“Lexa, cepat menjauh!”
Gadis kecil yang masih berusaha mendorong pintu mobil itu sama sekali tak menghiraukan ucapan lelaki yang nyaris sekarat di depannya.
“Lexa!”
“Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum mengeluarkanmu dari sini!”
BRAK BRAK
PRANGG
Suara pecahan kaca menggema di dalam terowongan yang sunyi itu. Tangan rapuh milik gadis itu kini sudah berlumuran dengan darah, tapi gadis kecil itu tetap berusaha menyingkirkan kaca yang menghalanginya dengan wajah sembab karena menangis sejak tadi.
“Kak! Cepat keluar sebelum tiang itu jatuh! Aku akan menyingkirkan kaca ini lalu-”
“Alexandra De Travis!”
Bentakan yang keluar dari bibir pria itu membuat Alexa kecil tersentak, namun suara lembut kakaknya kembali terdengar saat mengisyaratkannya untuk segera pergi.
“Pergi dari sini sekarang, cari bantuan lalu kembali kesini lagi oke? Kita berdua akan kembali dengan selamat.”
Mendengar hal itu Alexandra menggelengkan kepalanya kuat-kuat, ia tahu lelaki itu hanya ingin menjauhkan dirinya ketika kakaknya menghadapi saat terakhirnya. Apanya yang kembali dengan selamat? Ia tahu jika dirinya pergi maka hanya dirinyalah yang bisa kembali dengan selamat, karena tidak ada satupun mobil yang melintas sejak tadi. Ia tak bisa mengulur waktu untuk mencari bantuan, hanya dirinyalah yang bisa menolong kakaknya sekarang!
Matanya kini menatap ke arah tiang penyangga lampu jalan yang sebentar lagi akan jatuh, ia sadar jika dirinya tak punya banyak waktu.
“Kak aku-“
“Tunggu, sepertinya ada seseorang di sana!” Lelaki itu buru-buru memotong ucapannya.
Alexa kecil kini menoleh ke arah pandang netra cokelat terang kakaknya, tapi hanya jalanan lapang kosong yang bisa ia lihat.
Namun, ia menyadari sesuatu-
“Kakak menyayangimu Lexa, selamat tinggal.”
Ucapan lirih dari balik tubuhnya membuat seluruh badannya menegang, sial-
BRAKKKK!
Tidak-
“EZRA!”
Aku menggapai udara kosong di depanku,
tidak ada siapapun di sana.
Aku bangkit duduk, berusaha menenangkan diri dari bayangan yang sudah lama ingin ku tinggalkan. Tanpa sadar kedua tanganku kini tengah meremas rambut hitamku yang terurai dengan kasar. Tidak, aku tidak ingin mengingat apapun. Meski aku mengingat setiap detail peristiwa sial itu, aku ingin melupakan segalanya.
Napasku masih memburu ketika kembali mengingat untaian ingatan itu, ku lirik sebuah jam digital yang terletak di atas nakas.
Pukul dua pagi, masih terlalu pagi untuk bangun. Tapi berkat memori menyebalkan yang kembali muncul, aku benar-benar terjaga sekarang. Mataku memandang ke arah gaun sifon yang sudah kusut, sepertinya aku benar-benar tidur saat sedang bersembunyi bersama Raphael.
Well, Raphael pasti kerepotan saat membawanya kembali pulang. Ia sudah tahu pria itu pasti mengucapkan sumpah serapah karena lagi-lagi dirinya merepotkan Raphael.
Alexandra kembali merebahkan tubuhnya di kasur, dirinya terlalu lelah untuk mengganti pakaiannya dengan gaun tidur. Ia membayangkan jika saja Miss Evelyn tahu perbuatannya hari ini, pasti sang tutor etikanya itu tak akan berhenti menceramahinya sebelum jadwal kelas berakhir.
‘Anda harus bersikap seperti gadis terhormat, karena anda-‘
“Adalah seorang keturunan De Travis” Alexa melanjutkan ucapan yang biasanya dilontarkan oleh Miss Evelyn saat berada di kelas etika. Menjadi keturunan keluarga De Travis adalah malapetaka, baik untuknya maupun Ezra.
