Matahari sudah berada di ufuk barat kala Diana baru saja sampai di kantor Lingga Konstruksi. Ternyata tinjau lapangan kali ini memakan waktu yang cukup lama, hingga sore hari wanita cantik itu baru kembali ke kantor. Selama di perjalanan, Diana lebih banyak diam karena mengingat kejadian di tempat proyek. Lagi-lagi dia berhalusinasi tentang seorang gadis kecil. Ini sudah ke sekian kali dalam seminggu.
“Diana, kita sudah sampai.”
Diana bergeming karena terlalu larut dalam pikirannya sendiri. Hingga Yuda terpaksa menepuk betis Diana yang berada di belakangnya. “Di! Jangan bengong, nanti kesambet.”
Diana kembali tersadar dan memberikan senyum kikuk seraya melepas helm. “Kak Yuda enggak absen pulang dulu?”
Yuda tersenyum sambil menggeleng. “Enggak, nanti saja. Aku masih harus ke warehouse buat cek sesuatu. Helmnya bawa sini, biar aku saja yang kembaliin ke Dimas.”
Anggukan menjadi timpalan Diana untuk permintaan Yuda. Dia juga ingin cepat pulang. Ayah dan dua keponakannya pasti sudah kelaparan menunggu makan malam.
“Ya sudah. Hati-hati ya, Kak. Aku duluan.”
Diana bergegas masuk untuk merapikan meja kerja dan mengabsen pulang. Namun, sial pelak tak dapat dihindari. Diana mengembuskan napas lelah saat melihat Luna sudah duduk di meja kerjanya dengan tatapan menusuk.
“Enak boncengan sama Yuda?”
“Saya hanya menumpang untuk ke proyek saja, Bu. Enggak ada apa-apa, kok.”
Decak kesal keluar dari bibir Luna. Wanita itu tak peduli apa pun alasannya. Yang dia tahu, Diana berani berboncengan mesra dengan lelaki pujaannya.
“Kamu itu kalau mau ganjen, lebih baik berkaca dulu. Mending cantik, kuku saya saja lebih indah dari kamu,” ujar Luna sembari mengibaskan jari tangan yang kukunya terpoles nail art. Wanita itu kembali melihat Diana dengan pandangan angkuh.
“Aku beri tahu, ya? Jika kamu ingin kariernya panjang di sini, jangan sekali-kali cari masalah sama aku. Ingat, aku ini senior kamu!”
Diana mengangguk perlahan. Hinaan macam ini memang selalu Luna lontarkan padanya. Sikap otoriter wanita ini juga sebenarnya membuat Diana muak. Akan tetapi dia bisa apa?
“Punya mulut, kan? Ngomong dong!”
“I-iya, Bu Luna. Maafkan saya.”
Wanita beralis tebal karena sulaman itu bangkit dan menabrak kasar pundak sempit Diana. Tak lupa kata-kata kurang mengenakkan kembali dia lontarkan. “Mau ganjen jangan setengah-setengah. Sekalian buka paha buat Pak Joey sana!”
Diana meremas ujung blus yang dia kenakan. Luna benar-benar sudah menginjak harga dirinya terlalu dalam. “Kalau begitu, kenapa bukan Ibu Luna saja yang mendekati Pak Joey? Saya lihat posisi sekretaris beliau sedang kosong.”
***
Tawa dua bocah kecil menggema di rumah kontrakan yang tidak terlalu besar. Mereka adalah Rosa dan Rubi. Anak-anak itu tengah menunggu sang tante pulang bekerja. Tidak biasanya pukul enam sore tante kesayangan mereka belum pulang.
“Kok Kak Di belum pulang, Kak?”
“Enggak tahu, Dek. Mungkin macet atau enggak dapat angkot.”
Rubi mengangguk sekenanya. Bocah kecil itu kembali sibuk memainkan boneka kucing yang ada di tangannya. Sesekali dia melirik ke arah pintu belakang yang terhubung ke halaman.
“Kak Ros, kok si rambut pendek itu lihat ke dalam terus? Dia enggak punya rumah, ya?”
