Langkah tegap seorang lelaki bersetelan turtleneck hitam dipadu dengan jas dengan warna senada menggema di lobi salah satu perusahaan konstruksi besar di Indonesia. Karisma yang dipancarkan wajah dinginnya seolah mampu menyihir setiap kaum hawa yang melihatnya. Siapa lagi kalau bukan Joey Pratama. Kesan angkuh begitu terlihat saat mata setajam elang itu melirik seorang wanita yang tengah berlari terburu. Si wanita dengan rambut panjang bergelombang tampak kehabisan napas seraya melirik jam tangan murah yang melingkar di tangan kirinya.
“Dasar karyawan pemalas. Sudah tahu kerja jam delapan, bukannya datang lebih awal,” gumam Joey seorang diri seraya menatap remeh wanita yang telah hilang di balik lift.
“Orang seperti ini mending jadi makanan Beni daripada jadi karyawanku,” sambung Joey.
“Pak Joey!”
Joey menghentikan acara menggerutunya dan menoleh ke arah sumber suara. Di sana, Yuda tengah melambai kecil dan berjalan cepat ke arahnya.
“Jangan sok akrab sama saya! Kamu harus tahu posisi kamu.”
Yuda mengulum senyum kikuk, dia terkadang lupa jika Joey adalah pemegang tampuk tertinggi di perusahaan ini. Sangat jauh dengan dirinya yang hanya seorang supervisor lapangan. Dia pikir karena mereka teman sekelas semasa kuliah dulu akan menjadikan Joey lebih santai padanya. Namun, sikap Joey ternyata tetap kaku.
“Maaf, Pak. Saya hanya ingin memastikan tentang tinjau lapangan siang nanti.”
Mata tajam Joey menyipit tak suka. “Memangnya harus di tengah jalan begini? Kamu tahu etika profesi, kan?”
“M-maaf, Pak. saya tidak akan mengulangi lagi.”
“Ini bukan lebaran. Saya sudah dengar dua kali kata maaf dari mulut kamu.” Joey melangkah pergi meninggalkan Yuda yang memberengut kesal. Sejak zaman kuliah, Joey memang susah untuk didekati. Akan tetapi haruskah lelaki tinggi itu terus bertutur ketus padanya?
“Kalau bukan bos, sudah aku santet dia.”
Yuda menapakkan kaki menuju ruang kerja di lantai dua. Lelaki oriental itu ingin sekali bertemu seseorang. Cuti izin satu hari saja membuatnya rindu setengah mati dengan orang itu.
“Diana!”
Rambut panjang bergelombang milik Diana terkibas saat menoleh. Bibir tebal dengan polesan lipstik merah muda itu tersenyum lembut. “Hai, Kak Yuda!”
Dengan tak sabar, Yuda menghampiri Diana. Lelaki itu bahkan hampir tersandung kabel yang menjulur tidak indah di lantai.
“Ya ampun! Hati-hati, Kak.”
“Aku enggak apa-apa kok, Di. Habis aku terlalu semangat ingin ketemu kamu. Semuanya jadi enggak kelihatan.”
Diana tertawa renyah. Guyonan ini acap kali terlontar, tetapi dia tidak pernah menganggapnya serius. Tak Diana sadari jika lelaki di depannya mengulum senyum getir.
“Kemarin Kak Yuda ke mana? Kok enggak kerja?”
Bibir tipis milik lelaki itu terkekeh pelan. “Itu ... aku ada urusan penting.”
“Oh, aku pikir Kak Yuda sakit.”
“Cie ... perhatian.”
Lengan Yuda menjadi sasaran tangan mungil Diana untuk memukul manja. “Ya aku perhatian lah! Kan, Kak Yuda sudah seperti kakak sendiri.”
Andai saja Diana lebih peka, wanita itu pasti dapat melihat bagaimana gurat luka di wajah Yuda.
“Enggak usah dibahas. Oh iya, nanti siang kamu yang menemani aku tinjau lapangan, kan?”
Diana mengangguk pelan. Dia sedikit ragu ketika ditunjuk menjadi drafter untuk proyek hotel ini. Bukan apa, dia merasa masih anak kemarin sore di divisi tempat dia bernaung sehingga terlalu lancang rasanya jika mengambil pekerjaan besar.