Hah, ia benar-benar merasa lelah dengan semua orang kolot yang berada di sekitarnya. Dirinya dipaksa mengikuti aturan kehidupan yang sangat ketat layaknya putri bangsawan pada abad kelima belas. Tata cara berdansa, makan, duduk, berjalan hingga tidur semua etika yang mengutamakan sikap elegan itu benar-benar membuatnya muak.
Namun ia tahu, dirinya belum berada pada posisi yang cukup kuat untuk menolak. Bagaikan tradisi turun temurun, semua hal menyebalkan itu harus dapat ia kuasai sebelum mencapai umur dewasa. Tapi untuk hari ini saja, ia ingin melupakan semua aturan tidak masuk akal di rumah ini.
Persetan dengan etika! Ia hanya ingin menjadi seorang gadis malas saja untuk sekarang.
**
Seorang lelaki kini tengah menatap tajam ke arah sebuah Macbook yang berada di tengah-tengah meja rapat. Semua orang yang duduk saling berhadapan di depannya kini menunduk dalam, tidak ada yang berani membalas tatapan marah dari seorang Raphael Eusford.
“Kenapa aku baru tahu sekarang? Apa kalian tahu konsekuensi yang terjadi jika komite sekolah turun tangan atas masalah ini?” Raphael bertanya
Ruangan itu kembali hening sebelum lelaki itu kembali bicara dengan nada satu oktaf lebih tinggi. “Kenapa kalian membiarkan berita sampah seperti itu berada di Secret?!”
“Hentikan Raph! Secret adalah tanggung jawabku, kau tidak punya hak memarahi mereka semua.” Alexandra muncul tiba-tiba dari sebuah pintu yang sejak tadi tertutup rapat.
“Semuanya keluar, aku akan bertanggung jawab penuh atas masalah ini.” Ia kini telah berdiri tegak di depan lelaki itu.
Tanpa basa-basi semua yang ada di dalam ruang rapat itu segera keluar, tidak ada yang ingin terlibat dengan pertengkaran dua manusia keras kepala itu. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi setelah ini, apapun itu yang pasti bukan hal baik.
“Kau harus segera menghapus berita sampah itu dari Secret.” Raphael menatap Alexa dengan tatapan marah.
Alexandra memalingkan wajahnya ke arah samping, menghindari tatapan intimidasi dari lawan bicaranya. Terkadang dirinya tidak mengerti kenapa Raphael bisa semengerikan ini saat marah, astaga bahkan anggota klub jurnalis yang lain harus terkena akibat dari keteledorannya kali ini.
“Alexa, tentang postingan itu-“
“Kenapa? Apa yang akan kau lakukan padaku kalau itu semua memang benar-benar terjadi?” ia memotong ucapan lelaki itu cepat.
“Kau akan marah padaku karena ternyata aku bukan orang baik seperti yang kau bayangkan? Aku mengakuinya, itu memang perbuatanku.” sambungnya.
Raphael menatap Alexandra dengan tatapan tidak percaya. “Jadi itu sebabnya hubunganmu dengan Kaylee Jenkins menjadi buruk?”
“Well, aku tak ingin mendeskripsikan bagaimana hubunganku dengan gadis itu.” ucapnya sarkastik.
“Lalu kenapa kau melakukan hal seperti itu pada Nona Jenkins?”
“Entahlah, apapun penyebabnya semua itu tidak ada urusannya denganmu.”
“Alexa!”
Aku tersentak ketika mendengar nada tinggi yang bergema di ruangan sempit itu. Sejenak aku seperti tidak bisa mengenali Raphael, ia terasa seperti orang yang sangat berbeda. Tatapan terluka yang sebelumnya tidak pernah kulihat, sekarang aku melihatnya berulang kali muncul di dalam netra gelap lelaki itu. Sejujurnya aku cukup bersyukur masih bisa mempertahankan sikap angkuhku di depan pria itu, tapi mendengar luapan amarahnya kini membuat kakiku bergerak gelisah.
Dia, seperti bukan Raphael yang ku kenal.
