Nafasku memburu seiring antara jarakku dengan Alinda semakin menipis, bahkan bedak yang ia pakai telah tercium olehku.
"Cukup kau telah mengambil simpati pada Bunda, tapi jangan sekali-kali kau menghancurkan nama baikku di depan Bunda. Tak akan kubiarkan semua itu terjadi, dasar wanita licik." bisikku serupa gumaman tepat disamping telinga Alinda. "Oh baguslah! Hubungan kalian sudah baik. Sudah Bunda duga kamu itu butuh istri seperti Alin, rela menunggu suaminya pulang kerja hingga larut, selain menunggu tidur bersama juga menunggu makan bersama." Sejenak aku terdiam mendengar ucapan Bunda memberitahu kondisi Alin saat menungguiku. Ada rasa kasihan sebab aku bukan berkerja melainkan berduaan dengan wanita. Tapi semua itu tak sepenuhnya salahku Alin, kau wanita penipu pantas merasakan itu. Masih teringat jelas kejadian malam pertama kami. Selain tak mempunyai selaput da rah, meskipun dari segi itu tak bisa diukur. Namun saat memulai segalanya bisa kurasakan terasa muda tanpa kendala. Sedangkan yang kuketahui dari buku juga Aldi yang telah beristri, wanita pera*wan terasa sulit saat memulai pada intinya. "Tentu saja Bun, akhirnya Bian sadar saat itu Bian hanya sedang emosi jadi khilaf. Tapi sekarang Bian sudah sadar bahwa Alin istri Bian selamanya," sahutku tersenyum lebar sambil merentangkan tangan merangkul bahu Alinda. Tak kuperdulikan respon Alinda terlihat tak kaget juga tak nyaman. "Iyakan sayang, waktu itu Mas minta maaf ya! Kamu uda maafin Mas kan?" Bukan berupa pertanyaan tapi lebih mulia dikatakan desakan, meremas bahu Alinda pelan agar ia bisa mengikuti sandiwara yang aku ciptakan. Sepertinya permainan telah dimulai Alinda sayang. "Iya Mas..!" Bunda ikut tersenyum senang lalu tatapan beliau tertuju pada noda lipstik berbentuk bi bir pada kemeja yang aku kenakan, kemudian tatapan Bunda tertuju pada bi bir Alinda. Senyum Bunda melebar, pasti beliau berfikir yang tidak sesuai faktanya. Tapi sepertinya bentuk keberuntungan untukku, bahkan lipstik Alinda terlihat sama walaupun berbeda jika diperhatikan dengan jelas. Tapi sepertinya Bunda tidak memperhatikannya. "Mas mandi dulu ya, setelah itu baru kita makan malam." Aku hanya mengganguk mengikuti apa yang diperintahkannya. Baiklah, untuk malam ini saja Bian!. *** "Apa tidak terlalu cepat kalian pindah Bian? Bahkan kalian baru tiga hari dirumah ini." Bunda tanpak keberatan saat kuutarakan niatku ingin pindah kerumah yang kubeli satu bulan lalu hasil kerja kerasku. "Kami akan sering berkunjung kesini Bun! Bian dan Alin ingin hidup mandiri. Semalam kami berdua telah sepakat tentang hal ini, kan sayang?" panggilku pada Alinda dengan lembut tak lupa kusematkan senyum manis andalanku. Sebab kenyataannya tidak, tak ada sedikit pun aku dan Alin berdiskusi masalah kami ingin pindah dengan dalil ingin mandiri. Padahal semua itu murni keinginanku. Walau niat awal sebelum kami menikah memang seperti itu, tapi kini bedanya tujuan. Ya dulu ingin hidup bahagia bersama Alinda tapi kini akan kuciptakan neraka untuknya. "Benar begitu nak Alin?" tanya Bunda memastikan. Tersenyum pongah melihat ekspresi yang ditunjukan Alinda, pasti sekarang ia sedang bertarung pada pikirannya. "Benar Bun, Alin sudah setuju dari awal bahkan sebelum kami menikah." Sudahku duga