Seorang pria kini menatap ke arahnya dengan sorot mata menyelidik, “Apa itu benar?” Lelaki itu bertanya.
“Aku tidak menemuimu untuk mendengar pertanyaan yang sama seperti ini, Halley.”
Lelaki itu tampak menahan rasa kesalnya yang kian meluap. Setelah berhari-hari Alexandra mengabaikan pesan dan teleponnya, Marc memutuskan untuk datang langsung ke kediaman gadis itu memastikan kebenaran rumor yang beredar di Secret. Tapi sepertinya usahanya kali ini sia-sia, gadis itu sama sekali tak berminat menjawab pertanyaannya dengan jawaban yang pasti.
“Komite sekolah sudah mendengar masalah ini, aku yang akan mengurusnya dan memastikan rumor itu segera berakhir besok.”
“Berhenti mencampuri urusanku, Marc!” Alexandra bangkit dari duduknya karena kesal, ia tidak mengerti kenapa lelaki ini selalu saja berusaha mencampuri urusannya.
Marc membuang mukanya ke arah lain, “Kita akan segera bertunangan Alexa.” Ucapnya mencoba mengingatkan posisi gadis itu.
“Lalu? Kau pikir kau berhak mencampuri semua urusan pribadiku? Kita semua tahu, tidak ada yang menginginkan pertunangan sial ini. Jadi berhenti mengganggu semua urusan pribadiku, mind your own bussiness.” Katanya sebelum benar-benar pergi meninggalkan lelaki itu.
Sedangkan Marc hanya bisa menghela napasnya kesal untuk yang kesekian kali. Ia memang pernah berkata jika gadis yang berstatus sebagai calon tunangannya itu memang memiliki kepribadian tenang, tapi dirinya lupa jika gadis itu bisa benar-benar keras kepala seperti ini.
“Apa anda ingin bertemu dengan Tuan Nicholas?” salah satu maid bertanya padanya.
Ia menggeleng, “Tidak, aku hanya ingin bicara dengan Alexandra. Tolong berikan ini padanya jika dia sudah pulang.” Marc menyodorkan sebuah kotak beludru pada maid. Karena sibuk bertengkar dengan Alexandra, ia sampai melupakan kotak berisi hadiah kecil untuk calon tunangannya itu. Dirinya bahkan tidak yakin, apakah gadis itu akan menerima hadiahnya itu atau tidak setelah pertengkaran mereka hari ini.
“Saya rasa Nona Alexandra pasti akan senang dengan hadiah ini.”
Marc merasakan hatinya menghangat mendengar ucapan maid itu, seakan mengerti kekhawatirannya.
“Benar, semoga saja Alexa menyukainya.” Ucapnya pelan. Entah apa yang ia pikirkan tapi dirinya berharap Alexa akan menyukai hadiahnya kali ini. Ia berharap setidaknya Alexandra bisa melihatnya untuk sesaat saja.
Dirinya tidak mengerti, apakah ini artinya ia benar-benar jatuh akan pesona seorang gadis bernama Alexandra?
***
“Berisik, Serena!” Alexa menggeram kesal setelah melihat Serena mengencangkan suara musik hingga batas maksimal.
Sedangkan gadis itu sibuk menikmati alunan musik EDM yang memenuhi mobil mereka “Come on, sudah berapa lama kita tidak bersenang-senang seperti ini Lexa?” Ujarnya sambil tertawa riang.
“Baru seminggu yang lalu, kau sudah gila?!” Alexandra kembali memekik ketika Serena membuka jendela mobilnya dan melambaikan tangannya ke arah pengguna jalan secara random di luar sana.
Hari ini benar-benar akhir pekan yang luar biasa. Setelah menghabiskan waktu interogasi dengan ayahnya pagi ini, Marc tiba-tiba datang ke rumahnya karena ia menghindari pria itu berhari-hari. Lalu setelah berhasil lolos dari lelaki itu, ia kini justru terjebak dengan Serena yang mulai kehilangan akal sehatnya.
Ia memandang sepupunya yang tengah mengetukkan jarinya di dashboard mobil miliknya, “Mobilmu benar-benar keren, aku akan meminta yang seperti ini dari ayah saat ulang tahunku.” Ucap Serena.
