“Bukankah ini agak berlebihan untuk kencan pura-pura?”
Alexa memutar bola matanya malas ketika tak mendapatkan jawaban apapun dari lawan bicaranya. Di tengah iringan musik klasik yang mengalun, kini ruangan itu kembali terisi oleh keheningan.
Ia kembali menatap pria di depannya, Marc Halley.
Lelaki yang dipilihkan oleh keluarganya untuk menjadi calon pendamping selama sisa hidupnya. Astaga, keluarganya memang konyol. Usianya bahkan baru saja menginjak tujuh belas tahun enam bulan yang lalu, tapi mereka sudah cepat-cepat menentukan pasangan masa depannya.
Sebenarnya ini bukan merupakan hal baru bagi kalangan pebisnis kelas atas. Para manusia kaya raya itu akan mulai mencarikan pasangan untuk pewaris mereka demi menjalin kerja sama bisnis dengan perusahaan lain agar harta mereka tetap aman. Singkatnya, dirinya dan Marc kini sedang sama-sama digunakan sebagai ‘alat perjanjian’ oleh keluarga mereka sendiri.
“Aku hanya tidak ingin mendengar nasehat membosankan karena membawa putri keluarga De Travis ke tempat yang tidak layak.” Akhirnya pria itu bersuara setelah sekian lama membisu.
“Kau hanya perlu melakukan reservasi palsu dan katakan pada orang tuamu ‘Alexandra De Travis sangat terkesan dengan kebaikan hati keluarga Halley.’ Lalu sampaikan salamku pada mereka.” Jawabnya gadis itu enteng.
Lelaki itu hanya mengendikkan bahu, “Mereka mengirim orang untuk memastikan reservasi disini, apa boleh buat?”
Sesuai prediksi, pria ini tentu saja tidak akan repot-repot menyiapkan makan malam romantis hanya untuk kencan pura-pura seperti ini. Selalu ada campur tangan keluarga di setiap tindakannya.
“Baiklah, aku akan makan lalu memanggil sopirku dan pulang.” Alexa mengambil alat makannya dengan tenang, memilih untuk mengalah dan menghindari perdebatan yang tidak perlu.
Lelaki itu kini menatap ke arah gadis yang tengah menyantap Caviar nya dengan elegan. Ucapan yang dilontarkan semua orang padanya memang tidak salah, calon tunangannya itu memang benar-benar sempurna. Ia tidak habis pikir kenapa sifat tenang Alexandra menjadi sesuatu yang mengagumkan untuk dilihat.
Ia mendengar beberapa kali gadis itu harus berurusan dengan komite sekolah karena persoalan dengan klub jurnalis yang ia ikuti, tapi Alexa tidak pernah sekalipun melibatkan dirinya saat menghadapi masalah. Gadis itu benar-benar melakukan segalanya sendirian. Padahal ia bisa membereskan masalah apapun untuk Alexa, namun gadis itu selalu bersikeras menolak bantuannya.
Ia tahu menjadi seorang pewaris utama artinya ia harus menguasai semua hal sendirian. Mungkin dirinya tidak akan mempermasalahkan hal itu jika Alexa seorang laki-laki, tapi come on Alexa itu hanya seorang gadis!
Harusnya Alexa tak perlu melakukan segalanya dengan sebaik itu.
Sikapnya yang luar biasa mandiri terkadang benar-benar membuatnya kesal. Ia merasa keberadaannya tidak ada artinya untuk gadis itu.
“Selesai.”
Ucapan Alexa menarik kesadaran pria itu kembali ke asalnya. Baru saja ia hendak memanggil waiter untuk menghidangkan dessert namun gadis itu menolaknya.
“Aku akan menunggu sopirku di lobby, terimakasih atas hidangannya Tuan Halley.” Katanya. Setelah memutuskan untuk undur diri, gadis itu segera beranjak dari kursinya dan pergi dari sana.
Marc hanya bisa terdiam dan memandang Alexa dari kejauhan hingga punggung gadis itu menghilang di balik tikungan. Ia ingin segera mencegah kepergian gadis itu, tetapi semua kata-katanya tertahan.