jawaban Alinda, punya apa ia ingin melawan Biantara Narendra.! Jawabannya tidak ada. "Baiklah jika itu keputusan kalian berdua, Bunda hargai. Bunda berharap kalian berdua lebih bisa bersikap dewasa lagi menghadapi rumah tangga, angka yang masih seumur jagung memang sangat rentan diserang ombak dan badai, kuncinya yaitu kepercayaan," nasihat Bunda masih ada terlihat tak rela. Alinda manggut-manggut mendengar nasihat bunda bahkan terlihat menyimak dengan baik, berbeda denganku hanya dianggap angin lalu. "Kepercayaan ya Bun?" sahut Alinda. "Benar nak Alin, setelah itu barulah ada kejujuran, dalam pasangan harus ada kejujuran. Setelah itu barulah saling terbuka tidak ada rahasia yang disembunyikan, berterus teranglah." "Alin mengerti Bun!" Setelah itu tak ada lagi perbincangan kami, fokus dengan makanan masing-masing. Selesai makan aku bersiap untuk berangkat kekantor. Kali ini tingkah Alinda semakin menjadi, selain ia mencium punggung tanganku. Aku juga harus mencium dahinya, dan semua itu karena adanya Bunda. Meskipun merasa ji jik aku tetap melakukannya guna melancarkan sandiwara. "Mas sepulang kerja nanti, Alin ingin ngobrol sesuatu yang selalu Mas pertanyakan. Walaupun berat tapi Innsyaa Allah Alin akan berusaha jujur dan terbuka pada Mas." "Ingat Alinda, seperti apa pun cerita yang kau karang dengan baik. Tapi bagiku kau hanyalah mantan pel*acur. Menjijikan bukan? Jadi, kamu tak perlu bersusah payah merangkai kata di depanku," bisikku pelan bahkan sangat pelan. "Baiklah.. Meskipun Mas tidak lagi mempermasalahkan itu" jawabku tersenyum manis. Tiba dikantor barulah suasana hatiku berubah cerah, sejenak melupakan masalah yang ada dirumah. Hubunganku dengan Melihat semakin dekat, ternyata jarak yang memisahkan kami tak bisa melupakan kisahku bersama Melati yang sempat bersemi meskipun tak abadi. Aku bertekat di dalam hati untuk melindungi Melati dari orang-orang terdekatnya yang memaksa untuk terlihat sempurna. Terutama dari Alex setatusnya kekasih Melati, tapi semua itu hanyalah berupa hubungan bisnis antara perusahasn Papa Melati dengan perusahaan Alex. "Aku lelah Bi, rasanya uda ngak sanggup lagi. Apalagi Alex selalu meminta tub*uhku. Tapi untunglah aku masih bisa bertahan sampai saat ini, entahlah kedepanya." Tangis Melati semakin menjadi, untunglah suasana taman kantor sedang sepi. "Karena aku tahu Bi, ini hanya hubungan bisnis semata dan kami tak akan pernah menikah, tapi Alex telah berlaku semena-mena." Aku hanya bisa mengepal tangan erat mengingat wajah Alex. "Sudah ada aku disini Mel, aku janji akan melindungimu!" "Kamu janji Bi?" Aku mengganguk mantap. "Kalau begitu nikahi aku Bi, bawa aku pergi sejauh-jauhnya dari orang-orang Papa." Bersambung."Maaf Mel, aku ngak bisa membawamu pergi dari sini . Tapi aku berjanji akan selalu melindungi dan menjagamu sebisaku," ucapku menolak permintaan Melati. Bukan karena aku tak mampu tapi karena aku tak bisa, posisiku saat ini tak semudah itu. Selain itu ada konsekuensi yang besar di depan sana. Siapa yang tak kenal sepak terjang Pak Mario, Papanya Melati. Kedudukan yang ia punya bisa memudahkan segalanya. Kemudian bayangan Alinda terlintas dalam benakku, aku tahu ini salah saat aku berdekatan dengan Melati sebab ada bumerang di depan sana untuk kami nanti. Selain itu tak mungkin untukku melepaskan Alinda, karena dalam hatiku masih terlalu ambigu untuk memahami seperti apa kehidupan yang akan kujalani bersama Alinda kedepanya. Biarlah sementara waktu kurahasiakan pada Melati bahwa aku telah menikah. Jika aku berterus terang, aku tak yakin hubungan kami masih bisa sedekat ini. "Tapi kenapa Bi? Jangan katakan karena kamu uda ngak cinta lagi padaku, itu semua bohong kan? Sebab
