Home / Horor / Rahasia Terkutuk / Halusinasi Nyata

Share

Halusinasi Nyata

Author: Sakura Aeri
last update Last Updated: 2021-10-05 13:15:36

Sedikit masih menyisakan kengerian tersendiri, Diana terus mengusap tengkuk saat mengingat cerita rekan-rekan kerjanya tadi pagi. Dia sendiri pernah melihat Sonia beberapa kali, meski tidak sempat mengobrol. Wanita muda blasteran Jepang itu sangat cantik dan murah senyum. Begitu juga dalam pekerjaan, Sonia tidak pernah terdengar mengeluh walau memiliki bos sedingin Pak Joey.

“Manusia zaman sekarang ada-ada saja, salah sedikit langsung main bunuh,” gumam Diana seorang diri di dalam angkutan kota. Kebetulan sudah tak ada penumpang lagi, hanya dia seorang.

“Turun di mana, Neng?”

Diana tersentak kaget. Bukan salah sang sopir angkot, hanya saja memang Diana sedang melanglang buana di alam pikirannya. Ternyata mendengar berita seperti itu memang memengaruhi psikologis seseorang. Secara tak sadar kita akan berpikir tentang bagaimana jika kematian menghampiri nanti. Apalagi mengingat penuturan rekan kerjanya tadi. Diana tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya jika bagian tubuh terpotong-potong.

“Depan warung bakso di ujung jalan ini saja, Pak.”

Setelah turun dari angkutan umum, Diana perlu berjalan sekitar lima ratus meter lagi ke dalam gang yang hanya cukup dilewati sepeda motor. Senyum manis dari bibir tebalnya tersungging ramah ketika melewati sekumpulan ibu-ibu yang tengah berbincang sore menunggu waktu magrib. Namun, setelahnya Diana dapat mendengar bisikan tak enak dari sekumpulan orang itu.

“Ssst ... jangan dekat-dekat sama keluarga itu. Bulan lalu saudaranya meninggal enggak wajar. Kayaknya benar kata adikku yang dulu tetanggaan sama mereka waktu masih di Tanah Abang.”

Diana berusaha menetralkan napasnya. Jika boleh marah, dia sudah ingin mengamuk sedari tadi. Akan tetapi dia hanya penghuni baru di lingkungan ini. Kurang lebih baru enam bulan, sungguh tak bisa dibandingkan dengan warga lain yang sudah berpuluh tahun tinggal di sini.

“Aku pulang!” seru Diana saat membuka pintu rumahnya. Dua bocah perempuan berbeda umur tampak berlari riang menyambut sang tante pulang.

“Kak Di! Bawa slime gak? Kita pengen main slime.

Wanita cantik itu berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan si gadis kecil berumur 7 tahun. “Kan, Kak Di belum gajian. Nanti kalau sudah gajian, kita beli slime untuk Rosa dan Rubi.”

Rosa mendesah kecewa. Dalam pikiran kekanakannya, kenapa gajian orang dewasa itu lama? Apa tidak bisa gajian setiap hari?

“Ya sudah, kalau begitu kita main masak-masakan di halaman belakang saja. Ayo, Dek Rubi!” Dengan semangat, Rosa menggandeng Rubi untuk ikut dengannya, tetapi bocah 4 tahun itu bergeming seolah tidak mau diajak ke tempat tersebut.

“Dek, ayo kita main!” Sekali lagi Rosa mencoba menarik tangan sang adik, tetapi tetap tidak berhasil.

Geleng lemah menjadi jawaban Rubi. Sirat mata polosnya penuh ketakutan. “Aku enggak mau, Kak.”

Diana berjalan mendekati Rubi dan mengelus surai lurus bocah kecil itu. Mungkin Rubi masih takut dengan halusinasinya sendiri, batinnya.

“Rubi kenapa? Enggak ada apa-apa kok di sana.”

“Enggak mau, Kak. Si Rambut Pendek itu seram kayak halloween.”

Gelak tawa meluncur dari bibir tebal Diana. Sungguh bukan itu tanggapan yang diharapkan Rubi. Dia tidak merasa sedang bercanda.

“Kak Di, dia jahat. Dia sering lihat Kak Diana dari luar.”

