“Wah, serius. Daniel bukan tandingan Marc Halley dalam basket!”
Kaylee tersenyum menanggapi ucapan Mary- teman barunya dari klub jurnalis. Semenjak ia masuk di dalam klub itu, semua orang bersikap canggung padanya. Dan hanya Mary satu-satunya orang yang masih tampak ceria di dekatnya. Meski Mary lebih tua setahun darinya, ia merasa kini dirinya cukup dekat dan nyaman berteman dengan Mary.
“Tapi kau masih saja menyukainya kan?” Kaylee terkikik pelan ketika mendapati wajah Mary yang memerah karena ucapannya.
Saat istirahat berlangsung, gadis itu sering mengajaknya duduk di sekitaran lapangan basket untuk mencari angin segar. Tapi ia tahu bukan itu alasan Mary mengajaknya kemari, gadis itu ingin melihat Daniel yang sedang bertanding di sana.
“Jangan membuat rumor tidak benar Kaylee, aku tidak ingin dituduh sebagai penulis pesan menyebalkan tentang Adriana Spencher di Secret minggu lalu.” Mary menatapnya sambil mengacungkan tangannya memperingatkan.
Kaylee hanya tersnyum tipis melihat aksi lucu gadis itu, “Aku tahu kok.” Katanya.
Sudah lewat seminggu sejak pemberitaan yang melibatkan Adriana dan Daniel di Secret, namun topik itu masih saja hangat dibicarakan. Bahkan orang-orang tampak tak berminat melirik pesan-pesan yang muncul awal pekan ini. Semua orang sibuk membicarakan berita minggu lalu.
“Ah, Marc mencetak poin lagi!” Kaylee tampak bersemangat melihat lelaki itu kembali mencetak poin dengan teknik lay-up yang berhasil mengecoh Daniel.
Mary menatap gadis di sebelahnya yang tampak gembira itu. Ia tidak yakin, tapi sepertinya pesona Marc Halley mulai bekerja pada gadis polos itu. Tiba-tiba senyum cerah di wajah gadis itu meredup, ia menatap lurus ke arah lapangan.
Di sana ia bisa melihat Marc yang kini tengah bicara serius dengan seorang gadis yang notabene memiliki gelar sebagai calon tunangan lelaki itu.
“Kau yang mengirimkan ini?” Alexandra mengangkat kalung pemberian lelaki itu. ia baru saja mendapatkannya lewat maid pagi ini.
Lelaki itu tampak tak menanggapi ucapannya, sibuk membersihkan keringat yang membasahi tengkuknya. “Halley, jawab aku!” Alexa menghentakkan kakinya tidak sabar.
Marc tambah menghela napasnya lelah, “Benar, aku menitipkan pada maid mu kemarin.”
Alexandra memutar matanya malas, ia tidak suka menerima pemberian barang mewah seperti ini. Intinya dirinya tidak ingin terjebak di situasi rumit hanya karena barang mewah yang diberikan oleh Halley secara cuma-cuma. Belum sempat ia melontarkan protes, lelaki itu menyambar kalung yang berada dalam genggamannya.
“Tidak ada ucapan terima kasih?”
Gadis itu mendelik sebal, “Tidak, karena aku tidak memintamu memberikan itu. Aku tidak bisa menerimanya.” Setelah mengatakan hal itu, Alexa berbalik meninggalkan lelaki itu seperti biasa. Marc kembali memandang punggung gadis itu untuk yang kesekian kalinya, tapi kali ini dirinya tidak akan membiarkan gadis itu pergi.
Alexandra terkesiap ketika Marc menahan lengannya. Dengan gerakan kilat ia memasangkan kalung itu pada lehernya yang terbuka.
“Marc!”
“Looks good, terlihat sangat cocok denganmu.” Lelaki itu merapikan rambutnya sebelum memandangi liontin berlian yang mengkilat di bawah terpaan sinar matahari.
Kini lelaki itu memandang lurus ke arah dirinya, “Gunakan ini, setidaknya dengan ini ayahmu tidak akan curiga lagi dengan hubungan kita.”