Bunyi sepatu bergesekan pada lantai kramik rumah sakit memecahkan keheningan, waktu yang sudah sore tentu saja sudah tak banyak pengunjung rumah sakit. Hanya sebagian orang saja, sebagian suster yang berlalu lalang dalam diam. Setelah menanyakan pada perawat dimana ruangan Melati Adista aku segera menuju ruang rawat Melati. Aku hanya bisa berdo'a dalam hati bahwa pilihanku ingin menemui Melati lebih dulu adalah pilihan yang tepat, jika nanti tak ada lagi waktuku untuk berbicara pada Alinda tapi masih ada hari esok. Sedangkan saat ini aku harus menghibur Melati sebab aku tahu bahwa jiwa gadis itu sedang terguncang. Terlebih dahulu kuketuk pintu kamar, setelah itu barulah terdengar suara menyuruhku masuk. "Bagaimana keadaanmu? Maaf datangnya agak telat," sapaku lebih dulu. Kemudian meraih bangku untuk kududuki tepat disamping Melati yang sedang berbaring. Melihat kondisi lemah Melati aku hanya bisa diam penuh kasihan, kemarahanku semakin menjadi saat melihat bekas merah di p
Rasa amarahku kian tak terbendung saat melihat pemandangan di depan sana, ada amarah yang meletup-letup siap dilampiaskan. Ketika tangan lancang itu ingin menampar pipi Melati, dengan gerakan cepat kutahan dengan kuat. Kemudian menghempaskannya dengan kasar. "Jauhkan tangan kotormu Alex," ucapku penuh penekanan. Lelaki sesuisaku itu hanya tersenyum remeh setelah bisa menguasai diri yang awalnya tanpak kaget atas kedatanganku secara tiba-tiba. Juga berhasil menghentikan aksinya ingin berlaku kasar. "Jangan ikut campur urusan saya juga Melati, Biantara," balasnya tertawa sumbang. Sungguh memuakan, dari dulu Alex tak pernah berubah tetap sombong karena kuasa yang dimilikinya. "Jika berurusan dengan Melati, termasuk juga berurusan dengan saya," kataku membalas tatapan sengitnya. "Oh ya? Tidak usah formal begitu. Hem, aku kekasihnya Melati, kamu siapa?" "Biantara kekasih baruku! Puas kamu Alex?" teriak Melati berhasil membuatku kaget. Tapi aku hanya bisa diam, mungkin saja
"Dokter tolong istri saya segera," pintaku keras saking paniknya saat melihat jalan nafas Alinda tersendat-sendat kemudian melemah. Alinda tak sadarkan diri. "Anda suaminya? Tenang Pak! Ini sudah tugas kami, harap kerjasamanya. Bapak tunggu diluar." Mengusap rambut kasar lalu melangkah kebangku tunggu kemudian menjatuhkan bok*ongku disana. Terlalu lama berdiri persendian terasa kram semua. Butuh waktu hampir setengah jam barulah dokter wanita keluar dengan nama tertera didada kirinya, Dr. Indra Mufthi. "Anda suaminya? Mari ikut keruangan saya," ajak Dr. Indra tersenyum ramah. Tanpak banyak bicara aku segera mengikuti langkah Dr. Indra, tujuan kami keruangan yang tak terlalu luas. Diatas pintu tertanda Dr. Indra membuktikan bahwa ini ruangan pribadi Dokter itu. Ketika kami sampai Dr. Indra menyuruhku masuk juga duduk, meskipun sedikit pusing aku menurut. Sudah dari awal menjejakan kaki disini perutku terasa diaduk-aduk karena bau obat- obatan yang sangat menyengat. "Anda
