TAK TAK TAK
Suara ketukan sepatu terdengar dengan jelas seakan bergema di seantero koridor kafetaria. Semua orang kini sibuk berbisik-bisik sambil menatap ke arah gadis yang duduk sendirian di sudut ruangan. Berkat postingan di Secret pagi ini, mantan kekasih Daniel Radcliff itu kini terlihat sangat menyedihkan.
Tuk
Langkah kaki itu terhenti, di depan meja gadis malang yang kini sudah tak sanggup mengangkat wajahnya lagi. Suara bisik-bisik terdengar semakin nyaring ketika mereka melihat Alexandra De Travis meletakan nampan makan siangnya di depan Adriana Spencher dan duduk di sana.
“Kau telat berangkat lagi? Aku tak melihatmu di kelas pagi ini.”
Sapaan Alexa membuat Adriana membanting alat makannya ke meja dengan keras, “Menurutmu? Apa aku harus datang untuk melihat semua orang menggunjingku di pagi hari?” Putri tunggal keluarga Spencher itu kini membentak Alexa dengan nada tinggi, hingga membuat mereka berdua sukses menjadi pusat perhatian untuk beberapa saat.
Gadis di hadapannya kini justru mengangkat satu alisnya sambil tersenyum mengejek, “Apa kau sekarang membenciku karena aku tak menghapus postingan itu?”
Hening menyelimuti keduanya. Sudah jelas dari sisi manapun Adriana tampak marah karena namanya terang-terangan disebutkan dalam Secret, namun Alexa justru membiarkan hal itu terjadi tanpa berniat menolong reputasinya sedikitpun. Adriana tahu jika Alexandra bukanlah gadis bodoh yang tidak paham dampak dari postingan seperti itu untuk reputasi keluarganya, tapi sepertinya gadis itu tidak ada niatan sedikitpun untuk menolongnya.
“Lupakan saja, tidak ada keuntungan untuk Spencher jika bermusuhan dengan keluarga De Travis.” Ucapnya pasrah.
Alexandra tertawa kecil sambil menepuk pelan lengan Adriana.
“Kau tahu benar tempatmu, Nona Spencher.”
Adriana hanya bisa balas tersenyum masam menanggapi ucapan gadis itu. Benar, beginilah cara bertahan hidup di dalam hirarki dunia bisnis yang kejam. Sampai kapanpun, dirinya tidak akan sanggup bermusuhan dengan Alexandra De Travis.
Tentu saja, karena hubungan pertemanan mereka yang rumit ini hanya bagian dari kesepakatan bisnis.
Jika sekarang dirinya membenci gadis itu dan memushuhinya hanya karena masalah yang muncul di Secret, masalah yang lebih besar akan menimpa keluarganya. Entah itu berupa kesulitan finansial atau hancurnya perusahaan kecil milik ayahnya. Keluarga De Travis benar-benar memegang kendali penuh atas keluarganya. Ia tidak mengerti kenapa dari seluruh keluarga melarat yang ada di dunia, harus keluarganya sendiri yang berurusan dengan De Travis. Nasib sial beruntun seakan mengejek kehidupannya selama ini.
Adriana masih ingat saat Alexa pertama kali menemuinya di kediaman lamanya empat tahun lalu, saat dirinya nyaris putus sekolah karena kondisi keuangan keluarganya yang benar-benar buruk. Pabrik tekstil kuno milik keluarga mereka sudah di ambang batas, akibat ulah ayahnya yang sudah putus asa dan hidup seperti sampah karena ditipu hingga jutaan dollar.
“Saya akan membantu Anda, asalkan keluarga Spencher mau mendedikasikan bisnis dan hidupnya untuk keluarga De Travis.”
Adriana ingat betul, itu adalah kata-kata yang Alexandra lontarkan kepada ayahnya. Rasanya sulit untuk dipercaya, ketika ada seorang gadis berusia tiga belas tahun mengunjungi rumahnya serta menjanjikan kehidupan yang layak pada ayahnya.