Kami hanya terdiam, tidak ada salah satu diantara kami berusaha memecah keheningan. Tentu saja ini terjadi karena postingan Secret yang muncul secara tiba-tiba beberapa hari lalu, padahal seharusnya Secret hanya muncul setiap hari Senin. Ah, sepertinya orang-orang baru menyadari ada postingan rumor tentang dirinya hari ini karena mereka terlalu sibuk dengan kabar mengejutkan dari Adriana Spencher dan Daniel kemarin.
‘AKU MEMILIKI KENALAN BARU HARI INI, TERNYATA DIA ADALAH KORBAN PERUNDUNGAN DARI ALEXANDRA DE TRAVIS LIMA TAHUN YANG LALU! SIAL, GADIS ITU MEMANG BENAR-BENAR MENGERIKAN! TAPI TUNGGU, APAKAH AKU JUGA AKAN DIPUKULI SEPERTI KAYLEE JENKINS JIKA BICARA SEPERTI INI DI SECRET? OH TIDAK- NAMA KORBANNYA BOCOR HAHAHAHA’
Begitulah isi pesan yang membuat Raphael marah besar hari ini.
Alexandra sudah bisa merasakan adanya kejanggalan sejak kedatangan Kaylee Jenkins di dalam klub jurnalis tiga hari lalu. Ia yakin pasti gadis itu yang yang berusaha mengancamnya lewat postingan ini di Secret. Tapi bagaimana dirinya bisa membuktikan jika Jenkins yang melakukannya?
Nama pengirim pesan itu tidak dapat teridentifikasi oleh sistem Secret, pasti seseorang sudah merencanakan ini agar tidak tertangkap. Kepalanya terasa panas karena memikirkan masalah ini sejak pagi, dirinya bahkan tidak menghiraukan perintah Raphael untuk mengadakan rapat mendadak sampai ia mengetahui jika pria itu justru memarahi anggota lain yang tidak bersalah.
Ck, ia yakin Raphael hanya terlalu khawatir padanya. Sama seperti yang Ezra dulu, kakaknya pasti tidak akan tinggal diam mendengar berita seperti itu.
“Kita harus menghapus postingan itu secepatnya.” Lelaki itu menyambar Macbook yang berada di dekatnya dan masuk ke dalam sistem Secret, tetapi Alexa dengan cepat mencegah perbuatan yang bisa menghancurkan nama baiknya itu.
Pilihannya hanya dua,
Jika ia membiarkan postingan ini tetap ada, mungkin akhir pekan nanti ia harus menghabiskan waktunya di dalam ruang kerja ayahnya selama berjam-jam untuk diinterogasi. Tapi jika ia menghapus postingan itu, maka semua orang akan menghakiminya karena dianggap sudah melanggar prinsip yang ia pegang sejak dulu.
‘Tidak menghapus apapun yang berada di Secret’ adalah prinsip hidupnya.
Dilihat dari sisi manapun sudah jelas ini adalah sebuah jebakan!
Alexandra menatap tajam ke arah Raphael, “Kau pikir ini akan selesai dengan menghapusnya? Sudah jelas seseorang berusaha menjatuhkanku, aku tidak boleh jatuh ke dalam perangkap yang mereka buat!” ucapnya penuh tekad.
“Lalu apa yang akan kau lakukan dengan reputasimu? Kau pikir keluarga De Travis akan diam saja saat melihat berita itu meluncur bebas ke mata publik?”
Gadis itu kembali membuang wajahnya, ia tahu betul apa yang sedang dibicarakan oleh Raphael. Posisinya kini menjadi sasaran empuk para pemangsa harta. Bahkan kini dirinya berani bertaruh, semua orang yang berusaha menggulingkannya pasti sedang berusaha menyusun skenario untuk menyingkirkannya. Belum lagi reputasinya di sekolah ini sedang dipertaruhkan, Kaylee Jenkins sial! Ia bersumpah akan membongkar semuanya jika gadis itu benar-benar menjebaknya!
Ia tidak boleh membuang-buang waktu!
Belum sempat memikirkan solusi apapun, kini iphone miliknya berdering. Alexa tidak bisa menahan diri untuk tidak mendesis sebal ketika melihat id caller yang terpampang di atas ponselnya.
