"Maaf Mel, aku ngak bisa membawamu pergi dari sini . Tapi aku berjanji akan selalu melindungi dan menjagamu sebisaku," ucapku menolak permintaan Melati.
Bukan karena aku tak mampu tapi karena aku tak bisa, posisiku saat ini tak semudah itu. Selain itu ada konsekuensi yang besar di depan sana. Siapa yang tak kenal sepak terjang Pak Mario, Papanya Melati. Kedudukan yang ia punya bisa memudahkan segalanya. Kemudian bayangan Alinda terlintas dalam benakku, aku tahu ini salah saat aku berdekatan dengan Melati sebab ada bumerang di depan sana untuk kami nanti. Selain itu tak mungkin untukku melepaskan Alinda, karena dalam hatiku masih terlalu ambigu untuk memahami seperti apa kehidupan yang akan kujalani bersama Alinda kedepanya. Biarlah sementara waktu kurahasiakan pada Melati bahwa aku telah menikah. Jika aku berterus terang, aku tak yakin hubungan kami masih bisa sedekat ini. "Tapi kenapa Bi? Jangan katakan karena kamu uda ngak cinta lagi padaku, itu semua bohong kan? Sebab aku masih bisa melihat ada cinta disana." Aku tak menjawab juga tak menanggapi ucapan Melati, jika aku menjawab ia. Aku tak mau membuat Melati semakin berharap. Satu yang perlu diketahui kenanganku bersama Melati terlalu indah untuk dilupakan. Lalu bagaimana jawabanku menikahi Alinda padahal pertemuan kami baru setengah tahun, semua itu terlalu sulit untuk dijawab yang jelas aku tertipu oleh penampilannya. "Aku ngak bisa Mel!" Aku tersentak kaget ketika Melati memelukku dengan erat, tubuhku semakin lemas ketika kami berdekatan seperti ini. Entah siapa yang dulu memulai tapi kini indra pengecap kami saling bertautan, beberapa detik aku terbuai dalam suasana yang kami ciptakan. Sampai akhirnya aku sadar bahwa ini salah, ucapan Alinda tentang kami tak ada bedanya terngiang ngiang dalam pikiranku. Gegasku dorong Melati menjauh hingga gadis itu hampir terjungkal, tatapanku menyapu kesegala arah. Untunglah tak ada yang melihat. "Bi, kamu menolakkku?" tanya Melati terlihat kecewa. "Bukan begitu Mel, ini semua ngak benar," jawabku gusar. "Aku rela menyerahkan semuanya padamu Bian dari pada sama Alex." Tidak, aku tak mungkin melakukan sesuatu yang terlarang bersama Melati. Harusku tegaskan pada diri sendiri bahwa aku dan Alinda berbeda bukan murahan. "Lupakan apa yang telah terjadi, aku tak mau kedekatan kita menjauh hanya karena nafsu." "Nafsu katamu Bi? Jelas-jelas kita melakukannya melibatkan cinta," sungut Melati terlihat murka. "Kita tenangkan dulu diri masing-masing." *** Sesuai keinginanku ingin pindah, hari ini aku pulang cepat karena kebetulan perkerjaanku telah selesai. Setelah mengemasi barang-barang kami, aku dan Alinda siap untuk berangkat. Bunda terlihat sedih melepasksn kami. Ah tidak, tepatnya sedih melepaskan Alinda mantu serasa anak sendiri. Bunda terlibat perbincangan singat bersama Alinda, sepertinya hanya boleh diketahui mereka berdua saja. Aku pun tak terlalu peduli. "Bunda percaya kamu wanita hebat Alin! Jangan lupa berdo'a sebelum tidur agar mimpi buruk itu tak menggangumu." "Terimakasih Bun, Bunda terlalu menyayangi Alin seperti anak sendiri. Semoga kedekatan ini tak pernah pudar ya Bun!" "Tentu saja nak, apa yang kamu takutkan?" "Alin sayang, ayo kita pergi lagi. Takut kemalaman sampai kerumah baru kita." Sengaja menghentikan drama tangis Bunda dan Alin, sebab rasa bosan telah menyerang. "Baiklah. Bun, Alin sama Mas Bian pergi dulu ya," pamit