Jawilan mendarat di hidung pesek Rubi, siapa lagi pelakunya jika bukan Diana. “Jangan sering menonton yang aneh-aneh di televisi. Ya sudah, kalau enggak mau main, mending bantu Kak Di goreng telur.”

“Jadi, aku main sendirian? Enggak asyik!” sela Rosa seraya melipat tangan di dadanya.

“Kalau begitu Rosa bantu Kak Di juga masak di dapur ya. Oh iya, Kakek sudah minum obat?”

Rosa mengangguk mantap. Meski masih anak-anak, tetapi dia sangat cekatan dan dapat diandalkan. Siapa lagi memangnya yang bisa Diana mintai tolong? Dia hanya punya sang ayah dan dua bocah ini. Dengan kata lain, hanya mereka keluarganya yang tersisa.

“Ya sudah. Kak Di ganti baju dulu, ya? Kalian boleh ke dapur lebih dulu.”

Diana melangkahkan kaki menuju kamar. Rasanya dia ingin merebahkan diri di atas kasur sembari menjelajahi sosial media seperti orang kebanyakan. Namun, tanggung jawab di rumah sudah menunggu. Terlebih lagi kuota yang harus diirit sampai waktu gajian tiba, memaksa Diana melupakan angan itu. Tak jarang terbesit pengandaian jika saja orang tuanya masih kaya raya seperti dulu, tetapi tentu itu tak ada gunanya. Diana sadar hal yang sudah terjadi tidak akan bisa diubah.

“Gajian masih seminggu lagi. Semoga uang dua ratus ribu cukup.”

Mata bulat itu menatap nelangsa dompet biru muda miliknya. Uang di ATM sudah dia tarik semua, hanya tersisa empat puluh ribu. Jika nanti benar-benar kepepet, mungkin meminta bantuan Yuda untuk mentransfer dua puluh ribu menjadi pilihan terakhir. Ngomong-ngomong tentang Yuda, sejak pagi sosok lelaki sipit itu tidak terlihat. Apa mungkin dia tidak masuk kerja?

“Kak Di! Kok lama?”

Gedoran pintu dari Rosa membuyarkan lamunan Diana. Setelah mencepol rambut panjangnya asal, wanita muda itu keluar bersiap untuk memasak makan malam.

***

Diana memandang hangat dua bocah kecil yang sedang melahap telur dadar dan nasi bercampur kecap. Sungguh dia bersyukur, Rosa dan Rubi bukan anak yang cerewet perihal makanan. Sejak mengasuh dua anak ini kurang lebih selama sebulan, Diana merasa hidupnya lebih berwarna.

“Pelan-pelan, Sayang. Nasinya enggak dipatok ayam kok.”

Cengiran khas anak-anak terbit dari bibir Rubi. “Habisnya ini enak banget, Kak. Iya, kan?”

Rosa mengangguk dan menjulurkan tangannya guna mengelap bibir sang adik yang berlepotan. “Kak Diana masak air putih saja enak, apalagi ini.”

Diana tertawa renyah. Kecil-kecil Rosa sudah pintar memuji. Namun, manik mata Diana menyipit saat bayangan dua bocah di depannya berubah rupa. Berkali-kali Diana mengucek mata bulatnya, tetapi rupa itu tetap tak berubah.

“Dek, nanti jangan bilang sama Mama ya kalau Kakak minta makanan kamu.”

“Iya, Kak. Kak Rara lapar banget, ya?”

Diana mengernyit dengan tubuh kaku. Suara dan rupa bocah ini tidak seperti Rubi dan Rosa. Dan lagi siapa Rara? Dia merasa familier dengan nama itu, tetapi sama sekali tak ada memori yang dapat dia ingat.

Napas Diana semakin tercekat saat bocah yang dipanggil Rara tadi menoleh ke arahnya. Wajah datar dan tatapan teramat dingin itu seakan menusuk sukma Diana.

“Kamu siapa?” tanya Diana dengan tenggorokan tercekat.

Tak ada jawaban. Mata bulat yang menatap lurus ke arah Diana perlahan lepas dan jatuh ke lantai. Bibir yang sejak tadi terkatup akhirnya terbuka menampilkan seringai yang sangat mengerikan. Gigi yang hampir hilang semua dengan bau nanah menyengat menyapa lubang pembauan Diana.

“S-siapa kamu? Jangan mendekat!”