Anak perempuan yang seharusnya masih sibuk menghabiskan waktu dengan bermain barbie, justru sudah dipercaya melakukan negosiasi pabrik tekstil oleh keluarganya. Sebenarnya sedikit rasa kagum serta iri terbersit di hatinya, andai saja ia bisa menjadi gadis cerdas seperti pewaris De Travis kala itu. Mungkin saja dirinya bisa mencegah ayahnya tertipu atau mencegah ayahnya menyetujui tawaran dari gadis licik itu, yang mana saja asal hidupnya tidak seperti di neraka.
Dan sesuai perkataan Alexa, setelah ayahnya menyetujui kontrak itu kehidupannya menjadi berubah drastis. Ia tidak perlu menampung air yang bocor dari plafon setiap hujan, atau kesulitan membeli seragam sekolah seperti dulu. Dirinya bahkan bisa melanjutkan studinya lagi di salah satu sekolah elit yang sama seperti Alexandra.
Sejak saat itu, ayahnya selalu mengatakan padanya untuk tak melupakan jasa keluarga De Travis pada mereka. Ia dipaksa selalu tunduk pada semua anggota keluarga De Travis layaknya anjing kepada majikannya. Meskipun semua orang menganggap dirinya bersahabat dekat dengan Alexandra, tapi faktanya ia tak lebih dari seorang pelayan keluarga De Travis.
Itulah sebab mengapa kini dirinya benar-benar membenci Alexandra De Travis, seseorang yang menjadi awal mula dirinya hidup mirip seekor binatang peliharaan.
TRANGG
Suara logam yang berbenturan dengan lantai marmer itu mengalihkan perhatian seisi kafetaria. Hanya butuh beberapa detik untuk membuat atensinya kembali ke dunia nyata. Alexandra tampak membungkuk dan mengambil garpu mliknya yang sudah jatuh di bawah meja. Gadis itu menggulungnya dengan tisu dan meletakan di sisi nampannya yang sudah kosong.
“Hah, sayang sekali teman makan siangku hari ini membosankan. Aku akan pergi ke ruang klub jurnalis, tidak ada gunanya mengajak bicara orang yang sibuk melamun.” Ujar gadis itu sambil bergerak mengangkat peralatan makannya sebelum beranjak pergi, namun Adriana menahannya.
“Biar aku yang meletakan ini.” Katanya palan.
Putri tunggal Nicholas De Travis itu mengernyitkan dahinya heran, “Astaga, kau benar-benar mau bersikap seperti pelayanku sekarang?”
Tawa mengejek mengembang di wajah Alexa untuk sepersekian detik, namun kini matanya berubah menjadi tajam ketika menatap Adriana.
“Berhenti, jangan pernah melakukan ini lagi. Berhenti bersikap seperti anjing peliharaan De Travis.” Ucapan gadis itu membuat Adriana membeku.
Rasanya, Alexa seperti sudah membaca semua yang ia pikirkan sejak tadi. Tapi bukan itu yang membuatnya terkejut, dirinya bisa melihat tatapan kebencian ketika gadis itu menyebut ‘De Travis’.
Adriana berbalik menatap punggung gadis itu yang sudah cukup jauh, apakah ada sesuatu yang tidak ia ketahui?
***
Keheningan kini menyelimuti ruang klub jurnalis, seorang gadis menatap penuh harap pada lelaki yang tengah bersandar pada meja rapat.
“Sepertinya aku tidak bisa menerimamu.” Akhirnya pria itu kini bersuara.
Mendengar permintaanya ditolak, gadis bernama Kaylee itu langsung mengepalkan kedua tangannya di depan dada, “Kumohon, ada sesuatu yang harus kupastikan disana. Tolong terima aku sebagai anggota klub ini.”
Lelaki bernama Raphael itu menghela napas berat, “Aku bisa menerimamu menjadi anggota baru klub ini, tapi tidak dengan Secret. Di sini, hanya Nona De Travis yang bisa mengelola Secret.”
Belum sempat gadis itu menjawab, pintu ruangan klub telah terbuka lebar. Menampakan seorang gadis dengan surai hitam yang sudah berdiri tegak disana.
“Nona De Travis, kau sudah datang? Rapat baru akan dimulai lima belas menit lagi.”
Sapaan Raphael membuat Alexa memahami situasi jika gadis yang berada di depan pria itu adalah orang baru, tepatnya mereka belum saling mengenal. Hal ini sudah menjadi kebiasaan bagi mereka untuk saling menyapa dengan formal ketika ada orang asing di sekitar mereka.
