Peluh mengucur dari dahi Diana. Suara teriakan pilu sayup-sayup menyapa indra pendengaran gadis itu. Rintihan sakit itu entah kenapa begitu menyayat hati Diana. Air mata meluncur tak terkendali dari mata bulatnya yang tertutup.
“Hentikan! Sakit! Ampun!”
Lagi-lagi kata itu terapalkan dengan lantang. Diana tak sanggup membuka mata. Badan pun tak bisa bergerak seolah mati rasa. Sekuat apa pun Diana meronta, dia hanya mampu diam dan mendengar sekeliling.
“Cabut giginya!”
Suara wanita dewasa menggema kali ini. Begitu kalimat itu selesai, teriakan melengking dari seorang anak kecil membuat Diana terperanjat hingga mampu terbangun dari buaian bunga mimpi mengerikan itu.
“Ah ... apa itu tadi?”
Napas gadis itu tak beraturan. Hal yang pertama kali dirasakan adalah linglung. Diana juga merasa matanya sedikit perih. Perlahan jemari lentik itu menyusuri pipi yang basah. Aku menangis? batinnya bingung.
“Kenapa mimpi buruk ini mirip terus, sih?”
Diana diam sebentar. Dia membutuhkan waktu untuk mereka ulang apa yang dia mimpikan barusan. Kenapa suara anak kecil itu seperti familier sekali? Akan tetapi dia benar-benar tidak bisa mengingat apa pun.
“Mungkin aku cuma tertekan. Semoga liburan ke Anyer hari ini bisa buat penyegaran.”
Mata bulat Diana melirik ke arah jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi. Dia harus menyiapkan sarapan untuk sang ayah dan keponakannya sebelum berangkat outing. Bi Saroh juga mungkin sebentar lagi datang. Yuda berkata wanita paruh baya itu akan tiba pukul enam lewat tiga puluh di rumah Diana.
“Aku juga enggak boleh telat. Nanti orang gila yang namanya Joey itu marah-marah lagi.”
Dengan sigap Diana menyiapkan nasi goreng untuk sarapan mereka. Lalu lanjut mandi dan bersiap sekenanya. Gadis itu hanya memakai blus berwarna hitam dan juga celana jeans berwarna gelap, namun auranya yang hangat mampu membuat gadis itu terlihat memesona.
“Rosa ... nanti selama kakak pergi outing kantor, ada Bi Saroh yang nemenin kalian di sini, ya? Jangan nakal. Kalau ada apa-apa minta tolong Bi Saroh telepon Kak Di.”
Rosa hanya mengangguk seraya mengunyah nasi goreng di mulutnya. Ada rasa sedikit tak rela jauh dari sang tante selama dua hari. Bukan tidak suka jika Diana refreshing sejenak. Hanya saja perasaan gadis kecil itu tiba-tiba tidak enak.
“Dek Rubi masih mandi?”
“Iya, Kak. Tahu sendiri dia suka main air kayak ikan.”
Diana mengulum senyum. Tingkah polah Rosa dan Rubi benar-benar hiburan untuk gadis itu. “Kalau Kak Di ada rezeki, nanti kita berenang ke waterpark, ya?”
Manik mata Rosa melebar. Secercah senyum semringah langsung terukir kala mendengar tempat itu. Rasanya sudah lama dia tidak pernah liburan semenjak kedua orang tuanya tiada.
“Jangan menganga begitu, nanti ada lalat masuk,” ucap Diana lembut. Dia tidak menyangka jika janji seperti itu saja dapat membuat si kecil Rosa bahagia.
“Kakak! Tolong!”
Teriakan Rubi dari kamar mandi membuat raut senang di wajah Diana perlahan lenyap. Buru-buru gadis dengan surai bergelombang itu menyambangi Rubi yang diikuti oleh Rosa di belakangnya.
“Dek, kamu kenapa?”
“Kak Di! Ada Si Rambut Pendek di dalam bak mandi. Mukanya seram.” Rubi menghambur memeluk Diana dengan handuk yang sudah melilit tubuhnya. Gadis kecil itu menyembunyikan wajah di tubuh sang tante.