Netra Alexandra menajam ketika Marc menyebutkan tentang ayahnya, jangan-jangan selama ini pria itu sudah melaporkan setiap gerak geriknya pada ayahnya!
“Kau mengancamku rupanya?”
Marc menggeleng, menarik liontin berbentuk rasi bintang yang menggantung di kerah seragamnya. “Tidak, aku hanya memastikan dirimu tetap mengingat posisimu. Nona Alexandra Halley.” katanya.
Alexandra menghela napas marah, ia tak menyangka kini lelaki itu mulai menunjukan taringnya. Salah jika selama ini ia berpikir Marc adalah lelaki yang sama sekali tidak mempermasalahkan apa yang terjadi dengan hubungan mereka, ia berpikir Marc sama lelahnya dengan dirinya yang tidak menginginkan hubungan konyol ini. Tapi tidak, lelaki itu sepertinya memiliki permainannya sendiri dan ia tidak boleh terjebak!
Marc hanya memandang lelah gadis itu yang buru-buru meninggalkannya di sini seorang diri. Jujur saja, sebenarnya ia tak punya niat mengancam Alexandra. Tapi fakta bahwa gadis itu berbohong setelah acara makan malam dengannya itu membuatnya kesal.
‘Kenapa Alexandra tidak berkata jujur padanya jika malam itu ia pergi bersama Raphael?’
Satu hal yang benar-benar ia tidak mengerti dari hubungan ini, ia merasa tak dihargai ketika gadis itu berbohong pada dirinya.
Amarahnya benar-benar memuncak ketika ia tahu malam itu Alexandra tak berada di rumahnya, disana ia bertemu ayah gadis itu yang juga tidak mengetahui dimana keberadaan Alexa. Kepala keluarga De Travis itu sempat menanyakan hubungannya dengan Alexandra, namun ia berhasil berkelit dengan baik. Tapi rasa kesal memuakkan itu terus mengganggunya, hingga akhirnya ia memutuskan untuk melakukan ini. Agar bisa memastikan gadis itu terus berada di sisinya.
“Kaylee, ayo kita pergi.” Mary menyadarkan gadis yang tengah menatap kosong ke arah lapangan.
Gadis itu masih bergeming untuk sesaat, “Mereka dekat?” tanyanya.
“Apa?”
Kaylee manatap ke arah Mary dengan serius, “Apakah mereka dekat? Alexandra De Travis dan Marc Halley.”
Mary menjawab dengan ragu, “Yah, setahuku mereka cukup dekat karena keluarga mereka saling mengenal.” Ia tidak ingin membertahukan hubungan yang sudah menjadi rahasia umum antara Marc dan Alexandra serta rumor pertunangan keduanya tahun depan. Dirinya hanya merasa tidak tega, melihat Kaylee yang tampaknya menaruh hati pada putra bungsu keluarga Halley. Kaylee sudah ia anggap seperti adiknya sendiri, dirinya tidak ingin melukai hati gadis itu.
Kaylee tampak tersenyum lega, “Kupikir mereka punya hubungan khusus, ayo kembali ke kelas.” Gadis itu berdiri dengan senyuman ramah yang selalu terpatri di wajah manisnya.
“Ah, oke.” Mary mengikuti Kaylee dari belakang, dirinya tidak ingin Kaylee merasakan sakit hati seperti yang ia alami. Sudahlah, ia hanya bisa berdoa dan berharap gadis itu selalu baik-baik saja.
