Beberapa tahun ke belakang, ketika Mahreen menggendong Louis yang terus menangis, namun ia sama sekali tak bisa menyusui bayi yang sedang haus dan juga lapar dalam waktu bersamaan itu, seorang postman datang memberikan sebuah surat yang dialamatkan untuk dirinya.Sebuah surat yang tak ia kenali nama pengirimnya. Surat itu sampai di tangannya melalui pembimbingnya di Yayasan tersebut.“Apa pasanganmu gak datang hari ini? Sudah hampir pukul delapan malam namun aku tak melihatnya sama sekali dan tak ada namanya di buku tamu hari ini.”Mahreen berusaha menenangkan Louis yang masih merengek kencang. Ia hanya tersenyum menanggapi pertanyaan yang diberikan oleh pembimbingnya.“Mungkin ia akan datang besok.” Sahutnya sambil kesulitan. Tangisan Louis yang baru berusia beberapa hari itu membuat Mahreen merasa takut. Ia takut bayi yang ada di tangannya merasakan sakit di bagian lagi di tubuhnya yang tak diketahuinya.Pembimbing wanita itu mengulurkan tangannya. “Kau butuh bantuan? Kau tamapk sed
Setelah Louis jauh lebih tenang, Mahreen memberikan susu formula tak lebih dari 40ml kepada bayinya. Dan bayi itu menghabiskannya dengan begitu cepat."Maaf, Louis. Aku akan berusaha lagi." Ujar Mahreen yang kemudian airmata menetes begitu saja. Ketika bayi itu tertidur dengan pulas, sebuah ketukan terdengar dari balik pintu kamarnya. Diiringi dengan panggilan halus agar ia segera membuka pintu.“Tunggu sebentar.”Mahreen mengambil cardigan biru tua yang berada pada triange stand miliknya. Ia merapikan rambunya. Melepaskan kunciran rambutnya yang sudah tak karuan kemudia mengikatnya lagi, menghabiskan semua poni yang tadi menutupi dahinya. Sekarang, hanya anak-anak rambut saja yang berada di dahinya.Dress tidurnya sedikit tipis, ia mengurungkan niatnya untuk mengizinkan Dimitri masuk dengan pakaian yang hampir bisa menerawag tubuh setelah melahirkannya itu.Mahreen berjalan ke pintu. “Dimitri, ap aitu kau?”“Iya. Aku terlambat, maaf. Aku ketiduran.” Jawab laki-lak itu di balik pintu
Kecanggungan yang terjadi tak dapat dihindari antara Mahreen dan Dimitri ketika laki-laki itu akhirnya menyadari bahwa ia bersikap melewati batas yang terus diingatkan oleh Mahreen. Namun, ketika ia sadar, Mahreen masih berada dalam pelukannya. Tak bergeming sedikitpun. Ia masih diam. Dimitri bisa merasakan hangat tubuh Mahreen. Panas yang dirasakannya berasal dari permukaan kulit Mahreen yang berada di bawah lapisa-lapisan pakaian yang ia kenakan.Dimitri juga bisa merasakan bahwa Mahreen menginginkan sentuhan dan kehadirannya. Sebisa mungkin, tanpa merusak suasana, Dimitri mulai melepaskan pelukannya. Mahreen mengikutinya dengan membalikkan tubuhnya perlahan.Kini mereka saling tatatp. Mahreen tak ingin mendengarkan kata maaf, begitupun Dimitri yang tak ingin meminta maaf. Mereka saling menunggu satu sama lain untuk mengatakan sesuatu. Tak ada yang terdengar di telinga keduanya selain detak ringan jarum jam yang berada di atas meja rias Mahreen. Pandangan mereka benar-benar saling
November 2017Hai, aku harap kau baik-baik saja ketika membaca surat ini. Aku mencari banyak hal mengenaimu karena aku tak bisa berpura-pura menjadi orang yang tak mengetahui apapun.Panggil saja aku Re. Surat ini mungkin sedikit aneh karena aku bukanlah seseorang yang kau kenal. Aku hanya seorang yang kebetulan melihat hal buruk terjadi padamu.Aku tau kau tak ingin diingatkan lagi mengenai itu semua. Aku berharap kau bisa baik-baik saja.Tapi, aku mengetahui kejadian malam itu. Ketika seorang laki-laki di sana melecehkanmu.Aku melihatnya. Aku merekam kalian, alam bawah sadarku menyuruhnya. Aku bukan perempuan mesum yang tak punya kerjaan ketika merekam kalian.Aku… aku baru saja bercinta dengan kekasihku di sana. Ia meninggalkanku begitu saja setelah selesai dan aku butuh waktu lebih lama untuk memperbaiki pakaian yang ku gunakan.Terkesan aneh. Tapi aku berani bersumpah di saat itu aku tak tau apa yang bisa ku lakukan untukmu. Aku tak bisa berteriak dan langsung menghajarnya. Aku