Diana menghela napas lelah. Bagaimana dia bisa meninggalkan mereka jika setiap hari ada saja yang begini?
“Itu cuma halusinasi kamu, Dek. Si Rambut Pendek itu enggak ada. Tanya aja sama Kak Rosa.”
“Iya, Dek. Enggak ada apa-apa kok,” sahut Rosa sembari mengelus pundak sang adik.
Rubi menoleh sedikit. Mahluk mengerikan itu masih ada. Bahkan bola matanya kini berubah menatap penuh amarah ke arah Diana.
“Ayo ke kamar buat ganti baju. Kak Di mau berangkat.”
***
Setelah berpamitan dengan sang ayah dan memberi arahan pada Bi Romlah, Diana berangkat menuju kantor seraya menggendong tas ransel. Tak banyak yang dia bawa, hanya baju secukupnya dan alat mandi. Tak lupa beberapa obat-obatan darurat yang sekiranya nanti diperlukan. Jika staf lain berkumpul di lapangan dekat kantor untuk naik bus, berbeda dengan Diana yang terpaksa pergi ke kantor karena harus satu mobil dengan sang atasan. Entah apa yang direncanakan lelaki jangkung itu.
Sesampainya di parkiran Kantor, mata Diana membola saat mendapati Joey dan Jovanka sudah ada di sana. Bukankah dia bilang berkumpul jam 08.30? Akan tetapi pukul delapan, dua manusia menyebalkan itu sudah di sana dengan empat koper besar. Joey bersandar di kap mobil dengan senyum sinis seperti biasa, sedangkan Jovanka berdiri di sebelahnya dengan gestur manja.
“Kamu memang pemalas, ya? Jam berapa ini?”
Diana melirik arlojinya dengan kening bertaut. Masih jam delapan. Dia artinya dia datang lebih awal tiga puluh menit. “Saya enggak telat, Pak. Bahkan saya lebih awal 30 menit.”
“Alasan terus. Kamu tuli saya bilang kumpul jam delapan? Kamu kira dirimu siapa ngebuat saya nunggu?”
Ingin rasanya Diana mengumpat di depan wajah Joey. Dia ingat betul lelaki ini mengatakan jam delapan lebih tiga puluh. “Saya ingat sekali, Pak. Bapak bilang jam delapan tiga puluh.”
Joey dan Jovanka menatap tak suka ke arah Diana secara bersamaan. Wanita semampai itu berjalan ke arah Diana dan mendorong kening si gadis bermata bulat dengan kasar.
“Kamu sudah salah pakai ngejawab. Kayak begini tuh enggak cocok kerja di perusahaan bonafid. Mending kamu open BO sana!” ejek Jovanka dengan mimik jumawa. Wanita itu merasa tinggi karena sudah tidur dengan sang bos.
Kalau bukan di depan Pak Joey, mungkin Diana sudah menjambak rambut lurus hasil catokan milik Jovanka.
“Enggak usah urusin dia. Masuk ke mobil!” Joey bertitah pada Jovanka yang sedang merundung Diana. Mau tak mau sang sekretaris menuruti perintah Joey.
“Dan kamu, masukin koper saya dan Jovanka ke dalam bagasi mobil.” Lelaki jangkung itu hendak masuk ke dalam mobil, tetapi matanya melirik Diana yang mendorong koper ke arah belakang tanpa berkomentar. “Kamu enggak bawa baju?” selidiknya ingin tahu.
Diana berhenti dan melihat Joey dengan pandangan datar. “Bawa kok. Di ransel saya isinya baju, Pak.”
“Kamu cuma bawa ransel butut itu?”
Gerakan Diana memasukkan koper terhenti saat mendengar pertanyaan lanjutan dari Joey. Kenapa lelaki ini begitu peduli apa yang dia bawa?
“Dua hari di Anyer, saya rasa enggak perlu bawa baju satu lemari. Selain efisien, juga enggak ngerepotin orang lain.”
Joey berdeham jengkel. Apa Diana sedang menyindirnya? Salahnya juga kenapa dia tadi bertanya.
“Terserah. Yang penting baju kamu enggak bau. Saya masih butuh kamu buat disuruh-suruh.”