Diana beringsut mundur hingga kursi yang dia duduki oleng ke belakang. Beruntung dia tidak jatuh menghantam lantai. Teriakan kencang milik Diana menggema di rumah yang tak terlalu besar itu.

“Jangan ganggu aku! Pergi!”

Diana meremas rambut panjangnya yang tergelung dengan kuat. Wanita itu memerlukan pelampiasan atas rasa takut yang tiba-tiba menggerogotinya.

“Kak Di!”

Teriakan melengking Rosa menyadarkan Diana. Mata bulat gadis itu mengerjap beberapa kali. Di depannya terdapat Rosa dan Rubi yang melihatnya bingung.

“I-ini Rosa dan Rubi, kan?”

“Memang Kak Di pikir kita siapa?” tanya Rosa tak kalah bingung. Apa tanteku sedang kesurupan? batinnya.

Diana mengembuskan napas lega. Mungkin dia terlalu lelah sehingga berhalusinasi yang tidak-tidak. “Maaf ya, Sayang. Kak Di kayaknya capek. Kalian sudah selesai makan?”

“Sudah, Kak. Dari tadi kita panggil Kak Di, tapi malah bengong.”

Diana tersenyum kikuk dan membelai surai dua keponakannya penuh sayang. “Ya sudah. Sekarang kalian masuk kamar, ya? Jam delapan harus sudah tidur.”

Rosa dan Rubi mengangguk tanpa bantahan. Meski sebenarnya mereka ingin bermain dengan Diana. Akan tetapi melihat kondisi sang tante yang lelah sampai mengigau mereka jadi tidak tega.

Sepeninggal dua keponakannya, Diana bergegas membersihkan piring dan beranjak ke kamar. Dia merasa ada yang tidak beres dengan dirinya.

“Apa ini ada hubungannya sama kalung liontin dari Oma yang aku lepas?”

Diana menuju nakas di kamarnya. Dua laci dari atas dia buka perlahan, di dalamnya terdapat kotak merah berisi kalung dari sang nenek yang kebetulan putus seminggu lalu.

“Mungkin aku mesti perbaiki ini. Kata Oma ini enggak boleh dilepas, kan?”

***

Linting demi linting dihabiskan Joey hingga mungkin asap dalam kamarnya mampu membangkitkan alarm kebakaran. Entah apa yang dipikirkan lelaki tinggi itu, dia merasa nikotin adalah pelarian satu-satunya.

“Kamu masih konsumsi ini?”

Joey melirik malas oknum yang masuk ke apartemennya tanpa permisi. Siapa lagi yang berani melakukan itu selain Ken?

“Ditanya enggak pernah dijawab. Bisu apa sakit gigi?” celetuk Ken penuh sarkasme. Dosa apa dia memiliki kakak seperti Joey.

Gurauan garing lelaki berkulit sawo matang itu malah dihadiahi lemparan puntung rokok oleh Joey. “Kalau mau rusuh, enggak usah kemari.”

“Aku khawatir. Lihat, tuh! kamu masih konsumsi rokok terlarang itu, kan? Mau ditangkap polisi?”

“Enggak usah sok peduli, Nyet! Mending ambil bir di kulkas buat sumpal mulut kamu.”

Ken mendesah kesal. Joey tidak pernah berubah, selalu seperti ini sejak zaman batu. Lelaki itu memilih berjalan ke arah akuarium ikan di sudut ruangan. Mungkin bermain dengan ikan arwana ini lebih asyik ketimbang bicara dengan Joey.

“Mana cacing bekunya? Aku mau kasih makan Beni.”

Joey melirik sebentar kemudian kembali fokus dengan lintingan di jepitan tangannya. “Dia sudah kenyang. Tadi makan daging banyak.”

“Ck, enggak seru! Tumben Beni makan daging?”

“Iya. Dia habis kena syok terapi jadi mogok makan.”

Ken hanya mengangguk kecil kemudian kembali fokus dengan kegiatan sang kakak mengepulkan asap laknat itu. “Kak, kamu enggak mau pulang ke rumah?”

“Kamu sudah tahu jawabannya.”

“Mama mau ketemu sama kamu, Kak.”

“Kalau masih bahas ini, aku jadikan kamu makanan Beni.”

Bibir sang adik mengerucut kesal. Rasanya dia ingin tukar tambah saja kakak sialannya ini. “Ya sudah. Aku mending ke rumah pacarku daripada ngomong sama jelmaannya Sun Go Kong.”

