“Senang bertemu denganmu lagi, Mahreen. Sudah sangat lama ternyata." Uluran tangan di depan mata Mahreen tak disambut olehnya, ia hanya memandangi laki-laki dengan kemeja berwarna biru langit yang dipadukan dengan celana bahan berwarna hitam. Tatanan rambutnya begitu rapi dan dari jarak satu meter, Mahreen bisa menebak parfum apa yang digunakan laki-laki yang ada di hadapannya.
“Jadi kau tak suka bersalaman denganku?” tanyanya lagi dengan tangan yang digerakkan , berusaha menunjukkan bahwa ia masih menunggu wanita yang datang terlambat satu setengah jam itu untuk berjabat tangan dengannya.
“Apa aku boleh duduk sekarang?”
Mahreen tak menanggapi pertanyaan yang dilontarkan lawab bicaranya, ia justru melemparkan pertanyaan.
“Oh tentu, kau boleh duduk. Untuk kedua pengawalmu, apa boleh aku meminta mereka pergi dari sini? Aku lebih suka membahas semuanya hanya berdua denganmu.” Jari telunjuk laki-laki terulur sedikit menunjuk pada kedua pengawal Mahreen yang mengantarnya hingga ke suit terbaik hotel milik keluarga besar Zaire.
Mahreen menoleh kepada kedua pengawalnya dan memberikan anggukan. “Aku baik-baik saja. Terimakasih. Kalian bisa turun dan menungguku di lobi.” Mahreen mengatakannya dengan tenang dan wajah yang meyakinkan. Itu membuat kedua pengawalnya langsung berpamitan tanpa saling bertatapan atau memberikan bantahan.
“Apa kau selalu seperti itu, Mahreen? Diikuti oleh dua orang aneh?” Laki-laki itu mengambil satu botol wine merah dan dua gelas yang sangat tipis bentukannya.
Mahreen mendaratkan tubuhnya pada sofa berwarna hitam, menaruh tas miliknya di sebelahnya, dan menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri karena terasa cukup pegal. Tiga hari ke belakang, ia berada di kantor lebih dari dua belas jam. Kepindahannya kembali ke kota ini justru membuat hidupnya semakin dipenuhi dengan pekerjaan.
Ia melihat kamar suit hotel yang didatanginya. Mereka saat ini berada di bagian depan, ruang tamu. Tentu saja. Jika laki-laki yang menjadi lawan bicaranya ini melakukan hal tak pantas kepadanya, ia takkan membiarkannya. Ia membawa setruman listrik untuk menghadapi siapapun yang berani melakukan hal buruk.
“Minumlah! Kita harus dalam kondisi baik untuk membicarakan hal yang cukup berat ini.” Lelaki itu menjulurkan gelas berisi wine merah itu yang sudah diisikan dengan es berbentu bulat besar ke dalamnya.
“Aku tak minum alkohol, terimakasih untuk tawarannya.”
Uluran gelas itu tak mendapat respon dari Mahreen. Dan itu membuat Elvaro tersenyum.
“Belum apa-apa aku sudah mendapatkan dua penolakan. Kau menolakku untuk berjabat tangan dan sekarang menolak minuman yang ku berikan.”
Mahreen tau Elvaro tak tersinggung dengan apa yang dilakukannya. Ia tau Elvaro hanya mengatakan apapun yang ingin dikatakannya. Itu saja. Lelaki yang ada di hadapannya ini bukanlah sosok yang mudah terluka harga dirinya hanya karena hal-hal remeh.
“Baiklah, kalau begitu kau mau minum apa? Cola? Air mineral? Teh? Kopi? Aku bersedia membuatkannya untuk teman masa kecil yang pergi begitu saja setelah aku selamatkan dari kebakaran besar.” Ujung bibir Elvaro tertarik ke atas. Ia sedang meledek Mahreen mengenai masa lalu mereka.
“Diet coke? Apakah punya?”
Elvaro bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah dalam. Mahreen kembali mengamati ruang tamu suit tersebut yang menurutnya terlalu polos. Tak ada pajangan apapun. Di atas meja hanya terdapat taplak meja berwarna abu-abu yang di atasnya terdapat sebuah buku.
Ia ragu Elvaro membaca sebuah buku. Terlebih lagi dengan judul buku yang tertera jelas. Meskipun mereka tak pernah lagi bersinggungan, Mahreen yakin tak ada yang bisa membuat Elvaro berubah menjadi sosok penyuka literasi. Laki-laki yang baru saja pergi untuk mencari minuman yang diinginkan Mahreen itu hanya menganggap buku sebagai pajangan.