Sang kakak melihat ke arah pandang Rubi. Namun, Rosa tak melihat apa pun. “Kamu jangan sering bicara begitu, Dek. Orang enggak ada apa-apa, kok.”
“Aku enggak bohong. Aku juga lihat dia nangis. Kasihan dia, Kak.”
Rosa berdiri dan hendak memarahi sang adik, tetapi suara pintu dibuka membuatnya urung. Di sana terlihat Diana masuk dengan senyum teduh seperti biasa.
“Kak Di!”
Diana menghambur memeluk dua bocah kesayangannya. Setidaknya dia dapat melepas lelah dengan dekapan hangat mereka.
“Kak Di, kok tumben lama? Eh— bibir Kak Di ada darahnya!” pekik Rosa heboh saat melihat wajah sang tante.
Buru-buru Diana mengusap sudut bibirnya yang ternyata masih mengeluarkan darah. “Enggak, Sayang. Tadi Kak Di makan cilok. Sausnya mungkin masih ketinggalan. Kakak mau ganti baju dulu ya, habis itu kita masak bareng lagi.”
Senyum di bibir Diana kali ini sarat kepalsuan. Usapan kecil dia hadiahkan untuk dua keponakan tercinta sebelum berlalu pergi. Begitu pintu kayu di kamarnya tertutup, tubuh ringkih Diana merosot ke lantai. Untuk pertama kali gadis itu menangis setelah sekian lama. Tekanan yang datang dari segala arah membuatnya lelah dan muak. Bagaimanapun juga Diana hanya manusia biasa. Dia bukan tokoh ibu peri yang terlampau baik hati seperti di cerita roman picisan. Diana ingin marah, dia ingin menunjukkan pada orang-orang jika dia sedang tidak baik-baik saja. Namun, kewarasan masih lebih dominan di otak Diana. Segala apa yang akan dia lakukan memiliki konsekuensi.
“Kenapa hidupku kayak begini sih?”
Diana menenggelamkan wajah sembab ke lipatan lututnya. Dia jadi teringat mendiang sang nenek, dia rindu usapan lembut di pucuk kepalanya. Biasanya, orang-orang akan merindukan sosok ibu di saat rapuh. Akan tetapi pengecualian untuk Diana. Jika ditanya mengapa, Diana tidak pernah ingin membahas.
***
Bunyi dentuman berulang kali tiba-tiba mengagetkan Diana. Perlahan kepala gadis itu terangkat untuk melihat apa yang terjadi. “D-di mana ini?”
Napas Diana tercekat, bukankah tadi dia berada di dalam kamar? Kenapa sekarang malah berada di semak gelap.
“Tolong! Ampun! Jangan!”
Diana memundurkan badannya yang mulai gemetar. Teriakan itu begitu pilu hingga membuatnya ingin menangis. “Siapa? Di mana ini?” tanya Diana dengan segala keberanian yang tersisa.
Tak ada jawaban. Hanya terdengar ketukan dari dalam sebuah drum besar yang berada tepat seratus meter di hadapannya. Ketukan dalam drum semakin keras dan sering, seolah benda itu mengurung seseorang yang masih bernyawa di dalamnya.
“Siapa? Apa ada orang?”
Drum besar itu tiba-tiba terguling jatuh. Manik mata Diana menangkap sosok kecil yang merayap dari dalam drum. Tubuh kecil itu begitu rapuh, bau anyir tiba-tiba menyeruak menyapa hidung bangir Diana. Tubuh wanita itu benar-benar kaku sepenuhnya, bahkan untuk bicara sepatah kata pun dia tak mampu.
“Aku? Kau bertanya siapa aku?” tanya makhluk kecil itu dengan suara parau. Seringai menakutkan itu tampak familier untuk Diana. Saking kerasnya Diana mencoba mengingat, dia tak sadar makhluk itu kini berada di depannya.
“Kau mau tahu siapa aku? Aku adalah....” Kata-kata parau itu terputus. Mata yang awalnya memancarkan beribu kebencian kini berganti dengan gurat sendu menyakitkan. “Dirimu!” sambungnya seraya berusaha menggapai wajah Diana yang terlampau pias.
