Erangan nikmat bersahutan di sebuah kamar apartemen mewah. Dua manusia berbeda gender itu terlihat sangat menikmati waktu mereka untuk memberi kehangatan satu sama lain. Berkali-kali bibir si wanita mengulum senyum puas saat berhasil memberi puncak kenikmatan pada lelaki yang berstatus atasannya itu.
“Jovanka ... ternyata kamu ahli sekali di atas ranjang. Punya kamu juga enak.” Joey berujar seraya memejamkan mata. Lelaki itu telah menghabiskan dua kotak karet kontrasepsi dalam pergumulannya dengan sang sekretaris.
“Jika lawan mainnya seperti Pak Joey, tentu saya harus memberikan pelayanan terbaik.” Jovanka merebahkan diri di atas dada Joey, tapi lelaki itu dengan cepat mendorong si wanita untuk berbaring ke sebelahnya.
“Kamu berat. Enggak usah tiduran di badan saya.”
Jovanka mendecih kecil. Baru saja Joey memujinya, tapi sekarang kembali berujar dengan dingin. Untung saja wajah tampan dan dompet tebal menyelamatkan sikap buruk lelaki ini. “Saya capek, Pak. Saya melayani Bapak dua jam lebih.”
“Kamu diberi gaji dua kali lipat dari karyawan normal, menurutmu itu untuk apa? Bekerja bukannya memang capek? Kalau kamu enggak sanggup, saya bisa cari sekretaris baru.”
Manik mata Jovanka berputar malas seiring Joey yang bangkit meninggalkannya ke kamar mandi. Wanita itu mengambil ponsel yang sejak tadi dia sembunyikan di balik lampu tidur. Bibirnya menyungging senyum penuh arti saat memutar rekaman pergumulannya dengan Joey.
“Kamu enggak akan bisa lepas dari aku, Joey Pratama.”
Dari sudut kamar sosok kecil dengan pandangan tajam tengah menatap Jovanka tak suka. Tangan pucat bersisik dan kotor itu terulur ke depan dan bergerak seperti ingin melakukan sesuatu.
“Hentikan!”
Suara Joey yang tiba-tiba keluar dari kamar mandi membuat Jovanka terkejut hingga hampir menjatuhkan ponselnya. Sementara itu, sosok kecil tadi langsung menghilang entah ke mana.
“P-Pak Joey kenapa?” tanya Jovanka dengan suara terbata. Dalam pikirannya, apa mungkin Joey melihat apa yang dia lakukan tadi?
“Enggak kenapa-kenapa. Kamu kapan mau pulang? Tugas kamu sudah selesai, kan?”
Jovanka mengangguk kecil dan berlari menuju kamar mandi. Dia harus benar-benar menghilangkan bekas percintaan ini jika tidak ingin ketahuan oleh kekasihnya. Dia dan kekasihnya tinggal satu rumah meski belum menikah. Jika ketahuan menjajakan diri, Jovanka takut diusir dari rumah nyaman yang kini dia tinggali.
***
Diana tersenyum kecil saat mendapati sebungkus besar roti dengan kertas memo warna kuning di atas meja kerjanya. Pada kertas itu tertulis permintaan maaf dari Yuda karena kemarin membuat Diana tidak nyaman dengan kata-katanya.
“Kak Yuda kok manis banget? Enggak perlu sampai kayak gini juga, aku sudah maafin.” Diana tersenyum kecil lalu menaruh kembali roti keju cokelat itu ke atas meja.
“Dimakan, ya? Aku tadi beli di toko roti langganan mendiang mamaku.”
Diana terperanjat kaget saat mendapati Yuda berdiri di belakangnya. Lelaki bermata sipit itu tersenyum secerah mentari. Diana jadi ikut merasa tidak enak hati karena kemarin berteriak padanya.
“Kak Yuda buat aku kaget! Makasih, Kak. Enggak harus begini juga kok.”