Tangan Mahreen terjulur dan mengambil buku itu, ia membukanya dan sebuah note berwarna kuning tertempel di salah satu halaman. Hanya satu-satunya sticky notes yang ada di sana.
“Seperti biasa, jam 22.00 WIB. I know you want it MORE.”
Mahreen tersenyum meledek sambil kembali menutup buku, terlebih setelah melihat kata terakhir dalam catatan tersebut yang dikapitalkan.
Sepertinya kau benar-benar seperti yang dikatakan banyak orang, ya, El, pikir Mahreen.
Elvaro membawakannya dua kaleng diet coke dan menjulurkannya kepada Mahreen. “Terimakasih.”
Satu kaleng diterima dan kaleng yang lainnya ditaruh.
“Kau menertawakanku saat membuka buku yang ada di meja. Apa kau tak percaya aku menjadi kutubuku?” goda Elvaro. Mahreen tau bahwa Elvaro bukanlah sosok yang berusaha menutupi kehidupannya. Apalagi setelah Elvaro menelponnya beberapa waktu lalu dan mengatakan bahwa ia akan menikahi Mahreen seperti yang diinginkan eyang.
“Tidur dengan seorang kutubuku tak akan membuatmu berubah langsung menjadi kutubuku juga.” Kali ini Mahreen lebih leluasa untuk melebarkan senyumannya. Tangan Mahreen membuka diet coke dan Elvaro menyesap red wine setelah mereka melakukan ‘cheers’ entah untuk apa.
“Tapi aku rasa aku akan menjadi kutubuku setelah tidur beberapa kali denganmu.”
Kalimat itu sukses membuat cairan yang seharusnya turun ke kerongkongan Mahreen justru berbalik arah, memasuki saluran pernapasannya hingga membuat Mahreen tersedak dan terbatuk-batuk beberapa kali. Elvaro mengulurkan sapu tangannya kepada Mahreen, dan buru-buru diambil olehnya sebelum cairan itu keluar melalui hidungnya. Ia mengelap bagian depan hidungnya dan mengambil napas panjang.
Sedakan itu membuat Mahreen tak nyaman. Apa yang dikatakan Elvaro membuatnya tak nyaman.
“Kau bilang apa tadi? Sepertinya aku salah dengar.” ucap Mahreen sambil kembali mengelap sekitar bibirnya dengan sapu tangan yang diberikan Elvaro kepadanya.
Elvaro menggelengkan kepala. Pandangan mata mereka saling terkunci selama beberapa detik. Buru-buru Mahreen mengalihkannya. “Apa yang membuatmu berpikir seperti itu, hmmm?” Mahreen menaruh sapu tangan itu di meja dan mengubah posisi duduknya, ia menyandarkan punggungnya dan melipat kedua tangannya di depan dada.
Lagi dan lagi Elvaro tersenyum, masih dengan tangan kanan yang menggerakkan gelas di tangannya, membuat red wine itu berputar-putar di dalamnya.
“Kau cantik. Dan aku selalu tidur dengan wanita cantik. Aku cukup pemilih."
Kalimat yang keluar dari bibir lelaki itu jelas-jelas sangat mengganggu. Sangat. Entah apakah ini hanya caranya bicara kepada Mahreen atau memang ia selalu menggoda perempuan yang bertemu dengannya.
Mahreen tak peduli dengan pujian seperti cantik atau apalah, ia terbiasa dengan itu hingga pujian itu sama sekali tak ada harganya lagi baginya. Tapi untuk pertama kali semasa hidupnya, ia direndahkan dalam jumpa pertama.
Aku bersyukur aku bisa mengendalikan diriku. Aku bersyukur aku tak menyerangnya dan berteriak. Aku bersyukur aku bisa berdamai dengan pelecehan yang pernah ku alami lebih dari ini.
Mahreen membatin seorang diri.
Jika bukan karena eyangnya yang memiliki masa hidup kurang dari empat bulan, ia takkan pernah mau menghirup udara yang sama dengan laki-laki di hadapannya ini lagi.