“Tidak!”
Gedoran pintu kamar mengejutkan Diana yang tertidur dalam posisi duduk. Wanita itu linglung saat melihat dirinya tengah berada di kamar. Bukankah tadi dia sedang berada di semak gelap bersama makhluk mengerikan?
“Kak Di kenapa? Buka pintunya, Kak!”
“S-sebentar, Dek. Kak Di baik-baik saja kok.”
Diana beberapa kali mengambil napas dalam sebelum bersiap keluar kamar. Keringat dingin masih saja terus keluar dari dahinya.
“Kenapa aku sering bermimpi aneh akhir-akhir ini?”
***
Diana memberikan sapuan lembut pada kening sang ayah yang sudah mulai mengeriput. Mata bulatnya selalu memanas saat melihat kondisi sang ayah pasca terkena stroke. Tubuh yang sembilan puluh persen lumpuh dan semakin mengurus, membuat hati Diana begitu teriris.
“Papa ... bagaimana hari ini? Maaf Diana jarang temenin Papa. Diana sibuk kerja.”
Satu per satu bulir air mata jatuh ke pipi gembil milik Diana. Meski ayahnya hanya bisa menjawab melalui kontak mata, itu rasanya sudah sangat cukup untuk Diana.
“Diana akhir-akhir ini mimpi aneh terus, Pa. Apa Diana kelelahan, ya? Andai Papa masih sehat, Diana mungkin akan minta diajak naik motor tua punya Papa keliling jalanan.”
Ayah Diana menatap sendu putrinya yang hanya tinggal seorang itu. Meski tak dapat bergerak, tetapi dia masih bisa mendengar dan melihat. Ayah mana yang tega membuat sang putri memikul beban berat ini sendirian?
“Pa ... kalung yang dari Oma putus. Diana belum sempat perbaiki ke tukang perhiasan. Semoga Oma enggak marah di akhirat sana, “ ujar Diana seraya terkekeh kecil. Akan tetapi gurauan Diana ditanggapi berbeda oleh sang ayah. Terlihat dari bola matanya yang kini mendelik tajam.
“Kenapa, Pa? Ada yang sakit? Kenapa ekspresi Papa begitu?”
Diana berdiri sambil terus memperhatikan wajah ayahnya yang terlihat tak seperti biasa. Mata sang ayah terus tertuju ke arah leher Diana. Mulutnya berusaha keras bergerak merapal sesuatu, tetapi tetap nihil.
“Papa, are you okay?”
Sang ayah kini beralih memandang ke arah belakang tubuh Diana. Wajah lelaki paruh baya itu seketika pucat pasi. Diana semakin tak mengerti apa yang sebenarnya ayahnya ingin sampaikan?
“A-aa....”
Diana betah melongo menunggu kata-kata yang keluar dari mulut ayahnya. Tak dia sadari di belakangnya berdiri gadis kecil berambut pendek tengah menyeringai lebar dengan seluruh gusi bernanah tanpa gigi.
***
“Jadi kamu belum dapat pengganti sekretaris saya?”
Dengan gaya duduk terlampau angkuh, Joey bersedekap dada di depan Daelano yang menjabat sebagai Manajer HRD.
“Ada beberapa kandidat yang masuk, Pak. Masih saya seleksi.”
Joey mengangkat satu sudut bibirnya dan bangkit dari sofa yang ada di ruangan. Lelaki itu menuju kulkas di mini—pantri untuk mengambil sekaleng kopi dingin. “Terus sampai kapan saya harus menunggu? Kamu kira pekerjaan bisa selesai sendiri? Ingat! Saya butuh sekretaris yang bisa mengurusi kebutuhan batin saya juga, bukan cuman mengurusi kertas.”
Daelano menghela napas lelah. Rasanya dia ingin mengundurkan diri saja. Andai tidak sayang istri dan anak, mungkin dia lebih memilih menganggur. “Saya akan usahakan secepatnya, Pak.”
