Pukul sebelas malam ketika Mahreen sudah siap untuk tidur, sebuah email masuk ke ponselnya. Tak pernah ada email yang berhubungan dengan pekerjaan masuk ke akunnya pada jam-jam seperti ini. Email-email yang berisi spam di akunnya pun sudah otomatis takkan muncul di notifikasi.
Tangannya langsung meraih kembali ponsel meskipun matanya sudah tinggal sekian watt.
Sebuah data P*F menjadi lampiran pada pesan itu.
Mahreen mendengus kesal ketika ia sadar siapa yang mengirimkan pesan tersebut.
Elvaro.
Laki-laki itu membuat surat kesepakatan yang dikirimkan kepadanya selarut ini dan orang itu menggunakan email kantornya.
Pintar sekali, puji Mahreen dalam hatinya.
Karena email itu belum dikirim dalam waktu yang lama, Mahreen langsung menelpon Elvaro.
Selang dua dering, suara Elvaro terdengar. Dan Mahreen tak mengucapkan sapaan karena menurutnya hal seperti itu tak perlu lagi di waktu seperti ini.
“Aku tak setuju jika kau ingin masuk ke firma hukum. Tapi aku bisa membuat firma hukum kami membersihkan semua noda yang mungkin dibuat keluargamu.”
Sedikit angkuh, namun tak menunjukkan sikap merendahkan orang lain. Mahreen hanya berusaha bernegosiasi seefektif dan seefesien mungkin.
“Wow.. apa kau bilang tadi?”
Mahreen diam. Ia mendengarkan Elvaro tertawa. “Noda-noda yang keluargaku buat?”
“Iya.” Mahreen menjawabnya dengan dingin. “Aku tau ayahmu menjadi salah satu kandidat menteri. Kau pasti sangat khawatir jika ada sesuatu yang berhubungan dengan internal keluargamu diketahui begitu saja oleh pemerintah dan Masyarakat.”
Elvaro diam. “Memangnya apa yang kau tau?”
Mahreen mengerutkan keningnya. “Apa kau serius ingin membahas ini? Kita bisa bertemu lagi besok di kantormu atau kau ingin kembali bertemu di suit seperti tadi?”
Tak pernah ia sangka Mahreen akan begitu vokal dan gamblang. Mahreen kecil begitu pemalu, tapi Mahreen yang di sebrang teleponnya terasa begitu santai.
Mungkin seharusnya aku mendekatinya lebih cepat, pikir Elvaro. Ada sebuah rasa bangga karena sebentar lagi Mahreen akan menjadi miliknya. Semua yang dimiliki Mahreen pun akan menjadi miliknya.
“Kita bertemu besok jam sembilan malam, bisa? Aku akan mengirimkan lokasinya. Atau, apakah kau takut pergi malam hanya denganku?”
Mahreen menyipitkan matanya. Mengapa laki-laki itu memilih waktu yang sangat tak menyenangkan. Itu terlalu malam untuk Mahreen. Dan ia sangat tak nyaman.
Ingatan masa lalu lewat begitu saja, Mahreen langsung mematikan sambungan dan melemparkan ponselnya. Ia mulai merasa sesak seolah kamarnya yang begitu besar saat ini tak memiliki oksigen sama sekali untuknya bernapas.
Jantung Mahreen berdegup kencang bukan main. Mahreen melihat ke sekelilingnya.
Aku aman, aku baik-baik saja di sini
Tak akan ada orang yang menyakitiku di sini.
Mahreen memberikan afirmasi kepada dirinya sendiri. Tenggorokannya yang semula terasa seperti tercekik dan kepalanya yang berputar-putar mulai mereda setelah Mahreen berusaha mengendalikan dirinya selama lebih dari tiga menit.
Peluh di dahi dan anggota tubuh lainnya yang merasa kebal begitu saja akhirnya kembali.
Mahreen memejamkan matanya lagi, mengatur napasnya. Bayangan di kepalanya, teriakan-teriakannya yang terekam di memori otaknya mulai pergi. Sentuhan-sentuhan di seluruh tubuhnya yang tak tersentuh apapun mulai menghilang.
Ia menyandarkan tubuhnya, mulai menangis.
Ia sudah baik-baik saja. Ia tau ia sudha baik-baik saja. Tapi mengapa hal seperti itu muncul lagi? Ke mana keberanian yang sudah di pupuknya? Ke mana semua hasil terapi yang dijalankan olehnya selama beberapa tahun ke belakang.
Semakin lama, airmata Mahreen semakin tumpah ruah.
Ia pergi sejauh mungkin untuk menata kembali hidupnya. Tapi kenangan buruk yang tiba-tiba muncul seenaknya itu membuat Mahreen merasa apa yang diusahakannya sia-sia.
