“Kau perlu ingat bahwa aku tak suka kau menilaiku hanya sebagai teman tidur. Mungkin aku terdengar sedikit kuno, tapi aku mengharapkan lebih dari sekedar teman tidur dalam sebuah pernikahan.” Mahreen tersenyum.
Ia mengangkat kedua alisnya sebagai gestur mempertanyakan apakah Elvaro bisa memberikan apa yang diinginkannya.
“Memangnya apa yang kau harapkan dari pernikahan ini? Aku pikir, di antara kita berdua, hanya akulah yang benar-benar berorientasi untuk menikah dan membangun rumah tangga yang baik.” Pernyataan itu keluar begitu saja dari mulut Elvaro dan itu membuat Mahreen terkejut.
“Kau ingin membangun rumah tangga yang baik? Apa kau yakin? Dengan wanita yang baru kau temui lagi setelah belasan tahun?”
Elvaro mengangguk. “Apa kau punya syarat agar kita bisa membangun rumah tangga yang baik? Sebagian orang menikah kontrak, tapi saat aku diminta menikah denganmu, aku merasa aku tak punya alasan lain untuk menolaknya.”
Entah itu pertanyaan yang tulus atau hanya basa-basi karena Elvaro tak punya pilihan lain. Yang jelas, Mahreen memiliki orientasi yang berbeda.
“Ada satu syarat dan aku harap kau berjanji untuk tutup mulut atas segala hal yang berhubungan dengan syarat yang ku berikan.”
Merasa tertantang, Elvaro menundukkan tubuhnya. Ia melebarkan kedua tangannya di atas di ujung sofa yang digunakan Mahreen, mengunci Mahreen di hadapannya. Dengan posisi seperti itu, Mahreen tak hanya bisa menghirup aroma parfum yang dikenakan Elvaro, namun ia bisa merasa napas lelaki itu yang memburu.
“Katakan. Mahreen, satu hal yang perlu kau catat, kau bisa meminta lebih banyak.”
Mahreen memalingkan wajahnya, karena jika tidak, pandangan mata mereka akan terasa begitu dekat dan membuat tubuhnya panas.
“Aku ingin kau menyediakan sebuah jantung untuk seorang anak berusia enam atau tujuh tahun. Data lengkapnya akan aku berikan setelah kau setuju.”
Elvaro tak menyangka keinginan Mahreen di luar dari apa yang diprediksinya. Mahreen tak meminta saham atau posisi di mana pun di semua perusahaan milik keluarganya. Mahreen tak memberikan syarat seperti tak boleh ada kontak fisik atau kesepakatan yang berhubungan dengan memiliki keturunan.
Tapi Mahreen menginginkan sebuah jantung untuk seseorang?
Anak kecil?
Elvaro meminta Mahreen melihatnya. “Apa kau yakin tak ada keinginan lain?”
Mahreen hendak menggelengkan kepalanya, namun sebenarnya bukan ia tak punya, ia hanya belum memikirkannya lebih. Baginya yang terpenting adalah donor jantung yang sudah setengah tahun ini tak pernah didapatkannya.
“Apa kau tak punya keinginan yang lainnya selain itu?” Elvaro kembali bertanya.
Elvaro ingin mendengarkan lebih banyak lagi. Ia ingin mendengar Mahreen menuntutnya atas banyak hal. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi bagi Elvaro, jika Mahreen memberikan banyak syarat maka Mahreen takkan semudah itu untuk meninggalkan pernikahan mereka begitu saja ke depannya.
“Apa aku diberikan kesempatan untuk berpikir untuk syarat tambahan?”
Elvaro memutar bola matanya. “Bagaimana dengan keturunan? Apa kau tak keberatan jika suatu saat mengandung anak-anakku?”
Anak-anak.
Elvaro menggunakan kata jamak untuk membuatnya seolah terlihat sebagai laki-laki yang ingin memiliki banyak anak.
“Apa kau mau punya anak? Apa kau suka anak kecil?”
Mendadak Elvaro menutup mulutnya yang terbuka secara tiba-tiba. Pertanyaan itu tepat sasaran. Ia tak pernah ingin memiliki keturunan. Melihat bagaimana keluarganya bertengkar karena harta dengan sesama saudara kandung membuatnya muak.
Terlebih mendengar tangisan bayi itu sangat menyebalkan bagi Elvaro. Kedua adik perempuannya sudah menikah dan setiap pertemuan keluarga intinya, Elvaro akan menyuruh kedua adiknya untuk membius anak mereka agar bisa tenang tak bersuara.
Permintaan itu justru menjadi alasan kedua adiknya untuk mencubitnya dengan bebas.
“Aku tak menyukai anak-anak. Orangtuaku sudah memiliki tiga cucu, mereka tak butuh tambahan lagi dariku.”