Selalu saja seperti ini, dirinya selalu ditinggalkan seperti ini.
***
“Kau mau Gelato?” Suara santai Raphael menyeruak di tengah kebisingan jalanan kota yang cukup padat.
Alexandra hanya dapat menghembuskan napas dengan lelah mendengar ucapan Raphael. Kini dirinya berakhir menumpang mobil milik Raphael setelah lelaki itu tiba-tiba datang entah dari mana, lalu menyeretnya dari lobby dan membawanya berkeliling kota tanpa persetujuannya. Persis seperti yang sering kakaknya lakukan dulu.
“Katakan bagaimana kau tahu aku ada di restoran itu?”
Pria itu hanya mengendikkan bahunya tak peduli, “Well, aku hanya tidak sengaja mendengar percakapanmu dengan Si Halley tadi siang. Kupikir menikmati Gelato setelah makan malam membosankan dengan lelaki itu adalah ide bagus.”
Jawaban Raphael membuat kepalanya semakin pening.
“Maaf saja, tapi aku bahkan tidak memakan dessert milikku sama sekali.” Ujarnya jengah.
Lelaki itu mengalihkan atensi ke arahnya untuk beberapa detik, “Baguslah, setidaknya Gelato malam ini tidak akan menambah berat tubuhmu.”
Alexandra melipat tangannya di depan dada dengan kesal, lagi-lagi Raphael menyinggung berat tubuhnya. Padahal ia termasuk gadis yang langsing- tidak bahkan mungkin tergolong sangat kurus.
“Dan lalu kenapa kau tidak sekalian saja ikut makan bersama dengan kami?” Alexa bertanya.
Pria itu menaikan alisnya heran sebelum menjawab, “Aku tidak tahu kau itu kelewat bodoh atau apa, tapi maaf saja aku tidak sudi dicap sebagai perusak hubungan dua manusia yang akan segera bertunangan.”
“Ah sial, kau mengingatkanku dengan hal yang paling ingin ku lupakan.”
Raphael mengendikkan bahunya acuh, “Padahal ada banyak pria di dunia ini, kenapa juga kau harus berurusan dengan Si Halley.”
Alexa merengut sebal mendengar gumaman Raphael yang terdengar tidak masuk akal untuknya. Sudah jelas ‘kan? Titel pewaris utama perusahaan besar tidak akan berguna jika yang menjadi pewaris itu adalah seorang wanita. Banyak para keluarga pebisnis yang segan untuk menjodohkan putra pertama mereka dengan orang seperti dirinya.
Alasannya? Tentu saja karena tulisan ‘De Travis’ yang menempel di belakang namanya. Jika putra mereka menikah dengannya, sudah dapat dipastikan perusahaan mereka akan melebur bersama dengan perusahaan raksasa milik keluarga De Travis dan mereka harus hidup di bawah kekuasaan keluarga De Travis. Kecuali jika dirinya bersedia menyerahkan posisi itu pada orang lain, mungkin sekarang akan berbeda ceritanya.
Tapi hal itu tidak akan terjadi, ia sudah berjanji akan mempertahankan posisinya meski harus mengorbankan seluruh hidupnya. Semua ini ia lakukan demi Ezra.
Ia tahu jika dirinya tidak bisa menikah dengan sesama penerus utama. Sekalipun ada, kesempatan itu sangatlah kecil. Alexandra hanya bisa menikah dengan putra kedua dan seterusnya dari keluarga lain. Sebab itulah dirinya dipaksa untuk menerima rencana pertunangan antara dirinya dan keluarga Halley, karena Marc adalah putra kedua di keluarga Halley.
Gadis itu hanya memandang ke arah samping, menikmati pemandangan malam Hartford yang begitu membosankan untuknya. Gedung tinggi dengan lampu yang memancar dari setiap sudut kota mengingatkan dirinya tentang kerakusan orang-orang yang tinggal disini akan harta.
Namun tiba-tiba atmosfer di dalam mobil menjadi tegang ketika Raphael mengemudikan mobilnya dengan cepat, meski samar ia bisa merasakan ada sesuatu yang disembunyika oleh pria itu.