“Bagaimana kalau nanti bareng aku naik motor?”
“Memang Kak Yuda enggak keberatan?”
Tangan Yuda terjulur dan mengusak poni milik Diana. “Enggak lah! Kan boncengnya pakai motor. Kalau aku gendong, mungkin keberatan.”
Dua insan itu sama-sama tertawa hingga tak menyadari tatapan tak suka dari beberapa orang yang ada di ruangan itu. Terlebih saat Yuda meletakkan segelas es kopi dari kedai kopi mahal di atas meja Diana. Ada seseorang menatapnya penuh amarah di sudut sana.
“Apa ini, Kak?”
“Kopi buat kamu. Biar nanti enggak mengantuk.”
Diana mengerutkan alis. Dia merasa tidak dapat menerima kopi yang harganya setara dengan uang makannya tiga hari. “Tapi, ini mahal banget. Aku enggak—“
“Ssst! Jangan menolak ya ... enggak mahal kok.” Elak Yuda. Enggak mahal, apa lagi kalau buat dapatin kamu, sambungnya dalam hati
Diana mengusap tengkuknya. Ini bukan pertama kali dia mendapat perlakuan kelewat baik dari Yuda. “Ya sudah. Aku terima ya, Kak.”
Yuda mengulum senyum penuh arti dan mengangguk. Lelaki itu pergi setelah mengambil beberapa berkas dari meja kerjanya.
“Enak ya, dapat kopi mahal! Modal ganjen sedikit langsung ... ehem.”
Mata bulat Diana menoleh ke arah wanita yang kini sedang menatap sinis padanya. Kaki jenjang wanita bersurai lurus itu mendekat ke arah Diana.
“Kamu lebih baik minum kopi warkop, kasihan perutmu dikasih minuman mahal. Nanti malah diare.”
Diana menunduk menghindari tatapan menusuk dari wanita bernama Luna. Wanita itu adalah senior Diana, beberapa kali sindiran pedas sering terlontar dari bibir tipisnya. Selama itu pula, Diana tidak pernah berani melawan. Sistem senioritas terkutuk itu membuat Diana tak berkutik. Dia masih butuh pekerjaan ini untuk menyambung hidup.
“K-kalau Bu Luna mau, ambil saja. Saya enggak apa-apa kok.”
Tanpa perlu berkata banyak, Luna mengambil kopi tersebut dengan gaya angkuh. Sudah jadi rahasia umum, jika wanita yang sebentar lagi menginjak kepala tiga itu menyukai Yuda. Namun, Yuda sendiri tidak pernah terlihat tertarik.
“Lain kali jangan terlalu ganjen. Anak baru kok banyak tingkah, sih!”
Embusan napas lelah keluar dari hidung bangir Diana. Mau di lingkungan rumah atau lingkungan kerja, dia harus selalu menelan kata-kata pahit tanpa bisa membela diri. Jika mau egois, Diana ingin sekali menjambak Luna. Akan tetapi dia ingat ada tiga perut yang harus diberi makan di rumah.
“Iya, Bu Luna. Maafkan saya.”
***
Dengan sepeda motor matik, Yuda membelah jalanan ibu kota bersama Diana. Mereka akan menuju sebuah proyek hotel yang sedang ditangani Lingga Konstruksi. Sebenarnya mereka bisa pergi menggunakan mobil kantor bersama anggota tim yang lain, tetapi tentu saja Yuda tidak akan melewatkan kesempatan untuk berduaan dengan Diana.
“Tinjau lapangan kali ini agak beda dari biasanya, Di.”
Diana mencoba merapatkan diri dengan Yuda untuk mendengar apa yang lelaki itu bicarakan. Sungguh suara angin membuatnya seperti orang tuli. “Hah? Apa Kak?”
“Tinjau lapangan kali ini agak berbeda, Diana Sayang.” Yuda berujar sedikit berteriak, tetapi kali ini Diana mendengarnya.
“Oh ... kok beda, Kak?”
“Soalnya Pak Joey ikut. Beliau bilang ini adalah proyek penting.”