Diana mengangguk sekenanya. Dia sudah duga hanya akan dijadikan jongos oleh Joey. Nasib bawahan akan selalu seperti ini. Ingin melawan, tetapi dia realistis. Dirinya masih butuh pekerjaan dan juga uang.
Perjalanan ke Anyer membutuhkan waktu selama empat jam dari Jakarta. Diana sudah memosisikan diri dengan nyaman di kursi sebelah sopir. Sementara Joey dan Jovanka duduk berdua di kursi belakang. Lagu-lagu teralun merdu dari pemutar audio di dalam mobil. Untuk kali ini Diana ingin memuji selera lagu si bos bertampang dingin itu. Lumayan bagus, batinnya.
“Kamu selama di Anyer jangan pikir bisa senang-senang. Kamu tetap mesti kerjain apa perintah saya. Anggap ini sebagai hukuman atas keteledoran kamu di proyek Pak Reyhan.”
Diana hanya menjawab dengan gumaman. Terserah lelaki itu mau marah atau tidak. Pemandangan di luar jendela lebih bagus daripada ocehan Joey.
“Kamu bisu? Kemarin tuli, sekarang bisu. Buat jengkel saja,” celetuk Jovanka tak tahu malu. Wanita itu terus menatap ke arah Diana dengan sinis. Jemarinya sibuk mengusap sensual lengan Joey.
“Enggak usah ribut. Kalau kamu ribut, mending duduk di bagasi belakang.”
Ujaran ketus Joey, membuat Jovanka kesal. Wanita itu mendesis lirih seraya bersedekap dada. Dia tidak mengerti dengan tabiat sang bos. Selalu bersikap dingin, tetapi tak pernah absen untuk menyuruhnya membuka selangkangan.
Satu setengah jam terlewati dengan aman sentosa. Diana larut dengan acara menikmati pemandangan sembari memikirkan jalan hidup yang berat, sementara Joey dan Jovanka sibuk dengan ponsel masing-masing.
Lenguhan seseorang membuyarkan pikiran Diana yang sedang memikirkan mimpi anehnya. Awalnya dia abai. Namun, suara lenguhan tersebut semakin intens dan membuat dirinya tak nyaman.
“Eugh....”
Diana melirik ke spion tengah. Benar saja dua manusia di belakang tengah memagut bibir. Jovanka bahkan sudah duduk di atas pangkuan Joey. Gadis bermata bulat itu hanya dapat geleng-geleng kepala melihat kelakuan sang bos dan sekretarisnya.
“Pak Joey remas di sini.”
Mulut Diana menganga. Haruskah dia melihat adegan dewasa secara live sekarang? Dua orang ini benar-benar tidak waras, rutuknya dalam hati. Diana melirik ke arah Pak Amin yang tengah mengemudi, tetapi tampaknya lelaki itu sudah biasa. Mungkin karena memang dia sopir pribadi sang bos, jadi adegan ini lumrah untuknya.
“Jovanka buka celana dalam kamu.”
Astaga! Bisakah Diana turun di sini saja? Dia merasa benar-benar risih. Meski dalam hati mengutuk, tetapi gadis itu tetap mengintip melalui spion tengah. Alisnya menyatu melihat bayangan yang terpantul. Bukan tentang aksi duo mesum Joey dan Jovanka, tetapi keberadaan sosok yang duduk di sebelah Joey. Itu adalah gadis kecil yang pernah lihat di proyek hotel. Bedanya muka gadis itu tampak sangat mengerikan.
“Pak Amin lihat ke belakang,” bisik Diana ke arah lelaki paruh baya yang sedang menyetir. Pak Amin hanya mengulum senyum maklum, dia pikir Diana bicara tentang Joey dan Jovanka.
“Biar saja, Mbak. Bapak memang begitu.”
Diana menggeleng. Bukan itu yang dia maksud. Gadis itu menoleh ke belakang untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri. Akan tetapi kosong, tidak ada sosok mengerikan itu di sana. Hanya Joey yang tengah sibuk mengulum buah dada Jovanka. Diana tanpa sadar berdecak kesal dan memandang jijik ke arah sang bos.
