“Kau melewatkan makan malam bersama.”
Suara dingin itu menyapaku ketika kakiku baru saja memasuki ruang tengah. Ayah yang tampak sedang menikmati kopi hitam itu kini menatapku dengan tatapan yang menyebalkan.
Aku mengernyitkan dahi heran, “Aku tidak lapar, aku akan langsung mandi dan tidur.” Ucapku sekenanya. Sungguh, aku tidak ingin terlibat interogasi dadakan untuk yang kesekian kalinya setelah selesai bersenang-senang dengan Serena.
Lagipula, ini bukan pertama kali untuknya melewatkan acara basa-basi yang disebut makan malam itu. Seharusnya ayahnya tidak perlu sampai menunggunya pulang seperti ini, lalu idenya menikmati kopi di tengah malam sebagai alibi benar-benar buruk. Melihat pria setengah baya itu terdiam aku memutuskan melanjutkan perjalananku menuju lantai atas yang sempat tertunda.
“Apa hubunganmu dengan Marc Halley baik-baik saja?” Langkahku terhenti, Pertanyaan singkat yang ditanyakan ayahnya semakin meyakinkan dirinya bahwa ada hal yang salah di sini.
Aku membuang napasku kasar dengan suara keras. Sengaja, agar pria itu tahu aku lelah dengan basa-basinya yang tidak masuk akal seperti sekarang ini. “Ya, semuanya baik-baik saja. Ada masalah?”
Ayah tampak terdiam, sementara aku menggerakkan kakiku tak sabar. “Kau harus bersikap baik padanya, dia adalah calon tunanganmu. Jangan membuat masalah lain lagi, kau tahu berapa banyak yang harus kukorbankan untuk meyakinkan keluarga Halley.”
Mataku bertatapan dengan iris berwarna biru yang tidak aku warisi itu. Tanganku meremas jaket kulit hitamku dengan erat, menahan rasa kesal yang sudah memuncak sejak tadi. Sedikit rasa kecewa muncul memenuhi rongga dadaku. Tak bisa dipercaya, lelaki itu menunggu putrinya pulang hanya untuk memberikan peringatan seperti ini.
Lagipula kenapa ia harus bersusah payah untuk bersikap baik pada lelaki itu? Toh semua rencana pertunangan itu adalah permainan yang diciptakan oleh keluarga besar ayahnya. “Terserah, aku permisi.” Katanya sebelum benar-benar berbalik dan pergi.
Ia ingin segera meninggalkan ruangan itu dan mengunci diri di kamar. Tidak ingin mendengar lebih jauh lagi tentang pandangan ayahnya yang selalu meremehkan dirinya.
Aku membuka pintu kamarku dengan kasar, membuat Rossy yang sedang merapikan ranjangku terkejut. “Nona, selamat malam.” Sapanya. Mataku bergulir menatap jam yang menunjukan bahwa waktu sudah larut.
“Kau tak perlu menungguku pulang.” Ucapku pada Rossy. Mata gadis itu sudah memerah, mungkin saja ia sudah mengantuk bekerja sepanjang hari.
Gadis itu hanya tersenyum tipis, “Sudah menjadi tugas saya melayani, Nona.”
“Pergilah, aku ingin langsung tidur.”
Rossy mematuhi ucapanku dan langsung mengundurkan diri.
***
“Tuan muda, Tuan Daniel Radcliff sedang menunggu Anda di lantai bawah.” Ucapan asisten pribadinya kini membuyarkan lamunannya.
“Suruh dia ke ruanganku.” Perintahnya dibalas oleh anggukan oleh pria yang berusia sekitar empat puluh tahun itu.
Lelaki itu melangkahkan kaki panjangnya menuju sebuah ruang belajar dengan nuansa interior modern. Matanya memandang ke area elit di pinggiran Kota Hartford, tempat dimana ia pernah tinggal sebelum pindah di tengah kota ini.
Ia benar-benar merindukan ketenangan yang hanya bisa ia dapatkan di sana, dibandingkan dengan pusat kota yang begitu berisik seakan tak pernah tidur.
Tak lama pintu ruangannya terbuka lebar, menampakkan sosok menyebalkan yang akhir-akhir ini sering mengganggu hidupnya.
“Yeah kau membosankan seperti biasanya, Raphael.” Suara sosok menyebalkan itu menyeruak ke dalam telinganya ketika ia melihat tumpukan buku di mejanya.
Raphael menatap Daniel dengan malas, “Katakan apa maumu lalu kau bisa segera pergi dari sini.”