Lelaki pemilik senyum manis itu pamit undur diri dari ruangan Joey. Ditatap begitu tajam oleh manik mata sang atasan membuatnya tidak nyaman. Dia terkadang merasa Joey lebih mirip tukang jagal yang rupawan daripada seorang direktur. Daelano sendiri sudah merasa tidak beres dengan sekretaris-sekretaris wanita Joey sedari lama. Inginnya mencarikan asisten pria, tetapi sang bos tentu tidak mau.
“Daelano, tunggu!”
Seruan Joey membuat Daelano yang tengah memutar kenop pintu menoleh. Alis tebal pria itu sedikit berkerut. “Iya. Ada apa, Pak?”
Joey mengusap dagunya sembari menyeringai laknat. “Pastikan calon sekretaris saya agak berisi. Saya sedang suka gadis yang berisi.”
Bersambung
Bisikan tak henti menggema di kantor Lingga Konstruksi hari ini. Bukan tanpa sebab, itu karena bos besar mereka kedatangan sekretaris baru lagi menggantikan mendiang Sonia. Kali ini sekretaris Joey jauh lebih aduhai dari sebelumnya. Bahkan beberapa orang mengklaim bongkahan belakang milik wanita yang diketahui bernama Jovanka itu adalah hasil implan silikon dipadu dengan penggunaan rutin slimming suit.“Dia mau jadi sekretaris apa mau jadi lonte sih? Bajunya ketat banget!” celetuk salah satu karyawan bernama Mala.Karyawan lain yang lebih muda ikut menimpali. “Kayak enggak tahu Pak Joey, sekretaris dia memang tugasnya sebelas dua belas sama lonte, kan? Bedanya dia ngerjain kerjaan kantoran juga selain buka selangkangan.”Tawa kecil terdengar dari bibir Mala. Mungkin terdengar kasar, tetapi memang begitu nyatanya. “Kalau kamu sendiri, memang enggak mau diajak begituan sama cowok seganteng Pak Joey?”
Erangan nikmat bersahutan di sebuah kamar apartemen mewah. Dua manusia berbeda gender itu terlihat sangat menikmati waktu mereka untuk memberi kehangatan satu sama lain. Berkali-kali bibir si wanita mengulum senyum puas saat berhasil memberi puncak kenikmatan pada lelaki yang berstatus atasannya itu. “Jovanka ... ternyata kamu ahli sekali di atas ranjang. Punya kamu juga enak.” Joey berujar seraya memejamkan mata. Lelaki itu telah menghabiskan dua kotak karet kontrasepsi dalam pergumulannya dengan sang sekretaris. “Jika lawan mainnya seperti Pak Joey, tentu saya harus memberikan pelayanan terbaik.” Jovanka merebahkan diri di atas dada Joey, tapi lelaki itu dengan cepat mendorong si wanita untuk berbaring ke sebelahnya. “Kamu berat. Enggak usah tiduran di badan saya.” Jovanka mendecih kecil. Baru saja Joey memujinya, tapi sekarang kembali berujar dengan dingin. Untung saja wajah tampan dan dompet tebal menyelamatkan sikap buruk lelaki ini. “Saya capek,
Diana tak bisa menyembunyikan tawanya lagi. Gadis itu terkekeh di koridor kantor. Ingatannya tentang Jovanka yang jatuh dan marah-marah sendiri membuat perutnya tergelitik. Namun, secepatnya Diana kembali mengerem mulutnya. Dia merasa jahat karena menertawakan kesialan orang lain. “Lagian dia jalan kayak orang mau peragaan busana. Sudah tahu hak sepatunya kayak ujung jarum.” Diana bergumam sendiri seraya menutup mulutnya agar tidak kembali tertawa. Akan tetapi langkahnya terhenti karena jambakan di rambut yang membuat gadis itu terhuyung ke belakang. Diana menoleh dan mendapati Jovanka yang menatapnya kesal. “Kamu ngetawain aku? Beraninya kamu berurusan sama kesayangannya Pak Joey!” Diana mengaduh sakit. Jambakan Jovanka tidak main-main. Dia merasa beberapa helai rambutnya tercabut. Diana benar-benar tak menyangka ternyata Jovanka lebih buruk dari Luna. “Tolong lepasin! Kamu apa-apaan sih?” Jovanka mendecih sinis. Aura muka wanita itu semakin
