Share

RDCI: Lima

"Maaf Mel, aku ngak bisa membawamu pergi dari sini . Tapi aku berjanji akan selalu melindungi dan menjagamu sebisaku," ucapku menolak permintaan Melati.

Bukan karena aku tak mampu tapi karena aku tak bisa, posisiku saat ini tak semudah itu. Selain itu ada konsekuensi yang besar di depan sana.

Siapa yang tak kenal sepak terjang Pak Mario, Papanya Melati. Kedudukan yang ia punya bisa memudahkan segalanya.

Kemudian bayangan Alinda terlintas dalam benakku, aku tahu ini salah saat aku berdekatan dengan Melati sebab ada bumerang di depan sana untuk kami nanti.

Selain itu tak mungkin untukku melepaskan Alinda, karena dalam hatiku masih terlalu ambigu untuk memahami seperti apa kehidupan yang akan kujalani bersama Alinda kedepanya.

Biarlah sementara waktu kurahasiakan pada Melati bahwa aku telah menikah. Jika aku berterus terang, aku tak yakin hubungan kami masih bisa sedekat ini.

"Tapi kenapa Bi? Jangan katakan karena kamu uda ngak cinta lagi padaku, itu semua bohong kan? Sebab aku masih bisa melihat ada cinta disana."

Aku tak menjawab juga tak menanggapi ucapan Melati, jika aku menjawab ia. Aku tak mau membuat Melati semakin berharap. Satu yang perlu diketahui kenanganku bersama Melati terlalu indah untuk dilupakan.

Lalu bagaimana jawabanku menikahi Alinda padahal pertemuan kami baru setengah tahun, semua itu terlalu sulit untuk dijawab yang jelas aku tertipu oleh penampilannya.

"Aku ngak bisa Mel!"

Aku tersentak kaget ketika Melati memelukku dengan erat, tubuhku semakin lemas ketika kami berdekatan seperti ini.

Entah siapa yang dulu memulai tapi kini indra pengecap kami saling bertautan, beberapa detik aku terbuai dalam suasana yang kami ciptakan.

Sampai akhirnya aku sadar bahwa ini salah, ucapan Alinda tentang kami tak ada bedanya terngiang ngiang dalam pikiranku.

Gegasku dorong Melati menjauh hingga gadis itu hampir terjungkal, tatapanku menyapu kesegala arah. Untunglah tak ada yang melihat.

"Bi, kamu menolakkku?" tanya Melati terlihat kecewa.

"Bukan begitu Mel, ini semua ngak benar," jawabku gusar.

"Aku rela menyerahkan semuanya padamu Bian dari pada sama Alex." Tidak, aku tak mungkin melakukan sesuatu yang terlarang bersama Melati. Harusku tegaskan pada diri sendiri bahwa aku dan Alinda berbeda bukan murahan.

"Lupakan apa yang telah terjadi, aku tak mau kedekatan kita menjauh hanya karena nafsu."

"Nafsu katamu Bi? Jelas-jelas kita melakukannya melibatkan cinta," sungut Melati terlihat murka.

"Kita tenangkan dulu diri masing-masing."

***

Sesuai keinginanku ingin pindah, hari ini aku pulang cepat karena kebetulan perkerjaanku telah selesai.

Setelah mengemasi barang-barang kami, aku dan Alinda siap untuk berangkat.

Bunda terlihat sedih melepasksn kami. Ah tidak, tepatnya sedih melepaskan Alinda mantu serasa anak sendiri.

Bunda terlibat perbincangan singat bersama Alinda, sepertinya hanya boleh diketahui mereka berdua saja. Aku pun tak terlalu peduli.

"Bunda percaya kamu wanita hebat Alin! Jangan lupa berdo'a sebelum tidur agar mimpi buruk itu tak menggangumu."

"Terimakasih Bun, Bunda terlalu menyayangi Alin seperti anak sendiri. Semoga kedekatan ini tak pernah pudar ya Bun!"

"Tentu saja nak, apa yang kamu takutkan?"

"Alin sayang, ayo kita pergi lagi. Takut kemalaman sampai kerumah baru kita."

Sengaja menghentikan drama tangis Bunda dan Alin, sebab rasa bosan telah menyerang.

"Baiklah. Bun, Alin sama Mas Bian pergi dulu ya," pamit Alinda.

"Jika sampai jangan lupa kabari Bunda ya!"

Setelah mengucapkan salam, barulah Alinda masuk kemobil sempat kubisikan bahwa ia lama sekali. Setelah itu barulah kendaraan ini berjalan, menatap jengan Alinda terus melambai pada Bunda.

Waktu tempuh 2 jam barulah aku dan Alinda sampai kerumah yang akan kami huni, jarak kekantor pun tak terlalu jauh.

Menatap nanar bangunan kokoh dari satu bulan lalu telah kurancang dengan indah, namun semuanya berubah karena Alinda wanita penipu dan aku benci itu.

Hari berjalan seperti biasanya mengenai sikapku pada Alindah tak ubahnya sedingin es. Tapi tanpaknya Alinda tak pernah bosan untuk mengambil simpati dariku.

Ia selalu mengerjakan perkerjaan rumah dengan rapi juga selalu memasakan makanan kesukaanku, mungkin tahu dari Bunda.

Semakin kesini aku sadar bahwa aku lelaki yang egois, hanya karena sebuah masalalu membuatku bisa menghancurkan masadepan seseorang.

"Dah.. Hati-hati dijalan ya Mas! Assalamualaikum."

Setiap pagi Alinda selalu berkats manis begitu juga ketika menyambutku saat pulang kerja. Menghembuskan nafas berat, akhirnya aku sadar bahwa Alinda istri tanpa cela dan cacat.

"Ya! Waalsikumsalam."

"Kamu jawab salamku Mas," pekik Alinda bahagia, memang baru pagi ini kutanggapi ocehannya.

Sampai dikantor aku termenung memikirkan kata-kata untuk diungkapkan pada Alinfa, kata yang pertama minta maaf , lalu kata-kata manis lainya setelah itu barulah kami bercinta.

Bohong jika selama ini aku tak tertarik pada Alinda, bahkan sangat menyiksa.

"Oh iya! Melati ngak kelihatan, ngak kerja dia?" tanyaku pada Soraya, rekan kantor paling dekat dengan Melati.

Sampai asiknya memikirksn Alinda, aku sampai lupa Melati yang tak terlihat.

Aku pun baru sadar semenjak kejadian ciuman ditaman waktu itu, kami terasa canggung, hingga tak sedekat dulu lagi.

"Dia sakit pak, kabarnya karena habis bertengkar dengan Papanya," jelas Soraya.

"Apa?" tanyaku kaget, Soraya hanya mengganguk.

Kini aku dilanda kebingungan waktu yang singat harus kupilih dengan benar. Ini antara Alinda dan Melati dua wanita akhir-akhir ini mengisi hatiku.

Pasti Alinda sedang menunggu kedatanganku sedangkan Melati disana juga sangat membutuhkanku.

Sungguh pilihan yang sulit!!.

-

-

-

Bersambung.

Ladiy Piaanti

Penasaran rahasia apa di masa lalu Alinda, ya?

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status