Marc Halley.
‘Astaga, kenapa harus di waktu yang tidak tepat seperti ini?!’ batinnya kesal.
**
“Apakah itu benar-benar Alexandra De Travis?”
“Aku tidak terkejut, sudah kuduga dia memang penindas.”
“Keluarga De Travis pasti benar-benar teguncang karena ulah bodoh pewarisnya sekarang.”
Suara itu terus menerus bergema di sepanjang jalan menuju kafetaria yang ramai. Kaylee menunduk dan berjalan cepat untuk mengambil makan siangnya. Ia tidak tahu trik seperti ini benar-benar berhasil mengalihkan opini publik, Kaylee benar-benar bersyukur karena setidaknya ia mendapatkan keuntungan besar dari postingan itu.
Gadis itu mengambil lauknya dengan asal sebelum berjalan ke arah sudut ruangan yang tak terlihat. Namun sepasang sepatu di depannya menghalangi langkahnya,
“Kalau kau terus berjalan dengan menunduk begitu kau bisa jatuh, benar kan Kaylee Jenkins?”
Ia hanya bisa menatap bingung ketika gadis itu tersenyum padanya.
Luciana Oswald.
Kaylee tidak tahu banyak mengenai gadis bermata amber itu, yang ia tahu Luciana adalah musuh bebuyutan Alexandra sejak dulu.
“Perkenalkan aku Luciana Oswald, kau bisa memanggilku Lucy. Mau makan bersama?”
Kata-kata itu seharusnya terdengar seperti tawaran, tapi nada yang diucapkan gadis itu lebih mirip seperti perintah.
Ia terdiam sejenak sebelum memutuskan untuk tidak terlibat dahulu dengan siapapun kali ini, setidaknya sampai waktunya benar-benar tepat.
“Maaf, aku ingin makan sendiri. Terimakasih tawarannya.”
Kaylee hendak melangkahkan kakinya pergi, namun putri keluarga Oswald itu lagi-lagi menghalangi langkahnya.
“Ayolah tidak perlu sungkan, aku tahu kau pasti sangat sedih karena berita pagi ini. Kau bisa berbagi cerita denganku di sana.” Lucy menarik lengannya, memaksa dirinya untuk bergabung.
PLAK!
Keramaian kafetaria perlahan meredup karena lagi-lagi pertengkaran kecil kembali tercipta di tempat itu. Kaylee menepis tangan gadis itu dengan sekali hentakan.
“Tidak, terimakasih. Tinggalkan aku sendiri.”
Seperti baru sadar akan perbuatannya, buru-buru Kaylee menghindari pusat perhatian orang-orang dan kembali meneruskan langkahnya menuju sudut ruangan. Meski begitu, berbagai tatapan iba kini tetap mengarah padanya. Ia yakin pasti dirinya terlihat seperti gadis lemah yang sedang frustasi karena namanya terpampang di dalam Secret.
Samar-samar ia bisa mendengar gerombolan gadis bernama Lucy tadi menertawakannya. Gadis itu menghela napas lega. Ia tidak butuh gadis penjilat seperti Luciana Oswald untuk menyelesaikan semua rencananya, dirinya akan mengambil satu persatu hal berharga milik gadis itu.
Alexandra De Travis, hari ini adalah awal dari segalanya.
***
Seorang pria kini menatap ke arahnya dengan sorot mata menyelidik, “Apa itu benar?” Lelaki itu bertanya. “Aku tidak menemuimu untuk mendengar pertanyaan yang sama seperti ini, Halley.” Lelaki itu tampak menahan rasa kesalnya yang kian meluap. Setelah berhari-hari Alexandra mengabaikan pesan dan teleponnya, Marc memutuskan untuk datang langsung ke kediaman gadis itu memastikan kebenaran rumor yang beredar di Secret. Tapi sepertinya usahanya kali ini sia-sia, gadis itu sama sekali tak berminat menjawab pertanyaannya dengan jawaban yang pasti. “Komite sekolah sudah mendengar masalah ini, aku yang akan mengurusnya dan memastikan rumor itu segera berakhir besok.” “Berhenti mencampuri urusanku, Marc!” Alexandra bangkit dari duduknya karena kesal, ia tidak mengerti kenapa lelaki ini selalu saja berusaha mencampuri urusannya. Marc membuang mukanya ke arah lain, “Kita akan segera bertunangan Alexa.” Ucapnya mencoba mengingatkan posisi gadis itu.