“Jadi? Kau kabur dari masalah apa lagi kali ini?” Gadis itu menatap malas ke arah lelaki yang sibuk mencari celah di tengah jalanan yang padat. Alexa mengerti apa yang sedang terjadi di sini, mereka sedang diikuti.
Namun bukannya menjawab Raphael justru mengabaikannya dan mempercepat laju mobilnya. Dilihat dari reaksi pria itu, Alexa bisa tahu jika Raphael kini sedang gelisah. Ia tidak tahu jenis masalah apa lagi yang sedang disembunyikan lelaki itu, tapi sepertinya membantu untuk kabur juga bukan hal buruk. Toh pria itu juga sudah sering membantunya.
Gadis itu kini sibuk mencerna situasi, ia melirik ke arah tikungan yang berada di depan mereka, “Belok kanan, kau bisa berpura-pura memarkir mobilmu di dalam basement mall besar di dekat sana. Lalu kita akan menyusup keluar dari mall dan pergi ke taman kota yang berada di arah sebaliknya.”
Raphael mengangguk dan mengarahkan mobilnya menuju ke arah sebuah pusat perbelanjaan yang sangat ramai sebelum keluar dan kabur dari tempat itu. Dengan begitu orang-orang yang mengikuti dirinya akan berpikir mereka sedang berada di dalam mall, padahal ia sedang berada di arah yang sebaliknya. Harus ia akui, Alexa adalah gadis cerdas yang pandai mengatur strategi.
Dan tentu saja ia yakin, kecerdasannya pasti didukung dengan pengalaman kaburnya yang sudah diterapkan bertahun-tahun.
Dasar, gadis ini memang benar-benar luar biasa.
“Ah dasar, kau membuatku harus menggunakan heels di tanah berumput seperti ini.” Lelaki itu memandang sepatu putih Alexa yang terlihat kotor oleh noda tanah seketika mereka memijakkan kaki di taman.“Aku akan menggantinya dengan yang baru, sekarang kita harus cepat bersembunyi dulu.” Raphael berjalan cepat ke arah danau kecil yang berada dibalik pohon-pohon taman kota yang cukup rimbun.Alexandra menatap kearah sekelilingnya.Cukup sepi.Yah siapa juga yang mau datang ke danau malam-malam begini? Belum lagi mereka harus berebut oksigen dengan pohon rimbun di sekitar sini. Hanya orang bodoh yang akan melakukannya, dan well mereka lah orang bodoh itu.Keheningan masih setia hadir diantara dirinya dan Raphael. Ia tidak ingin memaksa lelaki itu bicara soal masalahnya, tentu saja karena sepertinya ini cukup serius. Jika tidak, seorang Davis Eusford tidak akan mengirimkan lima buah mobil beserta mata-matanya untu
“Lexa, cepat menjauh!” Gadis kecil yang masih berusaha mendorong pintu mobil itu sama sekali tak menghiraukan ucapan lelaki yang nyaris sekarat di depannya. “Lexa!” “Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum mengeluarkanmu dari sini!” BRAK BRAK PRANGG Suara pecahan kaca menggema di dalam terowongan yang sunyi itu. Tangan rapuh milik gadis itu kini sudah berlumuran dengan darah, tapi gadis kecil itu tetap berusaha menyingkirkan kaca yang menghalanginya dengan wajah sembab karena menangis sejak tadi. “Kak! Cepat keluar sebelum tiang itu jatuh! Aku akan menyingkirkan kaca ini lalu-” “Alexandra De Travis!” Bentakan yang keluar dari bibir pria itu membuat Alexa kecil tersentak, namun suara lembut kakaknya kembali terdengar saat mengisyaratkannya untuk segera pergi. “Pergi dari sini sekarang, cari bantuan lalu kembali kes
Seorang pria kini menatap ke arahnya dengan sorot mata menyelidik, “Apa itu benar?” Lelaki itu bertanya. “Aku tidak menemuimu untuk mendengar pertanyaan yang sama seperti ini, Halley.” Lelaki itu tampak menahan rasa kesalnya yang kian meluap. Setelah berhari-hari Alexandra mengabaikan pesan dan teleponnya, Marc memutuskan untuk datang langsung ke kediaman gadis itu memastikan kebenaran rumor yang beredar di Secret. Tapi sepertinya usahanya kali ini sia-sia, gadis itu sama sekali tak berminat menjawab pertanyaannya dengan jawaban yang pasti. “Komite sekolah sudah mendengar masalah ini, aku yang akan mengurusnya dan memastikan rumor itu segera berakhir besok.” “Berhenti mencampuri urusanku, Marc!” Alexandra bangkit dari duduknya karena kesal, ia tidak mengerti kenapa lelaki ini selalu saja berusaha mencampuri urusannya. Marc membuang mukanya ke arah lain, “Kita akan segera bertunangan Alexa.” Ucapnya mencoba mengingatkan posisi gadis itu.