“Kau perlu ingat bahwa aku tak suka kau menilaiku hanya sebagai teman tidur. Mungkin aku terdengar sedikit kuno, tapi aku mengharapkan lebih dari sekedar teman tidur dalam sebuah pernikahan.” Mahreen tersenyum.Ia mengangkat kedua alisnya sebagai gestur mempertanyakan apakah Elvaro bisa memberikan apa yang diinginkannya.“Memangnya apa yang kau harapkan dari pernikahan ini? Aku pikir, di antara kita berdua, hanya akulah yang benar-benar berorientasi untuk menikah dan membangun rumah tangga yang baik.” Pernyataan itu keluar begitu saja dari mulut Elvaro dan itu membuat Mahreen terkejut.“Kau ingin membangun rumah tangga yang baik? Apa kau yakin? Dengan wanita yang baru kau temui lagi setelah belasan tahun?” Elvaro mengangguk. “Apa kau punya syarat agar kita bisa membangun rumah tangga yang baik? Sebagian orang menikah kontrak, tapi saat aku diminta menikah denganmu, aku merasa aku tak punya alasan lain untuk menolaknya.” Entah itu pertanyaan yang tulus atau hanya basa-basi karena Elv
Di sisi lain, laki-laki yang menjadi bahan perbincangan sedang duduk nyaman di atas kasur sambil memilih film yang akan ditonton olehnya. Ini hari ketiga ia berada di apartemen miliknya yang begitu jarang ia kunjungi. Namun karena seminggu ke belakang ia sibuk melihat progress investasinya, ia memilih untuk tinggal lebih lama sembari menunggu jadwal rapat penunjukkan direktur pengembangan.Ia tak tau bahwa di tempat lain namanya disebut dan menjadi topik yang begitu mengejutkan. Saat menekan tombol play, mendadak ponsel yang berada sedikit jauh darinya berbunyi.“Apakah itu kau, anak manis?”Dengan semangat, ia melihat panggilan yang dikiranya berasal dari Louis. Namun yang muncul bukanlah nama orang yang begitu ingin ia lihat wajahnya. Melainkan Jayden, asisten pribadinya.“Halo,” sapa Dimitri.“Selamat siang. Seorang dokter torakoplastik dari Methodist Hospital menghubungi saya dan ingin bicara dengan Anda segera setidaknya dua jam dari sekarang. Apakah saya harus mengiyakan?”Dimit
Mahreen pulang setelah satu jam berada di suit tersebut bersama dengan Elvaro. Laki-laki itu mengizinkannya pulang karena bisa terlihat bahwa Elvaro masih sangat syok dengan semua yang keluar dari bibir Mahreen.Terutama ketika Mahreen bertanya,”Apa kau pikir kau akan menikahi wanita suci yang tak pernah disentuh oleh siapapun? Kau mungkin terbawa hal-hal fiksi yang dibaca oleh wanita yang kau tiduri.”Jelas sekali bagi Mahreen bahwa Elvaro sangat kecewa. Tapi, setelah Mahreen menawarkan untuk membatalkan saja perjodohan mereka jika Elvaro tak bisa menerima kondisinya, Elvaro mengatakan tidak.“Aku punya banyak rencana dan menikah denganmu adalah satu-satunya cara untuk memulainya. Jadi, jika sebelum kemari kau sudah berpiki menjadikan semua ini sebagai alasan untuk membatalkan pernikahan, kau salah besar.”Mahreen tertawa. Ia merasa aneh. Betapa pertemuan pertamanya dengan Elvaro adalah hal yang paling ditakutinya beberapa menit sebelum menginjakkan kaki ke hotel ini, namun setelah k
Elvaro tak tinggal di suit yang dikhususkan untuknya sejak Mahreen pergi. Ia menelpon seseorang untuk mencari tau lebih banyak informasi mengenai Dimitri Ryuu.“Ada apa tiba-tiba kau ingin mengetahui tentang orang ini?” tanya seseorang yang berada di ujung sambungannya.“Aku belum bisa mengatakannya. Ada hal-hal lain yang harus kau lakukan. Untuk sesuatu yang ku minta minggu lalu, apakah sudah siap?”Lawan bicaranya berdeham. “Sudah. Apa kau ingin aku membawanya ke hotel atau bagaimana?”Elvaro tersenyum puas. “Biarkan saja dulu. Aku pikir Mahreen akan menyukainya. Apa kau tau kami bertemu hari ini?”Elvaro berniat menyombongkan diri karena ia rasa ia berhasil membuat Mahreen percaya kepadanya.“Apa ia setuju?”Elvaro memutar bola matanya. “Aku tak sempat bertanya. Ia membahas hal lain. Aku pikir selain keinginan kakeknya, ia tak punya hal lain untuk menikah denganku. Tapi ternyata, ia memiliki semangat yang besar.” Elvaro tertawa puas. “Kesan yang bagus.”Elvaro mengangguk seolah la