Lelaki itu mendelik sebal, “Kau tidak suka aku datang kemari? Come on man, kita bahkan sudah berteman sejak kecil.”
“Aku tidak ingat pernah berteman denganmu.” Raphael menjawab dengan singkat. Sebenarnya itu bukan sepenuhnya kebohongan, ia benar-benar tidak terlalu ingat bagaimana masa kecilnya berlalu.
Lelaki itu menyambar Macbooknya, berusaha tetap produktif meski ada pengganggu yang siap merusak suasana tenang ruang belajarnya.
Daniel hanya mengendikkan bahunya tak peduli menanggapi ucapannya, lelaki itu mengambil tempat untuk duduk di seberang Raphael. Untuk sesaat, ruangan itu hening ketika tidak ada satupun yang bersuara. Raphael sibuk memeriksa artikel-artikel yang akan diterbitkan minggu depan. Sebenarnya melihat tulisan panjang seperti ini bukan bidangnya sama sekali, ia lebih menyukai aktivitas fisik dibanding duduk berjam-jam menatap layar monitor.
Namun karena ulah serampangan Alexandra yang sengaja mendaftarkan namanya di klub jurnalis membuatnya terjebak dengan pekerjaan seperti ini. Yah, walaupun gadis itu akhirnya mengalah setelah mereka berdebat panjang. Tapi karena rasa ibanya, ia memutuskan untuk pindah ke klub itu dan meninggalkan posisinya menjadi ketua ekstrakulikuler basket.
Kini, ia sedikit menyesali keputusannya. Menyebalkan, kenapa juga dirinya harus mempedulikan Alexa sejauh itu.
“Wah luar biasa, Alexandra masuk di daftar dua puluh besar pencarian teratas!” Daniel kini bersorak heboh.
Raphael menghela napas singkat, “Sudah pasti itu semua karena Secret.” Ia berkomentar.
Daniel bangkit dari posisi duduknya, menghampiri Raphael yang masih setia menatap Macbooknya. “Lihat, Alexandra De Travis benar-benar terkenal di seluruh penjuru kota sekarang.” Raphael menatap datar ponsel milik lelaki itu yang dipenuhi dengan berita tentang Alexa.
“Antek-antek keluarga De Travis pasti akan membersihkan semuanya kurang dari dua puluh empat jam.” Daniel menarik Iphone lelaki itu menjauh dari wajahnya dan kembali duduk di atas sofa berwarna abu-abu.
Raphael mengendikkan bahunya acuh, “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” katanya.
Ia tahu selama keluarga De Travis masih berpihak pada Alexandra, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Nicholas De Travis pasti akan segera memberi peringatan pada perusahaan media yang sudah menyampaikan berita menyimpang tentang putri semata wayangnya itu.
Matanya kini bergulir menelusuri berita teratas Alexa yang muncul di G****e, sampai terpaku pada salah satu berita yang memuat gambar seorang gadis dengan gaun anggun sedang berdiri di atas red carpet. Jantungnya berdetak cepat, perasaan geram memenuhi hatinya ketika menyadari gadis itu tidak berada di sana sendirian.
“Alexandra De Travis dan Marc Halley memang kombinasi yang sempurna bukan?” Daniel menatapnya dengan tawa yang tertahan, entah sejak kapan lelaki itu sudah berada di sampingnya sambil ikut melihat ke dalam layar laptopnya.
TAK!
Raphael menutup Macbooknya dengan kasar sebelum meletakkannya di atas nakas, “Kusarankan kau pulang sekarang jika kau masih peduli dengan nyawamu.” Ia mendesis kesal.
Seakan tak peduli dnegan ancamannya, Daniel kini berdiri sambil menatapnya. “Jujur saja, kau tertarik pada gadis itu ‘kan?”
“Kuperingatkan padamu-”
“Come on man, seharusnya kau-”
“Radcliff!”
Raphael kini berdiri tegap, “Berhenti menyeret pembicaraan yang tidak masuk akal tentang Alexa.”
Daniel menghindari tatapan mata mengintimidasi yang dilontarkan oleh Raphael. “Hah, lihat itu. Sifat pengecutmu sangat menyebalkan. Kalau kau benar-benar menyukainya seharusnya kau katakan pada gadis itu.”
Mendengar ucapan itu, Raphael membuang wajahnya ke arah lain. “Aku akan pergi sekarang.” Daniel melanjutkan ucapannya sebelum benar-benar menghilang di balik pintu.
Raphael menyugar surai hitamnya frustrasi.