“Kau melewatkan makan malam bersama.”Suara dingin itu menyapaku ketika kakiku baru saja memasuki ruang tengah. Ayah yang tampak sedang menikmati kopi hitam itu kini menatapku dengan tatapan yang menyebalkan.Aku mengernyitkan dahi heran, “Aku tidak lapar, aku akan langsung mandi dan tidur.” Ucapku sekenanya. Sungguh, aku tidak ingin terlibat interogasi dadakan untuk yang kesekian kalinya setelah selesai bersenang-senang dengan Serena.Lagipula, ini bukan pertama kali untuknya melewatkan acara basa-basi yang disebut makan malam itu. Seharusnya ayahnya tidak perlu sampai menunggunya pulang seperti ini, lalu idenya menikmati kopi di tengah malam sebagai alibi benar-benar buruk. Melihat pria setengah baya itu terdiam aku memutuskan melanjutkan perjalananku menuju lantai atas yang sempat tertunda.“Apa hubunganmu dengan Marc Halley baik-baik saja?” Langkahku terhenti, Pertanyaan singkat yang ditanyakan ayahnya semakin meyak
“Wah, serius. Daniel bukan tandingan Marc Halley dalam basket!” Kaylee tersenyum menanggapi ucapan Mary- teman barunya dari klub jurnalis. Semenjak ia masuk di dalam klub itu, semua orang bersikap canggung padanya. Dan hanya Mary satu-satunya orang yang masih tampak ceria di dekatnya. Meski Mary lebih tua setahun darinya, ia merasa kini dirinya cukup dekat dan nyaman berteman dengan Mary. “Tapi kau masih saja menyukainya kan?” Kaylee terkikik pelan ketika mendapati wajah Mary yang memerah karena ucapannya. Saat istirahat berlangsung, gadis itu sering mengajaknya duduk di sekitaran lapangan basket untuk mencari angin segar. Tapi ia tahu bukan itu alasan Mary mengajaknya kemari, gadis itu ingin melihat Daniel yang sedang bertanding di sana. “Jangan membuat rumor tidak benar Kaylee, aku tidak ingin dituduh sebagai penulis pesan menyebalkan tentang Adriana Spencher di Secret minggu lalu.” Mary menatapnya sambil mengacungkan tangannya memperingatkan.