Alexandra memutar bola matanya, “Kau sudah dewasa, berhenti merepotkan ayahmu. Kau harus sekolah dengan serius.”
Mendengar jawabannya, Serena kini menatapnya dengan wajah cemberut. “Menurutmu? Aku sudah benar-benar serius saat sekolah, tapi lihat peringkatku hanya naik 1 tingkat semester lalu! Astaga menyebalkan.”
Alexandra tertawa ringan mendengarkan ocehan saudaranya, “Peringkat sepuluh? Baguslah, setidaknya kau masuk sepuluh besar. Aku akan membelikanmu tas baru nanti.”
“Yeay, kau memang yang terbaik!”
Alexandra hanya tersenyum tipis mendengar Serena yang kini tersenyum gembira. Dulu ia hanya memilik kakak, sehingga ia tidak tahu bagaimana rasanya memiliki seorang adik. Tetapi semenjak kedatangan Serena, ia merasa cukup terhibur dengan tingkahnya yang masih kekanakan.
“Persaingan di Van Andreas benar-benar buruk, aku sudah berulang kali menolak bersekolah di sini tetapi ayah terus saja memaksaku. Andai saja aku masih bersama ibu.” Raut Serena kini mendadak muram ketika mengingat ibunya.
Ia tahu, Serena kini tinggal terpisah dengan ibunya selama bertahun-tahun. Bibinya itu harus mendapatkan rehabilitasi setelah diduga mengidap gangguan kejiwaan serius. Serena yang masih kecil ditinggalkan oleh ibunya itu sering menghabiskan waktu di rumahnya. Tak jarang gadis itu menginap di kediaman De Travis setelah berselisih paham dengan ayahnya. Semakin bertambahnya hari ia merasa iba dengan kondisi Serena, Alexa memutuskan untuk menemani gadis itu ketika ia memiliki waktu senggang di sela-sela kegiatannya yang menumpuk.
“Jangan khawatir, bibi pasti akan segera kembali.” Alexandra kini mencoba menghibur gadis itu.
Mendengar itu Serena hanya mengalihkan pandangannya dan bergumam pelan, “Mungkin saja. Tapi ibu bahkan tidak menemaniku menyiapkan pesta untukku, padahal ini ulang tahunku yang ke tujuh belas.”
Alexandra merasa canggung dengan atmosfer di sekelilingnya, ia lebih memilih Serena bersikap gila seperti tadi daripada melihat wajah muram gadis itu. Alexa menekan tombol untuk membuka atap sportcar nya sebelum melajukannya dengan kecepatan tinggi, Serena menatapnya kaget karena aksi dadakannya barusan.
“Aku yang akan membantumu menyiapkan semuanya, okay? Hari ini kita akan bersenang-senang sepuasnya!” Alexa berteriak di sela-sela hembusan angin yang cukup kuat.
Serena tersenyum melihat tingkah kekanakan Alexandra, jarang-jarang gadis itu melakukan hal seperti ini hanya untuk menghiburnya.
“Benar, kita harus bersenang-senang seharian!” Serena menyetujui ucapan sepupunya itu dengan mengangkat tangan tinggi-tinggi.
Benar, hari ini kita akan bersenang-senang karena semuanya sudah dimulai.