"Kamu uda nikah kan Bi?" Aku terdiam beberapa saat, sudah kuduga bahwanya kebohonganku lambat laun akan diketahui Melati. Hanya saja aku tak menyangka dengan cara seperti ini, padahal aku berencana memberi tahunya secara pelan-pelan. "Aku berharap kamu jawab ngak." "Ngak Mel, aku memang sudah menikah," sahutku cepat. Melati tak menjawab, pancaran kecewa terlihat jelas diraut wajahnya. Ia membuang muka kearah jendela seolah enggan bertatap muka denganku. "Jangan seperti ini Mel," kataku pelan. "Lebih baik aku mat*i Bi, di dunia ini ngak ada lagi yang sayang dan peduli perasaanku." "Walaupun aku sudah menikah kita tetap bisa sedekat ini Mel, walaupun..." "Hanya teman kan , aku ngak mau Bi. Aku lebih mau menjadi selingkuhan kamu," tukas Melati membuatku menggeleng kepala pelan. Meskipun awal kami bertemu berhasil kembali membuat perasaanku bergetar aneh. Namun tak sedikit pun untukku terfikir melakukan hal ji*jik seperti itu. Tekatku semakin kuat saat mengetahui masalalu
"Mel, kamu baik-baik aja kan?" tanyaku ketika berhasil menemui Melati. Sesuai alamat yang dikirimnya jalan Raya Anggrek terlihat Melati sedang duduk ditepi jalan sambil menyeret kopernya. "Aku ngak papa kok, hanya saja bingung mau kemana? Mau pergi cari hotel atau apertemen takut ketahuan Alex. Ini aja aku habis dikejar anak buahnya!" jawaban Melati berhasil membuatku menghembuskan nafas lega. "Tapi ngak ada yang lecet kan?" Melati menggeleng. "Tapi kenapa orang-orang Alex cari kamu?" "Katanya Papa punya hutang besar dengan perusahaan Alex. Sebagai tembusnya aku harus menyerahkan diri, tentu saja aku ngak mau," sahut Melati. Aku berfikir mencari tempat aman untuk Melati. Tapi satu- satunya tempat terlintas dalam benakku adalah rumahku sendiri. Tapi apakah Alinda memgizinkan? Lalu aku harus jawab apa ketika Alinda bertanya siapa Melati. Tapi sepertinya tak ada jalan lain lagi, aku akan berterus terang pada Alinda. Memang kenyataannya aku dan Melati hanya sebatas teman, ti
Ditinggal oleh kedua orang tua saat usiaku masih belia bagaikan neraka yang kurasakan. Hidup serba pas-pasan masih membuatku bertahan. Tapi ketika harga diri dan kehormatanku dihempas jatuh, saat itulah aku kehilangan semangat untuk hidup. Pamanku, sosok yang seharusnya melindungiku pengganti Ayah justru membuatku menderita. Kehormatanku dirampas secara paksa, tak cukup sampai disitu, baj*ingan itu mencari keuntungan dengan menjual diriku. Harga diriku memang sudah tidak ada apa- apanya lagi. Hampir 2 bulan aku mengalami siksaan itu, barulah terbebas ketika bertemu seorang Dokter. Dr. Indra namanya. Awalnya kusangka dunia memang sudah gila karena uang bisa mengatur semuanya. Akhirnya pandangkanku berubah tentang itu ketika bertemu Dr. Indra. Menjadi wanita kuat dan tegar ternyata tak semudah itu. Terlepas dari siksaan Paman Bram tidak juga membuatku bahagia. Bayangan-bayangan malam kelam yang sempat kulalui berhasil mengusik mental dan jiwaku. Aku mengalami trauma yang hampi