Yuda Bastino, lelaki tiga puluh dua tahun yang betah melajang karena merasa tidak tertarik memiliki hubungan dengan lawan jenis. Perceraian kedua orang tuanya menjadikan Yuda tidak ingin menjalin cinta dengan siapa pun. Meski banyak gadis yang terang-terangan mengejarnya, tak sedikit pun mampu membuat hatinya tergerak. Namun, kehadiran Diana dalam hidup Yuda mengubah pandangan lelaki itu seratus delapan puluh derajat. Gadis yang memiliki rambut bergelombang dengan iris legam, begitu hangat dan cantik di mata Yuda. Tak pernah dia rasakan hasrat yang begitu menggebu saat melihat seorang wanita. Bahkan hanya dengan mendengar suara Diana, mampu membuat darah lelaki rupawan ini berdesir. Malangnya, Diana tak lebih menganggapnya hanya sebagai seorang kakak. Meski Yuda memberi perhatian tak biasa, gadis itu seakan menutup mata dan menganggap itu semata hanya kebaikan seorang teman. Yuda yang notabene tak pernah berurusan dengan hal seperti ini, merasa putus asa karena tak kun
Peluh mengucur dari dahi Diana. Suara teriakan pilu sayup-sayup menyapa indra pendengaran gadis itu. Rintihan sakit itu entah kenapa begitu menyayat hati Diana. Air mata meluncur tak terkendali dari mata bulatnya yang tertutup. “Hentikan! Sakit! Ampun!” Lagi-lagi kata itu terapalkan dengan lantang. Diana tak sanggup membuka mata. Badan pun tak bisa bergerak seolah mati rasa. Sekuat apa pun Diana meronta, dia hanya mampu diam dan mendengar sekeliling. “Cabut giginya!” Suara wanita dewasa menggema kali ini. Begitu kalimat itu selesai, teriakan melengking dari seorang anak kecil membuat Diana terperanjat hingga mampu terbangun dari buaian bunga mimpi mengerikan itu. “Ah ... apa itu tadi?” Napas gadis itu tak beraturan. Hal yang pertama kali dirasakan adalah linglung. Diana juga merasa matanya sedikit perih. Perlahan jemari lentik itu menyusuri pipi yang basah. Aku menangis? batinnya bingung. “Kenapa mimpi buruk ini mirip
“Kak Rara!” “Dek, hati-hati jatuh. Nanti dimarah Mama!” Kening Diana mengernyit saat kembali mendengar sayup-sayup percakapan dua anak kecil. Dia sedang merasa di awang-awang, tetapi masih dapat mendengar sekitar. Yang dia ingat hanyalah mobil sedan hitam milik sang bos banting setir ke arah kiri saat dia berteriak. Diana terpelanting ke depan dashboard dan tidak ingat apa-apa lagi. Akan tetapi kenapa malah hal ini yang dia dengar? Apa dia sedang mimpi lagi? Atau dia sudah di alam baka? “Dek, bangun!” Mata bulat Diana terbuka. Gadis itu merasa terkesiap dengan teriakan yang dia dengar. Pemandangan pertama yang terlihat adalah pepohonan dan langit biru. Saat melirik ke kiri, dia dapat melihat wajah Pak Amin yang menatapnya penuh rasa khawatir. “Mbak Diana, enggak apa-apa?” “S-saya kenapa, Pak?” Pak Amin mengusap tengkuknya dan tersenyum kecil. “Tadi Mbak Diana pingsan waktu mobil kita masuk ke semak-semak. Pak Joey yang