***
“Kau melewatkan makan malam bersama.”Suara dingin itu menyapaku ketika kakiku baru saja memasuki ruang tengah. Ayah yang tampak sedang menikmati kopi hitam itu kini menatapku dengan tatapan yang menyebalkan.Aku mengernyitkan dahi heran, “Aku tidak lapar, aku akan langsung mandi dan tidur.” Ucapku sekenanya. Sungguh, aku tidak ingin terlibat interogasi dadakan untuk yang kesekian kalinya setelah selesai bersenang-senang dengan Serena.Lagipula, ini bukan pertama kali untuknya melewatkan acara basa-basi yang disebut makan malam itu. Seharusnya ayahnya tidak perlu sampai menunggunya pulang seperti ini, lalu idenya menikmati kopi di tengah malam sebagai alibi benar-benar buruk. Melihat pria setengah baya itu terdiam aku memutuskan melanjutkan perjalananku menuju lantai atas yang sempat tertunda.“Apa hubunganmu dengan Marc Halley baik-baik saja?” Langkahku terhenti, Pertanyaan singkat yang ditanyakan ayahnya semakin meyak
“Wah, serius. Daniel bukan tandingan Marc Halley dalam basket!” Kaylee tersenyum menanggapi ucapan Mary- teman barunya dari klub jurnalis. Semenjak ia masuk di dalam klub itu, semua orang bersikap canggung padanya. Dan hanya Mary satu-satunya orang yang masih tampak ceria di dekatnya. Meski Mary lebih tua setahun darinya, ia merasa kini dirinya cukup dekat dan nyaman berteman dengan Mary. “Tapi kau masih saja menyukainya kan?” Kaylee terkikik pelan ketika mendapati wajah Mary yang memerah karena ucapannya. Saat istirahat berlangsung, gadis itu sering mengajaknya duduk di sekitaran lapangan basket untuk mencari angin segar. Tapi ia tahu bukan itu alasan Mary mengajaknya kemari, gadis itu ingin melihat Daniel yang sedang bertanding di sana. “Jangan membuat rumor tidak benar Kaylee, aku tidak ingin dituduh sebagai penulis pesan menyebalkan tentang Adriana Spencher di Secret minggu lalu.” Mary menatapnya sambil mengacungkan tangannya memperingatkan.
“Nona Kaylee Jenkins, temui aku setelah kelas berakhir.” Ucapan nada dingin Professor Lassen membuatku harus memilin rok pendek musim panas ini untuk yang kesekian kalinya. Aku masih berdiri dengan tatapanku yang tertuju pada ubin marmer mahal di bawah sana. Meski ingin, aku tidak bisa sekalipun mengalihkan pandanganku dari tatapan intimidasi dan mengejek yang orang-orang berikan padaku saat ini. Aku bisa mendengar helaan napas lelah dari professor itu, “Nona Jenkins kau boleh duduk, baik kita akan lanjutkan pembahasan yang sempat tertunda.” Setelah mendengar itu aku buru-buru merapikan bawahanku dan duduk dengan tegap. Hari ini benar-benar kacau, ia berhasil mempermalukan dirinya sendiri di kelas Bahasa Spanyol. Saat Professor Lassen menyuruhnya untuk membaca artikel dengan Bahasa Spanyol di depan kelas, di saat itulah ia tahu dirinya sudah tamat. Aksennya benar-benar terdengar buruk dan sama sekali tidak lancar. Semua orang menahan tawa mendengar su
Alexandra memijat keningnya lelah ketika mendapati seorang waiter yang tak kini membersihkan pecahan gelas berisi mocktail lemon di sebelahnya. Matanya beralih pada gadis muda di depannya yang berkali-kali mengucapkan maaf dari mulutnya, sedangkan mata Serena berkilat marah hendak bangkit dari duduknya namun Alexa mencegahnya. “Sudahlah, Serena.” Ucapnya menengahi. Ia tak ingin mengambil resiko membiarkan Serena menceramahi waiter itu selama dua puluh menit meskipun ia ingin. Matanya beralih pada sekumpulan gadis yang mengenakan seragam seperti miliknya, kini mereka tampak tertawa sambil melirik sepatunya yang kini sudah basah kuyup karena cairan manis. Ia tertawa sinis, jadi efek berita di Secret sudah sejauh ini? Bahkan seorang putri dari keluarga tak dikenal kini mulai berani mencoba mempermalukannya? Ia sudah tahu sejak tadi jika gadis-gadis menyebalkan itu menatap ke arahnya, hingga mereka memaksa seorang waiter muda m