Bagaimana jika aku terus seperti ini?
Bagaimana jika aku tak bisa mengontrol caraku bereaksi?
Bagaimana jika aku terserang panic attack seperti tadi di hadapan orang lain?
Mahreen menggelengkan kepalanya. Berusaha untuk tak memikirkan banyak hal. Berusaha untuk lebih tenang.
Elvaro tak paham mengapa Mahreen mematikan sambungan begitu saja. “Apa ia tersinggung? Mengapa ia begitu mudah tersinggung?” gumamnya seorang diri sambil melihat ponselnya.
Ia mengingat kembali bagaimana Mahreen berpamitan setelah pembicaraan mereka selesai. Kepala yang sedikit ditundukkan, sebuah sopan santun yang begitu menyenangkan yang bisa dilihatnya dari seorang Mahreen.
Dulu, Mahreen hanya akan duduk diam dengan buku berada di tangannya. Ia hanya akan menjawab pertanyaan tipis-tipis mengenai kabarnya, apa yang ia lakukan beberapa hari ke belakang, dan pertanyaan yang sering dilemparkan kedua orangtua Elvaro kepada Mahreen.
Dan Elvaro, akan memerhatikan keseriusan Mahreen membaca. Sesekali Mahreen tersenyum. Ia bahkan sering sekali tertangkap basah menggigit bibir bawahnya menahan rasa senang dengan akhir cerita fiksi yang dibacanya.
Apakah ke depannya Elvaro akan tetap senang mengamati Mahreen yang sibuk membaca seperti belasan tahun sebelumnya?
Apa Mahreen yang sekarang masih akan tersenyum dan kegirangan dengan apa yang dibacanya? Atau ia justru hanya akan berkerut dan menampilkan wajah datar?
Sekilas, Mahreen terlihat seperti orang yang hanya fokus dengan hidupnya sendiri. Ia tak menyangka akan mengorbankan dirinya begitu saja demi kesenangan kakeknya.
“Kau tau aku sudah tak memiliki siapapun di dunia ini selain eyang, ya, kan? Jadi, jika itu bisa membuatnya senang, aku akan melakukannya.”
Tegas. Mahreen berkali-kali menatap Elvaro dengan tatapan yang berbeda hingga Elvaro tak bisa membaca apa yang ada di pikiran wanita itu.
“Aku minta maaf, mungkin reaksiku hari ini tak seperti yang kau bayangkan. Hanya saja, aku ingin kau mengetahui bahwa apapun yang kau ketahui selain dri bibirku langsung, itu belum tentu sebuah fakta. Aku ingin kau memercayaiku sejauh itu.”
Elvaro tak bisa menahan kekaguman atas kata-kata Mahreen yang begitu berani. Seolah wanita itu berusaha membuat Elvaro berada di bawah kendalinya tanpa menunjukkan bahwa ia berusaha mengendalikan siapapun.
“Aku bingung dengan semua yang kau katakan. Jadi menurutmu, kau menganggap pernikahan ini sebagai apa? Cara untuk membahagiakan eyang atau sepertiku yang memiliki niat lain atas pernikahan ini?”
Elvaro ingat bagaimana Mahreen tersenyum dengan kepalanya yang sedikit tertunduk lalu menyelipkan rambutnya ke balik telinganya, ia seperti seorang malaikat yang malu karena ketahuan bahwa ia bukanlah manusia.
“Maksudku, apakah jantung yang kau inginkan seharga kepercayaan yang sebesar itu?”
Elvaro ingat bagaimana Mahreen mengangguk. “Aku ingin anakku sehat dan baik-baik saja.”
Kalimat yang keluar dari bibir Mahreen membuat Elvaro berpikir penyakit macam apa yang diidap oleh anak kecil itu? Bagaimana perkembangan anak itu tanpa seorang ibu?
Dan saat ini, Elvaro baru saja menghubungi seseorang yang memiliki posisi cukup tinggi di yayasan kesehatan untuk mengatur keinginan Mahreen.
Secepatnya. Jika operasi itu berjalan dengan cepat dan selamat, Mahreen akan segera menambahkan nama Zaire di belakang namanya.