Diana hanya mengangguk. Dia pikir ini kesempatan untuk melihat bagaimana rupa Pak Joey. Lelaki yang konon katanya dapat melelehkan hati wanita dalam sekali pandang.
“Aku penasaran dengan wajah Pak Joey. Apa dia benar seganteng kata orang-orang?”
Pegangan pada setang motor Yuda mengerat. Entah apa yang dipikirkan lelaki itu. “Enggak usah bahas itu, Di. Kamu pegangan yang kenceng, aku mau ngebut.”
Diana merapatkan tubuhnya ke arah depan dengan tangan memegang sisi kanan dan kiri jaket lelaki tersebut. Sementara Yuda mengulum senyum sarat makna saat merasakan sepasang benda kenyal menubruk punggung lebarnya.
Empat puluh lima menit akhirnya mereka berdua sampai di tempat tujuan. Di sana sudah terparkir apik mobil mewah berjenis sedan hitam milik Joey.
“Pak Joey sudah sampai lebih dulu, Di.”
“Kok Kak Yuda tahu?”
Lelaki sipit itu menggerakkan dagu lancipnya ke arah mobil Joey. “Mobilnya sudah ada di sini. Berarti Pak Joey sudah di dalam. “
Yuda dan Diana bergegas masuk ke dalam, takut nanti jika sang bos besar akan marah. Langkah kaki Diana memelan saat melihat sosok jangkung yang memakai setelan turtleneck hitam dengan jas senada. Untuk sesaat Diana seperti kehilangan pikiran, bukan karena lelaki yang memiliki nama Joey Pratama itu sangat tampan. Namun, ada sesuatu yang tidak bisa dia jelaskan dengan kata-kata. Diana merasa ini bukanlah pertama kali dia melihat pria itu
“Di, kok bengong? Itu yang pakai jas hitam namanya Pak Joey. Ayo kita ke sana.” Yuda berusaha menarik lengan Diana, tetapi wanita itu tetap diam dengan alis menyatu.
“Diana ... kamu kenapa?”
Diana tersentak dari lamunannya dan tersenyum canggung ke arah Yuda. “Maaf ... aku lagi enggak fokus, Kak.”
Kaki mungilnya kembali melangkah perlahan mendekat ke arah Joey. Akan tetapi belum sampai empat meter jarak mereka, sebuah ember berisi campuran semen jatuh tepat di depan Diana. Andai saja dia lebih cepat melangkah satu jengkal saja, sudah dipastikan kepala Diana hancur terkena hempasan ember itu.
“Kamu enggak apa-apa, Di?”
“Aku enggak apa-apa, Kak. Enggak usah khawatir.”
Joey yang tadinya sedang berbicara dengan mandor proyek menoleh saat suara hantaman ember itu menyapa telinga. Iris legam itu menangkap sosok gadis berambut panjang yang tengah terkejut. Mata setajam elang itu menyipit saat melihat Diana. Lelaki itu seperti teringat sesuatu.
Sosok yang tengah dia perhatikan akhirnya perlahan mendekat. Manik bulat milik Diana menabrak iris legam milik Joey. Kedua insan itu terpaku seolah tenggelam dalam pikiran masing-masing.
“Pak Joey, saya datang dengan Diana. Dia yang akan menjadi drafter untuk proyek ini.”
Joey bergeming. Arah pandangnya tak lepas dari sosok Diana, seolah sebentar lagi pandangan tajam itu dapat menguliti habis Diana.
“Pak Joey ... apa Bapak mendengar—“
“Saya dengar kok. Kamu pikir saya tuli?” sela Joey.
Yuda hanya dapat mengusap dada menghadapi sang bos. Kalau memang dengar, kenapa dari tadi diam? batin Yuda menggerutu. “Maafkan saya, Pak.”
“Lakukan saja tugas kamu sama dia. Jangan recoki saya.”
Andai saja Yuda memiliki jurus memukul tanpa menyentuh, sudah dia lakukan pada lelaki ini sejak tadi.
“Oh ya, tunggu!” Seruan Joey menghentikan langkah dua manusia yang akan berbalik arah itu. Manik mata Joey kembali menelisik rupa Diana. “Kamu yang terlambat tadi pagi, kan? Kalau malas, jangan kerja di perusahaan saya.