“Kau melewatkan makan malam bersama.”Suara dingin itu menyapaku ketika kakiku baru saja memasuki ruang tengah. Ayah yang tampak sedang menikmati kopi hitam itu kini menatapku dengan tatapan yang menyebalkan.Aku mengernyitkan dahi heran, “Aku tidak lapar, aku akan langsung mandi dan tidur.” Ucapku sekenanya. Sungguh, aku tidak ingin terlibat interogasi dadakan untuk yang kesekian kalinya setelah selesai bersenang-senang dengan Serena.Lagipula, ini bukan pertama kali untuknya melewatkan acara basa-basi yang disebut makan malam itu. Seharusnya ayahnya tidak perlu sampai menunggunya pulang seperti ini, lalu idenya menikmati kopi di tengah malam sebagai alibi benar-benar buruk. Melihat pria setengah baya itu terdiam aku memutuskan melanjutkan perjalananku menuju lantai atas yang sempat tertunda.“Apa hubunganmu dengan Marc Halley baik-baik saja?” Langkahku terhenti, Pertanyaan singkat yang ditanyakan ayahnya semakin meyak
“Wah, serius. Daniel bukan tandingan Marc Halley dalam basket!” Kaylee tersenyum menanggapi ucapan Mary- teman barunya dari klub jurnalis. Semenjak ia masuk di dalam klub itu, semua orang bersikap canggung padanya. Dan hanya Mary satu-satunya orang yang masih tampak ceria di dekatnya. Meski Mary lebih tua setahun darinya, ia merasa kini dirinya cukup dekat dan nyaman berteman dengan Mary. “Tapi kau masih saja menyukainya kan?” Kaylee terkikik pelan ketika mendapati wajah Mary yang memerah karena ucapannya. Saat istirahat berlangsung, gadis itu sering mengajaknya duduk di sekitaran lapangan basket untuk mencari angin segar. Tapi ia tahu bukan itu alasan Mary mengajaknya kemari, gadis itu ingin melihat Daniel yang sedang bertanding di sana. “Jangan membuat rumor tidak benar Kaylee, aku tidak ingin dituduh sebagai penulis pesan menyebalkan tentang Adriana Spencher di Secret minggu lalu.” Mary menatapnya sambil mengacungkan tangannya memperingatkan.
“Nona Kaylee Jenkins, temui aku setelah kelas berakhir.” Ucapan nada dingin Professor Lassen membuatku harus memilin rok pendek musim panas ini untuk yang kesekian kalinya. Aku masih berdiri dengan tatapanku yang tertuju pada ubin marmer mahal di bawah sana. Meski ingin, aku tidak bisa sekalipun mengalihkan pandanganku dari tatapan intimidasi dan mengejek yang orang-orang berikan padaku saat ini. Aku bisa mendengar helaan napas lelah dari professor itu, “Nona Jenkins kau boleh duduk, baik kita akan lanjutkan pembahasan yang sempat tertunda.” Setelah mendengar itu aku buru-buru merapikan bawahanku dan duduk dengan tegap. Hari ini benar-benar kacau, ia berhasil mempermalukan dirinya sendiri di kelas Bahasa Spanyol. Saat Professor Lassen menyuruhnya untuk membaca artikel dengan Bahasa Spanyol di depan kelas, di saat itulah ia tahu dirinya sudah tamat. Aksennya benar-benar terdengar buruk dan sama sekali tidak lancar. Semua orang menahan tawa mendengar su
