkan senyum. "Kamu sudah makan?" tanyaku, Alinda menggeleng. Aku menghembuskan nafas keras apa semua wanita tidak mementingkan pola makannya terlebih dahulu, atau memang aku dikelilingi oleh wanita seperti itu. "Kita makan bersama," ajakku. "Hemm.. Makasih ya Mas tentang tadi kamu uda beri ketenangan padaku." "Ngak masalah bukan hal besar." "Dimata Mas memang bukan hal besar, tapi berbeda bagi Alin. Yang pantas untuk berterima kasih." Aku hanya mengganguk. "Juga berterimakasih Mas tak sedingin biasanya!" kata Alinda lagi. "Mas berfikir untuk memulai semuanya dari awal, Alin," kataku menatapnya serius. Alinda balas menatapku seolah mencari kejujuran. "Mas serius?" "Apa Mas terlihat bercanda?" Alinda menggeleng. "Mungkin agak terlambat tapi lebih baik daripada tidak ada. Pertama Mas ingin minta maaf. Bunda benar kita fokus kemasa depan saja, kamu mau kan Alinda?" Mata Alinda berkaca-kaca menatapku penuh haru sejurus kemudian Alinda meme*lukku dengan erat. Pancaran kelegaan terlihat jelas. Seperti yang kurencanakan, penutup kisah malam ini berakhir di ranjang. *** Mengumpat kasar melihat pesan Melati secara beruntun, dikirim saat jam 22.30 malam tadi. Dan bo dohnya aku menonaktifkan ponsel dan baru pagi ini kuperiksa benda cangih ini. Banyaknya pesan Melati membuat da*daku kian sesak, tanpa aba-aba aku meraih kunci mobil setengah berlari. Tanpa memperdulikan teriakan Alinda memanggilku berulang kali. - - - Bersambung.Rasa amarahku kian tak terbendung saat melihat pemandangan di depan sana, ada amarah yang meletup-letup siap dilampiaskan. Ketika tangan lancang itu ingin menampar pipi Melati, dengan gerakan cepat kutahan dengan kuat. Kemudian menghempaskannya dengan kasar. "Jauhkan tangan kotormu Alex," ucapku penuh penekanan. Lelaki sesuisaku itu hanya tersenyum remeh setelah bisa menguasai diri yang awalnya tanpak kaget atas kedatanganku secara tiba-tiba. Juga berhasil menghentikan aksinya ingin berlaku kasar. "Jangan ikut campur urusan saya juga Melati, Biantara," balasnya tertawa sumbang. Sungguh memuakan, dari dulu Alex tak pernah berubah tetap sombong karena kuasa yang dimilikinya. "Jika berurusan dengan Melati, termasuk juga berurusan dengan saya," kataku membalas tatapan sengitnya. "Oh ya? Tidak usah formal begitu. Hem, aku kekasihnya Melati, kamu siapa?" "Biantara kekasih baruku! Puas kamu Alex?" teriak Melati berhasil membuatku kaget. Tapi aku hanya bisa diam, mungkin saja
"Dokter tolong istri saya segera," pintaku keras saking paniknya saat melihat jalan nafas Alinda tersendat-sendat kemudian melemah. Alinda tak sadarkan diri. "Anda suaminya? Tenang Pak! Ini sudah tugas kami, harap kerjasamanya. Bapak tunggu diluar." Mengusap rambut kasar lalu melangkah kebangku tunggu kemudian menjatuhkan bok*ongku disana. Terlalu lama berdiri persendian terasa kram semua. Butuh waktu hampir setengah jam barulah dokter wanita keluar dengan nama tertera didada kirinya, Dr. Indra Mufthi. "Anda suaminya? Mari ikut keruangan saya," ajak Dr. Indra tersenyum ramah. Tanpak banyak bicara aku segera mengikuti langkah Dr. Indra, tujuan kami keruangan yang tak terlalu luas. Diatas pintu tertanda Dr. Indra membuktikan bahwa ini ruangan pribadi Dokter itu. Ketika kami sampai Dr. Indra menyuruhku masuk juga duduk, meskipun sedikit pusing aku menurut. Sudah dari awal menjejakan kaki disini perutku terasa diaduk-aduk karena bau obat- obatan yang sangat menyengat. "Anda
"Kamu uda nikah kan Bi?" Aku terdiam beberapa saat, sudah kuduga bahwanya kebohonganku lambat laun akan diketahui Melati. Hanya saja aku tak menyangka dengan cara seperti ini, padahal aku berencana memberi tahunya secara pelan-pelan. "Aku berharap kamu jawab ngak." "Ngak Mel, aku memang sudah menikah," sahutku cepat. Melati tak menjawab, pancaran kecewa terlihat jelas diraut wajahnya. Ia membuang muka kearah jendela seolah enggan bertatap muka denganku. "Jangan seperti ini Mel," kataku pelan. "Lebih baik aku mat*i Bi, di dunia ini ngak ada lagi yang sayang dan peduli perasaanku." "Walaupun aku sudah menikah kita tetap bisa sedekat ini Mel, walaupun..." "Hanya teman kan , aku ngak mau Bi. Aku lebih mau menjadi selingkuhan kamu," tukas Melati membuatku menggeleng kepala pelan. Meskipun awal kami bertemu berhasil kembali membuat perasaanku bergetar aneh. Namun tak sedikit pun untukku terfikir melakukan hal ji*jik seperti itu. Tekatku semakin kuat saat mengetahui masalalu