Diana memilin jarinya gugup. Dia tidak menyangka keterlambatannya tadi pagi diketahui oleh sang pimpinan perusahaan.
“M-maaf, Pak. Saya tadi ketinggalan—“
“Alasan! Saya enggak butuh alasan. Sekali lagi saya lihat pegawai pemalas kayak kamu terlambat, saya pecat tanpa pesangon.”
Diana bergeming. Dimarahi oleh atasan sekelas manajer baginya sudah biasa, tetapi ketika melihat Joey marah, hatinya mudah sekali pilu.
“Baik, Pak. Saya mengerti.”
Wanita bermata bulat itu hendak pamit undur diri, tetapi pandangan matanya tertuju pada sesosok bocah kecil berambut pendek yang tengah berdiri di atas perancah besi. Salah satu kaki kecilnya bergoyang ke depan dan ke belakang bergantian.
“Awas! Kenapa bisa ada anak kecil di bangunan proyek begini?” sergah Diana seraya berlari panik menuju ke arah perancah yang menjulang tinggi. Yuda tersentak sambil mengerutkan alis, sementara Joey hanya menatap Diana dengan pandangan tak terbaca.
“Karyawan pemalas itu bisa melihat Mora?” gumam Joey tanpa suara.
Bersambung
Matahari sudah berada di ufuk barat kala Diana baru saja sampai di kantor Lingga Konstruksi. Ternyata tinjau lapangan kali ini memakan waktu yang cukup lama, hingga sore hari wanita cantik itu baru kembali ke kantor. Selama di perjalanan, Diana lebih banyak diam karena mengingat kejadian di tempat proyek. Lagi-lagi dia berhalusinasi tentang seorang gadis kecil. Ini sudah ke sekian kali dalam seminggu.“Diana, kita sudah sampai.”Diana bergeming karena terlalu larut dalam pikirannya sendiri. Hingga Yuda terpaksa menepuk betis Diana yang berada di belakangnya. “Di! Jangan bengong, nanti kesambet.”Diana kembali tersadar dan memberikan senyum kikuk seraya melepas helm. “Kak Yuda enggak absen pulang dulu?”Yuda tersenyum sambil menggeleng. “Enggak, nanti saja. Aku masih harus ke warehouse buat cek sesuatu. Helmnya bawa sini, biar aku saja yang kembaliin ke Dimas.”Anggukan menjadi timpalan Diana
Bisikan tak henti menggema di kantor Lingga Konstruksi hari ini. Bukan tanpa sebab, itu karena bos besar mereka kedatangan sekretaris baru lagi menggantikan mendiang Sonia. Kali ini sekretaris Joey jauh lebih aduhai dari sebelumnya. Bahkan beberapa orang mengklaim bongkahan belakang milik wanita yang diketahui bernama Jovanka itu adalah hasil implan silikon dipadu dengan penggunaan rutin slimming suit.“Dia mau jadi sekretaris apa mau jadi lonte sih? Bajunya ketat banget!” celetuk salah satu karyawan bernama Mala.Karyawan lain yang lebih muda ikut menimpali. “Kayak enggak tahu Pak Joey, sekretaris dia memang tugasnya sebelas dua belas sama lonte, kan? Bedanya dia ngerjain kerjaan kantoran juga selain buka selangkangan.”Tawa kecil terdengar dari bibir Mala. Mungkin terdengar kasar, tetapi memang begitu nyatanya. “Kalau kamu sendiri, memang enggak mau diajak begituan sama cowok seganteng Pak Joey?”