Mahreen tersenyum. “Apa tak satupun wanita yang kau tiduri ternyata hamil dan mengatakan bayi yang mereka kandung adalah anakmu?”
Elvaro mulai melangkahkan kakinya. “Aku rasa tidak ada. Aku selalu menggunakan pengaman dan mereka mengonsumsi morning pill.” jawab Elvaro dengan santai.
“Apa kau yakin tak ada seorang pun?”
Elvaro menoleh. “Tak ada. Aku berani jamin takkan pernah ada wanita yang tiba-tiba akan muncul dan membawa anak sambil mengatakan bahwa itu adalah anakku.”
Mahreen tersenyum. Ia tersenyum puas.
“Syukurlah. Aku sudah mengambil resiko sangat besar untuk menikah denganmu. Aku harap masa lalumu tak akan memberikan masalah.”
Elvaro mengambil jarak sejauh mungkin sebelum menanyakan pertanyaan yang muncul di kepalanya. Ia ingin melihat bagaimana reaksi Mahreen.
“Siapa anak itu?”
Mahreen tak langsung memberikan jawaban.
“Kau harus mengatakannya sekarang. Apa jangan-jangan kau memiliki seorang anak di luar nikah dengan laki-laki yang pernah tidur denganmu? Apa karena itu kau begitu ingin mengetahui terkait kemungkinan aku memiliki anak haram?”
Mahreen membelalakkan matanya ketika mendengar frasa anak haram.
“Jaga bicaramu, Elvaro.”
Mahreen tak marah karena ia dicurigai sejauh itu oleh Elvaro. Tapi membayangkan seorang anak tanpa dosa disebut sebagai anak haram membuat darahnya mendidih. Ia teringat dengan seseorang. Dan ia membenci fakta bahwa ia kehilangan orang itu karena hal-hal yang berhubungan dengan stigma anak haram di masyarakat.
“Apa kau tersinggung?”
“Jika itu anakku, apakah itu akan memengaruhi keinginanmu untuk melanjutkan pernikahan ini?”
Elvaro semakin memundurkan tubuhnya. Ia berusaha berpikir dan mencerna semuanya.
“Kau sudah punya anak, Mahreen?”
Mahreen dengan cepat mengangguk.
“Eyang tak tau apapun?”
Mahreen menggeleng. “Aku harap kau tak mengatakan apapun padanya.”
“Kau gila, Mahreen!!” Elvaro meninggikan suaranya, tapi tak sampai untuk berteriak. “Kau melahirkan anak yang tak kau inginkan? Kau punya pilihan untuk menyingkirkannya sejak kau hamil!”
Mahreen diam. Ia terus menatap Elvaro.
“Kau marah karena calon istrimu ternyata memiliki anak haram seperti yang kau katakan, atau kau takut aku akan membawa anak itu untuk masuk ke rumah tangga kita?”
Elvaro mengacak-acak rambutnya. “Siapa ayahnya?”
Mahreen diam. “Kau akan tau, tapi tak sekarang!”
“Katakan siapa ayahnya dan aku berjanji akan menambahkannya sebagai salah satu penerima donor di setiap rumah sakit yang berada di bawah naungan yayasan!”
Mendengar kalimat tersebut, Mahreen menyimpulkan bahwa Elvaro merasa baik-baik saja meskipun wanita yang akan dinikahinya memiliki anak dengan lelaki lain. Namun sangat jelas bahwa ia tak ingin anak itu masuk ke dalam kehidupan baru yang akan mereka bangun.
“Katakan Mahreen! Memiliki anak biologis saja aku tak ingin, bagaimana bisa aku mengurus anakmu dengan laki-laki lain?!”
Mahreen bangkit dari duduknya. “Kau tak perlu mengurusnya. Identitasnya sebagai anak kandungku akan terus aku tutupi.”
Elvaro mendekati Mahreen. Ia meremas kedua lengan atas Mahreen.
“Katakan siapa ayah anak itu? Katakan siapa laki-laki yang sangat kau cintai hingga kau rela mengandung anak untuknya?!”
Peluh di dahi Elvaro hampir sebesar biji jagung. Ia butuh jawaban sesegera mungkin. Bagi Elvaro, laki-laki itu pastilah sangat berharga untuk Mahreen.
“Dimitri Ryuu.”