“Kamu ngapain lihatin saya? Enggak pernah lihat orang make out ya?” tegur Joey dengan nada ketus.
“Saya enggak tahu apa itu make out, Pak. Saya tahunya cuma make up.”
Diana kembali membawa arah pandangnya ke jendela samping. Sedangkan Joey sudah akan mengumpat jika saja Jovanka tidak menciuminya. Bagi Diana pemandangan jalanan dengan hutan jati lebih menarik daripada melihat adegan dewasa di belakang. Bisa dia terka jika sebentar lagi mereka akan melakukan hal yang lebih jauh. Semua tercermin dari kata-kata vulgar yang kini saling bersahutan.
“Aku enggak tahan pengen muntah. Siapa pun tolong aku,” cicit Diana seorang diri. Manik mata bulatnya melebar saat mengubah arah pandang ke depan. Dia melihat seseorang berada sekitar seratus meter di depan mobil. Di tengah jalan sana berdiri anak kecil yang diam tak bergerak. Diana berteriak lantang membuat tiga orang lainnya terkejut.
“Awas!”
Bersambung
“Kak Rara!” “Dek, hati-hati jatuh. Nanti dimarah Mama!” Kening Diana mengernyit saat kembali mendengar sayup-sayup percakapan dua anak kecil. Dia sedang merasa di awang-awang, tetapi masih dapat mendengar sekitar. Yang dia ingat hanyalah mobil sedan hitam milik sang bos banting setir ke arah kiri saat dia berteriak. Diana terpelanting ke depan dashboard dan tidak ingat apa-apa lagi. Akan tetapi kenapa malah hal ini yang dia dengar? Apa dia sedang mimpi lagi? Atau dia sudah di alam baka? “Dek, bangun!” Mata bulat Diana terbuka. Gadis itu merasa terkesiap dengan teriakan yang dia dengar. Pemandangan pertama yang terlihat adalah pepohonan dan langit biru. Saat melirik ke kiri, dia dapat melihat wajah Pak Amin yang menatapnya penuh rasa khawatir. “Mbak Diana, enggak apa-apa?” “S-saya kenapa, Pak?” Pak Amin mengusap tengkuknya dan tersenyum kecil. “Tadi Mbak Diana pingsan waktu mobil kita masuk ke semak-semak. Pak Joey yang
Joey lagi-lagi berdeham dan pergi menjauhi Diana. Dia merasa tidak nyaman memandang wajah gadis itu terlalu lama. “Y-ya terserah saya dong! Kamu ngapain ngatur saya?” Diana sendiri mengangkat bahunya acuh. Dia mulai merasa lapar karena memang sudah lewat tengah hari. “Pak Amin mau Roti? Kebetulan saya bawa roti.” Diana mengeluarkan sebungkus besar roti lima rasa dari dalam tas ranselnya. Pak Amin hanya menggeleng dan memberi senyum teduh. Diana mengingatkannya terhadap sang putri di rumah. “Mbak enggak tawarin Pak Joey dan Mbak Jovanka?” “Mana mau mereka sama roti murah begini. Daripada saya dengar cacian, mending enggak usah.” Diana mengambil sepotong roti dan langsung makan dengan lahap. Tak dia sadari seseorang memandang ke arahnya sembari menelan ludah. Siapa lagi kalau bukan Joey. Lelaki dingin itu juga manusia, bisa lapar. Ditambah tadi pagi tidak sarapan membuat perutnya berbunyi nyaring sekarang. “Pak Joey kayaknya lapar, Mbak. C