“Nona Kaylee Jenkins, temui aku setelah kelas berakhir.” Ucapan nada dingin Professor Lassen membuatku harus memilin rok pendek musim panas ini untuk yang kesekian kalinya. Aku masih berdiri dengan tatapanku yang tertuju pada ubin marmer mahal di bawah sana. Meski ingin, aku tidak bisa sekalipun mengalihkan pandanganku dari tatapan intimidasi dan mengejek yang orang-orang berikan padaku saat ini. Aku bisa mendengar helaan napas lelah dari professor itu, “Nona Jenkins kau boleh duduk, baik kita akan lanjutkan pembahasan yang sempat tertunda.” Setelah mendengar itu aku buru-buru merapikan bawahanku dan duduk dengan tegap. Hari ini benar-benar kacau, ia berhasil mempermalukan dirinya sendiri di kelas Bahasa Spanyol. Saat Professor Lassen menyuruhnya untuk membaca artikel dengan Bahasa Spanyol di depan kelas, di saat itulah ia tahu dirinya sudah tamat. Aksennya benar-benar terdengar buruk dan sama sekali tidak lancar. Semua orang menahan tawa mendengar su
Alexandra memijat keningnya lelah ketika mendapati seorang waiter yang tak kini membersihkan pecahan gelas berisi mocktail lemon di sebelahnya. Matanya beralih pada gadis muda di depannya yang berkali-kali mengucapkan maaf dari mulutnya, sedangkan mata Serena berkilat marah hendak bangkit dari duduknya namun Alexa mencegahnya. “Sudahlah, Serena.” Ucapnya menengahi. Ia tak ingin mengambil resiko membiarkan Serena menceramahi waiter itu selama dua puluh menit meskipun ia ingin. Matanya beralih pada sekumpulan gadis yang mengenakan seragam seperti miliknya, kini mereka tampak tertawa sambil melirik sepatunya yang kini sudah basah kuyup karena cairan manis. Ia tertawa sinis, jadi efek berita di Secret sudah sejauh ini? Bahkan seorang putri dari keluarga tak dikenal kini mulai berani mencoba mempermalukannya? Ia sudah tahu sejak tadi jika gadis-gadis menyebalkan itu menatap ke arahnya, hingga mereka memaksa seorang waiter muda m
TAK! “Kau menjatuhkannya kemarin.” Suasana ruang kelasnya kini mendadak terdengar sunyi ketika seorang lelaki itu memberikan sebuah tag nama padanya. Ia memandang lempengan besi itu dengan seksama, KAYLEE JENKINS -ah benar, ini miliknya. Untuk sesaat ia benar-benar merasa tidak percaya dengan pengelihatannya. Lelaki yang selama ini hanya bisa ia pandang dari jauh kini berdiri tepat di depan wajahnya. Kaylee menatap pandangan heran dari lelaki itu, pandangan lembut itu benar-benar menarik perhatiannya. “Halo, ini benar milikmu ‘kan?” Gadis itu terkesiap malu karena ketahuan memandang pria itu secara terang-terangan. Cepat-cepat ia mengambil name tag miliknya, “Ah benar, terimakasih sudah mengembalikannya.” Mark tersenyum tipis, ‘Ah jadi ini? Gadis yang sangat dihindari oleh calon tunangannya’ “Tidak masalah, lain kali sebaiknya lebih hati-hati.” Setelah mengatakan itu Mark pergi menuju k
Raphael nyaris mengumpat ketika tubuhnya tergelincir di tangga mansion sial milik Daniel.Jika saja bukan karena air yang sudah bercampur lumpur itu menggenang di atas anak tangga, kejadian seperti ini pasti tidak akan menimpanya. Ia benar-benar tak habis pikir kenapa Daniel tak pernah bisa mengurus tempat tinggalnya dengan baik.Ia meringis ketika merasakan kepalanya berdenyut hebat setelah terbentur tadi. Beberapa butler terlihat sibuk menghubungi dokter keluarga Radcliff yang entah kapan akan segera datang, mengingat lokasi kastil ini yang jauh dari pusat kota.“Damn! Apa yang terjadi padamu?!” suara Daniel berteriak menggelegar di ruang tengah membuat kepalanya semakin pening.Raphael menjawab dengan datar, “Jangan berteriak, suaramu membuat kepalaku semakin sakit.”Namun Daniel mengabaikannya dan kembali membuat suara berisik ketika melihat kemejanya kotor karena tetesan darah yang mengucur dari pelipi