Alexa tampak berpikir sejenak sebelum menatap asing ke arah gadis yang tengah membelakangi dirinya,
‘Apa hari ini ada gadis yang menyatakan perasaannya pada Raphael lagi?’ pikir Alexa.
Sudah menjadi rahasia umum, jika Raphael Geraldio Eusford salah satu dari deretan lelaki paling diincar sepanjang tahun di sekolah ini. Berasal dari kalangan borjuis yang ditunjang dengan wajah tampan, tentu saja membuat para gadis berlomba-lomba mendapatkan pria itu. Walaupun faktanya tidak ada satupun yang pernah menjadi kekasih Raphael, lelaki itu justru sering menempel padanya seperti lintah. Sepertinya ia harus mengucapkan terimakasih pada Raphael, karena sikap lelaki itu dirinya kini menjadi sasaran kebencian para gadis di sekolah ini.
Belum selesai sampai disitu, beberapa bulan yang lalu ia berpikir menjadi calon tunangan Marc Halley bisa meredam amarah mereka. Namun hal itu justru membuat dirinya melesat menjadi orang paling dibenci oleh para singa betina di sana.
Alexa menghela napas lelah, sebaiknya ia segera menyingkir sebelum dirinya dijadikan target amarah gadis-gadis muda itu lagi. “Benarkah? Maaf sudah mengganggu, aku akan per-”
“Kau bisa tetap disini, Nona De Travis. Ini bukan obrolan pribadi.” Rapahel memotong ucapan gadis itu dengan cepat. Ia tidak ingin Alexa salah paham tentang hubungannya dengan gadis itu.
Tapi tunggu, ‘Kenapa dirinya harus takut jika Alexa salah paham tentang dirinya dan gadis itu?’ pikirnya bingung. Raphael bahkan tidak tahu jawabannya.
Ia kembali menatap Alexandra yang mengangkat kedua alisnya pertanda tak mengerti, “Perkenalkan, ini Kaylee Jenkins. Dia ingin mendaftar menjadi anggota baru klub jurnalis. Dan perkenalkan ini Alexandra De Travis, anggota klub jurnalis.” Rapahel memperkenalkan merekaberdua dengan singkat.
Namun air muka Alexandra tiba-tiba berubah menjadi suram setelah mendengar nama gadis itu. Kini matanya beralih menatap gadis bernama Kaylee yang sudah terdiam dengan tatapan mata yang tak bisa diartikan, sedangkan Kaylee sibuk menghindari tatapan menelisik yang Alexandra berikan. Dirinya benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi dengan kedua gadis itu.
TAK TAK TAK
Alexandra melangkah cepat mendekati Kaylee dan menarik wajah gadis itu agar menatap matanya, “Kau- beraninya kau berada disini.” Gadis itu tampak manahan amarahnya ketika melihat wajah Kaylee dengan jelas, dadanya naik turun seakan memendam berbagai emosi yang tidak bisa diungkapkan.
Raphael menarik Alexandra dan menjauhkannya dari Kaylee, “Apa yang sedang kau lakukan, Nona De Travis?!”
Gadis itu tersentak mendengar nada tinggi yang diucapkan oleh Raphael, seakan menariknya ke dalam realita. Alexandra melepaskan cekalannya yang meninggalkan bekas memerah pada wajah cantik gadis itu.
“Maaf, kau mirip seperti seseorang. Aku akan pergi sekarang.” Alexandra pergi dengan cepat sebelum gadis bernama Kaylee itu sempat mengatakan apapun.
Melihat tingkah tidak biasa Alexandra, Raphael tahu ada yang tidak beres. Dengan cepat ia ikut berjalan menuju ke luar ruangan untuk mengejar Alexandra, namun tangannya ditahan oleh seseorang.
Tanpa basa basi lelaki itu langsung menatap tajam ke arah Kaylee, “Ah maaf, aku bukan bermaksud tidak sopan. Tapi sebenarnya, hubungan masa lalu kami tidak begitu baik. Sebaiknya kau tidak menanyakan apapun padanya, aku akan mencoba bicara dengannya perlahan.” Cepat-cepat gadis itu melepas pergelangan tangan Raphael.
Raphael menaikkan satu alisnya heran mendengar gadis itu, “Kalian pernah saling mengenal sebelumnya?”