Joey lagi-lagi berdeham dan pergi menjauhi Diana. Dia merasa tidak nyaman memandang wajah gadis itu terlalu lama. “Y-ya terserah saya dong! Kamu ngapain ngatur saya?” Diana sendiri mengangkat bahunya acuh. Dia mulai merasa lapar karena memang sudah lewat tengah hari. “Pak Amin mau Roti? Kebetulan saya bawa roti.” Diana mengeluarkan sebungkus besar roti lima rasa dari dalam tas ranselnya. Pak Amin hanya menggeleng dan memberi senyum teduh. Diana mengingatkannya terhadap sang putri di rumah. “Mbak enggak tawarin Pak Joey dan Mbak Jovanka?” “Mana mau mereka sama roti murah begini. Daripada saya dengar cacian, mending enggak usah.” Diana mengambil sepotong roti dan langsung makan dengan lahap. Tak dia sadari seseorang memandang ke arahnya sembari menelan ludah. Siapa lagi kalau bukan Joey. Lelaki dingin itu juga manusia, bisa lapar. Ditambah tadi pagi tidak sarapan membuat perutnya berbunyi nyaring sekarang. “Pak Joey kayaknya lapar, Mbak. C
Raut muka Joey menahan kesal yang tak terkira. Dia sudah berjalan seratus meter dengan jalan yg sedikit terjal, lalu kembali lagi ke tempat semula hanya karena teriakan halu Jovanka. “Mana ularnya? Di sini ada Pak Amin, kenapa kamu pakai teriak-teriak sampai seperti itu?” cecar Joey dongkol. Tadi wanita ini berteriak seperti melihat setan, tetapi begitu dia dan Diana kembali, ternyata Jovanka hanya merasa melihat ular. “Tadi ada di situ, Pak. Saya takut banget.” Jovanka bangkit dan langsung memeluk Joey dengan manja. Diana sendiri rasanya ingin mempersembahkan wanita semampai itu pada anaconda betulan. Bisakah mereka sampai Anyer jika begini terus? Atau paling minim bisakah mereka pulang dengan selamat? “Enggak ada apa-apa kok, Pak. Tadi saya sudah periksa,” jelas Pak Amin. Jovanka memandang tajam ke arah sang sopir, seolah tidak suka dengan jawaban itu. “Kamu mau cari perhatian saya, ya? Kalau kamu ny
Diana berlari kencang di koridor sebuah rumah sakit negeri di Jakarta. Di belakangnya tampak sosok Joey ikut berlari mengikuti gadis itu. Jika ditanya mengapa Joey ikut? Lelaki itu memaksa mengantar Diana dengan dalih agar lebih cepat sampai. Entah kerasukan apa pria dingin ini hingga dia jadi begitu peduli pada orang lain.“Papa!”Diana menghambur begitu memasuki ruang rawat sang ayah. Air mata sudah tak terbendung sejak tadi. Gadis itu benar-benar takut jika terjadi apa-apa. Orang tuanya hanya tinggal seorang.“Kenapa Kakek bisa jatuh dari tempat tidur, Dek?” tanya Diana tak sabar pada Rosa dan Rubi yang duduk di kursi penunggu. Dua bocah kecil itu habis menangis, terbukti dari kedua mata mereka yang membengkak.“Kamu harusnya tenangin mereka dulu baru tanya. Enggak lihat keponakan kamu habis nangis dan masih syok?” Joey yang sedari tadi hanya melihat dalam diam, bergerak maju dan berjongkok di depan kursi dua bocah i
Joey terkesiap saat Diana mengatakan nama itu. Dirinya sampai mematung dengan wajah pias. Sudah lama sekali telinganya tak mendengar orang lain menyebut nama itu. “Kamu ngapain nyebut nama itu?” Diana menggaruk pelipisnya kikuk. Nama itu refleks keluar dari mulutnya karena itu yang dia dengar terakhir kali sebelum sadar. “A-Ah ... bukan apa-apa, Pak. Maaf sudah buat Pak Joey takut.” Manik bulat meruncing Joey masih menatap Diana dengan pandangan sulit diartikan. Dahi paripurna lelaki itu sedikit mengerut seakan tengah berpikir keras. “Kamu beneran bukan indigo? Apa keturunan dukun mungkin?” tanya Joey tiba-tiba. Lelaki itu sepertinya bersungguh-sungguh dari ekspresi wajahnya. “Enggak. Saya manusia biasa, Pak.” Jawaban Diana seakan belum memuaskan beribu pertanyaan di kepala Joey. Diana sangat berbeda dengan sekretaris sebelumnya. Dia yakin ini bukan hanya sekedar keisengan Mora. “Sekali lagi saya tanya, kamu beneran eng