Sangat buruk.Itu adalah kata yang bisa menggambarkan kondisinya sekarang.Raphael menatap kesal ke arah cermin- tepatnya pada sudut bibirnya yang membiru dengan tambahan darah kering disana. Lelaki itu kembali menyalakan keran dan mencuci mukanya berkali-kali, meskipun begitu sebanyak apapun ia membasuh wajahnya luka itu tidak akan menghilang.Jika dibandingkan dengan luka yang ia terima, luka Halley pasti jauh lebih parah dari dirinya. Sejujurnya ia tidak merasa kesal karena wajahnya terluka, tapi alasan dibalik luka di wajahnya yang membuatnya merasa marah setiap kali melihatnya.“Sadarlah, kau memang sudah kalah dariku!”Ucapan Mark Halley kembali menggema di telinganya setiap kali ia memandang wajahnya di cermin. Jika saja pria sial itu tidak berusaha memprovokasinya mungkin dirinya tidak akan pernah punya niatan untuk menghantam wajah Halley lebih dulu.Raphael berbalik meninggalkan kamar mandi dan merebahkan tubuh
“Sepuluh hari lagi kita akan me-launching majalah tahunan sekolah, aku harap kalian semua segera melakukan wawancara sesuai bagian yang diputuskan kemarin. Apa ada yang keberatan?” Raphael kini menatap lurus ke arah anggota tim jurnalisnya dengan datar.Tidak ada yang menjawab, mereka saling bertukar pandang bingung. Tentu saja bukan karena mereka tidak mengerti tugas yang Raphael berikan, semua orang sibuk menduga-duga alasan di balik luka lebam yang membiru di sudut bibir pria itu.Beberapa hari yang lalu Raphael terlibat perkelahian dengan Mark Halley, pimpinan student council yang terkenal sangat menjaga sikap. Meski sudah menjadi rahasia umum jika kedua pria itu terlibat perang dingin selama bertahun-tahun, tetapi tidak ada yang tahu dari mana asal mula pertengkaran dua lelaki itu kemarin.Bahkan kabarnya setelah masuk ruang detensi pun, tidak satupun dari mereka yang mau menjelaskan alasan yang sebenarnya. Mr. Roxane bahkan me
TAK! “Kau menjatuhkannya kemarin.” Suasana ruang kelasnya kini mendadak terdengar sunyi ketika seorang lelaki itu memberikan sebuah tag nama padanya. Ia memandang lempengan besi itu dengan seksama, KAYLEE JENKINS -ah benar, ini miliknya. Untuk sesaat ia benar-benar merasa tidak percaya dengan pengelihatannya. Lelaki yang selama ini hanya bisa ia pandang dari jauh kini berdiri tepat di depan wajahnya. Kaylee menatap pandangan heran dari lelaki itu, pandangan lembut itu benar-benar menarik perhatiannya. “Halo, ini benar milikmu ‘kan?” Gadis itu terkesiap malu karena ketahuan memandang pria itu secara terang-terangan. Cepat-cepat ia mengambil name tag miliknya, “Ah benar, terimakasih sudah mengembalikannya.” Mark tersenyum tipis, ‘Ah jadi ini? Gadis yang sangat dihindari oleh calon tunangannya’ “Tidak masalah, lain kali sebaiknya lebih hati-hati.” Setelah mengatakan itu Mark pergi menuju k
Alexandra memijat keningnya lelah ketika mendapati seorang waiter yang tak kini membersihkan pecahan gelas berisi mocktail lemon di sebelahnya. Matanya beralih pada gadis muda di depannya yang berkali-kali mengucapkan maaf dari mulutnya, sedangkan mata Serena berkilat marah hendak bangkit dari duduknya namun Alexa mencegahnya. “Sudahlah, Serena.” Ucapnya menengahi. Ia tak ingin mengambil resiko membiarkan Serena menceramahi waiter itu selama dua puluh menit meskipun ia ingin. Matanya beralih pada sekumpulan gadis yang mengenakan seragam seperti miliknya, kini mereka tampak tertawa sambil melirik sepatunya yang kini sudah basah kuyup karena cairan manis. Ia tertawa sinis, jadi efek berita di Secret sudah sejauh ini? Bahkan seorang putri dari keluarga tak dikenal kini mulai berani mencoba mempermalukannya? Ia sudah tahu sejak tadi jika gadis-gadis menyebalkan itu menatap ke arahnya, hingga mereka memaksa seorang waiter muda m