Apakah jika ia mengatakan yang sebenarnya pada gadis itu, semuanya akan baik-baik saja?
***
“Wah, serius. Daniel bukan tandingan Marc Halley dalam basket!” Kaylee tersenyum menanggapi ucapan Mary- teman barunya dari klub jurnalis. Semenjak ia masuk di dalam klub itu, semua orang bersikap canggung padanya. Dan hanya Mary satu-satunya orang yang masih tampak ceria di dekatnya. Meski Mary lebih tua setahun darinya, ia merasa kini dirinya cukup dekat dan nyaman berteman dengan Mary. “Tapi kau masih saja menyukainya kan?” Kaylee terkikik pelan ketika mendapati wajah Mary yang memerah karena ucapannya. Saat istirahat berlangsung, gadis itu sering mengajaknya duduk di sekitaran lapangan basket untuk mencari angin segar. Tapi ia tahu bukan itu alasan Mary mengajaknya kemari, gadis itu ingin melihat Daniel yang sedang bertanding di sana. “Jangan membuat rumor tidak benar Kaylee, aku tidak ingin dituduh sebagai penulis pesan menyebalkan tentang Adriana Spencher di Secret minggu lalu.” Mary menatapnya sambil mengacungkan tangannya memperingatkan.
“Nona Kaylee Jenkins, temui aku setelah kelas berakhir.” Ucapan nada dingin Professor Lassen membuatku harus memilin rok pendek musim panas ini untuk yang kesekian kalinya. Aku masih berdiri dengan tatapanku yang tertuju pada ubin marmer mahal di bawah sana. Meski ingin, aku tidak bisa sekalipun mengalihkan pandanganku dari tatapan intimidasi dan mengejek yang orang-orang berikan padaku saat ini. Aku bisa mendengar helaan napas lelah dari professor itu, “Nona Jenkins kau boleh duduk, baik kita akan lanjutkan pembahasan yang sempat tertunda.” Setelah mendengar itu aku buru-buru merapikan bawahanku dan duduk dengan tegap. Hari ini benar-benar kacau, ia berhasil mempermalukan dirinya sendiri di kelas Bahasa Spanyol. Saat Professor Lassen menyuruhnya untuk membaca artikel dengan Bahasa Spanyol di depan kelas, di saat itulah ia tahu dirinya sudah tamat. Aksennya benar-benar terdengar buruk dan sama sekali tidak lancar. Semua orang menahan tawa mendengar su
Alexandra memijat keningnya lelah ketika mendapati seorang waiter yang tak kini membersihkan pecahan gelas berisi mocktail lemon di sebelahnya. Matanya beralih pada gadis muda di depannya yang berkali-kali mengucapkan maaf dari mulutnya, sedangkan mata Serena berkilat marah hendak bangkit dari duduknya namun Alexa mencegahnya. “Sudahlah, Serena.” Ucapnya menengahi. Ia tak ingin mengambil resiko membiarkan Serena menceramahi waiter itu selama dua puluh menit meskipun ia ingin. Matanya beralih pada sekumpulan gadis yang mengenakan seragam seperti miliknya, kini mereka tampak tertawa sambil melirik sepatunya yang kini sudah basah kuyup karena cairan manis. Ia tertawa sinis, jadi efek berita di Secret sudah sejauh ini? Bahkan seorang putri dari keluarga tak dikenal kini mulai berani mencoba mempermalukannya? Ia sudah tahu sejak tadi jika gadis-gadis menyebalkan itu menatap ke arahnya, hingga mereka memaksa seorang waiter muda m
TAK! “Kau menjatuhkannya kemarin.” Suasana ruang kelasnya kini mendadak terdengar sunyi ketika seorang lelaki itu memberikan sebuah tag nama padanya. Ia memandang lempengan besi itu dengan seksama, KAYLEE JENKINS -ah benar, ini miliknya. Untuk sesaat ia benar-benar merasa tidak percaya dengan pengelihatannya. Lelaki yang selama ini hanya bisa ia pandang dari jauh kini berdiri tepat di depan wajahnya. Kaylee menatap pandangan heran dari lelaki itu, pandangan lembut itu benar-benar menarik perhatiannya. “Halo, ini benar milikmu ‘kan?” Gadis itu terkesiap malu karena ketahuan memandang pria itu secara terang-terangan. Cepat-cepat ia mengambil name tag miliknya, “Ah benar, terimakasih sudah mengembalikannya.” Mark tersenyum tipis, ‘Ah jadi ini? Gadis yang sangat dihindari oleh calon tunangannya’ “Tidak masalah, lain kali sebaiknya lebih hati-hati.” Setelah mengatakan itu Mark pergi menuju k