Yuda menjentik lembut kening Diana. “Kamu kalau terima apa pun dari aku, cukup bilang makasih aja. Enggak usah pakai embel-embel lain.”
“Aku cuma—“
“Sst! Jangan bilang apa-apa lagi. Makan aja rotinya buat sarapan. Ini roti paling spesial dari aku.”
Diana mengangguk. Gadis itu merasa sangat beruntung bertemu orang sebaik Yuda. Lelaki ini selalu ada untuknya di saat apa pun. Tidak salah jika Diana sudah menganggapnya seperti kakak sendiri.
“Aku mau ke proyek dulu, ya? Nanti kalau aku sempat kembali ke kantor, makan siang bareng, yuk?”
“Siap. Hati-hati di jalan ya, Kak. Nanti kabarin aja aku.”
Diana melambai ke arah Yuda yang sudah semakin menjauh. Tepat saat lelaki itu hilang di balik pintu, Luna berjalan ke arah meja Diana dan mengambil roti pemberian Yuda.
“Semua pemberian Yuda harus kamu serahin ke aku! Berapa kali aku harus bilang ke kamu untuk jangan sok kecentilan? Pakai acara mau makan siang bareng. Tolong ngaca!”
Luna menghempas tubuh Diana hingga wanita itu terjerembap ke kursi kerja. Berkali-kali Diana merapal afirmasi ke dalam diri agar tidak terpancing amarah. Dia hanya ingin bekerja dengan tenang hari ini, tidak lebih.
“Ambil saja, Bu. Saya sudah sarapan kok.”
Luna mendecih sinis saat merasa menang dari Diana. Wanita itu menatap rendah ke arah Diana kemudian berlalu ke mejanya seraya memeluk roti dari Yuda.
“Tahan, Di. Kalau kontraknya habis, cari pekerjaan lain saja,” gumam Diana seorang diri tanpa suara. Mata bulatnya sudah memerah, tetapi sekuat hati dia menjaga agar air mata tidak luruh. Dia tidak ingin dipandang dengan tatapan iba oleh beberapa rekan kerjanya.
Beberapa menit berlalu, Diana sudah dapat fokus pada pekerjaannya dan melupakan kejadian tadi. Namun, suara Luna kembali mengganggunya. Bukan, kali ini bukan kalimat kebencian yang terlontar dari mulut Luna, melainkan batuk yang tak kunjung berhenti. Wanita itu tersedak saat menikmati roti dari Yuda.
“Brengsek! Ini pasti karena kamu enggak ikhlas ya kasihnya?” Luna berdiri menghampiri Diana setelah menenggak sebotol air mineral. Kilatan marah terpancar dari manik mata wanita itu.
“Maksud Bu Luna bagaimana? Saya ikhlas kok. Ibu aja yang kurang hati-hati saat makan.” Diana sebenarnya malas berargumen, tetapi dia tidak bisa membiarkan Luna menuduhnya yang bukan-bukan.
“Berani kamu sama saya?” Luna melempar sisa roti yang dia makan hingga mengenai wajah Diana. Gadis bermata bulat itu terpaku saat mendapat lemparan roti dari Luna. Matanya memandang lekat roti yang kini berceceran di atas meja kerjanya. Bahkan ocehan Luna tidak dia dengarkan.
“Apa itu yang bergerak di dalam roti? Bukannya itu ulat?” lirih Diana tak percaya.
***
Diana duduk sendirian di kantin perusahaan. Yuda tidak jadi kembali ke kantor karena ada pekerjaan yang belum selesai. Jadilah di sini Diana larut sendirian sembari mengaduk nasi campurnya tak berselera. Padahal lauk di kantin hari ini cukup enak, hanya saja bayangan roti yang dimakan Luna tadi pagi masih mengganjal pikiran Diana.