Raut muka Joey menahan kesal yang tak terkira. Dia sudah berjalan seratus meter dengan jalan yg sedikit terjal, lalu kembali lagi ke tempat semula hanya karena teriakan halu Jovanka. “Mana ularnya? Di sini ada Pak Amin, kenapa kamu pakai teriak-teriak sampai seperti itu?” cecar Joey dongkol. Tadi wanita ini berteriak seperti melihat setan, tetapi begitu dia dan Diana kembali, ternyata Jovanka hanya merasa melihat ular. “Tadi ada di situ, Pak. Saya takut banget.” Jovanka bangkit dan langsung memeluk Joey dengan manja. Diana sendiri rasanya ingin mempersembahkan wanita semampai itu pada anaconda betulan. Bisakah mereka sampai Anyer jika begini terus? Atau paling minim bisakah mereka pulang dengan selamat? “Enggak ada apa-apa kok, Pak. Tadi saya sudah periksa,” jelas Pak Amin. Jovanka memandang tajam ke arah sang sopir, seolah tidak suka dengan jawaban itu. “Kamu mau cari perhatian saya, ya? Kalau kamu ny
Perjalanan ke Anyer berlanjut pada pukul empat saat Ken datang untuk menjemput Joey. Meski kakaknya menyebalkan, tetapi lelaki berkulit sawo matang itu tidak tega melihat kakaknya dimakan penunggu hutan jati jika dibiarkan lebih lama di sana. Ken merasa beruntung karena ternyata Joey membawa dua gadis cantik bersamanya. Sedangkan Pak Amin ikut dengan mobil derek untuk kembali ke Jakarta. “Kamu mau threesome, ya? Kok bawa dua cewek?” Joey melirik tajam sang adik yang sedang menyetir di sebelahnya. “Mulutmu memang sembarangan. Satu itu sekretarisku, satunya yang dekil itu kacungku.” Ken melihat ke belakang lewat spion. Jika dilihat dari tipe kakaknya, sudah pasti yang berbaju ketat itu sekretarisnya. Akan tetapi yang satu lagi, tidak dekil sama sekali. Malah lebih cantik dari si gadis berbaju ketat di mata Ken. “Yang cantik itu namanya siapa, Kak?” “Siapa? Sekretarisku? Namanya Jovanka.”
Badan besar Joey merebah di kasur empuk dengan ukuran king size. Badannya benar-benar terasa lelah karena perjalanan hari ini. Niatnya untuk mendapat penyegaran, tetapi malah kesialan yang justru datang. Semua salah Diana, si gadis sialan menyebalkan. Dia benar-benar menyesal membawa gadis itu untuk semobil bersamanya. “Aku butuh nikotin.” Joey merogoh saku celananya dan mengeluarkan sekotak rokok campuran khusus yang sangat dibenci oleh Ken. Beruntung adiknya sudah kembali ke Jakarta, kalau tidak mungkin mulut Ken sudah mengomel tak karuan. Setelah menghisap rokok terlarang itu, tangan Joey dengan lihai menari di atas ponsel. Dia mengirim pesan pada Jovanka untuk datang ke kamarnya. Dalam pikiran Joey, bercinta sebentar sambil menunggu makan malamnya siap, tidak buruk juga. Tak berapa lama, ketukan pintu terdengar. Joey yang sudah di ambang kesadarannya mengulum senyum laknat. Dengan segera dia menuju pintu dan menarik gadis yang dia pikir Jovanka.
Tawa dua anak kecil mengusik lubang pendengaran Diana. Mata bulatnya ingin terbuka, tetapi tidak bisa. Sayup-sayup terdengar lagi suara yang tak asing berbicara. “Dek, mau main ke luar, enggak? Jangan di rumah terus.” “Nanti mama marahin Kak Rara lagi kalau ketahuan bawa aku ke luar.” “Kakak enggak apa-apa demi kamu, Dek.” Diana mengernyit. Percakapan itu seperti tak asing untuknya. Badannya ingin bergerak tapi tak mampu. Udara dingin kian menyapu kulit Diana. Dia baru ingat bukankah sedang tidur di gazebo? Jadi dia sekarang sedang bermimpi? Pikiran Diana kembali pecah saat menangkap percakapan yang kian jelas di telinganya. “Kak, dingin ... Ayo masuk ke rumah.” “Kakak peluk, ya, Dek. Hangat, kan?” Entah kenapa hati Diana tersentuh mendengar kalimat-kalimat yang terlontar. Dia kembali menangis dalam tidur, tetapi kali ini dia menangis karena merasakan kerinduan yang amat dalam. “Kak....” Bibir Diana otomatis mer