Diana menatap khawatir Joey yang duduk bersebelahan dengannya di dalam taksi. Setelah mengantar lelaki ini ke klinik terdekat, sebagai sekretaris dia juga harus memastikan sang bos sampai di rumah dengan selamat. “Pak Joey kenapa enggak sarapan? Saya jadi ngerasa bersalah karena kasih makanan pedas.” Mata Joey yang awalnya terpejam kini terbuka sedikit. “Saya udah bilang telat bangun karena mimpi buruk, mana sempat mikirin sarapan.” Benar juga. Tadi pagi Joey berkejaran dengan rapat dengan klien penting. Jika begini berarti tidak ada yang bisa disalahkan. “Apa Pak Joey sekalian mau disiapin sarapan juga tiap pagi?” “Terserah.” Joey kembali memejamkan mata. Perutnya masih terasa tidak enak meski tak sesakit tadi. Dia hanya ingin sampai di rumah dan tidur. Di lain sisi, Diana melirik Joey yang tertidur dengan pandangan bersalah. Diam-diam gadis cantik itu mengagumi paras rupawan sang atasan. Tidak heran jika pria tinggi ini dielu-elukan oleh kau
Diana merasa sikap Joey sedikit berbeda. Terbukti saat selesai rapat dengan klien dari perusahaan BUMN, lelaki itu sama sekali tak mengajaknya bicara. Dia juga seperti menjaga jarak dengan Diana. Seolah dirinya adalah kuman yang harus dihindari. “Kenapa lagi sih dia?” Gadis bermata bulat itu mengambil kotak makan dari dalam paper bag. Biar bagaimana pun Joey sudah membayar untuk katering makan siang padanya. Dengan hati-hati Diana mengetuk pintu sang atasan dan masuk ke dalam. “Pak Joey, ini makan siang hari ini. Saya memasak ayam bumbu rujak, sambal goreng hati, dan sayur tumis.” Joey mengalihkan perhatiannya dari layar laptop. Bau makanan dari kotak yang dibawa Diana sungguh amat menggoda. “Taruh aja. Tolong kamu langsung pergi ke luar. Jangan ke sini kalau enggak urgent banget.” Sang sekretaris mengerutkan alis. Joey terlihat t
Wangi harum rambut si wanita begitu menggelitik jiwa kelelakian seorang Joey Pratama. Bibir tebalnya tak henti mengecup leher jenjang putih mulus gadis yang kini tengah menatap dengan raut polos di bawahnya. Jari-jari besar Joey mengelus lembut wajah cantik tanpa riasan milik si wanita. Puasa ranjang selama sebulan memang membuat Joey bak singa di musim kawin. “P-Pak Joey....” Lirihan si wanita begitu terdengar merdu. Perlahan kancing kemeja biru muda dia lepaskan hingga membuat kulit mulus bak dewi itu terlihat ke permukaan. Napas Joey memburu menatap bagaimana maha karya indah ini bisa tercipta. “Kamu cantik banget ... Diana.” Gairah meletup milik si pria tak terbendung lagi. Semua kain kedua insan itu tanggal dan jatuh ke lantai. Suhu ruangan pun kian panas seiring dengan desau yang terlontar dari dua anak manusia berbeda gender ini. “Pak ... S-Saya masih perawan.” Joey mengecupi pundak sempit milik Diana. “Saya pelan-pelan, kok.”