Gadis itu tampak gelisah ketika pria di depannya terang-terangan menanyakan hubungan antara dirinya dan Alexandra di masa lalu. Kedua jemari tangannya saling bertaut membentuk gerakan khas orang bingung, seakan tengah menyembunyikan sesuatu.
“Sebenarnya kami pernah berteman dulu, tapi hubungan kami tidak begitu bagus. Hanya seperti itu.” Pungkasnya sambil membuang wajahnya ke arah lain, menghindari tatapan mengintimidasi dari Raphael. Ia sudah pernah mendengar rumor tentang tatapan intimidasi mengerikan yang dimiliki oleh ketua klub jurnalis ini, namun siapa sangka ia sudah merasakan sendiri tatapan itu di hari pertama dirinya mendaftar klub.
Sejujurnya, ia mengakui Raphael Eusford tampak lebih tampan ketika menatapnya seperti itu.
“Aku akan membatalkan rapat hari ini, tolong beritahukan kepada anggota lain saat mereka datang kemari.” Setelah terdiam cukup lama lelaki itu menitipkan pesan pada Kaylee dan segera berlalu.
Dengan segera lelaki itu menyusuri setiap koridor gedung sekolah untuk mencari Alexandra. Sialnya gadis itu tidak dapat ia temukan dimanapun, hatinya diliputi perasaan khawatir setelah melihat tingkah gadis itu yang tampak berbeda hari ini. Lelaki itu berjalan menyusuri sisi selatan sekolahnya hingga akhirnya ia melihat siluet seseorang yang tidak asing untuknya di belakang perpustakaan.
Orang itu adalah Marc Halley yang sedang berbicara dengan calon tunangannya, Alexandra De Travis.
Ah benar juga, ia baru ingat jika mereka akan segera bertunangan tahun depan.
Jawaban pertanyaan atas perasaan asing yang meluap di ruang jurnalis tadi tampaknya sudah memiliki jawaban yang jelas sekarang.
‘Kenapa dirinya harus takut jika Alexa salah paham tentang dirinya dan gadis itu?’
Pertanyaan retroris,
Memang sudah seharusnya ia tak menginginkan sesuatu yang bukan miliknya.
***
“Bukankah ini agak berlebihan untuk kencan pura-pura?”Alexa memutar bola matanya malas ketika tak mendapatkan jawaban apapun dari lawan bicaranya. Di tengah iringan musik klasik yang mengalun, kini ruangan itu kembali terisi oleh keheningan.Ia kembali menatap pria di depannya, Marc Halley.Lelaki yang dipilihkan oleh keluarganya untuk menjadi calon pendamping selama sisa hidupnya. Astaga, keluarganya memang konyol. Usianya bahkan baru saja menginjak tujuh belas tahun enam bulan yang lalu, tapi mereka sudah cepat-cepat menentukan pasangan masa depannya.Sebenarnya ini bukan merupakan hal baru bagi kalangan pebisnis kelas atas. Para manusia kaya raya itu akan mulai mencarikan pasangan untuk pewaris mereka demi menjalin kerja sama bisnis dengan perusahaan lain agar harta mereka tetap aman. Singkatnya, dirinya dan Marc kini sedang sama-sama digunakan sebagai ‘alat perjanjian’ oleh keluarga mereka sendiri.“Aku hanya tida
“Ah dasar, kau membuatku harus menggunakan heels di tanah berumput seperti ini.” Lelaki itu memandang sepatu putih Alexa yang terlihat kotor oleh noda tanah seketika mereka memijakkan kaki di taman.“Aku akan menggantinya dengan yang baru, sekarang kita harus cepat bersembunyi dulu.” Raphael berjalan cepat ke arah danau kecil yang berada dibalik pohon-pohon taman kota yang cukup rimbun.Alexandra menatap kearah sekelilingnya.Cukup sepi.Yah siapa juga yang mau datang ke danau malam-malam begini? Belum lagi mereka harus berebut oksigen dengan pohon rimbun di sekitar sini. Hanya orang bodoh yang akan melakukannya, dan well mereka lah orang bodoh itu.Keheningan masih setia hadir diantara dirinya dan Raphael. Ia tidak ingin memaksa lelaki itu bicara soal masalahnya, tentu saja karena sepertinya ini cukup serius. Jika tidak, seorang Davis Eusford tidak akan mengirimkan lima buah mobil beserta mata-matanya untu