Dimitri menghembuskan napasnya ketika ia mengetahui bahwa sudah beberapa rumah sakit mengatakan donor jantung yang tersedia tak cocok untuk Louis. Tak pernah mudah mencari donor jantung untuk seorang anak. Sekalinya ada donor, maka entah itu golongan darah yang tak cocok atau adanya perbedaan ukuran jantung yang sangat signifikan dengan jantung milik putranya. Ia mengingat Mahreen. Bagaimana wanita itu menangis di hadapannya dan meminta maaf. Dimitri hampir selalu marah dan bingung bagaimana menghadapi Mahreen dengan banyaknya cabang pikiran yang memenuhi urat-urat sarafnya yang terus menegang.Ia mengirim sebuah pesan kepada Mahreen. Sebagai wanita yang mengandung dan melahirkan Louis, jelas ia harus diberitahu mengenai kabar terbaru.Namun pesan yang dikirimkannya dua jam lalu tak mendapatkan respon.Dimitri mengacak-acak rambutnya. Ia membayangkan Louis yang terus bertanya kepadanya. “Ayah, mengapa aku begitu sering pergi ke rumah sakit?”“Ayah, mengapa suster-suster yang berad
Jean tak bisa mengatakan tidak ketika Elvaro memintanya menjadi best man untuk pernikahannya nanti. Meskipun menggunakan nada yang mengejek, di lubuk hatinya, ia merasa terharu teman dekatnya itu akan menikah dengan wanita yang sejauh ini tak memiliki cela.“Apa kau gak punya orang lain lagi untuk menjadi best man mu, huh?” tanya Jean sambil merapikan rambutnya ketika ia ditodong tiba-tiba oleh kedatangan Elvaro ke apartemennya pada pukul setengah dua pagi.“Aku merasa kau yang paling cocok nanti. Kau pun gak punya pasangan, jadi mungkin pernikahanku akan menjadi ajang pencarian pasangan yang paling bagus.” Elvaro terkekeh. Sebenarnya, Elvaro tak punya alasan penting untuk datang ke apartemen Jean. Ia hanya tak bisa tidur dan terus memikirkan Mahreen.Ia bingung bagaimana cara mengatakannya kepada Jean. Semuanya. Mengenai hubungan Mahreen dengan Dimitri yang ternyata lebih dari apa yang diketahui laki-laki itu.Jean mengambil remote pendingin ruangan, ia menaikkan suhu dari sembilan b
Beberapa tahun ke belakang, ketika Mahreen menggendong Louis yang terus menangis, namun ia sama sekali tak bisa menyusui bayi yang sedang haus dan juga lapar dalam waktu bersamaan itu, seorang postman datang memberikan sebuah surat yang dialamatkan untuk dirinya.Sebuah surat yang tak ia kenali nama pengirimnya. Surat itu sampai di tangannya melalui pembimbingnya di Yayasan tersebut.“Apa pasanganmu gak datang hari ini? Sudah hampir pukul delapan malam namun aku tak melihatnya sama sekali dan tak ada namanya di buku tamu hari ini.”Mahreen berusaha menenangkan Louis yang masih merengek kencang. Ia hanya tersenyum menanggapi pertanyaan yang diberikan oleh pembimbingnya.“Mungkin ia akan datang besok.” Sahutnya sambil kesulitan. Tangisan Louis yang baru berusia beberapa hari itu membuat Mahreen merasa takut. Ia takut bayi yang ada di tangannya merasakan sakit di bagian lagi di tubuhnya yang tak diketahuinya.Pembimbing wanita itu mengulurkan tangannya. “Kau butuh bantuan? Kau tamapk sed
Setelah Louis jauh lebih tenang, Mahreen memberikan susu formula tak lebih dari 40ml kepada bayinya. Dan bayi itu menghabiskannya dengan begitu cepat."Maaf, Louis. Aku akan berusaha lagi." Ujar Mahreen yang kemudian airmata menetes begitu saja. Ketika bayi itu tertidur dengan pulas, sebuah ketukan terdengar dari balik pintu kamarnya. Diiringi dengan panggilan halus agar ia segera membuka pintu.“Tunggu sebentar.”Mahreen mengambil cardigan biru tua yang berada pada triange stand miliknya. Ia merapikan rambunya. Melepaskan kunciran rambutnya yang sudah tak karuan kemudia mengikatnya lagi, menghabiskan semua poni yang tadi menutupi dahinya. Sekarang, hanya anak-anak rambut saja yang berada di dahinya.Dress tidurnya sedikit tipis, ia mengurungkan niatnya untuk mengizinkan Dimitri masuk dengan pakaian yang hampir bisa menerawag tubuh setelah melahirkannya itu.Mahreen berjalan ke pintu. “Dimitri, ap aitu kau?”“Iya. Aku terlambat, maaf. Aku ketiduran.” Jawab laki-lak itu di balik pintu