Joey tak berkomentar apa-apa. Bahkan hingga sang adik hilang dari balik pintu, wajah kakunya tetap tak berubah.

“Perempuan laknat itu seenak jidat ingin bertemu denganku setelah membuatku menanggung ini seumur hidupku?” gumam Joey lirih penuh amarah.

Bersambung

Related chapters

  • Rahasia Terkutuk   Dia Melihat?

    Langkah tegap seorang lelaki bersetelan turtleneck hitam dipadu dengan jas dengan warna senada menggema di lobi salah satu perusahaan konstruksi besar di Indonesia. Karisma yang dipancarkan wajah dinginnya seolah mampu menyihir setiap kaum hawa yang melihatnya. Siapa lagi kalau bukan Joey Pratama. Kesan angkuh begitu terlihat saat mata setajam elang itu melirik seorang wanita yang tengah berlari terburu. Si wanita dengan rambut panjang bergelombang tampak kehabisan napas seraya melirik jam tangan murah yang melingkar di tangan kirinya.“Dasar karyawan pemalas. Sudah tahu kerja jam delapan, bukannya datang lebih awal,” gumam Joey seorang diri seraya menatap remeh wanita yang telah hilang di balik lift.“Orang seperti ini mending jadi makanan Beni daripada jadi karyawanku,” sambung Joey.“Pak Joey!”Joey menghentikan acara menggerutunya dan menoleh ke arah sumber suara. Di sana, Yuda tengah melambai kecil dan ber

    Last Updated : 2021-10-05
  • Rahasia Terkutuk   Sosok Dalam Drum

    Matahari sudah berada di ufuk barat kala Diana baru saja sampai di kantor Lingga Konstruksi. Ternyata tinjau lapangan kali ini memakan waktu yang cukup lama, hingga sore hari wanita cantik itu baru kembali ke kantor. Selama di perjalanan, Diana lebih banyak diam karena mengingat kejadian di tempat proyek. Lagi-lagi dia berhalusinasi tentang seorang gadis kecil. Ini sudah ke sekian kali dalam seminggu.“Diana, kita sudah sampai.”Diana bergeming karena terlalu larut dalam pikirannya sendiri. Hingga Yuda terpaksa menepuk betis Diana yang berada di belakangnya. “Di! Jangan bengong, nanti kesambet.”Diana kembali tersadar dan memberikan senyum kikuk seraya melepas helm. “Kak Yuda enggak absen pulang dulu?”Yuda tersenyum sambil menggeleng. “Enggak, nanti saja. Aku masih harus ke warehouse buat cek sesuatu. Helmnya bawa sini, biar aku saja yang kembaliin ke Dimas.”Anggukan menjadi timpalan Diana

    Last Updated : 2021-10-14
  • Rahasia Terkutuk   Sekretaris Baru

    Bisikan tak henti menggema di kantor Lingga Konstruksi hari ini. Bukan tanpa sebab, itu karena bos besar mereka kedatangan sekretaris baru lagi menggantikan mendiang Sonia. Kali ini sekretaris Joey jauh lebih aduhai dari sebelumnya. Bahkan beberapa orang mengklaim bongkahan belakang milik wanita yang diketahui bernama Jovanka itu adalah hasil implan silikon dipadu dengan penggunaan rutin slimming suit.“Dia mau jadi sekretaris apa mau jadi lonte sih? Bajunya ketat banget!” celetuk salah satu karyawan bernama Mala.Karyawan lain yang lebih muda ikut menimpali. “Kayak enggak tahu Pak Joey, sekretaris dia memang tugasnya sebelas dua belas sama lonte, kan? Bedanya dia ngerjain kerjaan kantoran juga selain buka selangkangan.”Tawa kecil terdengar dari bibir Mala. Mungkin terdengar kasar, tetapi memang begitu nyatanya. “Kalau kamu sendiri, memang enggak mau diajak begituan sama cowok seganteng Pak Joey?”

    Last Updated : 2021-10-14
  • Rahasia Terkutuk   Ada Apa Dengan Mora?