“Sepuluh hari lagi kita akan me-launching majalah tahunan sekolah, aku harap kalian semua segera melakukan wawancara sesuai bagian yang diputuskan kemarin. Apa ada yang keberatan?” Raphael kini menatap lurus ke arah anggota tim jurnalisnya dengan datar.Tidak ada yang menjawab, mereka saling bertukar pandang bingung. Tentu saja bukan karena mereka tidak mengerti tugas yang Raphael berikan, semua orang sibuk menduga-duga alasan di balik luka lebam yang membiru di sudut bibir pria itu.Beberapa hari yang lalu Raphael terlibat perkelahian dengan Mark Halley, pimpinan student council yang terkenal sangat menjaga sikap. Meski sudah menjadi rahasia umum jika kedua pria itu terlibat perang dingin selama bertahun-tahun, tetapi tidak ada yang tahu dari mana asal mula pertengkaran dua lelaki itu kemarin.Bahkan kabarnya setelah masuk ruang detensi pun, tidak satupun dari mereka yang mau menjelaskan alasan yang sebenarnya. Mr. Roxane bahkan me
Sangat buruk.Itu adalah kata yang bisa menggambarkan kondisinya sekarang.Raphael menatap kesal ke arah cermin- tepatnya pada sudut bibirnya yang membiru dengan tambahan darah kering disana. Lelaki itu kembali menyalakan keran dan mencuci mukanya berkali-kali, meskipun begitu sebanyak apapun ia membasuh wajahnya luka itu tidak akan menghilang.Jika dibandingkan dengan luka yang ia terima, luka Halley pasti jauh lebih parah dari dirinya. Sejujurnya ia tidak merasa kesal karena wajahnya terluka, tapi alasan dibalik luka di wajahnya yang membuatnya merasa marah setiap kali melihatnya.“Sadarlah, kau memang sudah kalah dariku!”Ucapan Mark Halley kembali menggema di telinganya setiap kali ia memandang wajahnya di cermin. Jika saja pria sial itu tidak berusaha memprovokasinya mungkin dirinya tidak akan pernah punya niatan untuk menghantam wajah Halley lebih dulu.Raphael berbalik meninggalkan kamar mandi dan merebahkan tubuh
Raphael nyaris mengumpat ketika tubuhnya tergelincir di tangga mansion sial milik Daniel.Jika saja bukan karena air yang sudah bercampur lumpur itu menggenang di atas anak tangga, kejadian seperti ini pasti tidak akan menimpanya. Ia benar-benar tak habis pikir kenapa Daniel tak pernah bisa mengurus tempat tinggalnya dengan baik.Ia meringis ketika merasakan kepalanya berdenyut hebat setelah terbentur tadi. Beberapa butler terlihat sibuk menghubungi dokter keluarga Radcliff yang entah kapan akan segera datang, mengingat lokasi kastil ini yang jauh dari pusat kota.“Damn! Apa yang terjadi padamu?!” suara Daniel berteriak menggelegar di ruang tengah membuat kepalanya semakin pening.Raphael menjawab dengan datar, “Jangan berteriak, suaramu membuat kepalaku semakin sakit.”Namun Daniel mengabaikannya dan kembali membuat suara berisik ketika melihat kemejanya kotor karena tetesan darah yang mengucur dari pelipi
“Aku tak menyangka sekolah ini penuh dengan orang-orang terkutuk!”Serena Kenward memaki dengan suara tinggi sebelum melempar ponsel yang tak bersalah itu ke meja. Dirinya kini hanya bisa tertawa ringan melihat raut muka masam putri tunggal keluarga Kenward yang sudah merah membara karena kesal. Well, ini adalah hal wajar yang terjadi setiap hari senin pagi, semua orang pasti akan merasa kesal setelah membaca cuitan hangat dari para pendosa yang muncul di laman berita sekolah.“Kupikir kita harus benar-benar mengakhiri Secret.” Serena menatap wajahnya lekat.Mendengar itu ia hanya mengibaskan tangannya malas, “Come on Serena, jangan terlalu dipikirkan. Lebih baik kau segera menyelesaikan make-up mu sekarang.” Ucapnya santai.Secret. Konten kontroversial pembawa masalah yang paling ditunggu kehadirannya setiap awal pekan.Seperti namanya, Secret menampung berbagai macam rahasia tersembun