Aku, Melati AdistaBagiku, Biantara Narendra adalah lelaki rupawan berhasil memikat hatiku dari awal sekolah menengah atas, berlanjut kejenjang kuliah. Sayang, komunikasi kami terputus, hingga beberapa bulan lalu kami bertemu kembali. Rasa cinta yang semula ada kini bersemi kembali bak lagu yang pernah didendangkan. Namun rasa itu menjadi kecewa ketika aku mengetahui Bian telah menikah. Dan aku tak terima itu semua. Aku pantas bahagia bersama lelaki yang paling mengerti akan diriku. Tapi ternyata Bian tak selemah yang aku kira, ia bisa melewati godaan yang kuberikan. Bahkan Bian tanpak marah ketika aku berlaku argesif padanya. Namun, bukan Melati Adista namanya jika tidak memiliki sejuta cara untuk mengikat Bian kembali. Apa pun caranya akan kulakukan. Mengatakan bahwa rumah peninggalan Papa dan Mama disita karena terlilit hutang pada Alex. Tentu saja itu semua tidak benar, hanya berupa kebohongan agar aku lebih dekat dengan Bian. Seperti dugaanku, akhirnya Bian masuk ked
"Apa?.. Alin mengidap kanker otak?"Sontak saja tubuhku menegang mendengar pertanyaa Alinda."Sayang..." kataku berusaha berkilah."Mau sampai kapan kalian merahasiakanya pada Alin?""Dr. Indra!" sahut kami secara bersamaan.Alinda menatap kearahku dan juga Bunda dengan pandangan getir, tak lama kemudian air mata telah lolos membasahi pipi putih pucatnya."Sayang..!" Aku langsung memeluk Alinda untuk menenangkan kondisinya.Bisa dibayangkan seperti apa mental Alinda saat ini, siapa pun ia tak akan sanggup dengan penyakit ganas yang telah Alinda alami. Apalagi dari penuturan Bunda sudah stadium tiga. Memikirkan itu semua menghancurkan pertahananku agar tidak menangis.Memang pada kenyataanya maut telah ditentukan, tapi ada kala masa kematian itu jangan dulu menghampiri setidaknya sampai siap. Tapi menunggu kata 'siap' tentu tak mudah. Tapi terlepas dari semuanya, satu harapan agar ihklas melepaskan yaitu puncak tertinggi dari bahagia telah dirasakan. "Kita hadapi sama-sama, oke!" ucap
Sekujur tubuhku rasanya bergetar hebat ketika menyaksikan rekaman CCTV di mana Alinda mengalami kekerasan dari lelaki gila itu, siapa lagi kalau bukan Bram.Awal mula sepertinya Alinda mendengar bunyi ketukan pintu tanpa suara salam seseorang. Detik selanjutnya Alinda terdorong masuk hingga terhempas jatuh kelantai. Aku melihat dengan pandangan nyilu betapa sakit yang dirasakan Alinda. Bisa di lihat berkali - kali Alinda mencoba melindungi area perutnya.Dalam rekaman tanpak Alinda dan Bram terlibat perbincangan berhasil memancing emosi terbukti dari gurat wajah saling menegang, meskipun aku tak tahu apa yang mereka katakan. Sebab suara tidak terlalu jelas terdengar.Rekaman selanjutnya Bram telah mengijak perut Alinda hingga Alinda mengerang kesakitan, namun Alinda masih mencoba melindungi diri juga kedua nyawa anak kami dengan cara mengigit tangan Bram.Tapi justru kepala Alinda di tarik bahka bahkan jilbabnya ikut terlepas, kemudian tubuh Alinda telah melayang keras pada meja berba