Diana berlari kecil keluar dari vila. Kakinya membawa gadis itu ke pantai yang ada di belakang penginapan. Dia butuh ruang sendiri. Ingin rasanya mengeluarkan segala perasaan sakit yang menumpuk di dada. Desir angin menyapa kulitnya yang berbalut pakaian basah. Dingin, sama seperti hati Diana saat ini. Tidak cukupkah cobaan yang Tuhan beri padanya selama ini? Kenapa dia harus mengalami hal-hal buruk ini? Diana merasa tidak pernah menjahati siapa-siapa, tetapi kenapa banyak orang membencinya tanpa sebab yang jelas? Begitu banyak tanya bersarang di kepala Diana. Bulir-bulir air dari mata bulat itu kian deras. Manik mata si gadis menatap kosong hamparan lautan di depannya. Air biru itu seolah memanggil Diana untuk datang dan menawarkan segala penyembuhan. “Kalau aku mati, mungkin semuanya selesai.” Diana berada di atas ambang rasa sedihnya. Jika orang yang tidak merasakan, mungkin akan mengatainya kurang iman. Namun, jika mereka mengalami apa yang Diana alami, b
Hamparan pepohonan menjulang tinggi menemani langkah tertatih Diana. Gadis bersurai gelombang itu memandang bingung sekeliling. Diujung jalan sayup-sayup terdengar rintihan pilu. Diana menajamkan pendengarannya. Rintihan itu kini berubah menjadi tangis menyesakkan. Entah keberanian dari mana, tetapi kaki kurus gadis itu berjalan mendekat. Seolah memang gerangan di ujung sana memanggil dirinya. “Siapa?” Hanya satu tanya itu yang mampu Diana lontarkan. Namun, seperti dugaan, sosok yang tengah berjongkok seraya memeluk lutut itu bergeming. “Permisi, Mbak...,” cicit Diana takut-takut. Tinggal lima puluh meter, Diana akan sampai pada sosok gadis lusuh yang kian keras melantunkan tangis pedih. Tepat saat kaki Diana akan sampai, sosok gadis sebaya dirinya itu menoleh. Rambut pendek sebahu milik gadis itu terkibas diterpa angin yang tiba-tiba datang. “Kamu datang?” tanya sosok itu dengan suara serak. Dian
Diana berlari kencang di koridor sebuah rumah sakit negeri di Jakarta. Di belakangnya tampak sosok Joey ikut berlari mengikuti gadis itu. Jika ditanya mengapa Joey ikut? Lelaki itu memaksa mengantar Diana dengan dalih agar lebih cepat sampai. Entah kerasukan apa pria dingin ini hingga dia jadi begitu peduli pada orang lain.“Papa!”Diana menghambur begitu memasuki ruang rawat sang ayah. Air mata sudah tak terbendung sejak tadi. Gadis itu benar-benar takut jika terjadi apa-apa. Orang tuanya hanya tinggal seorang.“Kenapa Kakek bisa jatuh dari tempat tidur, Dek?” tanya Diana tak sabar pada Rosa dan Rubi yang duduk di kursi penunggu. Dua bocah kecil itu habis menangis, terbukti dari kedua mata mereka yang membengkak.“Kamu harusnya tenangin mereka dulu baru tanya. Enggak lihat keponakan kamu habis nangis dan masih syok?” Joey yang sedari tadi hanya melihat dalam diam, bergerak maju dan berjongkok di depan kursi dua bocah i