Erangan nikmat bersahutan di sebuah kamar apartemen mewah. Dua manusia berbeda gender itu terlihat sangat menikmati waktu mereka untuk memberi kehangatan satu sama lain. Berkali-kali bibir si wanita mengulum senyum puas saat berhasil memberi puncak kenikmatan pada lelaki yang berstatus atasannya itu. “Jovanka ... ternyata kamu ahli sekali di atas ranjang. Punya kamu juga enak.” Joey berujar seraya memejamkan mata. Lelaki itu telah menghabiskan dua kotak karet kontrasepsi dalam pergumulannya dengan sang sekretaris. “Jika lawan mainnya seperti Pak Joey, tentu saya harus memberikan pelayanan terbaik.” Jovanka merebahkan diri di atas dada Joey, tapi lelaki itu dengan cepat mendorong si wanita untuk berbaring ke sebelahnya. “Kamu berat. Enggak usah tiduran di badan saya.” Jovanka mendecih kecil. Baru saja Joey memujinya, tapi sekarang kembali berujar dengan dingin. Untung saja wajah tampan dan dompet tebal menyelamatkan sikap buruk lelaki ini. “Saya capek,
Diana tak bisa menyembunyikan tawanya lagi. Gadis itu terkekeh di koridor kantor. Ingatannya tentang Jovanka yang jatuh dan marah-marah sendiri membuat perutnya tergelitik. Namun, secepatnya Diana kembali mengerem mulutnya. Dia merasa jahat karena menertawakan kesialan orang lain. “Lagian dia jalan kayak orang mau peragaan busana. Sudah tahu hak sepatunya kayak ujung jarum.” Diana bergumam sendiri seraya menutup mulutnya agar tidak kembali tertawa. Akan tetapi langkahnya terhenti karena jambakan di rambut yang membuat gadis itu terhuyung ke belakang. Diana menoleh dan mendapati Jovanka yang menatapnya kesal. “Kamu ngetawain aku? Beraninya kamu berurusan sama kesayangannya Pak Joey!” Diana mengaduh sakit. Jambakan Jovanka tidak main-main. Dia merasa beberapa helai rambutnya tercabut. Diana benar-benar tak menyangka ternyata Jovanka lebih buruk dari Luna. “Tolong lepasin! Kamu apa-apaan sih?” Jovanka mendecih sinis. Aura muka wanita itu semakin
Yuda Bastino, lelaki tiga puluh dua tahun yang betah melajang karena merasa tidak tertarik memiliki hubungan dengan lawan jenis. Perceraian kedua orang tuanya menjadikan Yuda tidak ingin menjalin cinta dengan siapa pun. Meski banyak gadis yang terang-terangan mengejarnya, tak sedikit pun mampu membuat hatinya tergerak. Namun, kehadiran Diana dalam hidup Yuda mengubah pandangan lelaki itu seratus delapan puluh derajat. Gadis yang memiliki rambut bergelombang dengan iris legam, begitu hangat dan cantik di mata Yuda. Tak pernah dia rasakan hasrat yang begitu menggebu saat melihat seorang wanita. Bahkan hanya dengan mendengar suara Diana, mampu membuat darah lelaki rupawan ini berdesir. Malangnya, Diana tak lebih menganggapnya hanya sebagai seorang kakak. Meski Yuda memberi perhatian tak biasa, gadis itu seakan menutup mata dan menganggap itu semata hanya kebaikan seorang teman. Yuda yang notabene tak pernah berurusan dengan hal seperti ini, merasa putus asa karena tak kun
Peluh mengucur dari dahi Diana. Suara teriakan pilu sayup-sayup menyapa indra pendengaran gadis itu. Rintihan sakit itu entah kenapa begitu menyayat hati Diana. Air mata meluncur tak terkendali dari mata bulatnya yang tertutup. “Hentikan! Sakit! Ampun!” Lagi-lagi kata itu terapalkan dengan lantang. Diana tak sanggup membuka mata. Badan pun tak bisa bergerak seolah mati rasa. Sekuat apa pun Diana meronta, dia hanya mampu diam dan mendengar sekeliling. “Cabut giginya!” Suara wanita dewasa menggema kali ini. Begitu kalimat itu selesai, teriakan melengking dari seorang anak kecil membuat Diana terperanjat hingga mampu terbangun dari buaian bunga mimpi mengerikan itu. “Ah ... apa itu tadi?” Napas gadis itu tak beraturan. Hal yang pertama kali dirasakan adalah linglung. Diana juga merasa matanya sedikit perih. Perlahan jemari lentik itu menyusuri pipi yang basah. Aku menangis? batinnya bingung. “Kenapa mimpi buruk ini mirip