TAK! “Kau menjatuhkannya kemarin.” Suasana ruang kelasnya kini mendadak terdengar sunyi ketika seorang lelaki itu memberikan sebuah tag nama padanya. Ia memandang lempengan besi itu dengan seksama, KAYLEE JENKINS -ah benar, ini miliknya. Untuk sesaat ia benar-benar merasa tidak percaya dengan pengelihatannya. Lelaki yang selama ini hanya bisa ia pandang dari jauh kini berdiri tepat di depan wajahnya. Kaylee menatap pandangan heran dari lelaki itu, pandangan lembut itu benar-benar menarik perhatiannya. “Halo, ini benar milikmu ‘kan?” Gadis itu terkesiap malu karena ketahuan memandang pria itu secara terang-terangan. Cepat-cepat ia mengambil name tag miliknya, “Ah benar, terimakasih sudah mengembalikannya.” Mark tersenyum tipis, ‘Ah jadi ini? Gadis yang sangat dihindari oleh calon tunangannya’ “Tidak masalah, lain kali sebaiknya lebih hati-hati.” Setelah mengatakan itu Mark pergi menuju k
“Sepuluh hari lagi kita akan me-launching majalah tahunan sekolah, aku harap kalian semua segera melakukan wawancara sesuai bagian yang diputuskan kemarin. Apa ada yang keberatan?” Raphael kini menatap lurus ke arah anggota tim jurnalisnya dengan datar.Tidak ada yang menjawab, mereka saling bertukar pandang bingung. Tentu saja bukan karena mereka tidak mengerti tugas yang Raphael berikan, semua orang sibuk menduga-duga alasan di balik luka lebam yang membiru di sudut bibir pria itu.Beberapa hari yang lalu Raphael terlibat perkelahian dengan Mark Halley, pimpinan student council yang terkenal sangat menjaga sikap. Meski sudah menjadi rahasia umum jika kedua pria itu terlibat perang dingin selama bertahun-tahun, tetapi tidak ada yang tahu dari mana asal mula pertengkaran dua lelaki itu kemarin.Bahkan kabarnya setelah masuk ruang detensi pun, tidak satupun dari mereka yang mau menjelaskan alasan yang sebenarnya. Mr. Roxane bahkan me
Sangat buruk.Itu adalah kata yang bisa menggambarkan kondisinya sekarang.Raphael menatap kesal ke arah cermin- tepatnya pada sudut bibirnya yang membiru dengan tambahan darah kering disana. Lelaki itu kembali menyalakan keran dan mencuci mukanya berkali-kali, meskipun begitu sebanyak apapun ia membasuh wajahnya luka itu tidak akan menghilang.Jika dibandingkan dengan luka yang ia terima, luka Halley pasti jauh lebih parah dari dirinya. Sejujurnya ia tidak merasa kesal karena wajahnya terluka, tapi alasan dibalik luka di wajahnya yang membuatnya merasa marah setiap kali melihatnya.“Sadarlah, kau memang sudah kalah dariku!”Ucapan Mark Halley kembali menggema di telinganya setiap kali ia memandang wajahnya di cermin. Jika saja pria sial itu tidak berusaha memprovokasinya mungkin dirinya tidak akan pernah punya niatan untuk menghantam wajah Halley lebih dulu.Raphael berbalik meninggalkan kamar mandi dan merebahkan tubuh
Raphael nyaris mengumpat ketika tubuhnya tergelincir di tangga mansion sial milik Daniel.Jika saja bukan karena air yang sudah bercampur lumpur itu menggenang di atas anak tangga, kejadian seperti ini pasti tidak akan menimpanya. Ia benar-benar tak habis pikir kenapa Daniel tak pernah bisa mengurus tempat tinggalnya dengan baik.Ia meringis ketika merasakan kepalanya berdenyut hebat setelah terbentur tadi. Beberapa butler terlihat sibuk menghubungi dokter keluarga Radcliff yang entah kapan akan segera datang, mengingat lokasi kastil ini yang jauh dari pusat kota.“Damn! Apa yang terjadi padamu?!” suara Daniel berteriak menggelegar di ruang tengah membuat kepalanya semakin pening.Raphael menjawab dengan datar, “Jangan berteriak, suaramu membuat kepalaku semakin sakit.”Namun Daniel mengabaikannya dan kembali membuat suara berisik ketika melihat kemejanya kotor karena tetesan darah yang mengucur dari pelipi