Di sisi lain, laki-laki yang menjadi bahan perbincangan sedang duduk nyaman di atas kasur sambil memilih film yang akan ditonton olehnya. Ini hari ketiga ia berada di apartemen miliknya yang begitu jarang ia kunjungi. Namun karena seminggu ke belakang ia sibuk melihat progress investasinya, ia memilih untuk tinggal lebih lama sembari menunggu jadwal rapat penunjukkan direktur pengembangan.Ia tak tau bahwa di tempat lain namanya disebut dan menjadi topik yang begitu mengejutkan. Saat menekan tombol play, mendadak ponsel yang berada sedikit jauh darinya berbunyi.“Apakah itu kau, anak manis?”Dengan semangat, ia melihat panggilan yang dikiranya berasal dari Louis. Namun yang muncul bukanlah nama orang yang begitu ingin ia lihat wajahnya. Melainkan Jayden, asisten pribadinya.“Halo,” sapa Dimitri.“Selamat siang. Seorang dokter torakoplastik dari Methodist Hospital menghubungi saya dan ingin bicara dengan Anda segera setidaknya dua jam dari sekarang. Apakah saya harus mengiyakan?”Dimit
Mahreen pulang setelah satu jam berada di suit tersebut bersama dengan Elvaro. Laki-laki itu mengizinkannya pulang karena bisa terlihat bahwa Elvaro masih sangat syok dengan semua yang keluar dari bibir Mahreen.Terutama ketika Mahreen bertanya,”Apa kau pikir kau akan menikahi wanita suci yang tak pernah disentuh oleh siapapun? Kau mungkin terbawa hal-hal fiksi yang dibaca oleh wanita yang kau tiduri.”Jelas sekali bagi Mahreen bahwa Elvaro sangat kecewa. Tapi, setelah Mahreen menawarkan untuk membatalkan saja perjodohan mereka jika Elvaro tak bisa menerima kondisinya, Elvaro mengatakan tidak.“Aku punya banyak rencana dan menikah denganmu adalah satu-satunya cara untuk memulainya. Jadi, jika sebelum kemari kau sudah berpiki menjadikan semua ini sebagai alasan untuk membatalkan pernikahan, kau salah besar.”Mahreen tertawa. Ia merasa aneh. Betapa pertemuan pertamanya dengan Elvaro adalah hal yang paling ditakutinya beberapa menit sebelum menginjakkan kaki ke hotel ini, namun setelah k
Elvaro tak tinggal di suit yang dikhususkan untuknya sejak Mahreen pergi. Ia menelpon seseorang untuk mencari tau lebih banyak informasi mengenai Dimitri Ryuu.“Ada apa tiba-tiba kau ingin mengetahui tentang orang ini?” tanya seseorang yang berada di ujung sambungannya.“Aku belum bisa mengatakannya. Ada hal-hal lain yang harus kau lakukan. Untuk sesuatu yang ku minta minggu lalu, apakah sudah siap?”Lawan bicaranya berdeham. “Sudah. Apa kau ingin aku membawanya ke hotel atau bagaimana?”Elvaro tersenyum puas. “Biarkan saja dulu. Aku pikir Mahreen akan menyukainya. Apa kau tau kami bertemu hari ini?”Elvaro berniat menyombongkan diri karena ia rasa ia berhasil membuat Mahreen percaya kepadanya.“Apa ia setuju?”Elvaro memutar bola matanya. “Aku tak sempat bertanya. Ia membahas hal lain. Aku pikir selain keinginan kakeknya, ia tak punya hal lain untuk menikah denganku. Tapi ternyata, ia memiliki semangat yang besar.” Elvaro tertawa puas. “Kesan yang bagus.”Elvaro mengangguk seolah la
Pukul sebelas malam ketika Mahreen sudah siap untuk tidur, sebuah email masuk ke ponselnya. Tak pernah ada email yang berhubungan dengan pekerjaan masuk ke akunnya pada jam-jam seperti ini. Email-email yang berisi spam di akunnya pun sudah otomatis takkan muncul di notifikasi. Tangannya langsung meraih kembali ponsel meskipun matanya sudah tinggal sekian watt. Sebuah data P*F menjadi lampiran pada pesan itu. Mahreen mendengus kesal ketika ia sadar siapa yang mengirimkan pesan tersebut. Elvaro. Laki-laki itu membuat surat kesepakatan yang dikirimkan kepadanya selarut ini dan orang itu menggunakan email kantornya. Pintar sekali, puji Mahreen dalam hatinya. Karena email itu belum dikirim dalam waktu yang lama, Mahreen langsung menelpon Elvaro. Selang dua dering, suara Elvaro terdengar. Dan Mahreen tak mengucapkan sapaan karena menurutnya hal seperti itu tak perlu lagi di waktu seperti ini. “Aku tak setuju jika kau ingin masuk ke firma hukum. Tapi aku bisa membuat firma hukum