“Kak Rara!” “Dek, hati-hati jatuh. Nanti dimarah Mama!” Kening Diana mengernyit saat kembali mendengar sayup-sayup percakapan dua anak kecil. Dia sedang merasa di awang-awang, tetapi masih dapat mendengar sekitar. Yang dia ingat hanyalah mobil sedan hitam milik sang bos banting setir ke arah kiri saat dia berteriak. Diana terpelanting ke depan dashboard dan tidak ingat apa-apa lagi. Akan tetapi kenapa malah hal ini yang dia dengar? Apa dia sedang mimpi lagi? Atau dia sudah di alam baka? “Dek, bangun!” Mata bulat Diana terbuka. Gadis itu merasa terkesiap dengan teriakan yang dia dengar. Pemandangan pertama yang terlihat adalah pepohonan dan langit biru. Saat melirik ke kiri, dia dapat melihat wajah Pak Amin yang menatapnya penuh rasa khawatir. “Mbak Diana, enggak apa-apa?” “S-saya kenapa, Pak?” Pak Amin mengusap tengkuknya dan tersenyum kecil. “Tadi Mbak Diana pingsan waktu mobil kita masuk ke semak-semak. Pak Joey yang
Joey lagi-lagi berdeham dan pergi menjauhi Diana. Dia merasa tidak nyaman memandang wajah gadis itu terlalu lama. “Y-ya terserah saya dong! Kamu ngapain ngatur saya?” Diana sendiri mengangkat bahunya acuh. Dia mulai merasa lapar karena memang sudah lewat tengah hari. “Pak Amin mau Roti? Kebetulan saya bawa roti.” Diana mengeluarkan sebungkus besar roti lima rasa dari dalam tas ranselnya. Pak Amin hanya menggeleng dan memberi senyum teduh. Diana mengingatkannya terhadap sang putri di rumah. “Mbak enggak tawarin Pak Joey dan Mbak Jovanka?” “Mana mau mereka sama roti murah begini. Daripada saya dengar cacian, mending enggak usah.” Diana mengambil sepotong roti dan langsung makan dengan lahap. Tak dia sadari seseorang memandang ke arahnya sembari menelan ludah. Siapa lagi kalau bukan Joey. Lelaki dingin itu juga manusia, bisa lapar. Ditambah tadi pagi tidak sarapan membuat perutnya berbunyi nyaring sekarang. “Pak Joey kayaknya lapar, Mbak. C
Diana berlari kencang di koridor sebuah rumah sakit negeri di Jakarta. Di belakangnya tampak sosok Joey ikut berlari mengikuti gadis itu. Jika ditanya mengapa Joey ikut? Lelaki itu memaksa mengantar Diana dengan dalih agar lebih cepat sampai. Entah kerasukan apa pria dingin ini hingga dia jadi begitu peduli pada orang lain.“Papa!”Diana menghambur begitu memasuki ruang rawat sang ayah. Air mata sudah tak terbendung sejak tadi. Gadis itu benar-benar takut jika terjadi apa-apa. Orang tuanya hanya tinggal seorang.“Kenapa Kakek bisa jatuh dari tempat tidur, Dek?” tanya Diana tak sabar pada Rosa dan Rubi yang duduk di kursi penunggu. Dua bocah kecil itu habis menangis, terbukti dari kedua mata mereka yang membengkak.“Kamu harusnya tenangin mereka dulu baru tanya. Enggak lihat keponakan kamu habis nangis dan masih syok?” Joey yang sedari tadi hanya melihat dalam diam, bergerak maju dan berjongkok di depan kursi dua bocah i