“Nona Kaylee Jenkins, temui aku setelah kelas berakhir.” Ucapan nada dingin Professor Lassen membuatku harus memilin rok pendek musim panas ini untuk yang kesekian kalinya. Aku masih berdiri dengan tatapanku yang tertuju pada ubin marmer mahal di bawah sana. Meski ingin, aku tidak bisa sekalipun mengalihkan pandanganku dari tatapan intimidasi dan mengejek yang orang-orang berikan padaku saat ini. Aku bisa mendengar helaan napas lelah dari professor itu, “Nona Jenkins kau boleh duduk, baik kita akan lanjutkan pembahasan yang sempat tertunda.” Setelah mendengar itu aku buru-buru merapikan bawahanku dan duduk dengan tegap. Hari ini benar-benar kacau, ia berhasil mempermalukan dirinya sendiri di kelas Bahasa Spanyol. Saat Professor Lassen menyuruhnya untuk membaca artikel dengan Bahasa Spanyol di depan kelas, di saat itulah ia tahu dirinya sudah tamat. Aksennya benar-benar terdengar buruk dan sama sekali tidak lancar. Semua orang menahan tawa mendengar su
“Wah, serius. Daniel bukan tandingan Marc Halley dalam basket!” Kaylee tersenyum menanggapi ucapan Mary- teman barunya dari klub jurnalis. Semenjak ia masuk di dalam klub itu, semua orang bersikap canggung padanya. Dan hanya Mary satu-satunya orang yang masih tampak ceria di dekatnya. Meski Mary lebih tua setahun darinya, ia merasa kini dirinya cukup dekat dan nyaman berteman dengan Mary. “Tapi kau masih saja menyukainya kan?” Kaylee terkikik pelan ketika mendapati wajah Mary yang memerah karena ucapannya. Saat istirahat berlangsung, gadis itu sering mengajaknya duduk di sekitaran lapangan basket untuk mencari angin segar. Tapi ia tahu bukan itu alasan Mary mengajaknya kemari, gadis itu ingin melihat Daniel yang sedang bertanding di sana. “Jangan membuat rumor tidak benar Kaylee, aku tidak ingin dituduh sebagai penulis pesan menyebalkan tentang Adriana Spencher di Secret minggu lalu.” Mary menatapnya sambil mengacungkan tangannya memperingatkan.
“Kau melewatkan makan malam bersama.”Suara dingin itu menyapaku ketika kakiku baru saja memasuki ruang tengah. Ayah yang tampak sedang menikmati kopi hitam itu kini menatapku dengan tatapan yang menyebalkan.Aku mengernyitkan dahi heran, “Aku tidak lapar, aku akan langsung mandi dan tidur.” Ucapku sekenanya. Sungguh, aku tidak ingin terlibat interogasi dadakan untuk yang kesekian kalinya setelah selesai bersenang-senang dengan Serena.Lagipula, ini bukan pertama kali untuknya melewatkan acara basa-basi yang disebut makan malam itu. Seharusnya ayahnya tidak perlu sampai menunggunya pulang seperti ini, lalu idenya menikmati kopi di tengah malam sebagai alibi benar-benar buruk. Melihat pria setengah baya itu terdiam aku memutuskan melanjutkan perjalananku menuju lantai atas yang sempat tertunda.“Apa hubunganmu dengan Marc Halley baik-baik saja?” Langkahku terhenti, Pertanyaan singkat yang ditanyakan ayahnya semakin meyak
Seorang pria kini menatap ke arahnya dengan sorot mata menyelidik, “Apa itu benar?” Lelaki itu bertanya. “Aku tidak menemuimu untuk mendengar pertanyaan yang sama seperti ini, Halley.” Lelaki itu tampak menahan rasa kesalnya yang kian meluap. Setelah berhari-hari Alexandra mengabaikan pesan dan teleponnya, Marc memutuskan untuk datang langsung ke kediaman gadis itu memastikan kebenaran rumor yang beredar di Secret. Tapi sepertinya usahanya kali ini sia-sia, gadis itu sama sekali tak berminat menjawab pertanyaannya dengan jawaban yang pasti. “Komite sekolah sudah mendengar masalah ini, aku yang akan mengurusnya dan memastikan rumor itu segera berakhir besok.” “Berhenti mencampuri urusanku, Marc!” Alexandra bangkit dari duduknya karena kesal, ia tidak mengerti kenapa lelaki ini selalu saja berusaha mencampuri urusannya. Marc membuang mukanya ke arah lain, “Kita akan segera bertunangan Alexa.” Ucapnya mencoba mengingatkan posisi gadis itu.