Manik mata bulatnya mengarah ke arah pintu kantin ketika dua orang berbeda gender masuk ke dalam. Ternyata benar kata orang-orang, Pak Joey yang notabene seorang pimpinan perusahaan mau makan makanan di kantin perusahaan. Meski memang ada ruangan khusus yang diperuntukkan untuk beliau.
Iris legam milik Joey kembali menubruk iris kecokelatan milik Diana. Dua insan itu tak ada yang berniat memutus pandangan. Satu sudut bibir Joey terangkat tipis saat Diana tidak gentar menatapnya. Biasanya tak ada satu wanita pun yang tahan bertatapan dengan Joey dalam waktu lama.
“Bapak langsung ke ruang makan aja, saya ambilkan makanan untuk Bapak,” ujar Jovanka sembari membuka pintu ruangan untuk Joey.
“Kita makan di sini aja. Saya lagi enggak ingin makan di ruangan itu.”
Jovanka memandang bingung sang atasan yang sudah menarik bangku untuk duduk. Seingatnya, Daelano berkata Pak Joey tidak suka makan di keramaian. Maka dari itu dia memiliki ruang makan khusus. Akan tetapi hari ini bosnya memilih duduk di ruangan makan karyawan.
“Ya sudah. Saya ambil makanan untuk Bapak dulu.”
Joey hanya menjawab dengan anggukan. Matanya kembali menelisik Diana yang sudah kembali sibuk mengaduk nasinya.
“Karyawan pemalas itu benar-benar. Makan aja ogah-ogahan, apalagi bekerja. Daelano bisa-bisanya merekrut orang tidak kompeten begini.” Joey menggerutu dengan tatapan yang begitu merendahkan. Karyawan bernama Diana ini memang tidak ada bagus-bagusnya, meski dia akui kalau wanita itu sedikit cantik. Ingat! Hanya sedikit.
“Pak ... ini makanannya.”
Perkataan Jovanka tidak mendapat sahutan. Joey masih saja memandang Diana tak berkedip. Hal ini membuat wanita tinggi semampai yang sedang memegang nampan berisi makanan itu jengkel.
“Pak Joey!”
“Enggak usah pakai teriak-teriak. Saya enggak tuli.”
Jovanka melipat bibirnya ke dalam. Dalam hati menahan dongkol dengan tingkah polah sang bos. Begitu selesai memindahkan makanan dari nampan, Jovanka menuju ke sudut ruangan tempat mesin kopi dan minuman terpajang. Bibir tipisnya menyeriangi, dengan sengaja Jovanka menabrak meja Diana hingga gadis yang sedang minum itu tersedak.
“Maaf, enggak kelihatan.” Jovanka menatap remeh dan berlalu pergi menuju tempat minuman. Diana hanya dapat menahan gemuruh di dadanya dan mengambil tisu untuk membersihkan kemeja yang terkena air. Ingin marah pun pasti percuma. Orang seperti Jovanka akan dengan memudah memutar kata-kata dan situasi.
Jovanka sendiri berjalan dengan angkuh dengan dua gelas minuman dingin ditangannya. Dia tak menyadari ada sebuah tangan kecil bersisik dan kotor terjulur dan mencengkeram kakinya dari bawah meja. Wanita semampai itu jatuh terjerembap hingga seluruh pakaiannya basah dan kotor. Joey yang melihat semua kejadian itu menautkan alis tebalnya dan bergumam lirih.
“Ada apa dengan Mora akhir-akhir ini sebenarnya? Dia enggak kayak biasanya.”