Dimitri tak melihat Mahreen ketika ia terbangun pukul setengah tiga pagi. Wanita itu tak ada di kasurnya, meninggalkan dirinya dan Louis di kamar pada jam segini adalah hal yang aneh menurutnya. Dimitri terbangun karena mendengar suara isak tangis, namun suara itu saat ini taka da. Tak ada suara apapun.“Apakah aku memimpikan seolah aku mendengar tangisan? Tapi tak ada siapapun di sini.” Tutur Dimitri yang mulai berjalan mendekati Louis yang benar-benar tidur nyenyak tanpa gangguan sedikit pun.Bayinya itu tak mudah terbangun jika sudah tidur, meski sesekali ia akan berpindah posisi dan membuka mata, namun Louis akan kembali memejamkan matanya segera setelah berhasil menggeser sedikit kepalanya.Dimitri menelpon Mahreen. Dering ponsel terdengar dan cahaya terang muncul dari atas nakas di sisi kanan ranjang tidur Mahreen. Ia keluar tanpa membawa ponsel? Begitulah yang dipikirkan Dimitri.Memilih untuk bangun, ia mencuci wajahnya di kamar mandi. Ia berpikir untuk tak keluar dari kamar
Pratishta mengetuk pintu kamar Mahreen dan mendapati wanita itu masih tidur di atas kasurnya dan Louis sudah bersama dengan ayahnya. “Dia lagi kurang enak badan.” Ucap Louis untuk memangkas pertanyaan yang akan mengganggu Mahreen.Pratishta mengangguk dan ia pun meihat Louis dalam keranjangnya mengulik ke sana ke mari. Bayi itu membuka matanya dan tersenyum kepada Pratishta dan membuat hatinya jauh lebih hangat dibandingkan ketika ia belum masuk ke dalam ruangan itu.“Apa kau menginap?” tanya Pratishta yang kemudian langsung menggendong Louis setelah sebelumnya menggunakan kain di tubuhnya untuk menutupi pakaiannya.“Iya. Semalam di sini.” Pratishta kembali tersenyum. Senyuman yang Dimitri maknai sebagai rasa lega. Karena terlihat sekali bahwa wanita yang usianya hampir sama dengan ibunya itu menunjukkan bahwa dirinya langsung berada di level kesenangan yang lebih tinggi dari sekedar dapat menggendong Louis pagi ini.“Apa ia demam?” “Gak, dia hanya mengantuk dan lemas. Semalam ia g
Mahreen melihat banyak desain gaun untuk pernikahannya, saat ini ia tau yang terbaik yang harus dilakukannya adalah ikut berpartisipasi untuk mengurus pernikahannya. Ia tak akan menumpahkan semuanya kepada keluarga besannya.Elvaro memiliki dua adik yang sejauh ini sangat baik padanya. Mereka berdua bahkan membuat grup beranggota tiga orang dengan nama grup “Girls” yang membuat Mahreen hanya tersenyum.Terlebih ketika membaca berbagai pesan yang dikirimkan oleh mereka berdua. Mahreen menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi ketika membaca sebuha pertanyaan yang dikirimkan oleh salah satu calon adik iparnya.“Kita gak saling mengenal, aku harap kita benar-benar bisa menjadi keluarga dengan baik. Apa kau merasa kau memiliki masalah denganku sebelumnya?” Itu adalah pesan yang tak bisa Mahreen jawab. Pertanyaan itu jauh dari kata dangkal, ia bersyukur ada seseorang yang bertanya seperti itu kepadanya setelah banyaknya orang yang berlaku semena-mena dalam hidupnya.Aku membenci kakakmu,
Elvaro tak bisa menyembunyikan apapun dari Jean, karena bagaimana pun, laki-laki itu bukanlah sebatas asisten pribadinya, Jean pun seorang teman yang bahkan kauh lebih dekat dibandingkan seluruh saudaranya.“Jean, aku dan Mahreen punya sebuah kesepakatan untuk pernikahan ini.” Elvaro seenaknya mengatakan hal yang teramat rahasia itu kepada Jean.Jean yang sedang menikmati kopi paginya langsung mengerutkan kening. “Perceraian dalam waktu beberapa tahun?”Elvaro buru-buru menggeleng.Lagi dan lagi Jena membahas hal yang sama. Temannya itu ternyata tak mempercayai pernikahannya dengan Mahreen akan berjalan lancar dan sempurna.“Heh, sepertinya kau terlalu banyak mendengar cerita-cerita fiksi seperti itu.” Keluh Elvaro sambil mengerucutkan keningnya.“Lalu apa? Kesepakatannya melibatkan apa?”Elvaro memutar bola matanya. “Kau tau ia bersama dengan Dimitri?” Jean mengangguk.“Sepertinya, ia masih mencintai laki-laki itu.” Tutur Elvaro.Jean membalikkan tubuhnya dan melihat temannya yang t