Alinda. "Jika sampai jangan lupa kabari Bunda ya!" Setelah mengucapkan salam, barulah Alinda masuk kemobil sempat kubisikan bahwa ia lama sekali. Setelah itu barulah kendaraan ini berjalan, menatap jengan Alinda terus melambai pada Bunda. Waktu tempuh 2 jam barulah aku dan Alinda sampai kerumah yang akan kami huni, jarak kekantor pun tak terlalu jauh. Menatap nanar bangunan kokoh dari satu bulan lalu telah kurancang dengan indah, namun semuanya berubah karena Alinda wanita penipu dan aku benci itu. Hari berjalan seperti biasanya mengenai sikapku pada Alindah tak ubahnya sedingin es. Tapi tanpaknya Alinda tak pernah bosan untuk mengambil simpati dariku. Ia selalu mengerjakan perkerjaan rumah dengan rapi juga selalu memasakan makanan kesukaanku, mungkin tahu dari Bunda. Semakin kesini aku sadar bahwa aku lelaki yang egois, hanya karena sebuah masalalu membuatku bisa menghancurkan masadepan seseorang. "Dah.. Hati-hati dijalan ya Mas! Assalamualaikum." Setiap pagi Alinda selalu berkats manis begitu juga ketika menyambutku saat pulang kerja. Menghembuskan nafas berat, akhirnya aku sadar bahwa Alinda istri tanpa cela dan cacat. "Ya! Waalsikumsalam." "Kamu jawab salamku Mas," pekik Alinda bahagia, memang baru pagi ini kutanggapi ocehannya. Sampai dikantor aku termenung memikirkan kata-kata untuk diungkapkan pada Alinfa, kata yang pertama minta maaf , lalu kata-kata manis lainya setelah itu barulah kami bercinta. Bohong jika selama ini aku tak tertarik pada Alinda, bahkan sangat menyiksa. "Oh iya! Melati ngak kelihatan, ngak kerja dia?" tanyaku pada Soraya, rekan kantor paling dekat dengan Melati. Sampai asiknya memikirksn Alinda, aku sampai lupa Melati yang tak terlihat. Aku pun baru sadar semenjak kejadian ciuman ditaman waktu itu, kami terasa canggung, hingga tak sedekat dulu lagi. "Dia sakit pak, kabarnya karena habis bertengkar dengan Papanya," jelas Soraya. "Apa?" tanyaku kaget, Soraya hanya mengganguk. Kini aku dilanda kebingungan waktu yang singat harus kupilih dengan benar. Ini antara Alinda dan Melati dua wanita akhir-akhir ini mengisi hatiku. Pasti Alinda sedang menunggu kedatanganku sedangkan Melati disana juga sangat membutuhkanku. Sungguh pilihan yang sulit!!. - - - Bersambung.Penasaran rahasia apa di masa lalu Alinda, ya?
Bunyi sepatu bergesekan pada lantai kramik rumah sakit memecahkan keheningan, waktu yang sudah sore tentu saja sudah tak banyak pengunjung rumah sakit. Hanya sebagian orang saja, sebagian suster yang berlalu lalang dalam diam. Setelah menanyakan pada perawat dimana ruangan Melati Adista aku segera menuju ruang rawat Melati. Aku hanya bisa berdo'a dalam hati bahwa pilihanku ingin menemui Melati lebih dulu adalah pilihan yang tepat, jika nanti tak ada lagi waktuku untuk berbicara pada Alinda tapi masih ada hari esok. Sedangkan saat ini aku harus menghibur Melati sebab aku tahu bahwa jiwa gadis itu sedang terguncang. Terlebih dahulu kuketuk pintu kamar, setelah itu barulah terdengar suara menyuruhku masuk. "Bagaimana keadaanmu? Maaf datangnya agak telat," sapaku lebih dulu. Kemudian meraih bangku untuk kududuki tepat disamping Melati yang sedang berbaring. Melihat kondisi lemah Melati aku hanya bisa diam penuh kasihan, kemarahanku semakin menjadi saat melihat bekas merah di p