    Erangan nikmat bersahutan di sebuah kamar apartemen mewah. Dua manusia berbeda gender itu terlihat sangat menikmati waktu mereka untuk memberi kehangatan satu sama lain. Berkali-kali bibir si wanita mengulum senyum puas saat berhasil memberi puncak kenikmatan pada lelaki yang berstatus atasannya itu. “Jovanka ... ternyata kamu ahli sekali di atas ranjang. Punya kamu juga enak.” Joey berujar seraya memejamkan mata. Lelaki itu telah menghabiskan dua kotak karet kontrasepsi dalam pergumulannya dengan sang sekretaris. “Jika lawan mainnya seperti Pak Joey, tentu saya harus memberikan pelayanan terbaik.” Jovanka merebahkan diri di atas dada Joey, tapi lelaki itu dengan cepat mendorong si wanita untuk berbaring ke sebelahnya. “Kamu berat. Enggak usah tiduran di badan saya.” Jovanka mendecih kecil. Baru saja Joey memujinya, tapi sekarang kembali berujar dengan dingin. Untung saja wajah tampan dan dompet tebal menyelamatkan sikap buruk lelaki ini. “Saya capek,

    Last Updated : 2021-11-16
  • Rahasia Terkutuk   Teh Istimewa

    Diana tak bisa menyembunyikan tawanya lagi. Gadis itu terkekeh di koridor kantor. Ingatannya tentang Jovanka yang jatuh dan marah-marah sendiri membuat perutnya tergelitik. Namun, secepatnya Diana kembali mengerem mulutnya. Dia merasa jahat karena menertawakan kesialan orang lain. “Lagian dia jalan kayak orang mau peragaan busana. Sudah tahu hak sepatunya kayak ujung jarum.” Diana bergumam sendiri seraya menutup mulutnya agar tidak kembali tertawa. Akan tetapi langkahnya terhenti karena jambakan di rambut yang membuat gadis itu terhuyung ke belakang. Diana menoleh dan mendapati Jovanka yang menatapnya kesal. “Kamu ngetawain aku? Beraninya kamu berurusan sama kesayangannya Pak Joey!” Diana mengaduh sakit. Jambakan Jovanka tidak main-main. Dia merasa beberapa helai rambutnya tercabut. Diana benar-benar tak menyangka ternyata Jovanka lebih buruk dari Luna. “Tolong lepasin! Kamu apa-apaan sih?” Jovanka mendecih sinis. Aura muka wanita itu semakin

    Last Updated : 2021-11-29
  • Rahasia Terkutuk   Tergila-gila Denganmu

    Yuda Bastino, lelaki tiga puluh dua tahun yang betah melajang karena merasa tidak tertarik memiliki hubungan dengan lawan jenis. Perceraian kedua orang tuanya menjadikan Yuda tidak ingin menjalin cinta dengan siapa pun. Meski banyak gadis yang terang-terangan mengejarnya, tak sedikit pun mampu membuat hatinya tergerak. Namun, kehadiran Diana dalam hidup Yuda mengubah pandangan lelaki itu seratus delapan puluh derajat. Gadis yang memiliki rambut bergelombang dengan iris legam, begitu hangat dan cantik di mata Yuda. Tak pernah dia rasakan hasrat yang begitu menggebu saat melihat seorang wanita. Bahkan hanya dengan mendengar suara Diana, mampu membuat darah lelaki rupawan ini berdesir. Malangnya, Diana tak lebih menganggapnya hanya sebagai seorang kakak. Meski Yuda memberi perhatian tak biasa, gadis itu seakan menutup mata dan menganggap itu semata hanya kebaikan seorang teman. Yuda yang notabene tak pernah berurusan dengan hal seperti ini, merasa putus asa karena tak kun

    Last Updated : 2021-12-01
  • Rahasia Terkutuk   Awal Perjalanan Mengerikan

    Peluh mengucur dari dahi Diana. Suara teriakan pilu sayup-sayup menyapa indra pendengaran gadis itu. Rintihan sakit itu entah kenapa begitu menyayat hati Diana. Air mata meluncur tak terkendali dari mata bulatnya yang tertutup. “Hentikan! Sakit! Ampun!” Lagi-lagi kata itu terapalkan dengan lantang. Diana tak sanggup membuka mata. Badan pun tak bisa bergerak seolah mati rasa. Sekuat apa pun Diana meronta, dia hanya mampu diam dan mendengar sekeliling. “Cabut giginya!” Suara wanita dewasa menggema kali ini. Begitu kalimat itu selesai, teriakan melengking dari seorang anak kecil membuat Diana terperanjat hingga mampu terbangun dari buaian bunga mimpi mengerikan itu. “Ah ... apa itu tadi?” Napas gadis itu tak beraturan. Hal yang pertama kali dirasakan adalah linglung. Diana juga merasa matanya sedikit perih. Perlahan jemari lentik itu menyusuri pipi yang basah. Aku menangis? batinnya bingung. “Kenapa mimpi buruk ini mirip