Joey menyatukan alisnya saat melihat Diana yang sedang tidur berkeringat seperti orang habis lari maraton. Perasaan AC mobilnya menyala dan dingin. Kini bibir Diana mengeluarkan rintihan kesakitan seolah sedang tercekik. Buru-buru pria itu menepikan mobil, lalu mengguncang pundak Diana. “Diana, bangun!” Diana terkesiap dengan mata terbelalak. Kedua jemarinya meraba leher. Mata bulatnya mengerjap pelan. “S-Saya di mana?” “Di bulan! Kamu kenapa?” Kini pandangan Diana beralih ke arah Joey. Alis tebalnya menyatu sempurna. “Saya kenapa, Pak?” Joey mendecih sinis. “Kamu mimpi buruk, ya? Buat saya repot aja. Saya sampai harus berhenti di pinggir jalan buat bangunin kamu.” “Jadi tadi cuma mimpi?” Diam-diam Diana menarik napas lega. Setidaknya kejadian barusan hanya sebuah mimpi. Akan tetapi kenapa mimpi itu terasa sangat nyata? Bahkan leher Diana terasa perih meski tidak terluka. “Kamu mimpi apa?” tanya Joey seraya kembali melajukan mo
Joey mengetuk setir mobilnya gelisah. Entah kenapa pikiran tentang Diana mengusiknya. Ada sedikit rasa bersalah meninggalkan gadis itu di kantor sendirian. Akan tetapi apa yang salah? Dirinya kan memang selalu pulang tepat waktu. Siapa suruh Diana tidak mengerjakan semua tugas yang dia berikan dengan cepat. “Kenapa aku mesti ngerasa bersalah sama dia? Siapa suruh kerjanya lelet kayak keong.” Meski mulutnya berkata begini, nyatanya pikiran Joey menolak. Diana bekerja sampai malam karena mengerjakan pekerjaan yang telah mengendap sekian lama. Ditambah lagi pikiran kalau gadis itu belum sempat istirahat makan semakin mengusik nurani Joey. “Ah sialan!” Setir kemudi itu berbelok menuju sebuah restoran. Paling tidak dia harus membelikan makan agar bayangan Diana secepatnya minggat dari kepala Joey. “Mbak, saya mau take away makanan paling enak di sini.” Pelayan restoran itu menunjukkan beberapa menu
Diana melotot saat Joey mendekat ke arah lehernya. Pria jangkung itu mengendus bau vanila yang menguar dari tubuh Diana. Gadis itu semakin gugup saat tangan besar sang bos melingkar di pinggangnya. “Kamu amatir, kan? Jangan-jangan kamu enggak pernah ciuman, ya?” Diana menahan tubuh sang bos. Wajah cantiknya memerah, antara malu dan juga marah. Dia merasa tidak nyaman dilecehkan. Diana juga punya harga diri. “Pak Joey, kalau saya laporin Bapak ke polisi atas tuduhan pelecehan seksual gimana?” Joey tergelak sejenak, tetapi buru-buru bibirnya menyeriangi. “Kamu pikir semudah itu? Kalau kamu miskin dan enggak punya koneksi, jangan harap bakal menang lawan saya. Saya bisa sewa pengacara paling mahal.” Mata bulat Diana tertutup menahan gejolak amarah yang membuncah. Lelaki ini benar-benar keterlaluan. “Saya kerja di sini untuk melayani Bapak dalam urusan kantor. Kalau urusan birahi, Bapak bisa cari istri saja, kan? Enggak semua wanita mau diajak ber
Diana menggeleng lemah. Dipromosi menjadi sekretaris Joey adalah mimpi buruk. Bersama pria itu sehari saja rasanya sesak apalagi jika sepanjang waktu selama lima hari kerja. Tolong tampar dirinya! siapa tahu ini hanya mimpi buruk. “Kok diam? Kamu senang, kan?” Bibir tebal Diana kelu. Sekuat tenaga gadis itu menjawab pertanyaan Luna. “Bu, saya enggak mau dipromosi,” ujarnya. Muka pucat Luna berubah kesal. Bagi dia ini adalah kesempatan emas menyingkirkan Diana dari hadapan Yuda. Kalau bisa mati seperti sekretaris Joey yang sebelumnya, malah lebih bagus, pikirnya. “Gajinya gede, loh! Empat kali lipat dari gaji kamu sekarang. Kerjaannya lebih gampang dari ini. Enggak harus mondar-mandir ke proyek,” ujar Luna meyakinkan. Bibirnya menyeringai tipis dengan mata setia menatap penuh intimidasi. “Kamu cuma ngurus berkas sama buka paha, kurang enak apa lagi?” lanjut Luna berbisik. Mata Di