“Lexa, cepat menjauh!” Gadis kecil yang masih berusaha mendorong pintu mobil itu sama sekali tak menghiraukan ucapan lelaki yang nyaris sekarat di depannya. “Lexa!” “Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum mengeluarkanmu dari sini!” BRAK BRAK PRANGG Suara pecahan kaca menggema di dalam terowongan yang sunyi itu. Tangan rapuh milik gadis itu kini sudah berlumuran dengan darah, tapi gadis kecil itu tetap berusaha menyingkirkan kaca yang menghalanginya dengan wajah sembab karena menangis sejak tadi. “Kak! Cepat keluar sebelum tiang itu jatuh! Aku akan menyingkirkan kaca ini lalu-” “Alexandra De Travis!” Bentakan yang keluar dari bibir pria itu membuat Alexa kecil tersentak, namun suara lembut kakaknya kembali terdengar saat mengisyaratkannya untuk segera pergi. “Pergi dari sini sekarang, cari bantuan lalu kembali kes
Seorang pria kini menatap ke arahnya dengan sorot mata menyelidik, “Apa itu benar?” Lelaki itu bertanya. “Aku tidak menemuimu untuk mendengar pertanyaan yang sama seperti ini, Halley.” Lelaki itu tampak menahan rasa kesalnya yang kian meluap. Setelah berhari-hari Alexandra mengabaikan pesan dan teleponnya, Marc memutuskan untuk datang langsung ke kediaman gadis itu memastikan kebenaran rumor yang beredar di Secret. Tapi sepertinya usahanya kali ini sia-sia, gadis itu sama sekali tak berminat menjawab pertanyaannya dengan jawaban yang pasti. “Komite sekolah sudah mendengar masalah ini, aku yang akan mengurusnya dan memastikan rumor itu segera berakhir besok.” “Berhenti mencampuri urusanku, Marc!” Alexandra bangkit dari duduknya karena kesal, ia tidak mengerti kenapa lelaki ini selalu saja berusaha mencampuri urusannya. Marc membuang mukanya ke arah lain, “Kita akan segera bertunangan Alexa.” Ucapnya mencoba mengingatkan posisi gadis itu.
“Kau melewatkan makan malam bersama.”Suara dingin itu menyapaku ketika kakiku baru saja memasuki ruang tengah. Ayah yang tampak sedang menikmati kopi hitam itu kini menatapku dengan tatapan yang menyebalkan.Aku mengernyitkan dahi heran, “Aku tidak lapar, aku akan langsung mandi dan tidur.” Ucapku sekenanya. Sungguh, aku tidak ingin terlibat interogasi dadakan untuk yang kesekian kalinya setelah selesai bersenang-senang dengan Serena.Lagipula, ini bukan pertama kali untuknya melewatkan acara basa-basi yang disebut makan malam itu. Seharusnya ayahnya tidak perlu sampai menunggunya pulang seperti ini, lalu idenya menikmati kopi di tengah malam sebagai alibi benar-benar buruk. Melihat pria setengah baya itu terdiam aku memutuskan melanjutkan perjalananku menuju lantai atas yang sempat tertunda.“Apa hubunganmu dengan Marc Halley baik-baik saja?” Langkahku terhenti, Pertanyaan singkat yang ditanyakan ayahnya semakin meyak
“Wah, serius. Daniel bukan tandingan Marc Halley dalam basket!” Kaylee tersenyum menanggapi ucapan Mary- teman barunya dari klub jurnalis. Semenjak ia masuk di dalam klub itu, semua orang bersikap canggung padanya. Dan hanya Mary satu-satunya orang yang masih tampak ceria di dekatnya. Meski Mary lebih tua setahun darinya, ia merasa kini dirinya cukup dekat dan nyaman berteman dengan Mary. “Tapi kau masih saja menyukainya kan?” Kaylee terkikik pelan ketika mendapati wajah Mary yang memerah karena ucapannya. Saat istirahat berlangsung, gadis itu sering mengajaknya duduk di sekitaran lapangan basket untuk mencari angin segar. Tapi ia tahu bukan itu alasan Mary mengajaknya kemari, gadis itu ingin melihat Daniel yang sedang bertanding di sana. “Jangan membuat rumor tidak benar Kaylee, aku tidak ingin dituduh sebagai penulis pesan menyebalkan tentang Adriana Spencher di Secret minggu lalu.” Mary menatapnya sambil mengacungkan tangannya memperingatkan.