Joey terkesiap saat Diana mengatakan nama itu. Dirinya sampai mematung dengan wajah pias. Sudah lama sekali telinganya tak mendengar orang lain menyebut nama itu. “Kamu ngapain nyebut nama itu?” Diana menggaruk pelipisnya kikuk. Nama itu refleks keluar dari mulutnya karena itu yang dia dengar terakhir kali sebelum sadar. “A-Ah ... bukan apa-apa, Pak. Maaf sudah buat Pak Joey takut.” Manik bulat meruncing Joey masih menatap Diana dengan pandangan sulit diartikan. Dahi paripurna lelaki itu sedikit mengerut seakan tengah berpikir keras. “Kamu beneran bukan indigo? Apa keturunan dukun mungkin?” tanya Joey tiba-tiba. Lelaki itu sepertinya bersungguh-sungguh dari ekspresi wajahnya. “Enggak. Saya manusia biasa, Pak.” Jawaban Diana seakan belum memuaskan beribu pertanyaan di kepala Joey. Diana sangat berbeda dengan sekretaris sebelumnya. Dia yakin ini bukan hanya sekedar keisengan Mora. “Sekali lagi saya tanya, kamu beneran eng
Diana menatap khawatir Joey yang duduk bersebelahan dengannya di dalam taksi. Setelah mengantar lelaki ini ke klinik terdekat, sebagai sekretaris dia juga harus memastikan sang bos sampai di rumah dengan selamat. “Pak Joey kenapa enggak sarapan? Saya jadi ngerasa bersalah karena kasih makanan pedas.” Mata Joey yang awalnya terpejam kini terbuka sedikit. “Saya udah bilang telat bangun karena mimpi buruk, mana sempat mikirin sarapan.” Benar juga. Tadi pagi Joey berkejaran dengan rapat dengan klien penting. Jika begini berarti tidak ada yang bisa disalahkan. “Apa Pak Joey sekalian mau disiapin sarapan juga tiap pagi?” “Terserah.” Joey kembali memejamkan mata. Perutnya masih terasa tidak enak meski tak sesakit tadi. Dia hanya ingin sampai di rumah dan tidur. Di lain sisi, Diana melirik Joey yang tertidur dengan pandangan bersalah. Diam-diam gadis cantik itu mengagumi paras rupawan sang atasan. Tidak heran jika pria tinggi ini dielu-elukan oleh kau
Diana merasa sikap Joey sedikit berbeda. Terbukti saat selesai rapat dengan klien dari perusahaan BUMN, lelaki itu sama sekali tak mengajaknya bicara. Dia juga seperti menjaga jarak dengan Diana. Seolah dirinya adalah kuman yang harus dihindari. “Kenapa lagi sih dia?” Gadis bermata bulat itu mengambil kotak makan dari dalam paper bag. Biar bagaimana pun Joey sudah membayar untuk katering makan siang padanya. Dengan hati-hati Diana mengetuk pintu sang atasan dan masuk ke dalam. “Pak Joey, ini makan siang hari ini. Saya memasak ayam bumbu rujak, sambal goreng hati, dan sayur tumis.” Joey mengalihkan perhatiannya dari layar laptop. Bau makanan dari kotak yang dibawa Diana sungguh amat menggoda. “Taruh aja. Tolong kamu langsung pergi ke luar. Jangan ke sini kalau enggak urgent banget.” Sang sekretaris mengerutkan alis. Joey terlihat t
Wangi harum rambut si wanita begitu menggelitik jiwa kelelakian seorang Joey Pratama. Bibir tebalnya tak henti mengecup leher jenjang putih mulus gadis yang kini tengah menatap dengan raut polos di bawahnya. Jari-jari besar Joey mengelus lembut wajah cantik tanpa riasan milik si wanita. Puasa ranjang selama sebulan memang membuat Joey bak singa di musim kawin. “P-Pak Joey....” Lirihan si wanita begitu terdengar merdu. Perlahan kancing kemeja biru muda dia lepaskan hingga membuat kulit mulus bak dewi itu terlihat ke permukaan. Napas Joey memburu menatap bagaimana maha karya indah ini bisa tercipta. “Kamu cantik banget ... Diana.” Gairah meletup milik si pria tak terbendung lagi. Semua kain kedua insan itu tanggal dan jatuh ke lantai. Suhu ruangan pun kian panas seiring dengan desau yang terlontar dari dua anak manusia berbeda gender ini. “Pak ... S-Saya masih perawan.” Joey mengecupi pundak sempit milik Diana. “Saya pelan-pelan, kok.”