Rasa amarahku kian tak terbendung saat melihat pemandangan di depan sana, ada amarah yang meletup-letup siap dilampiaskan. Ketika tangan lancang itu ingin menampar pipi Melati, dengan gerakan cepat kutahan dengan kuat. Kemudian menghempaskannya dengan kasar. "Jauhkan tangan kotormu Alex," ucapku penuh penekanan. Lelaki sesuisaku itu hanya tersenyum remeh setelah bisa menguasai diri yang awalnya tanpak kaget atas kedatanganku secara tiba-tiba. Juga berhasil menghentikan aksinya ingin berlaku kasar. "Jangan ikut campur urusan saya juga Melati, Biantara," balasnya tertawa sumbang. Sungguh memuakan, dari dulu Alex tak pernah berubah tetap sombong karena kuasa yang dimilikinya. "Jika berurusan dengan Melati, termasuk juga berurusan dengan saya," kataku membalas tatapan sengitnya. "Oh ya? Tidak usah formal begitu. Hem, aku kekasihnya Melati, kamu siapa?" "Biantara kekasih baruku! Puas kamu Alex?" teriak Melati berhasil membuatku kaget. Tapi aku hanya bisa diam, mungkin saja
"Dokter tolong istri saya segera," pintaku keras saking paniknya saat melihat jalan nafas Alinda tersendat-sendat kemudian melemah. Alinda tak sadarkan diri. "Anda suaminya? Tenang Pak! Ini sudah tugas kami, harap kerjasamanya. Bapak tunggu diluar." Mengusap rambut kasar lalu melangkah kebangku tunggu kemudian menjatuhkan bok*ongku disana. Terlalu lama berdiri persendian terasa kram semua. Butuh waktu hampir setengah jam barulah dokter wanita keluar dengan nama tertera didada kirinya, Dr. Indra Mufthi. "Anda suaminya? Mari ikut keruangan saya," ajak Dr. Indra tersenyum ramah. Tanpak banyak bicara aku segera mengikuti langkah Dr. Indra, tujuan kami keruangan yang tak terlalu luas. Diatas pintu tertanda Dr. Indra membuktikan bahwa ini ruangan pribadi Dokter itu. Ketika kami sampai Dr. Indra menyuruhku masuk juga duduk, meskipun sedikit pusing aku menurut. Sudah dari awal menjejakan kaki disini perutku terasa diaduk-aduk karena bau obat- obatan yang sangat menyengat. "Anda
"Kamu uda nikah kan Bi?" Aku terdiam beberapa saat, sudah kuduga bahwanya kebohonganku lambat laun akan diketahui Melati. Hanya saja aku tak menyangka dengan cara seperti ini, padahal aku berencana memberi tahunya secara pelan-pelan. "Aku berharap kamu jawab ngak." "Ngak Mel, aku memang sudah menikah," sahutku cepat. Melati tak menjawab, pancaran kecewa terlihat jelas diraut wajahnya. Ia membuang muka kearah jendela seolah enggan bertatap muka denganku. "Jangan seperti ini Mel," kataku pelan. "Lebih baik aku mat*i Bi, di dunia ini ngak ada lagi yang sayang dan peduli perasaanku." "Walaupun aku sudah menikah kita tetap bisa sedekat ini Mel, walaupun..." "Hanya teman kan , aku ngak mau Bi. Aku lebih mau menjadi selingkuhan kamu," tukas Melati membuatku menggeleng kepala pelan. Meskipun awal kami bertemu berhasil kembali membuat perasaanku bergetar aneh. Namun tak sedikit pun untukku terfikir melakukan hal ji*jik seperti itu. Tekatku semakin kuat saat mengetahui masalalu
"Mel, kamu baik-baik aja kan?" tanyaku ketika berhasil menemui Melati. Sesuai alamat yang dikirimnya jalan Raya Anggrek terlihat Melati sedang duduk ditepi jalan sambil menyeret kopernya. "Aku ngak papa kok, hanya saja bingung mau kemana? Mau pergi cari hotel atau apertemen takut ketahuan Alex. Ini aja aku habis dikejar anak buahnya!" jawaban Melati berhasil membuatku menghembuskan nafas lega. "Tapi ngak ada yang lecet kan?" Melati menggeleng. "Tapi kenapa orang-orang Alex cari kamu?" "Katanya Papa punya hutang besar dengan perusahaan Alex. Sebagai tembusnya aku harus menyerahkan diri, tentu saja aku ngak mau," sahut Melati. Aku berfikir mencari tempat aman untuk Melati. Tapi satu- satunya tempat terlintas dalam benakku adalah rumahku sendiri. Tapi apakah Alinda memgizinkan? Lalu aku harus jawab apa ketika Alinda bertanya siapa Melati. Tapi sepertinya tak ada jalan lain lagi, aku akan berterus terang pada Alinda. Memang kenyataannya aku dan Melati hanya sebatas teman, ti