Bersambung
Diana tak bisa menyembunyikan tawanya lagi. Gadis itu terkekeh di koridor kantor. Ingatannya tentang Jovanka yang jatuh dan marah-marah sendiri membuat perutnya tergelitik. Namun, secepatnya Diana kembali mengerem mulutnya. Dia merasa jahat karena menertawakan kesialan orang lain. “Lagian dia jalan kayak orang mau peragaan busana. Sudah tahu hak sepatunya kayak ujung jarum.” Diana bergumam sendiri seraya menutup mulutnya agar tidak kembali tertawa. Akan tetapi langkahnya terhenti karena jambakan di rambut yang membuat gadis itu terhuyung ke belakang. Diana menoleh dan mendapati Jovanka yang menatapnya kesal. “Kamu ngetawain aku? Beraninya kamu berurusan sama kesayangannya Pak Joey!” Diana mengaduh sakit. Jambakan Jovanka tidak main-main. Dia merasa beberapa helai rambutnya tercabut. Diana benar-benar tak menyangka ternyata Jovanka lebih buruk dari Luna. “Tolong lepasin! Kamu apa-apaan sih?” Jovanka mendecih sinis. Aura muka wanita itu semakin
Yuda Bastino, lelaki tiga puluh dua tahun yang betah melajang karena merasa tidak tertarik memiliki hubungan dengan lawan jenis. Perceraian kedua orang tuanya menjadikan Yuda tidak ingin menjalin cinta dengan siapa pun. Meski banyak gadis yang terang-terangan mengejarnya, tak sedikit pun mampu membuat hatinya tergerak. Namun, kehadiran Diana dalam hidup Yuda mengubah pandangan lelaki itu seratus delapan puluh derajat. Gadis yang memiliki rambut bergelombang dengan iris legam, begitu hangat dan cantik di mata Yuda. Tak pernah dia rasakan hasrat yang begitu menggebu saat melihat seorang wanita. Bahkan hanya dengan mendengar suara Diana, mampu membuat darah lelaki rupawan ini berdesir. Malangnya, Diana tak lebih menganggapnya hanya sebagai seorang kakak. Meski Yuda memberi perhatian tak biasa, gadis itu seakan menutup mata dan menganggap itu semata hanya kebaikan seorang teman. Yuda yang notabene tak pernah berurusan dengan hal seperti ini, merasa putus asa karena tak kun
Peluh mengucur dari dahi Diana. Suara teriakan pilu sayup-sayup menyapa indra pendengaran gadis itu. Rintihan sakit itu entah kenapa begitu menyayat hati Diana. Air mata meluncur tak terkendali dari mata bulatnya yang tertutup. “Hentikan! Sakit! Ampun!” Lagi-lagi kata itu terapalkan dengan lantang. Diana tak sanggup membuka mata. Badan pun tak bisa bergerak seolah mati rasa. Sekuat apa pun Diana meronta, dia hanya mampu diam dan mendengar sekeliling. “Cabut giginya!” Suara wanita dewasa menggema kali ini. Begitu kalimat itu selesai, teriakan melengking dari seorang anak kecil membuat Diana terperanjat hingga mampu terbangun dari buaian bunga mimpi mengerikan itu. “Ah ... apa itu tadi?” Napas gadis itu tak beraturan. Hal yang pertama kali dirasakan adalah linglung. Diana juga merasa matanya sedikit perih. Perlahan jemari lentik itu menyusuri pipi yang basah. Aku menangis? batinnya bingung. “Kenapa mimpi buruk ini mirip