    Last Updated : 2021-12-03
  • Rahasia Terkutuk   Insiden Kecelakaan

    “Kak Rara!” “Dek, hati-hati jatuh. Nanti dimarah Mama!” Kening Diana mengernyit saat kembali mendengar sayup-sayup percakapan dua anak kecil. Dia sedang merasa di awang-awang, tetapi masih dapat mendengar sekitar. Yang dia ingat hanyalah mobil sedan hitam milik sang bos banting setir ke arah kiri saat dia berteriak. Diana terpelanting ke depan dashboard dan tidak ingat apa-apa lagi. Akan tetapi kenapa malah hal ini yang dia dengar? Apa dia sedang mimpi lagi? Atau dia sudah di alam baka? “Dek, bangun!” Mata bulat Diana terbuka. Gadis itu merasa terkesiap dengan teriakan yang dia dengar. Pemandangan pertama yang terlihat adalah pepohonan dan langit biru. Saat melirik ke kiri, dia dapat melihat wajah Pak Amin yang menatapnya penuh rasa khawatir. “Mbak Diana, enggak apa-apa?” “S-saya kenapa, Pak?” Pak Amin mengusap tengkuknya dan tersenyum kecil. “Tadi Mbak Diana pingsan waktu mobil kita masuk ke semak-semak. Pak Joey yang

    Last Updated : 2021-12-06

Latest chapter

  • Rahasia Terkutuk   Foto Pembuka Tabir

    Diana berlari kencang di koridor sebuah rumah sakit negeri di Jakarta. Di belakangnya tampak sosok Joey ikut berlari mengikuti gadis itu. Jika ditanya mengapa Joey ikut? Lelaki itu memaksa mengantar Diana dengan dalih agar lebih cepat sampai. Entah kerasukan apa pria dingin ini hingga dia jadi begitu peduli pada orang lain.“Papa!”Diana menghambur begitu memasuki ruang rawat sang ayah. Air mata sudah tak terbendung sejak tadi. Gadis itu benar-benar takut jika terjadi apa-apa. Orang tuanya hanya tinggal seorang.“Kenapa Kakek bisa jatuh dari tempat tidur, Dek?” tanya Diana tak sabar pada Rosa dan Rubi yang duduk di kursi penunggu. Dua bocah kecil itu habis menangis, terbukti dari kedua mata mereka yang membengkak.“Kamu harusnya tenangin mereka dulu baru tanya. Enggak lihat keponakan kamu habis nangis dan masih syok?” Joey yang sedari tadi hanya melihat dalam diam, bergerak maju dan berjongkok di depan kursi dua bocah i

  • Rahasia Terkutuk   Penyangkalan Pak Bos

    Joey terkesiap saat Diana mengatakan nama itu. Dirinya sampai mematung dengan wajah pias. Sudah lama sekali telinganya tak mendengar orang lain menyebut nama itu. “Kamu ngapain nyebut nama itu?” Diana menggaruk pelipisnya kikuk. Nama itu refleks keluar dari mulutnya karena itu yang dia dengar terakhir kali sebelum sadar. “A-Ah ... bukan apa-apa, Pak. Maaf sudah buat Pak Joey takut.” Manik bulat meruncing Joey masih menatap Diana dengan pandangan sulit diartikan. Dahi paripurna lelaki itu sedikit mengerut seakan tengah berpikir keras. “Kamu beneran bukan indigo? Apa keturunan dukun mungkin?” tanya Joey tiba-tiba. Lelaki itu sepertinya bersungguh-sungguh dari ekspresi wajahnya. “Enggak. Saya manusia biasa, Pak.” Jawaban Diana seakan belum memuaskan beribu pertanyaan di kepala Joey. Diana sangat berbeda dengan sekretaris sebelumnya. Dia yakin ini bukan hanya sekedar keisengan Mora. “Sekali lagi saya tanya, kamu beneran eng