Kecanggungan yang terjadi tak dapat dihindari antara Mahreen dan Dimitri ketika laki-laki itu akhirnya menyadari bahwa ia bersikap melewati batas yang terus diingatkan oleh Mahreen. Namun, ketika ia sadar, Mahreen masih berada dalam pelukannya. Tak bergeming sedikitpun. Ia masih diam. Dimitri bisa merasakan hangat tubuh Mahreen. Panas yang dirasakannya berasal dari permukaan kulit Mahreen yang berada di bawah lapisa-lapisan pakaian yang ia kenakan.Dimitri juga bisa merasakan bahwa Mahreen menginginkan sentuhan dan kehadirannya. Sebisa mungkin, tanpa merusak suasana, Dimitri mulai melepaskan pelukannya. Mahreen mengikutinya dengan membalikkan tubuhnya perlahan.Kini mereka saling tatatp. Mahreen tak ingin mendengarkan kata maaf, begitupun Dimitri yang tak ingin meminta maaf. Mereka saling menunggu satu sama lain untuk mengatakan sesuatu. Tak ada yang terdengar di telinga keduanya selain detak ringan jarum jam yang berada di atas meja rias Mahreen. Pandangan mereka benar-benar saling
November 2017Hai, aku harap kau baik-baik saja ketika membaca surat ini. Aku mencari banyak hal mengenaimu karena aku tak bisa berpura-pura menjadi orang yang tak mengetahui apapun.Panggil saja aku Re. Surat ini mungkin sedikit aneh karena aku bukanlah seseorang yang kau kenal. Aku hanya seorang yang kebetulan melihat hal buruk terjadi padamu.Aku tau kau tak ingin diingatkan lagi mengenai itu semua. Aku berharap kau bisa baik-baik saja.Tapi, aku mengetahui kejadian malam itu. Ketika seorang laki-laki di sana melecehkanmu.Aku melihatnya. Aku merekam kalian, alam bawah sadarku menyuruhnya. Aku bukan perempuan mesum yang tak punya kerjaan ketika merekam kalian.Aku… aku baru saja bercinta dengan kekasihku di sana. Ia meninggalkanku begitu saja setelah selesai dan aku butuh waktu lebih lama untuk memperbaiki pakaian yang ku gunakan.Terkesan aneh. Tapi aku berani bersumpah di saat itu aku tak tau apa yang bisa ku lakukan untukmu. Aku tak bisa berteriak dan langsung menghajarnya. Aku
Dimitri tak melihat Mahreen ketika ia terbangun pukul setengah tiga pagi. Wanita itu tak ada di kasurnya, meninggalkan dirinya dan Louis di kamar pada jam segini adalah hal yang aneh menurutnya. Dimitri terbangun karena mendengar suara isak tangis, namun suara itu saat ini taka da. Tak ada suara apapun.“Apakah aku memimpikan seolah aku mendengar tangisan? Tapi tak ada siapapun di sini.” Tutur Dimitri yang mulai berjalan mendekati Louis yang benar-benar tidur nyenyak tanpa gangguan sedikit pun.Bayinya itu tak mudah terbangun jika sudah tidur, meski sesekali ia akan berpindah posisi dan membuka mata, namun Louis akan kembali memejamkan matanya segera setelah berhasil menggeser sedikit kepalanya.Dimitri menelpon Mahreen. Dering ponsel terdengar dan cahaya terang muncul dari atas nakas di sisi kanan ranjang tidur Mahreen. Ia keluar tanpa membawa ponsel? Begitulah yang dipikirkan Dimitri.Memilih untuk bangun, ia mencuci wajahnya di kamar mandi. Ia berpikir untuk tak keluar dari kamar
Pratishta mengetuk pintu kamar Mahreen dan mendapati wanita itu masih tidur di atas kasurnya dan Louis sudah bersama dengan ayahnya. “Dia lagi kurang enak badan.” Ucap Louis untuk memangkas pertanyaan yang akan mengganggu Mahreen.Pratishta mengangguk dan ia pun meihat Louis dalam keranjangnya mengulik ke sana ke mari. Bayi itu membuka matanya dan tersenyum kepada Pratishta dan membuat hatinya jauh lebih hangat dibandingkan ketika ia belum masuk ke dalam ruangan itu.“Apa kau menginap?” tanya Pratishta yang kemudian langsung menggendong Louis setelah sebelumnya menggunakan kain di tubuhnya untuk menutupi pakaiannya.“Iya. Semalam di sini.” Pratishta kembali tersenyum. Senyuman yang Dimitri maknai sebagai rasa lega. Karena terlihat sekali bahwa wanita yang usianya hampir sama dengan ibunya itu menunjukkan bahwa dirinya langsung berada di level kesenangan yang lebih tinggi dari sekedar dapat menggendong Louis pagi ini.“Apa ia demam?” “Gak, dia hanya mengantuk dan lemas. Semalam ia g