“Kak Rara!” “Dek, hati-hati jatuh. Nanti dimarah Mama!” Kening Diana mengernyit saat kembali mendengar sayup-sayup percakapan dua anak kecil. Dia sedang merasa di awang-awang, tetapi masih dapat mendengar sekitar. Yang dia ingat hanyalah mobil sedan hitam milik sang bos banting setir ke arah kiri saat dia berteriak. Diana terpelanting ke depan dashboard dan tidak ingat apa-apa lagi. Akan tetapi kenapa malah hal ini yang dia dengar? Apa dia sedang mimpi lagi? Atau dia sudah di alam baka? “Dek, bangun!” Mata bulat Diana terbuka. Gadis itu merasa terkesiap dengan teriakan yang dia dengar. Pemandangan pertama yang terlihat adalah pepohonan dan langit biru. Saat melirik ke kiri, dia dapat melihat wajah Pak Amin yang menatapnya penuh rasa khawatir. “Mbak Diana, enggak apa-apa?” “S-saya kenapa, Pak?” Pak Amin mengusap tengkuknya dan tersenyum kecil. “Tadi Mbak Diana pingsan waktu mobil kita masuk ke semak-semak. Pak Joey yang
Joey lagi-lagi berdeham dan pergi menjauhi Diana. Dia merasa tidak nyaman memandang wajah gadis itu terlalu lama. “Y-ya terserah saya dong! Kamu ngapain ngatur saya?” Diana sendiri mengangkat bahunya acuh. Dia mulai merasa lapar karena memang sudah lewat tengah hari. “Pak Amin mau Roti? Kebetulan saya bawa roti.” Diana mengeluarkan sebungkus besar roti lima rasa dari dalam tas ranselnya. Pak Amin hanya menggeleng dan memberi senyum teduh. Diana mengingatkannya terhadap sang putri di rumah. “Mbak enggak tawarin Pak Joey dan Mbak Jovanka?” “Mana mau mereka sama roti murah begini. Daripada saya dengar cacian, mending enggak usah.” Diana mengambil sepotong roti dan langsung makan dengan lahap. Tak dia sadari seseorang memandang ke arahnya sembari menelan ludah. Siapa lagi kalau bukan Joey. Lelaki dingin itu juga manusia, bisa lapar. Ditambah tadi pagi tidak sarapan membuat perutnya berbunyi nyaring sekarang. “Pak Joey kayaknya lapar, Mbak. C
Raut muka Joey menahan kesal yang tak terkira. Dia sudah berjalan seratus meter dengan jalan yg sedikit terjal, lalu kembali lagi ke tempat semula hanya karena teriakan halu Jovanka. “Mana ularnya? Di sini ada Pak Amin, kenapa kamu pakai teriak-teriak sampai seperti itu?” cecar Joey dongkol. Tadi wanita ini berteriak seperti melihat setan, tetapi begitu dia dan Diana kembali, ternyata Jovanka hanya merasa melihat ular. “Tadi ada di situ, Pak. Saya takut banget.” Jovanka bangkit dan langsung memeluk Joey dengan manja. Diana sendiri rasanya ingin mempersembahkan wanita semampai itu pada anaconda betulan. Bisakah mereka sampai Anyer jika begini terus? Atau paling minim bisakah mereka pulang dengan selamat? “Enggak ada apa-apa kok, Pak. Tadi saya sudah periksa,” jelas Pak Amin. Jovanka memandang tajam ke arah sang sopir, seolah tidak suka dengan jawaban itu. “Kamu mau cari perhatian saya, ya? Kalau kamu ny
Perjalanan ke Anyer berlanjut pada pukul empat saat Ken datang untuk menjemput Joey. Meski kakaknya menyebalkan, tetapi lelaki berkulit sawo matang itu tidak tega melihat kakaknya dimakan penunggu hutan jati jika dibiarkan lebih lama di sana. Ken merasa beruntung karena ternyata Joey membawa dua gadis cantik bersamanya. Sedangkan Pak Amin ikut dengan mobil derek untuk kembali ke Jakarta. “Kamu mau threesome, ya? Kok bawa dua cewek?” Joey melirik tajam sang adik yang sedang menyetir di sebelahnya. “Mulutmu memang sembarangan. Satu itu sekretarisku, satunya yang dekil itu kacungku.” Ken melihat ke belakang lewat spion. Jika dilihat dari tipe kakaknya, sudah pasti yang berbaju ketat itu sekretarisnya. Akan tetapi yang satu lagi, tidak dekil sama sekali. Malah lebih cantik dari si gadis berbaju ketat di mata Ken. “Yang cantik itu namanya siapa, Kak?” “Siapa? Sekretarisku? Namanya Jovanka.”