***
“Nona Kaylee Jenkins, temui aku setelah kelas berakhir.” Ucapan nada dingin Professor Lassen membuatku harus memilin rok pendek musim panas ini untuk yang kesekian kalinya. Aku masih berdiri dengan tatapanku yang tertuju pada ubin marmer mahal di bawah sana. Meski ingin, aku tidak bisa sekalipun mengalihkan pandanganku dari tatapan intimidasi dan mengejek yang orang-orang berikan padaku saat ini. Aku bisa mendengar helaan napas lelah dari professor itu, “Nona Jenkins kau boleh duduk, baik kita akan lanjutkan pembahasan yang sempat tertunda.” Setelah mendengar itu aku buru-buru merapikan bawahanku dan duduk dengan tegap. Hari ini benar-benar kacau, ia berhasil mempermalukan dirinya sendiri di kelas Bahasa Spanyol. Saat Professor Lassen menyuruhnya untuk membaca artikel dengan Bahasa Spanyol di depan kelas, di saat itulah ia tahu dirinya sudah tamat. Aksennya benar-benar terdengar buruk dan sama sekali tidak lancar. Semua orang menahan tawa mendengar su
Alexandra memijat keningnya lelah ketika mendapati seorang waiter yang tak kini membersihkan pecahan gelas berisi mocktail lemon di sebelahnya. Matanya beralih pada gadis muda di depannya yang berkali-kali mengucapkan maaf dari mulutnya, sedangkan mata Serena berkilat marah hendak bangkit dari duduknya namun Alexa mencegahnya. “Sudahlah, Serena.” Ucapnya menengahi. Ia tak ingin mengambil resiko membiarkan Serena menceramahi waiter itu selama dua puluh menit meskipun ia ingin. Matanya beralih pada sekumpulan gadis yang mengenakan seragam seperti miliknya, kini mereka tampak tertawa sambil melirik sepatunya yang kini sudah basah kuyup karena cairan manis. Ia tertawa sinis, jadi efek berita di Secret sudah sejauh ini? Bahkan seorang putri dari keluarga tak dikenal kini mulai berani mencoba mempermalukannya? Ia sudah tahu sejak tadi jika gadis-gadis menyebalkan itu menatap ke arahnya, hingga mereka memaksa seorang waiter muda m
TAK! “Kau menjatuhkannya kemarin.” Suasana ruang kelasnya kini mendadak terdengar sunyi ketika seorang lelaki itu memberikan sebuah tag nama padanya. Ia memandang lempengan besi itu dengan seksama, KAYLEE JENKINS -ah benar, ini miliknya. Untuk sesaat ia benar-benar merasa tidak percaya dengan pengelihatannya. Lelaki yang selama ini hanya bisa ia pandang dari jauh kini berdiri tepat di depan wajahnya. Kaylee menatap pandangan heran dari lelaki itu, pandangan lembut itu benar-benar menarik perhatiannya. “Halo, ini benar milikmu ‘kan?” Gadis itu terkesiap malu karena ketahuan memandang pria itu secara terang-terangan. Cepat-cepat ia mengambil name tag miliknya, “Ah benar, terimakasih sudah mengembalikannya.” Mark tersenyum tipis, ‘Ah jadi ini? Gadis yang sangat dihindari oleh calon tunangannya’ “Tidak masalah, lain kali sebaiknya lebih hati-hati.” Setelah mengatakan itu Mark pergi menuju k
“Sepuluh hari lagi kita akan me-launching majalah tahunan sekolah, aku harap kalian semua segera melakukan wawancara sesuai bagian yang diputuskan kemarin. Apa ada yang keberatan?” Raphael kini menatap lurus ke arah anggota tim jurnalisnya dengan datar.Tidak ada yang menjawab, mereka saling bertukar pandang bingung. Tentu saja bukan karena mereka tidak mengerti tugas yang Raphael berikan, semua orang sibuk menduga-duga alasan di balik luka lebam yang membiru di sudut bibir pria itu.Beberapa hari yang lalu Raphael terlibat perkelahian dengan Mark Halley, pimpinan student council yang terkenal sangat menjaga sikap. Meski sudah menjadi rahasia umum jika kedua pria itu terlibat perang dingin selama bertahun-tahun, tetapi tidak ada yang tahu dari mana asal mula pertengkaran dua lelaki itu kemarin.Bahkan kabarnya setelah masuk ruang detensi pun, tidak satupun dari mereka yang mau menjelaskan alasan yang sebenarnya. Mr. Roxane bahkan me