Menatap kearah dua makam kecil masih terlihat baru terbukti dari tanah yang merah juga masih terlhat basah. Padahal sudah dua hari berlalu tapi masih belum kering mungkin saja karena faktor hujan yang menyerang deras bumi siang tadi."Berbahagia lah kalian di sana nak!" Setelah menyertakan bacaan Al- Fatiha aku beranjak pergi. Pasalnya awan di langit terlihat bergumpal - gumpal, aku yakin cepat atau lambatnya awan itu akan segera mencair dan menjatuhkan diri ke bumi.Mengusap air mata kasar karena rasa sakit masih kentara terasa. Ternyata penantianku selama ini hanya berujung sia - sia, lalu pantaskan diri ini untuk kecewa?."Bian!..." Gerakanku ingin membuka pintu mobil terhenti ketika mendengar seseorang memanggil namaku."Melati," sapaku karena ternyata yang memanggil namaku adalah Melati.Meskipun hampir tiga tahun kami tak pernah bertemu tapi wajah itu masih teringat jelas dalam ingatanku. Sepertinya ia ingin mengunjungi makan orang tuanya. "Haii! Apa kabar Bian?" "Baik." jaw
"Mohon isi surat persetujuanya dulu Pak, bahwa Ibu Alinda akan segera kami oprasi. Untuk melihat perkembangan lebih lanjut terkait Ibu dan jan*innya."Dengan tangan gemeter aku meraih pulpen yang diberikan oleh suster itu, detik berikutnya garis tinta telah melekat diatas kertas putih persetujuan orpasi yang akan dilakukan pada Alinda.Menit berikutnya aku tersadar bahwa suster tadi telah pergi setelah mengucapkan terimakasi. Mataku tertuju pada pintu ruangan oprasi yang sudah tertutup beberapa menit yang lalu. Lampu diatas menyala terang membuktikan oprasi sedang berjalan.Mengusap wajah berkali - kali bahwa saat ini aku sedang frustasi. Tidak memperdulikan perut yang terasa melilit akibat belum diisi. Belum lagi tubuh terasa gerah karena tidak menjumpai air dari pagi tadi.Kilasan bayangan demi bayangan yang telah kulalui hari ini terus mengusik pikiranku. Masih teringat jelas banyaknya darah Alinda yang berceceran apalagi saat aku mengangkatnya kemobil. Mengingat itu semua aku tak
Aku menatap kearah Dr. Liona dengan perasaan kesal luar biasa. Bukanya tadi ia membawaku kesini untuk makan dan juga berdiskusi masalalu Alinda.Tapi hampir 10 menit berlalu ia tak kunjung buka suara, ia makan dengan tenang tanpa mengubris siapa pun. Termasuk menawarkanku untuk ikut makan juga tidak. "Allhahdulilah! Sudah selesai." Aku semakin kesal ketika Dr. Liona memandangiku tanpa rasa bersalah atau merasa tidak enak. Padahal ia makan sudah sangat lama walaupun hanya menghabiskan nasi goreng yang ukuranya tak seberapa."Kenapa tidak bicara? Apa perlu saya lebih dulu bersuara?""Saya punya adab. Menghormati ketika orang makan." Dr. Liona mengganguk singat seolah tak peduli."Yang saya ketahui Alinda mengalami trauma berat akibat masalalunya. Setahu saya sudah hampir beberapa tahun yang lalu Alinda keluar dari masa pengobatanya, karena sudah clear.. Intinya Alinda telah sehat berhasil melalui masa traumanya dengan baik. Lalu apa lagi yang perlu dipermaslahkan?""Dokter ingat saat s
Mas! Aku lihat kamu akhir - akhir ini sering melamun deh! Kenapa?. Seharusnya senang karena ngak lama lagi keluarga kita akan lengkap," ucap Alinda. Berhasil membuyarkan lamunanku.Menampilkan senyuman kemudian mendekat pada Alinda. "Mas ngak sedang melamun, cuma kepikiran sama tugas kantor yang akhir - akhir ini menumpuk," kataku menyakinkan Alinda, benar saja Alinda mengganguk percaya.Padahal aku sedang memikirkan Pamanya, Bram Wijaya. Selain memukirkan ucapan sekaligus fakta yang ia katakan aku juga berfikir bagaimana membuat ia tidak pernah bertemu dengan Alinda.Meskipun itu mustahil apalagi setelah mendengar ancamanya ketika di lobi kantor tadi. Dari penampilanya sosok Bram tak pernah main - main dari apa yang ia katakan.Tapi setidaknya jika Bram dan Alinda bertemu jangan sekarang, setidaknya sampai anak kami nanti lahir kedunia.Aku tak mau kondisi Alinda memburuk dan berakibat fatal pada calon anak kami. Apalagi dengan kondisi Alinda seperti yang dikatakan Dr. Indra.Sangat