Badan besar Joey merebah di kasur empuk dengan ukuran king size. Badannya benar-benar terasa lelah karena perjalanan hari ini. Niatnya untuk mendapat penyegaran, tetapi malah kesialan yang justru datang. Semua salah Diana, si gadis sialan menyebalkan. Dia benar-benar menyesal membawa gadis itu untuk semobil bersamanya. “Aku butuh nikotin.” Joey merogoh saku celananya dan mengeluarkan sekotak rokok campuran khusus yang sangat dibenci oleh Ken. Beruntung adiknya sudah kembali ke Jakarta, kalau tidak mungkin mulut Ken sudah mengomel tak karuan. Setelah menghisap rokok terlarang itu, tangan Joey dengan lihai menari di atas ponsel. Dia mengirim pesan pada Jovanka untuk datang ke kamarnya. Dalam pikiran Joey, bercinta sebentar sambil menunggu makan malamnya siap, tidak buruk juga. Tak berapa lama, ketukan pintu terdengar. Joey yang sudah di ambang kesadarannya mengulum senyum laknat. Dengan segera dia menuju pintu dan menarik gadis yang dia pikir Jovanka.
Diana berlari kencang di koridor sebuah rumah sakit negeri di Jakarta. Di belakangnya tampak sosok Joey ikut berlari mengikuti gadis itu. Jika ditanya mengapa Joey ikut? Lelaki itu memaksa mengantar Diana dengan dalih agar lebih cepat sampai. Entah kerasukan apa pria dingin ini hingga dia jadi begitu peduli pada orang lain.“Papa!”Diana menghambur begitu memasuki ruang rawat sang ayah. Air mata sudah tak terbendung sejak tadi. Gadis itu benar-benar takut jika terjadi apa-apa. Orang tuanya hanya tinggal seorang.“Kenapa Kakek bisa jatuh dari tempat tidur, Dek?” tanya Diana tak sabar pada Rosa dan Rubi yang duduk di kursi penunggu. Dua bocah kecil itu habis menangis, terbukti dari kedua mata mereka yang membengkak.“Kamu harusnya tenangin mereka dulu baru tanya. Enggak lihat keponakan kamu habis nangis dan masih syok?” Joey yang sedari tadi hanya melihat dalam diam, bergerak maju dan berjongkok di depan kursi dua bocah i
Joey terkesiap saat Diana mengatakan nama itu. Dirinya sampai mematung dengan wajah pias. Sudah lama sekali telinganya tak mendengar orang lain menyebut nama itu. “Kamu ngapain nyebut nama itu?” Diana menggaruk pelipisnya kikuk. Nama itu refleks keluar dari mulutnya karena itu yang dia dengar terakhir kali sebelum sadar. “A-Ah ... bukan apa-apa, Pak. Maaf sudah buat Pak Joey takut.” Manik bulat meruncing Joey masih menatap Diana dengan pandangan sulit diartikan. Dahi paripurna lelaki itu sedikit mengerut seakan tengah berpikir keras. “Kamu beneran bukan indigo? Apa keturunan dukun mungkin?” tanya Joey tiba-tiba. Lelaki itu sepertinya bersungguh-sungguh dari ekspresi wajahnya. “Enggak. Saya manusia biasa, Pak.” Jawaban Diana seakan belum memuaskan beribu pertanyaan di kepala Joey. Diana sangat berbeda dengan sekretaris sebelumnya. Dia yakin ini bukan hanya sekedar keisengan Mora. “Sekali lagi saya tanya, kamu beneran eng