  • Rahasia Terkutuk   Bubur Masa Lalu

    Diana menatap khawatir Joey yang duduk bersebelahan dengannya di dalam taksi. Setelah mengantar lelaki ini ke klinik terdekat, sebagai sekretaris dia juga harus memastikan sang bos sampai di rumah dengan selamat. “Pak Joey kenapa enggak sarapan? Saya jadi ngerasa bersalah karena kasih makanan pedas.” Mata Joey yang awalnya terpejam kini terbuka sedikit. “Saya udah bilang telat bangun karena mimpi buruk, mana sempat mikirin sarapan.” Benar juga. Tadi pagi Joey berkejaran dengan rapat dengan klien penting. Jika begini berarti tidak ada yang bisa disalahkan. “Apa Pak Joey sekalian mau disiapin sarapan juga tiap pagi?” “Terserah.” Joey kembali memejamkan mata. Perutnya masih terasa tidak enak meski tak sesakit tadi. Dia hanya ingin sampai di rumah dan tidur. Di lain sisi, Diana melirik Joey yang tertidur dengan pandangan bersalah. Diam-diam gadis cantik itu mengagumi paras rupawan sang atasan. Tidak heran jika pria tinggi ini dielu-elukan oleh kau

  • Rahasia Terkutuk   Pak Bos Sakit

    Diana merasa sikap Joey sedikit berbeda. Terbukti saat selesai rapat dengan klien dari perusahaan BUMN, lelaki itu sama sekali tak mengajaknya bicara. Dia juga seperti menjaga jarak dengan Diana. Seolah dirinya adalah kuman yang harus dihindari. “Kenapa lagi sih dia?” Gadis bermata bulat itu mengambil kotak makan dari dalam paper bag. Biar bagaimana pun Joey sudah membayar untuk katering makan siang padanya. Dengan hati-hati Diana mengetuk pintu sang atasan dan masuk ke dalam. “Pak Joey, ini makan siang hari ini. Saya memasak ayam bumbu rujak, sambal goreng hati, dan sayur tumis.” Joey mengalihkan perhatiannya dari layar laptop. Bau makanan dari kotak yang dibawa Diana sungguh amat menggoda. “Taruh aja. Tolong kamu langsung pergi ke luar. Jangan ke sini kalau enggak urgent banget.” Sang sekretaris mengerutkan alis. Joey terlihat t

  • Rahasia Terkutuk   Delusi Erotis

    Wangi harum rambut si wanita begitu menggelitik jiwa kelelakian seorang Joey Pratama. Bibir tebalnya tak henti mengecup leher jenjang putih mulus gadis yang kini tengah menatap dengan raut polos di bawahnya. Jari-jari besar Joey mengelus lembut wajah cantik tanpa riasan milik si wanita. Puasa ranjang selama sebulan memang membuat Joey bak singa di musim kawin. “P-Pak Joey....” Lirihan si wanita begitu terdengar merdu. Perlahan kancing kemeja biru muda dia lepaskan hingga membuat kulit mulus bak dewi itu terlihat ke permukaan. Napas Joey memburu menatap bagaimana maha karya indah ini bisa tercipta. “Kamu cantik banget ... Diana.” Gairah meletup milik si pria tak terbendung lagi. Semua kain kedua insan itu tanggal dan jatuh ke lantai. Suhu ruangan pun kian panas seiring dengan desau yang terlontar dari dua anak manusia berbeda gender ini. “Pak ... S-Saya masih perawan.” Joey mengecupi pundak sempit milik Diana. “Saya pelan-pelan, kok.”

  • Rahasia Terkutuk   Sisi Lain Pak Bos

    Joey menyatukan alisnya saat melihat Diana yang sedang tidur berkeringat seperti orang habis lari maraton. Perasaan AC mobilnya menyala dan dingin. Kini bibir Diana mengeluarkan rintihan kesakitan seolah sedang tercekik. Buru-buru pria itu menepikan mobil, lalu mengguncang pundak Diana. “Diana, bangun!” Diana terkesiap dengan mata terbelalak. Kedua jemarinya meraba leher. Mata bulatnya mengerjap pelan. “S-Saya di mana?” “Di bulan! Kamu kenapa?” Kini pandangan Diana beralih ke arah Joey. Alis tebalnya menyatu sempurna. “Saya kenapa, Pak?” Joey mendecih sinis. “Kamu mimpi buruk, ya? Buat saya repot aja. Saya sampai harus berhenti di pinggir jalan buat bangunin kamu.” “Jadi tadi cuma mimpi?” Diam-diam Diana menarik napas lega. Setidaknya kejadian barusan hanya sebuah mimpi. Akan tetapi kenapa mimpi itu terasa sangat nyata? Bahkan leher Diana terasa perih meski tidak terluka. “Kamu mimpi apa?” tanya Joey seraya kembali melajukan mo