Sangat buruk.Itu adalah kata yang bisa menggambarkan kondisinya sekarang.Raphael menatap kesal ke arah cermin- tepatnya pada sudut bibirnya yang membiru dengan tambahan darah kering disana. Lelaki itu kembali menyalakan keran dan mencuci mukanya berkali-kali, meskipun begitu sebanyak apapun ia membasuh wajahnya luka itu tidak akan menghilang.Jika dibandingkan dengan luka yang ia terima, luka Halley pasti jauh lebih parah dari dirinya. Sejujurnya ia tidak merasa kesal karena wajahnya terluka, tapi alasan dibalik luka di wajahnya yang membuatnya merasa marah setiap kali melihatnya.“Sadarlah, kau memang sudah kalah dariku!”Ucapan Mark Halley kembali menggema di telinganya setiap kali ia memandang wajahnya di cermin. Jika saja pria sial itu tidak berusaha memprovokasinya mungkin dirinya tidak akan pernah punya niatan untuk menghantam wajah Halley lebih dulu.Raphael berbalik meninggalkan kamar mandi dan merebahkan tubuh
Raphael nyaris mengumpat ketika tubuhnya tergelincir di tangga mansion sial milik Daniel.Jika saja bukan karena air yang sudah bercampur lumpur itu menggenang di atas anak tangga, kejadian seperti ini pasti tidak akan menimpanya. Ia benar-benar tak habis pikir kenapa Daniel tak pernah bisa mengurus tempat tinggalnya dengan baik.Ia meringis ketika merasakan kepalanya berdenyut hebat setelah terbentur tadi. Beberapa butler terlihat sibuk menghubungi dokter keluarga Radcliff yang entah kapan akan segera datang, mengingat lokasi kastil ini yang jauh dari pusat kota.“Damn! Apa yang terjadi padamu?!” suara Daniel berteriak menggelegar di ruang tengah membuat kepalanya semakin pening.Raphael menjawab dengan datar, “Jangan berteriak, suaramu membuat kepalaku semakin sakit.”Namun Daniel mengabaikannya dan kembali membuat suara berisik ketika melihat kemejanya kotor karena tetesan darah yang mengucur dari pelipi
“Aku tak menyangka sekolah ini penuh dengan orang-orang terkutuk!”Serena Kenward memaki dengan suara tinggi sebelum melempar ponsel yang tak bersalah itu ke meja. Dirinya kini hanya bisa tertawa ringan melihat raut muka masam putri tunggal keluarga Kenward yang sudah merah membara karena kesal. Well, ini adalah hal wajar yang terjadi setiap hari senin pagi, semua orang pasti akan merasa kesal setelah membaca cuitan hangat dari para pendosa yang muncul di laman berita sekolah.“Kupikir kita harus benar-benar mengakhiri Secret.” Serena menatap wajahnya lekat.Mendengar itu ia hanya mengibaskan tangannya malas, “Come on Serena, jangan terlalu dipikirkan. Lebih baik kau segera menyelesaikan make-up mu sekarang.” Ucapnya santai.Secret. Konten kontroversial pembawa masalah yang paling ditunggu kehadirannya setiap awal pekan.Seperti namanya, Secret menampung berbagai macam rahasia tersembun
TAK TAK TAKSuara ketukan sepatu terdengar dengan jelas seakan bergema di seantero koridor kafetaria. Semua orang kini sibuk berbisik-bisik sambil menatap ke arah gadis yang duduk sendirian di sudut ruangan. Berkat postingan di Secret pagi ini, mantan kekasih Daniel Radcliff itu kini terlihat sangat menyedihkan.TukLangkah kaki itu terhenti, di depan meja gadis malang yang kini sudah tak sanggup mengangkat wajahnya lagi. Suara bisik-bisik terdengar semakin nyaring ketika mereka melihat Alexandra De Travis meletakan nampan makan siangnya di depan Adriana Spencher dan duduk di sana.“Kau telat berangkat lagi? Aku tak melihatmu di kelas pagi ini.”Sapaan Alexa membuat Adriana membanting alat makannya ke meja dengan keras, “Menurutmu? Apa aku harus datang untuk melihat semua orang menggunjingku di pagi hari?” Putri tunggal keluarga Spencher itu kini membentak Alexa dengan nada tinggi, hingga membuat mereka berdua sukses menjadi