Pukul sebelas malam ketika Mahreen sudah siap untuk tidur, sebuah email masuk ke ponselnya. Tak pernah ada email yang berhubungan dengan pekerjaan masuk ke akunnya pada jam-jam seperti ini. Email-email yang berisi spam di akunnya pun sudah otomatis takkan muncul di notifikasi. Tangannya langsung meraih kembali ponsel meskipun matanya sudah tinggal sekian watt. Sebuah data P*F menjadi lampiran pada pesan itu. Mahreen mendengus kesal ketika ia sadar siapa yang mengirimkan pesan tersebut. Elvaro. Laki-laki itu membuat surat kesepakatan yang dikirimkan kepadanya selarut ini dan orang itu menggunakan email kantornya. Pintar sekali, puji Mahreen dalam hatinya. Karena email itu belum dikirim dalam waktu yang lama, Mahreen langsung menelpon Elvaro. Selang dua dering, suara Elvaro terdengar. Dan Mahreen tak mengucapkan sapaan karena menurutnya hal seperti itu tak perlu lagi di waktu seperti ini. “Aku tak setuju jika kau ingin masuk ke firma hukum. Tapi aku bisa membuat firma hukum
Dimitri menghembuskan napasnya ketika ia mengetahui bahwa sudah beberapa rumah sakit mengatakan donor jantung yang tersedia tak cocok untuk Louis. Tak pernah mudah mencari donor jantung untuk seorang anak. Sekalinya ada donor, maka entah itu golongan darah yang tak cocok atau adanya perbedaan ukuran jantung yang sangat signifikan dengan jantung milik putranya. Ia mengingat Mahreen. Bagaimana wanita itu menangis di hadapannya dan meminta maaf. Dimitri hampir selalu marah dan bingung bagaimana menghadapi Mahreen dengan banyaknya cabang pikiran yang memenuhi urat-urat sarafnya yang terus menegang.Ia mengirim sebuah pesan kepada Mahreen. Sebagai wanita yang mengandung dan melahirkan Louis, jelas ia harus diberitahu mengenai kabar terbaru.Namun pesan yang dikirimkannya dua jam lalu tak mendapatkan respon.Dimitri mengacak-acak rambutnya. Ia membayangkan Louis yang terus bertanya kepadanya. “Ayah, mengapa aku begitu sering pergi ke rumah sakit?”“Ayah, mengapa suster-suster yang berad
Jean tak bisa mengatakan tidak ketika Elvaro memintanya menjadi best man untuk pernikahannya nanti. Meskipun menggunakan nada yang mengejek, di lubuk hatinya, ia merasa terharu teman dekatnya itu akan menikah dengan wanita yang sejauh ini tak memiliki cela.“Apa kau gak punya orang lain lagi untuk menjadi best man mu, huh?” tanya Jean sambil merapikan rambutnya ketika ia ditodong tiba-tiba oleh kedatangan Elvaro ke apartemennya pada pukul setengah dua pagi.“Aku merasa kau yang paling cocok nanti. Kau pun gak punya pasangan, jadi mungkin pernikahanku akan menjadi ajang pencarian pasangan yang paling bagus.” Elvaro terkekeh. Sebenarnya, Elvaro tak punya alasan penting untuk datang ke apartemen Jean. Ia hanya tak bisa tidur dan terus memikirkan Mahreen.Ia bingung bagaimana cara mengatakannya kepada Jean. Semuanya. Mengenai hubungan Mahreen dengan Dimitri yang ternyata lebih dari apa yang diketahui laki-laki itu.Jean mengambil remote pendingin ruangan, ia menaikkan suhu dari sembilan b
Beberapa tahun ke belakang, ketika Mahreen menggendong Louis yang terus menangis, namun ia sama sekali tak bisa menyusui bayi yang sedang haus dan juga lapar dalam waktu bersamaan itu, seorang postman datang memberikan sebuah surat yang dialamatkan untuk dirinya.Sebuah surat yang tak ia kenali nama pengirimnya. Surat itu sampai di tangannya melalui pembimbingnya di Yayasan tersebut.“Apa pasanganmu gak datang hari ini? Sudah hampir pukul delapan malam namun aku tak melihatnya sama sekali dan tak ada namanya di buku tamu hari ini.”Mahreen berusaha menenangkan Louis yang masih merengek kencang. Ia hanya tersenyum menanggapi pertanyaan yang diberikan oleh pembimbingnya.“Mungkin ia akan datang besok.” Sahutnya sambil kesulitan. Tangisan Louis yang baru berusia beberapa hari itu membuat Mahreen merasa takut. Ia takut bayi yang ada di tangannya merasakan sakit di bagian lagi di tubuhnya yang tak diketahuinya.Pembimbing wanita itu mengulurkan tangannya. “Kau butuh bantuan? Kau tamapk sed