Diana menatap khawatir Joey yang duduk bersebelahan dengannya di dalam taksi. Setelah mengantar lelaki ini ke klinik terdekat, sebagai sekretaris dia juga harus memastikan sang bos sampai di rumah dengan selamat. “Pak Joey kenapa enggak sarapan? Saya jadi ngerasa bersalah karena kasih makanan pedas.” Mata Joey yang awalnya terpejam kini terbuka sedikit. “Saya udah bilang telat bangun karena mimpi buruk, mana sempat mikirin sarapan.” Benar juga. Tadi pagi Joey berkejaran dengan rapat dengan klien penting. Jika begini berarti tidak ada yang bisa disalahkan. “Apa Pak Joey sekalian mau disiapin sarapan juga tiap pagi?” “Terserah.” Joey kembali memejamkan mata. Perutnya masih terasa tidak enak meski tak sesakit tadi. Dia hanya ingin sampai di rumah dan tidur. Di lain sisi, Diana melirik Joey yang tertidur dengan pandangan bersalah. Diam-diam gadis cantik itu mengagumi paras rupawan sang atasan. Tidak heran jika pria tinggi ini dielu-elukan oleh kau
Diana merasa sikap Joey sedikit berbeda. Terbukti saat selesai rapat dengan klien dari perusahaan BUMN, lelaki itu sama sekali tak mengajaknya bicara. Dia juga seperti menjaga jarak dengan Diana. Seolah dirinya adalah kuman yang harus dihindari. “Kenapa lagi sih dia?” Gadis bermata bulat itu mengambil kotak makan dari dalam paper bag. Biar bagaimana pun Joey sudah membayar untuk katering makan siang padanya. Dengan hati-hati Diana mengetuk pintu sang atasan dan masuk ke dalam. “Pak Joey, ini makan siang hari ini. Saya memasak ayam bumbu rujak, sambal goreng hati, dan sayur tumis.” Joey mengalihkan perhatiannya dari layar laptop. Bau makanan dari kotak yang dibawa Diana sungguh amat menggoda. “Taruh aja. Tolong kamu langsung pergi ke luar. Jangan ke sini kalau enggak urgent banget.” Sang sekretaris mengerutkan alis. Joey terlihat t
Wangi harum rambut si wanita begitu menggelitik jiwa kelelakian seorang Joey Pratama. Bibir tebalnya tak henti mengecup leher jenjang putih mulus gadis yang kini tengah menatap dengan raut polos di bawahnya. Jari-jari besar Joey mengelus lembut wajah cantik tanpa riasan milik si wanita. Puasa ranjang selama sebulan memang membuat Joey bak singa di musim kawin. “P-Pak Joey....” Lirihan si wanita begitu terdengar merdu. Perlahan kancing kemeja biru muda dia lepaskan hingga membuat kulit mulus bak dewi itu terlihat ke permukaan. Napas Joey memburu menatap bagaimana maha karya indah ini bisa tercipta. “Kamu cantik banget ... Diana.” Gairah meletup milik si pria tak terbendung lagi. Semua kain kedua insan itu tanggal dan jatuh ke lantai. Suhu ruangan pun kian panas seiring dengan desau yang terlontar dari dua anak manusia berbeda gender ini. “Pak ... S-Saya masih perawan.” Joey mengecupi pundak sempit milik Diana. “Saya pelan-pelan, kok.”