  • Rahasia Terkutuk   Perjalanan Pulang

    Joey mengetuk setir mobilnya gelisah. Entah kenapa pikiran tentang Diana mengusiknya. Ada sedikit rasa bersalah meninggalkan gadis itu di kantor sendirian. Akan tetapi apa yang salah? Dirinya kan memang selalu pulang tepat waktu. Siapa suruh Diana tidak mengerjakan semua tugas yang dia berikan dengan cepat. “Kenapa aku mesti ngerasa bersalah sama dia? Siapa suruh kerjanya lelet kayak keong.” Meski mulutnya berkata begini, nyatanya pikiran Joey menolak. Diana bekerja sampai malam karena mengerjakan pekerjaan yang telah mengendap sekian lama. Ditambah lagi pikiran kalau gadis itu belum sempat istirahat makan semakin mengusik nurani Joey. “Ah sialan!” Setir kemudi itu berbelok menuju sebuah restoran. Paling tidak dia harus membelikan makan agar bayangan Diana secepatnya minggat dari kepala Joey. “Mbak, saya mau take away makanan paling enak di sini.” Pelayan restoran itu menunjukkan beberapa menu

  • Rahasia Terkutuk   Bekal Istimewa

    Diana melotot saat Joey mendekat ke arah lehernya. Pria jangkung itu mengendus bau vanila yang menguar dari tubuh Diana. Gadis itu semakin gugup saat tangan besar sang bos melingkar di pinggangnya. “Kamu amatir, kan? Jangan-jangan kamu enggak pernah ciuman, ya?” Diana menahan tubuh sang bos. Wajah cantiknya memerah, antara malu dan juga marah. Dia merasa tidak nyaman dilecehkan. Diana juga punya harga diri. “Pak Joey, kalau saya laporin Bapak ke polisi atas tuduhan pelecehan seksual gimana?” Joey tergelak sejenak, tetapi buru-buru bibirnya menyeriangi. “Kamu pikir semudah itu? Kalau kamu miskin dan enggak punya koneksi, jangan harap bakal menang lawan saya. Saya bisa sewa pengacara paling mahal.” Mata bulat Diana tertutup menahan gejolak amarah yang membuncah. Lelaki ini benar-benar keterlaluan. “Saya kerja di sini untuk melayani Bapak dalam urusan kantor. Kalau urusan birahi, Bapak bisa cari istri saja, kan? Enggak semua wanita mau diajak ber

  • Rahasia Terkutuk   Hari Pertama

    Diana menggeleng lemah. Dipromosi menjadi sekretaris Joey adalah mimpi buruk. Bersama pria itu sehari saja rasanya sesak apalagi jika sepanjang waktu selama lima hari kerja. Tolong tampar dirinya! siapa tahu ini hanya mimpi buruk. “Kok diam? Kamu senang, kan?” Bibir tebal Diana kelu. Sekuat tenaga gadis itu menjawab pertanyaan Luna. “Bu, saya enggak mau dipromosi,” ujarnya. Muka pucat Luna berubah kesal. Bagi dia ini adalah kesempatan emas menyingkirkan Diana dari hadapan Yuda. Kalau bisa mati seperti sekretaris Joey yang sebelumnya, malah lebih bagus, pikirnya. “Gajinya gede, loh! Empat kali lipat dari gaji kamu sekarang. Kerjaannya lebih gampang dari ini. Enggak harus mondar-mandir ke proyek,” ujar Luna meyakinkan. Bibirnya menyeringai tipis dengan mata setia menatap penuh intimidasi. “Kamu cuma ngurus berkas sama buka paha, kurang enak apa lagi?” lanjut Luna berbisik. Mata Di

DMCA.com Protection Status