Joey terkesiap saat Diana mengatakan nama itu. Dirinya sampai mematung dengan wajah pias. Sudah lama sekali telinganya tak mendengar orang lain menyebut nama itu. “Kamu ngapain nyebut nama itu?” Diana menggaruk pelipisnya kikuk. Nama itu refleks keluar dari mulutnya karena itu yang dia dengar terakhir kali sebelum sadar. “A-Ah ... bukan apa-apa, Pak. Maaf sudah buat Pak Joey takut.” Manik bulat meruncing Joey masih menatap Diana dengan pandangan sulit diartikan. Dahi paripurna lelaki itu sedikit mengerut seakan tengah berpikir keras. “Kamu beneran bukan indigo? Apa keturunan dukun mungkin?” tanya Joey tiba-tiba. Lelaki itu sepertinya bersungguh-sungguh dari ekspresi wajahnya. “Enggak. Saya manusia biasa, Pak.” Jawaban Diana seakan belum memuaskan beribu pertanyaan di kepala Joey. Diana sangat berbeda dengan sekretaris sebelumnya. Dia yakin ini bukan hanya sekedar keisengan Mora. “Sekali lagi saya tanya, kamu beneran eng
Diana menatap khawatir Joey yang duduk bersebelahan dengannya di dalam taksi. Setelah mengantar lelaki ini ke klinik terdekat, sebagai sekretaris dia juga harus memastikan sang bos sampai di rumah dengan selamat. “Pak Joey kenapa enggak sarapan? Saya jadi ngerasa bersalah karena kasih makanan pedas.” Mata Joey yang awalnya terpejam kini terbuka sedikit. “Saya udah bilang telat bangun karena mimpi buruk, mana sempat mikirin sarapan.” Benar juga. Tadi pagi Joey berkejaran dengan rapat dengan klien penting. Jika begini berarti tidak ada yang bisa disalahkan. “Apa Pak Joey sekalian mau disiapin sarapan juga tiap pagi?” “Terserah.” Joey kembali memejamkan mata. Perutnya masih terasa tidak enak meski tak sesakit tadi. Dia hanya ingin sampai di rumah dan tidur. Di lain sisi, Diana melirik Joey yang tertidur dengan pandangan bersalah. Diam-diam gadis cantik itu mengagumi paras rupawan sang atasan. Tidak heran jika pria tinggi ini dielu-elukan oleh kau
Diana merasa sikap Joey sedikit berbeda. Terbukti saat selesai rapat dengan klien dari perusahaan BUMN, lelaki itu sama sekali tak mengajaknya bicara. Dia juga seperti menjaga jarak dengan Diana. Seolah dirinya adalah kuman yang harus dihindari. “Kenapa lagi sih dia?” Gadis bermata bulat itu mengambil kotak makan dari dalam paper bag. Biar bagaimana pun Joey sudah membayar untuk katering makan siang padanya. Dengan hati-hati Diana mengetuk pintu sang atasan dan masuk ke dalam. “Pak Joey, ini makan siang hari ini. Saya memasak ayam bumbu rujak, sambal goreng hati, dan sayur tumis.” Joey mengalihkan perhatiannya dari layar laptop. Bau makanan dari kotak yang dibawa Diana sungguh amat menggoda. “Taruh aja. Tolong kamu langsung pergi ke luar. Jangan ke sini kalau enggak urgent banget.” Sang sekretaris mengerutkan alis. Joey terlihat t
Wangi harum rambut si wanita begitu menggelitik jiwa kelelakian seorang Joey Pratama. Bibir tebalnya tak henti mengecup leher jenjang putih mulus gadis yang kini tengah menatap dengan raut polos di bawahnya. Jari-jari besar Joey mengelus lembut wajah cantik tanpa riasan milik si wanita. Puasa ranjang selama sebulan memang membuat Joey bak singa di musim kawin. “P-Pak Joey....” Lirihan si wanita begitu terdengar merdu. Perlahan kancing kemeja biru muda dia lepaskan hingga membuat kulit mulus bak dewi itu terlihat ke permukaan. Napas Joey memburu menatap bagaimana maha karya indah ini bisa tercipta. “Kamu cantik banget ... Diana.” Gairah meletup milik si pria tak terbendung lagi. Semua kain kedua insan itu tanggal dan jatuh ke lantai. Suhu ruangan pun kian panas seiring dengan desau yang terlontar dari dua anak manusia berbeda gender ini. “Pak ... S-Saya masih perawan.” Joey mengecupi pundak sempit milik Diana. “Saya pelan-pelan, kok.”