"Mel, kamu baik-baik aja kan?" tanyaku ketika berhasil menemui Melati. Sesuai alamat yang dikirimnya jalan Raya Anggrek terlihat Melati sedang duduk ditepi jalan sambil menyeret kopernya. "Aku ngak papa kok, hanya saja bingung mau kemana? Mau pergi cari hotel atau apertemen takut ketahuan Alex. Ini aja aku habis dikejar anak buahnya!" jawaban Melati berhasil membuatku menghembuskan nafas lega. "Tapi ngak ada yang lecet kan?" Melati menggeleng. "Tapi kenapa orang-orang Alex cari kamu?" "Katanya Papa punya hutang besar dengan perusahaan Alex. Sebagai tembusnya aku harus menyerahkan diri, tentu saja aku ngak mau," sahut Melati. Aku berfikir mencari tempat aman untuk Melati. Tapi satu- satunya tempat terlintas dalam benakku adalah rumahku sendiri. Tapi apakah Alinda memgizinkan? Lalu aku harus jawab apa ketika Alinda bertanya siapa Melati. Tapi sepertinya tak ada jalan lain lagi, aku akan berterus terang pada Alinda. Memang kenyataannya aku dan Melati hanya sebatas teman, ti
Ditinggal oleh kedua orang tua saat usiaku masih belia bagaikan neraka yang kurasakan. Hidup serba pas-pasan masih membuatku bertahan. Tapi ketika harga diri dan kehormatanku dihempas jatuh, saat itulah aku kehilangan semangat untuk hidup. Pamanku, sosok yang seharusnya melindungiku pengganti Ayah justru membuatku menderita. Kehormatanku dirampas secara paksa, tak cukup sampai disitu, baj*ingan itu mencari keuntungan dengan menjual diriku. Harga diriku memang sudah tidak ada apa- apanya lagi. Hampir 2 bulan aku mengalami siksaan itu, barulah terbebas ketika bertemu seorang Dokter. Dr. Indra namanya. Awalnya kusangka dunia memang sudah gila karena uang bisa mengatur semuanya. Akhirnya pandangkanku berubah tentang itu ketika bertemu Dr. Indra. Menjadi wanita kuat dan tegar ternyata tak semudah itu. Terlepas dari siksaan Paman Bram tidak juga membuatku bahagia. Bayangan-bayangan malam kelam yang sempat kulalui berhasil mengusik mental dan jiwaku. Aku mengalami trauma yang hampi
Aku, Melati AdistaBagiku, Biantara Narendra adalah lelaki rupawan berhasil memikat hatiku dari awal sekolah menengah atas, berlanjut kejenjang kuliah. Sayang, komunikasi kami terputus, hingga beberapa bulan lalu kami bertemu kembali. Rasa cinta yang semula ada kini bersemi kembali bak lagu yang pernah didendangkan. Namun rasa itu menjadi kecewa ketika aku mengetahui Bian telah menikah. Dan aku tak terima itu semua. Aku pantas bahagia bersama lelaki yang paling mengerti akan diriku. Tapi ternyata Bian tak selemah yang aku kira, ia bisa melewati godaan yang kuberikan. Bahkan Bian tanpak marah ketika aku berlaku argesif padanya. Namun, bukan Melati Adista namanya jika tidak memiliki sejuta cara untuk mengikat Bian kembali. Apa pun caranya akan kulakukan. Mengatakan bahwa rumah peninggalan Papa dan Mama disita karena terlilit hutang pada Alex. Tentu saja itu semua tidak benar, hanya berupa kebohongan agar aku lebih dekat dengan Bian. Seperti dugaanku, akhirnya Bian masuk ked
Terhitung seminggu semenjak perdebatan singatku dengan Melati. Jika dihitung lamanya Melati menginap bersama aku juga Alinda, mungkin sudah hampir satu bulan.Perlakuan dinginku pada Melati bukan semata-mata karena desakan Alinda seperti yang dituduhkan Melati. Murni semua itu keinginanku, karena aku sadar imanku tak sekuat itu jika berlama- lama di dekatnya.Satu satunya cara agar berjalan seperti semestinya aku harus menghindar.Satu hal yang belum bisa kulakukan yaitu menyuruh Melati untuk segera mengunsi kekosan atau kontrakan yang jauh dari jangkauan Alex.Tapi Melati mengatakan ia belum siapa menjalankan seperti itu, masih takut bertemu dengan Alex. Aku tak terlalu mempermasalahkan itu, meskipun benar apa yang dikatakan Alinda.Kami butuh privasi dari orang luar. Meskipun bagiku Melati bukan orang asing lagi tapi tidak dengan Alinda. Mungkin saja Alinda masih terasa asing pada Melati."Mas berangkat dulu ya sayang!" pamitku pada Alinda sambil mengecup keningnya lama.Alinda bala
#BismillahRahasia Dibalik Cadar Istriku 14Mataku mengerjab sambil memijit dahi pelan sebab terasa sakit apalagi saat mengingat apa yang terjadi beberapa jam yang lalu.Mengingat sikap Melati kali ini membuatku sungguh muak padanya. Murahan! Mungkin binatang har*am lebih mulia dibandingkan kelakuanya.Untung Alinda cepat datang, jika tidak entah apa yang terjadi? Mengingat istriku itu aku segera mencarinya. Memang setelah kejadian tadi aku tertidur karena kelelahan."Aman Bun, Allhamdulilah. Alin bisa mengatasinya." Saat melangkah kekamar mandi di dalam kamar ini aku mendengar suara Alinda berbicara sepertinya dengan Bunda."Terimakasih ya Bun! Untung dari awal Alin sudah memberi tahu Bunda tentang kedekatan Mas Bian sama temanya itu. Mungkin insting seorang istri ya Bun, karena dari awal Alin sudah mencium bau-bau tidak enak."Aku menatap punggung Alinda tak menyangka ternyata ia telah memberi tahu Bunda tentang kedatangan Melati kerumah ini.Padahal aku telah mengatakan padanya ag