Joey menyatukan alisnya saat melihat Diana yang sedang tidur berkeringat seperti orang habis lari maraton. Perasaan AC mobilnya menyala dan dingin. Kini bibir Diana mengeluarkan rintihan kesakitan seolah sedang tercekik. Buru-buru pria itu menepikan mobil, lalu mengguncang pundak Diana. “Diana, bangun!” Diana terkesiap dengan mata terbelalak. Kedua jemarinya meraba leher. Mata bulatnya mengerjap pelan. “S-Saya di mana?” “Di bulan! Kamu kenapa?” Kini pandangan Diana beralih ke arah Joey. Alis tebalnya menyatu sempurna. “Saya kenapa, Pak?” Joey mendecih sinis. “Kamu mimpi buruk, ya? Buat saya repot aja. Saya sampai harus berhenti di pinggir jalan buat bangunin kamu.” “Jadi tadi cuma mimpi?” Diam-diam Diana menarik napas lega. Setidaknya kejadian barusan hanya sebuah mimpi. Akan tetapi kenapa mimpi itu terasa sangat nyata? Bahkan leher Diana terasa perih meski tidak terluka. “Kamu mimpi apa?” tanya Joey seraya kembali melajukan mo
Joey mengetuk setir mobilnya gelisah. Entah kenapa pikiran tentang Diana mengusiknya. Ada sedikit rasa bersalah meninggalkan gadis itu di kantor sendirian. Akan tetapi apa yang salah? Dirinya kan memang selalu pulang tepat waktu. Siapa suruh Diana tidak mengerjakan semua tugas yang dia berikan dengan cepat. “Kenapa aku mesti ngerasa bersalah sama dia? Siapa suruh kerjanya lelet kayak keong.” Meski mulutnya berkata begini, nyatanya pikiran Joey menolak. Diana bekerja sampai malam karena mengerjakan pekerjaan yang telah mengendap sekian lama. Ditambah lagi pikiran kalau gadis itu belum sempat istirahat makan semakin mengusik nurani Joey. “Ah sialan!” Setir kemudi itu berbelok menuju sebuah restoran. Paling tidak dia harus membelikan makan agar bayangan Diana secepatnya minggat dari kepala Joey. “Mbak, saya mau take away makanan paling enak di sini.” Pelayan restoran itu menunjukkan beberapa menu
Diana melotot saat Joey mendekat ke arah lehernya. Pria jangkung itu mengendus bau vanila yang menguar dari tubuh Diana. Gadis itu semakin gugup saat tangan besar sang bos melingkar di pinggangnya. “Kamu amatir, kan? Jangan-jangan kamu enggak pernah ciuman, ya?” Diana menahan tubuh sang bos. Wajah cantiknya memerah, antara malu dan juga marah. Dia merasa tidak nyaman dilecehkan. Diana juga punya harga diri. “Pak Joey, kalau saya laporin Bapak ke polisi atas tuduhan pelecehan seksual gimana?” Joey tergelak sejenak, tetapi buru-buru bibirnya menyeriangi. “Kamu pikir semudah itu? Kalau kamu miskin dan enggak punya koneksi, jangan harap bakal menang lawan saya. Saya bisa sewa pengacara paling mahal.” Mata bulat Diana tertutup menahan gejolak amarah yang membuncah. Lelaki ini benar-benar keterlaluan. “Saya kerja di sini untuk melayani Bapak dalam urusan kantor. Kalau urusan birahi, Bapak bisa cari istri saja, kan? Enggak semua wanita mau diajak ber
Diana menggeleng lemah. Dipromosi menjadi sekretaris Joey adalah mimpi buruk. Bersama pria itu sehari saja rasanya sesak apalagi jika sepanjang waktu selama lima hari kerja. Tolong tampar dirinya! siapa tahu ini hanya mimpi buruk. “Kok diam? Kamu senang, kan?” Bibir tebal Diana kelu. Sekuat tenaga gadis itu menjawab pertanyaan Luna. “Bu, saya enggak mau dipromosi,” ujarnya. Muka pucat Luna berubah kesal. Bagi dia ini adalah kesempatan emas menyingkirkan Diana dari hadapan Yuda. Kalau bisa mati seperti sekretaris Joey yang sebelumnya, malah lebih bagus, pikirnya. “Gajinya gede, loh! Empat kali lipat dari gaji kamu sekarang. Kerjaannya lebih gampang dari ini. Enggak harus mondar-mandir ke proyek,” ujar Luna meyakinkan. Bibirnya menyeringai tipis dengan mata setia menatap penuh intimidasi. “Kamu cuma ngurus berkas sama buka paha, kurang enak apa lagi?” lanjut Luna berbisik. Mata Di