Joey menyatukan alisnya saat melihat Diana yang sedang tidur berkeringat seperti orang habis lari maraton. Perasaan AC mobilnya menyala dan dingin. Kini bibir Diana mengeluarkan rintihan kesakitan seolah sedang tercekik. Buru-buru pria itu menepikan mobil, lalu mengguncang pundak Diana. “Diana, bangun!” Diana terkesiap dengan mata terbelalak. Kedua jemarinya meraba leher. Mata bulatnya mengerjap pelan. “S-Saya di mana?” “Di bulan! Kamu kenapa?” Kini pandangan Diana beralih ke arah Joey. Alis tebalnya menyatu sempurna. “Saya kenapa, Pak?” Joey mendecih sinis. “Kamu mimpi buruk, ya? Buat saya repot aja. Saya sampai harus berhenti di pinggir jalan buat bangunin kamu.” “Jadi tadi cuma mimpi?” Diam-diam Diana menarik napas lega. Setidaknya kejadian barusan hanya sebuah mimpi. Akan tetapi kenapa mimpi itu terasa sangat nyata? Bahkan leher Diana terasa perih meski tidak terluka. “Kamu mimpi apa?” tanya Joey seraya kembali melajukan mo
Joey mengetuk setir mobilnya gelisah. Entah kenapa pikiran tentang Diana mengusiknya. Ada sedikit rasa bersalah meninggalkan gadis itu di kantor sendirian. Akan tetapi apa yang salah? Dirinya kan memang selalu pulang tepat waktu. Siapa suruh Diana tidak mengerjakan semua tugas yang dia berikan dengan cepat. “Kenapa aku mesti ngerasa bersalah sama dia? Siapa suruh kerjanya lelet kayak keong.” Meski mulutnya berkata begini, nyatanya pikiran Joey menolak. Diana bekerja sampai malam karena mengerjakan pekerjaan yang telah mengendap sekian lama. Ditambah lagi pikiran kalau gadis itu belum sempat istirahat makan semakin mengusik nurani Joey. “Ah sialan!” Setir kemudi itu berbelok menuju sebuah restoran. Paling tidak dia harus membelikan makan agar bayangan Diana secepatnya minggat dari kepala Joey. “Mbak, saya mau take away makanan paling enak di sini.” Pelayan restoran itu menunjukkan beberapa menu
Diana melotot saat Joey mendekat ke arah lehernya. Pria jangkung itu mengendus bau vanila yang menguar dari tubuh Diana. Gadis itu semakin gugup saat tangan besar sang bos melingkar di pinggangnya. “Kamu amatir, kan? Jangan-jangan kamu enggak pernah ciuman, ya?” Diana menahan tubuh sang bos. Wajah cantiknya memerah, antara malu dan juga marah. Dia merasa tidak nyaman dilecehkan. Diana juga punya harga diri. “Pak Joey, kalau saya laporin Bapak ke polisi atas tuduhan pelecehan seksual gimana?” Joey tergelak sejenak, tetapi buru-buru bibirnya menyeriangi. “Kamu pikir semudah itu? Kalau kamu miskin dan enggak punya koneksi, jangan harap bakal menang lawan saya. Saya bisa sewa pengacara paling mahal.” Mata bulat Diana tertutup menahan gejolak amarah yang membuncah. Lelaki ini benar-benar keterlaluan. “Saya kerja di sini untuk melayani Bapak dalam urusan kantor. Kalau urusan birahi, Bapak bisa cari istri saja, kan? Enggak semua wanita mau diajak ber
Diana menggeleng lemah. Dipromosi menjadi sekretaris Joey adalah mimpi buruk. Bersama pria itu sehari saja rasanya sesak apalagi jika sepanjang waktu selama lima hari kerja. Tolong tampar dirinya! siapa tahu ini hanya mimpi buruk. “Kok diam? Kamu senang, kan?” Bibir tebal Diana kelu. Sekuat tenaga gadis itu menjawab pertanyaan Luna. “Bu, saya enggak mau dipromosi,” ujarnya. Muka pucat Luna berubah kesal. Bagi dia ini adalah kesempatan emas menyingkirkan Diana dari hadapan Yuda. Kalau bisa mati seperti sekretaris Joey yang sebelumnya, malah lebih bagus, pikirnya. “Gajinya gede, loh! Empat kali lipat dari gaji kamu sekarang. Kerjaannya lebih gampang dari ini. Enggak harus mondar-mandir ke proyek,” ujar Luna meyakinkan. Bibirnya menyeringai tipis dengan mata setia menatap penuh intimidasi. “Kamu cuma ngurus berkas sama buka paha, kurang enak apa lagi?” lanjut Luna berbisik. Mata Di