"Selamat Pak, Bu. Kandungannya sudah jalan satu minggu. Karena masih sangat mudah jauhi dari beraktivitas membuat Ibunya kelelahan ya!."Sejenak aku mematung dengan mata berkaca - kaca seolah tak percaya. Benarkah ini nyata atau mimpi, jika ini mimpi biarlah selamanya seperti ini."Mas.." panggil Alinda dengan mata berkaca - kaca.Alinda mengengam tanganku, kehangatan yang diberikanya membuatku sadar bahwa ini nyata."Allahamdulilah! Terimakasi sayang!" ucapku dengan rasa senang ambil menc*iumi seluruh wajah Alinda."Terimakasih kembali Mas."Setelah diberi obat dan penjelasan terkait kesehatan Alinda bersama calon anak kami. Aku dan Alinda segera pulang. Sudah tidak sabar ingin memberi tahu Bunda berita bahagia yang sudah lama kami tunggu - tunggu."Apa? Ham*il!" kata Bunda berteriak girang sejurus kemudian beliau langsung memeluk Alinda sambil membisikan ucapan terimakasih.Aku ikut tersenyum haru dan bahagia, kini keluarga kami benar benar telah lengkap tinggal menunggu kelahiran
#BismillahRahasia Dibalik Cadar Istriku 17"Tunggu! Dia keponakan saya. Biarkan saya yang akan mengurusnya!"Menepis kasar tangan itu ketika ia ingin menggapai Alinda. Dengan cepat kumasukan Alinda ke dalam mobil."Jangan pernah befikir untuk menyakiti istri saya," tekanku berapi-api sambil melayangkan tatapan tajam padanya. Jika tidak mengingat kondisi Alinda sudah kuhajar ia habis-habisan."Istri?"Tanpa memperdulikan raut terkejut dari Bram aku segera melajukan mobil ke rumah sakit.Setelah sampai aku langsung membawanya keruangan Dr. Indra, tapi ternyata Dr. Indra tidak ada melainkan seorang Dokter muda."Tolong periksa istri saya Dok, dia mengalami sesak nafas," pintaku padanya.Dokter itu mengganguk kemudian menarik masker menutupi wajahnya, tidak ada senyum terukir disana hingga terkesan angkuh. Pantaskah aku mengatakan ia Dokter yang sombong?."Anda istrinya?" pertanyaanya membuyarkan lamunanku. Mengganguk singkat, kemudian duduk dihadapanya tanpa diminta.Sebelum itu sempat
#BismillahRahasia Dibalik Cadar Istriku 16Terhitung angka pernikahanku dengan Alinda sudah menginjak angka satu tahun. Pahit dan manisnya telah kami tempuh dan kami lalui bersama.Semenjak kepergian Melati dari rumah kala itu, aku tidak pernah lagi mendengar kabar dan bertemu denganya. Tentu saja aku bersyukur, tidak akan ada lagi pengusik rumah tangga kami.Satu hal yang belum terwujud yaitu seorang anak diantara aku dan Alinda. Mungkin jika sudah kami miliki, kebahagiaan kami akan sempurna.Pagi ini aku dan Alinda telah bersiap kerumah sakit untuk mengecek kesehatanku dan Alinda. Apakah aku atau Alinda terjadi sesuatu pada kesuburan kami. Atau bisa jadi keduanya.Bunda mengengam tangan Alinda erat seolah menguatkan. Memang akhir pekan Bunda sering menginap disini, tentu saja aku dan Alinda senang mendengarnya. Sebab dari awal kami telah mengajak Bunda untuk tinggal satu rumah, tapi beliau menolak karena tidak bisa meninggalkan rumah masa kecilku itu. Karena terlalu banyak kenanga