“Nona Kaylee Jenkins, temui aku setelah kelas berakhir.” Ucapan nada dingin Professor Lassen membuatku harus memilin rok pendek musim panas ini untuk yang kesekian kalinya. Aku masih berdiri dengan tatapanku yang tertuju pada ubin marmer mahal di bawah sana. Meski ingin, aku tidak bisa sekalipun mengalihkan pandanganku dari tatapan intimidasi dan mengejek yang orang-orang berikan padaku saat ini. Aku bisa mendengar helaan napas lelah dari professor itu, “Nona Jenkins kau boleh duduk, baik kita akan lanjutkan pembahasan yang sempat tertunda.” Setelah mendengar itu aku buru-buru merapikan bawahanku dan duduk dengan tegap. Hari ini benar-benar kacau, ia berhasil mempermalukan dirinya sendiri di kelas Bahasa Spanyol. Saat Professor Lassen menyuruhnya untuk membaca artikel dengan Bahasa Spanyol di depan kelas, di saat itulah ia tahu dirinya sudah tamat. Aksennya benar-benar terdengar buruk dan sama sekali tidak lancar. Semua orang menahan tawa mendengar su
Alexandra memijat keningnya lelah ketika mendapati seorang waiter yang tak kini membersihkan pecahan gelas berisi mocktail lemon di sebelahnya. Matanya beralih pada gadis muda di depannya yang berkali-kali mengucapkan maaf dari mulutnya, sedangkan mata Serena berkilat marah hendak bangkit dari duduknya namun Alexa mencegahnya. “Sudahlah, Serena.” Ucapnya menengahi. Ia tak ingin mengambil resiko membiarkan Serena menceramahi waiter itu selama dua puluh menit meskipun ia ingin. Matanya beralih pada sekumpulan gadis yang mengenakan seragam seperti miliknya, kini mereka tampak tertawa sambil melirik sepatunya yang kini sudah basah kuyup karena cairan manis. Ia tertawa sinis, jadi efek berita di Secret sudah sejauh ini? Bahkan seorang putri dari keluarga tak dikenal kini mulai berani mencoba mempermalukannya? Ia sudah tahu sejak tadi jika gadis-gadis menyebalkan itu menatap ke arahnya, hingga mereka memaksa seorang waiter muda m
Raphael nyaris mengumpat ketika tubuhnya tergelincir di tangga mansion sial milik Daniel.Jika saja bukan karena air yang sudah bercampur lumpur itu menggenang di atas anak tangga, kejadian seperti ini pasti tidak akan menimpanya. Ia benar-benar tak habis pikir kenapa Daniel tak pernah bisa mengurus tempat tinggalnya dengan baik.Ia meringis ketika merasakan kepalanya berdenyut hebat setelah terbentur tadi. Beberapa butler terlihat sibuk menghubungi dokter keluarga Radcliff yang entah kapan akan segera datang, mengingat lokasi kastil ini yang jauh dari pusat kota.“Damn! Apa yang terjadi padamu?!” suara Daniel berteriak menggelegar di ruang tengah membuat kepalanya semakin pening.Raphael menjawab dengan datar, “Jangan berteriak, suaramu membuat kepalaku semakin sakit.”Namun Daniel mengabaikannya dan kembali membuat suara berisik ketika melihat kemejanya kotor karena tetesan darah yang mengucur dari pelipi
Sangat buruk.Itu adalah kata yang bisa menggambarkan kondisinya sekarang.Raphael menatap kesal ke arah cermin- tepatnya pada sudut bibirnya yang membiru dengan tambahan darah kering disana. Lelaki itu kembali menyalakan keran dan mencuci mukanya berkali-kali, meskipun begitu sebanyak apapun ia membasuh wajahnya luka itu tidak akan menghilang.Jika dibandingkan dengan luka yang ia terima, luka Halley pasti jauh lebih parah dari dirinya. Sejujurnya ia tidak merasa kesal karena wajahnya terluka, tapi alasan dibalik luka di wajahnya yang membuatnya merasa marah setiap kali melihatnya.“Sadarlah, kau memang sudah kalah dariku!”Ucapan Mark Halley kembali menggema di telinganya setiap kali ia memandang wajahnya di cermin. Jika saja pria sial itu tidak berusaha memprovokasinya mungkin dirinya tidak akan pernah punya niatan untuk menghantam wajah Halley lebih dulu.Raphael berbalik meninggalkan kamar mandi dan merebahkan tubuh