Ditinggal oleh kedua orang tua saat usiaku masih belia bagaikan neraka yang kurasakan. Hidup serba pas-pasan masih membuatku bertahan. Tapi ketika harga diri dan kehormatanku dihempas jatuh, saat itulah aku kehilangan semangat untuk hidup. Pamanku, sosok yang seharusnya melindungiku pengganti Ayah justru membuatku menderita. Kehormatanku dirampas secara paksa, tak cukup sampai disitu, baj*ingan itu mencari keuntungan dengan menjual diriku. Harga diriku memang sudah tidak ada apa- apanya lagi. Hampir 2 bulan aku mengalami siksaan itu, barulah terbebas ketika bertemu seorang Dokter. Dr. Indra namanya. Awalnya kusangka dunia memang sudah gila karena uang bisa mengatur semuanya. Akhirnya pandangkanku berubah tentang itu ketika bertemu Dr. Indra. Menjadi wanita kuat dan tegar ternyata tak semudah itu. Terlepas dari siksaan Paman Bram tidak juga membuatku bahagia. Bayangan-bayangan malam kelam yang sempat kulalui berhasil mengusik mental dan jiwaku. Aku mengalami trauma yang hampi
Aku, Melati AdistaBagiku, Biantara Narendra adalah lelaki rupawan berhasil memikat hatiku dari awal sekolah menengah atas, berlanjut kejenjang kuliah. Sayang, komunikasi kami terputus, hingga beberapa bulan lalu kami bertemu kembali. Rasa cinta yang semula ada kini bersemi kembali bak lagu yang pernah didendangkan. Namun rasa itu menjadi kecewa ketika aku mengetahui Bian telah menikah. Dan aku tak terima itu semua. Aku pantas bahagia bersama lelaki yang paling mengerti akan diriku. Tapi ternyata Bian tak selemah yang aku kira, ia bisa melewati godaan yang kuberikan. Bahkan Bian tanpak marah ketika aku berlaku argesif padanya. Namun, bukan Melati Adista namanya jika tidak memiliki sejuta cara untuk mengikat Bian kembali. Apa pun caranya akan kulakukan. Mengatakan bahwa rumah peninggalan Papa dan Mama disita karena terlilit hutang pada Alex. Tentu saja itu semua tidak benar, hanya berupa kebohongan agar aku lebih dekat dengan Bian. Seperti dugaanku, akhirnya Bian masuk ked
Terhitung seminggu semenjak perdebatan singatku dengan Melati. Jika dihitung lamanya Melati menginap bersama aku juga Alinda, mungkin sudah hampir satu bulan.Perlakuan dinginku pada Melati bukan semata-mata karena desakan Alinda seperti yang dituduhkan Melati. Murni semua itu keinginanku, karena aku sadar imanku tak sekuat itu jika berlama- lama di dekatnya.Satu satunya cara agar berjalan seperti semestinya aku harus menghindar.Satu hal yang belum bisa kulakukan yaitu menyuruh Melati untuk segera mengunsi kekosan atau kontrakan yang jauh dari jangkauan Alex.Tapi Melati mengatakan ia belum siapa menjalankan seperti itu, masih takut bertemu dengan Alex. Aku tak terlalu mempermasalahkan itu, meskipun benar apa yang dikatakan Alinda.Kami butuh privasi dari orang luar. Meskipun bagiku Melati bukan orang asing lagi tapi tidak dengan Alinda. Mungkin saja Alinda masih terasa asing pada Melati."Mas berangkat dulu ya sayang!" pamitku pada Alinda sambil mengecup keningnya lama.Alinda bala