Alexandra memijat keningnya lelah ketika mendapati seorang waiter yang tak kini membersihkan pecahan gelas berisi mocktail lemon di sebelahnya. Matanya beralih pada gadis muda di depannya yang berkali-kali mengucapkan maaf dari mulutnya, sedangkan mata Serena berkilat marah hendak bangkit dari duduknya namun Alexa mencegahnya. “Sudahlah, Serena.” Ucapnya menengahi. Ia tak ingin mengambil resiko membiarkan Serena menceramahi waiter itu selama dua puluh menit meskipun ia ingin. Matanya beralih pada sekumpulan gadis yang mengenakan seragam seperti miliknya, kini mereka tampak tertawa sambil melirik sepatunya yang kini sudah basah kuyup karena cairan manis. Ia tertawa sinis, jadi efek berita di Secret sudah sejauh ini? Bahkan seorang putri dari keluarga tak dikenal kini mulai berani mencoba mempermalukannya? Ia sudah tahu sejak tadi jika gadis-gadis menyebalkan itu menatap ke arahnya, hingga mereka memaksa seorang waiter muda m
TAK! “Kau menjatuhkannya kemarin.” Suasana ruang kelasnya kini mendadak terdengar sunyi ketika seorang lelaki itu memberikan sebuah tag nama padanya. Ia memandang lempengan besi itu dengan seksama, KAYLEE JENKINS -ah benar, ini miliknya. Untuk sesaat ia benar-benar merasa tidak percaya dengan pengelihatannya. Lelaki yang selama ini hanya bisa ia pandang dari jauh kini berdiri tepat di depan wajahnya. Kaylee menatap pandangan heran dari lelaki itu, pandangan lembut itu benar-benar menarik perhatiannya. “Halo, ini benar milikmu ‘kan?” Gadis itu terkesiap malu karena ketahuan memandang pria itu secara terang-terangan. Cepat-cepat ia mengambil name tag miliknya, “Ah benar, terimakasih sudah mengembalikannya.” Mark tersenyum tipis, ‘Ah jadi ini? Gadis yang sangat dihindari oleh calon tunangannya’ “Tidak masalah, lain kali sebaiknya lebih hati-hati.” Setelah mengatakan itu Mark pergi menuju k
“Sepuluh hari lagi kita akan me-launching majalah tahunan sekolah, aku harap kalian semua segera melakukan wawancara sesuai bagian yang diputuskan kemarin. Apa ada yang keberatan?” Raphael kini menatap lurus ke arah anggota tim jurnalisnya dengan datar.Tidak ada yang menjawab, mereka saling bertukar pandang bingung. Tentu saja bukan karena mereka tidak mengerti tugas yang Raphael berikan, semua orang sibuk menduga-duga alasan di balik luka lebam yang membiru di sudut bibir pria itu.Beberapa hari yang lalu Raphael terlibat perkelahian dengan Mark Halley, pimpinan student council yang terkenal sangat menjaga sikap. Meski sudah menjadi rahasia umum jika kedua pria itu terlibat perang dingin selama bertahun-tahun, tetapi tidak ada yang tahu dari mana asal mula pertengkaran dua lelaki itu kemarin.Bahkan kabarnya setelah masuk ruang detensi pun, tidak satupun dari mereka yang mau menjelaskan alasan yang sebenarnya. Mr. Roxane bahkan me
Sangat buruk.Itu adalah kata yang bisa menggambarkan kondisinya sekarang.Raphael menatap kesal ke arah cermin- tepatnya pada sudut bibirnya yang membiru dengan tambahan darah kering disana. Lelaki itu kembali menyalakan keran dan mencuci mukanya berkali-kali, meskipun begitu sebanyak apapun ia membasuh wajahnya luka itu tidak akan menghilang.Jika dibandingkan dengan luka yang ia terima, luka Halley pasti jauh lebih parah dari dirinya. Sejujurnya ia tidak merasa kesal karena wajahnya terluka, tapi alasan dibalik luka di wajahnya yang membuatnya merasa marah setiap kali melihatnya.“Sadarlah, kau memang sudah kalah dariku!”Ucapan Mark Halley kembali menggema di telinganya setiap kali ia memandang wajahnya di cermin. Jika saja pria sial itu tidak berusaha memprovokasinya mungkin dirinya tidak akan pernah punya niatan untuk menghantam wajah Halley lebih dulu.Raphael berbalik meninggalkan kamar mandi dan merebahkan tubuh