“Sepuluh hari lagi kita akan me-launching majalah tahunan sekolah, aku harap kalian semua segera melakukan wawancara sesuai bagian yang diputuskan kemarin. Apa ada yang keberatan?” Raphael kini menatap lurus ke arah anggota tim jurnalisnya dengan datar.Tidak ada yang menjawab, mereka saling bertukar pandang bingung. Tentu saja bukan karena mereka tidak mengerti tugas yang Raphael berikan, semua orang sibuk menduga-duga alasan di balik luka lebam yang membiru di sudut bibir pria itu.Beberapa hari yang lalu Raphael terlibat perkelahian dengan Mark Halley, pimpinan student council yang terkenal sangat menjaga sikap. Meski sudah menjadi rahasia umum jika kedua pria itu terlibat perang dingin selama bertahun-tahun, tetapi tidak ada yang tahu dari mana asal mula pertengkaran dua lelaki itu kemarin.Bahkan kabarnya setelah masuk ruang detensi pun, tidak satupun dari mereka yang mau menjelaskan alasan yang sebenarnya. Mr. Roxane bahkan me
TAK! “Kau menjatuhkannya kemarin.” Suasana ruang kelasnya kini mendadak terdengar sunyi ketika seorang lelaki itu memberikan sebuah tag nama padanya. Ia memandang lempengan besi itu dengan seksama, KAYLEE JENKINS -ah benar, ini miliknya. Untuk sesaat ia benar-benar merasa tidak percaya dengan pengelihatannya. Lelaki yang selama ini hanya bisa ia pandang dari jauh kini berdiri tepat di depan wajahnya. Kaylee menatap pandangan heran dari lelaki itu, pandangan lembut itu benar-benar menarik perhatiannya. “Halo, ini benar milikmu ‘kan?” Gadis itu terkesiap malu karena ketahuan memandang pria itu secara terang-terangan. Cepat-cepat ia mengambil name tag miliknya, “Ah benar, terimakasih sudah mengembalikannya.” Mark tersenyum tipis, ‘Ah jadi ini? Gadis yang sangat dihindari oleh calon tunangannya’ “Tidak masalah, lain kali sebaiknya lebih hati-hati.” Setelah mengatakan itu Mark pergi menuju k
Alexandra memijat keningnya lelah ketika mendapati seorang waiter yang tak kini membersihkan pecahan gelas berisi mocktail lemon di sebelahnya. Matanya beralih pada gadis muda di depannya yang berkali-kali mengucapkan maaf dari mulutnya, sedangkan mata Serena berkilat marah hendak bangkit dari duduknya namun Alexa mencegahnya. “Sudahlah, Serena.” Ucapnya menengahi. Ia tak ingin mengambil resiko membiarkan Serena menceramahi waiter itu selama dua puluh menit meskipun ia ingin. Matanya beralih pada sekumpulan gadis yang mengenakan seragam seperti miliknya, kini mereka tampak tertawa sambil melirik sepatunya yang kini sudah basah kuyup karena cairan manis. Ia tertawa sinis, jadi efek berita di Secret sudah sejauh ini? Bahkan seorang putri dari keluarga tak dikenal kini mulai berani mencoba mempermalukannya? Ia sudah tahu sejak tadi jika gadis-gadis menyebalkan itu menatap ke arahnya, hingga mereka memaksa seorang waiter muda m