Joey menyatukan alisnya saat melihat Diana yang sedang tidur berkeringat seperti orang habis lari maraton. Perasaan AC mobilnya menyala dan dingin. Kini bibir Diana mengeluarkan rintihan kesakitan seolah sedang tercekik. Buru-buru pria itu menepikan mobil, lalu mengguncang pundak Diana. “Diana, bangun!” Diana terkesiap dengan mata terbelalak. Kedua jemarinya meraba leher. Mata bulatnya mengerjap pelan. “S-Saya di mana?” “Di bulan! Kamu kenapa?” Kini pandangan Diana beralih ke arah Joey. Alis tebalnya menyatu sempurna. “Saya kenapa, Pak?” Joey mendecih sinis. “Kamu mimpi buruk, ya? Buat saya repot aja. Saya sampai harus berhenti di pinggir jalan buat bangunin kamu.” “Jadi tadi cuma mimpi?” Diam-diam Diana menarik napas lega. Setidaknya kejadian barusan hanya sebuah mimpi. Akan tetapi kenapa mimpi itu terasa sangat nyata? Bahkan leher Diana terasa perih meski tidak terluka. “Kamu mimpi apa?” tanya Joey seraya kembali melajukan mo
Joey mengetuk setir mobilnya gelisah. Entah kenapa pikiran tentang Diana mengusiknya. Ada sedikit rasa bersalah meninggalkan gadis itu di kantor sendirian. Akan tetapi apa yang salah? Dirinya kan memang selalu pulang tepat waktu. Siapa suruh Diana tidak mengerjakan semua tugas yang dia berikan dengan cepat. “Kenapa aku mesti ngerasa bersalah sama dia? Siapa suruh kerjanya lelet kayak keong.” Meski mulutnya berkata begini, nyatanya pikiran Joey menolak. Diana bekerja sampai malam karena mengerjakan pekerjaan yang telah mengendap sekian lama. Ditambah lagi pikiran kalau gadis itu belum sempat istirahat makan semakin mengusik nurani Joey. “Ah sialan!” Setir kemudi itu berbelok menuju sebuah restoran. Paling tidak dia harus membelikan makan agar bayangan Diana secepatnya minggat dari kepala Joey. “Mbak, saya mau take away makanan paling enak di sini.” Pelayan restoran itu menunjukkan beberapa menu
Diana melotot saat Joey mendekat ke arah lehernya. Pria jangkung itu mengendus bau vanila yang menguar dari tubuh Diana. Gadis itu semakin gugup saat tangan besar sang bos melingkar di pinggangnya. “Kamu amatir, kan? Jangan-jangan kamu enggak pernah ciuman, ya?” Diana menahan tubuh sang bos. Wajah cantiknya memerah, antara malu dan juga marah. Dia merasa tidak nyaman dilecehkan. Diana juga punya harga diri. “Pak Joey, kalau saya laporin Bapak ke polisi atas tuduhan pelecehan seksual gimana?” Joey tergelak sejenak, tetapi buru-buru bibirnya menyeriangi. “Kamu pikir semudah itu? Kalau kamu miskin dan enggak punya koneksi, jangan harap bakal menang lawan saya. Saya bisa sewa pengacara paling mahal.” Mata bulat Diana tertutup menahan gejolak amarah yang membuncah. Lelaki ini benar-benar keterlaluan. “Saya kerja di sini untuk melayani Bapak dalam urusan kantor. Kalau urusan birahi, Bapak bisa cari istri saja, kan? Enggak semua wanita mau diajak ber
Diana menggeleng lemah. Dipromosi menjadi sekretaris Joey adalah mimpi buruk. Bersama pria itu sehari saja rasanya sesak apalagi jika sepanjang waktu selama lima hari kerja. Tolong tampar dirinya! siapa tahu ini hanya mimpi buruk. “Kok diam? Kamu senang, kan?” Bibir tebal Diana kelu. Sekuat tenaga gadis itu menjawab pertanyaan Luna. “Bu, saya enggak mau dipromosi,” ujarnya. Muka pucat Luna berubah kesal. Bagi dia ini adalah kesempatan emas menyingkirkan Diana dari hadapan Yuda. Kalau bisa mati seperti sekretaris Joey yang sebelumnya, malah lebih bagus, pikirnya. “Gajinya gede, loh! Empat kali lipat dari gaji kamu sekarang. Kerjaannya lebih gampang dari ini. Enggak harus mondar-mandir ke proyek,” ujar Luna meyakinkan. Bibirnya menyeringai tipis dengan mata setia menatap penuh intimidasi. “Kamu cuma ngurus berkas sama buka paha, kurang enak apa lagi?” lanjut Luna berbisik. Mata Di