Dimitri menghembuskan napasnya ketika ia mengetahui bahwa sudah beberapa rumah sakit mengatakan donor jantung yang tersedia tak cocok untuk Louis. Tak pernah mudah mencari donor jantung untuk seorang anak. Sekalinya ada donor, maka entah itu golongan darah yang tak cocok atau adanya perbedaan ukuran jantung yang sangat signifikan dengan jantung milik putranya. Ia mengingat Mahreen. Bagaimana wanita itu menangis di hadapannya dan meminta maaf. Dimitri hampir selalu marah dan bingung bagaimana menghadapi Mahreen dengan banyaknya cabang pikiran yang memenuhi urat-urat sarafnya yang terus menegang.Ia mengirim sebuah pesan kepada Mahreen. Sebagai wanita yang mengandung dan melahirkan Louis, jelas ia harus diberitahu mengenai kabar terbaru.Namun pesan yang dikirimkannya dua jam lalu tak mendapatkan respon.Dimitri mengacak-acak rambutnya. Ia membayangkan Louis yang terus bertanya kepadanya. “Ayah, mengapa aku begitu sering pergi ke rumah sakit?”“Ayah, mengapa suster-suster yang berad
Jean tak bisa mengatakan tidak ketika Elvaro memintanya menjadi best man untuk pernikahannya nanti. Meskipun menggunakan nada yang mengejek, di lubuk hatinya, ia merasa terharu teman dekatnya itu akan menikah dengan wanita yang sejauh ini tak memiliki cela.“Apa kau gak punya orang lain lagi untuk menjadi best man mu, huh?” tanya Jean sambil merapikan rambutnya ketika ia ditodong tiba-tiba oleh kedatangan Elvaro ke apartemennya pada pukul setengah dua pagi.“Aku merasa kau yang paling cocok nanti. Kau pun gak punya pasangan, jadi mungkin pernikahanku akan menjadi ajang pencarian pasangan yang paling bagus.” Elvaro terkekeh. Sebenarnya, Elvaro tak punya alasan penting untuk datang ke apartemen Jean. Ia hanya tak bisa tidur dan terus memikirkan Mahreen.Ia bingung bagaimana cara mengatakannya kepada Jean. Semuanya. Mengenai hubungan Mahreen dengan Dimitri yang ternyata lebih dari apa yang diketahui laki-laki itu.Jean mengambil remote pendingin ruangan, ia menaikkan suhu dari sembilan b
Beberapa tahun ke belakang, ketika Mahreen menggendong Louis yang terus menangis, namun ia sama sekali tak bisa menyusui bayi yang sedang haus dan juga lapar dalam waktu bersamaan itu, seorang postman datang memberikan sebuah surat yang dialamatkan untuk dirinya.Sebuah surat yang tak ia kenali nama pengirimnya. Surat itu sampai di tangannya melalui pembimbingnya di Yayasan tersebut.“Apa pasanganmu gak datang hari ini? Sudah hampir pukul delapan malam namun aku tak melihatnya sama sekali dan tak ada namanya di buku tamu hari ini.”Mahreen berusaha menenangkan Louis yang masih merengek kencang. Ia hanya tersenyum menanggapi pertanyaan yang diberikan oleh pembimbingnya.“Mungkin ia akan datang besok.” Sahutnya sambil kesulitan. Tangisan Louis yang baru berusia beberapa hari itu membuat Mahreen merasa takut. Ia takut bayi yang ada di tangannya merasakan sakit di bagian lagi di tubuhnya yang tak diketahuinya.Pembimbing wanita itu mengulurkan tangannya. “Kau butuh bantuan? Kau tamapk sed
Setelah Louis jauh lebih tenang, Mahreen memberikan susu formula tak lebih dari 40ml kepada bayinya. Dan bayi itu menghabiskannya dengan begitu cepat."Maaf, Louis. Aku akan berusaha lagi." Ujar Mahreen yang kemudian airmata menetes begitu saja. Ketika bayi itu tertidur dengan pulas, sebuah ketukan terdengar dari balik pintu kamarnya. Diiringi dengan panggilan halus agar ia segera membuka pintu.“Tunggu sebentar.”Mahreen mengambil cardigan biru tua yang berada pada triange stand miliknya. Ia merapikan rambunya. Melepaskan kunciran rambutnya yang sudah tak karuan kemudia mengikatnya lagi, menghabiskan semua poni yang tadi menutupi dahinya. Sekarang, hanya anak-anak rambut saja yang berada di dahinya.Dress tidurnya sedikit tipis, ia mengurungkan niatnya untuk mengizinkan Dimitri masuk dengan pakaian yang hampir bisa menerawag tubuh setelah melahirkannya itu.Mahreen berjalan ke pintu. “Dimitri, ap aitu kau?”“Iya. Aku terlambat, maaf. Aku ketiduran.” Jawab laki-lak itu di balik pintu