“Nona Kaylee Jenkins, temui aku setelah kelas berakhir.” Ucapan nada dingin Professor Lassen membuatku harus memilin rok pendek musim panas ini untuk yang kesekian kalinya. Aku masih berdiri dengan tatapanku yang tertuju pada ubin marmer mahal di bawah sana. Meski ingin, aku tidak bisa sekalipun mengalihkan pandanganku dari tatapan intimidasi dan mengejek yang orang-orang berikan padaku saat ini. Aku bisa mendengar helaan napas lelah dari professor itu, “Nona Jenkins kau boleh duduk, baik kita akan lanjutkan pembahasan yang sempat tertunda.” Setelah mendengar itu aku buru-buru merapikan bawahanku dan duduk dengan tegap. Hari ini benar-benar kacau, ia berhasil mempermalukan dirinya sendiri di kelas Bahasa Spanyol. Saat Professor Lassen menyuruhnya untuk membaca artikel dengan Bahasa Spanyol di depan kelas, di saat itulah ia tahu dirinya sudah tamat. Aksennya benar-benar terdengar buruk dan sama sekali tidak lancar. Semua orang menahan tawa mendengar su
“Wah, serius. Daniel bukan tandingan Marc Halley dalam basket!” Kaylee tersenyum menanggapi ucapan Mary- teman barunya dari klub jurnalis. Semenjak ia masuk di dalam klub itu, semua orang bersikap canggung padanya. Dan hanya Mary satu-satunya orang yang masih tampak ceria di dekatnya. Meski Mary lebih tua setahun darinya, ia merasa kini dirinya cukup dekat dan nyaman berteman dengan Mary. “Tapi kau masih saja menyukainya kan?” Kaylee terkikik pelan ketika mendapati wajah Mary yang memerah karena ucapannya. Saat istirahat berlangsung, gadis itu sering mengajaknya duduk di sekitaran lapangan basket untuk mencari angin segar. Tapi ia tahu bukan itu alasan Mary mengajaknya kemari, gadis itu ingin melihat Daniel yang sedang bertanding di sana. “Jangan membuat rumor tidak benar Kaylee, aku tidak ingin dituduh sebagai penulis pesan menyebalkan tentang Adriana Spencher di Secret minggu lalu.” Mary menatapnya sambil mengacungkan tangannya memperingatkan.
“Kau melewatkan makan malam bersama.”Suara dingin itu menyapaku ketika kakiku baru saja memasuki ruang tengah. Ayah yang tampak sedang menikmati kopi hitam itu kini menatapku dengan tatapan yang menyebalkan.Aku mengernyitkan dahi heran, “Aku tidak lapar, aku akan langsung mandi dan tidur.” Ucapku sekenanya. Sungguh, aku tidak ingin terlibat interogasi dadakan untuk yang kesekian kalinya setelah selesai bersenang-senang dengan Serena.Lagipula, ini bukan pertama kali untuknya melewatkan acara basa-basi yang disebut makan malam itu. Seharusnya ayahnya tidak perlu sampai menunggunya pulang seperti ini, lalu idenya menikmati kopi di tengah malam sebagai alibi benar-benar buruk. Melihat pria setengah baya itu terdiam aku memutuskan melanjutkan perjalananku menuju lantai atas yang sempat tertunda.“Apa hubunganmu dengan Marc Halley baik-baik saja?” Langkahku terhenti, Pertanyaan singkat yang ditanyakan ayahnya semakin meyak
Seorang pria kini menatap ke arahnya dengan sorot mata menyelidik, “Apa itu benar?” Lelaki itu bertanya. “Aku tidak menemuimu untuk mendengar pertanyaan yang sama seperti ini, Halley.” Lelaki itu tampak menahan rasa kesalnya yang kian meluap. Setelah berhari-hari Alexandra mengabaikan pesan dan teleponnya, Marc memutuskan untuk datang langsung ke kediaman gadis itu memastikan kebenaran rumor yang beredar di Secret. Tapi sepertinya usahanya kali ini sia-sia, gadis itu sama sekali tak berminat menjawab pertanyaannya dengan jawaban yang pasti. “Komite sekolah sudah mendengar masalah ini, aku yang akan mengurusnya dan memastikan rumor itu segera berakhir besok.” “Berhenti mencampuri urusanku, Marc!” Alexandra bangkit dari duduknya karena kesal, ia tidak mengerti kenapa lelaki ini selalu saja berusaha mencampuri urusannya. Marc membuang mukanya ke arah lain, “Kita akan segera bertunangan Alexa.” Ucapnya mencoba mengingatkan posisi gadis itu.