"Wah ... alhamdulillah, selamat Kak Ana, Mas Al. Kalian hebat." Akilah ikut bahagia atas kehamilanku. "Jadi, bagaimana? Apa hubungan kalian sudah sampai mana?" tanyaku lagi pada Akilah dan menoleh pada Mas Azzam. Suasana kembali hening. Mas Salman dan Ayah masih belum ada yang bicara. Begitu pun Mas Azzam yang hanya menatap Mas Salman sesekali menoleh padaku dan Akilah. "Ayah, Mas." Suara Akilah pada akhirnya. "Sebenarnya kita ...." "Biar pria itu yang mengatakan maksud dan tujuannya, Kila." Akilah pun menunduk dan meremas lenganku. Aku mengerti perasaan Akilah yang adalah gadis penurut pada kedua pria terhormat di rumah kami. Aku dan Ibu pun merangkul dan hanya mampu mengusap punggungnya untuk menenangkan. Mas Azzam akhirnya bersuara. "Baiklah, Ayah ... sebenarnya, kedatangan saya ke sini adalah untuk melamar Akilah agar hubungan kamu mempunyai status yang jelas. Walau pun kami masih akan menimbang kapan kami akan menikah." Hening. Suasana kembali hening bahkan saat ini jantun
Mas Salman begitu kesal karena aku terus saja menariknya untuk pergi. "An, kamu itu apaan sih?" Mas Salman menghempaskan tanganku. "Kamu yang apaan, Mas? Kenapa kamu bersikap seperti itu? Biarkan mereka juga meraih kebahagiaan mereka. Aku yakin ini memang takdir dan jalan untuk kita agar kita bisa terus saling bersilaturahmi dengan Mas Azzam." Aku meraih tangan Mas Salman. "Pleas, Mas. Aku sendiri begitu merasa bersalah pada Mas Azzam. Dulu, dia yang selalu ada untukku. Tapi, di saat dia terluka aku tidak bisa bersamanya. Bahkan hanya untuk memberikan kata semangat pun aku tidak bisa karena hubungan rumit di antara kita, Mas. Aku sangat berterima kasih pada Akilah karena dia berhasil membuat Mas Azzam bangkit lagi.""Anaa, tapi tidak begitu yang Mas tangkap dari sorot matanya. Dia masih-" Cup! Aku mengecup bibir Mas Salman agar berhenti bicara. "Apa Mas masih takut aku akan berpaling padanya?" Mas Salman memejamkan matanya sedikit luluh. "Aku memang takut dia merebutmu dariku, Ana
"Mas, kamu kok enggak pernah hubungi aku? Aku enggak bisa hubungi nomer kamu lagi. Aku mau masuk ke rumahmu juga enggak bisa. Kenapa sih kamu tega banget, Mas?" Aku memalingkan wajah. Merasa malas juga kesal pada ucapan Santi yang sok dekat pada Mas Salman dengan begitu manja. Aku pun mencoba bersikap biasa saja karena tangan Mas Salman memegang tanganku erat. Walau hatiku sesak mengingat kembali hari-hari bagaimana Mas Salman selalu bersama Santi dulu."Sayang, mungkin sebaiknya kamu masuk dan istirahat. Kasian calon anak kita," ucap Mas Salman sembari mengusap lembut perutku yang masih rata. Santi menggelengkan kepalanya. "Mas, Jangan bercanda! Kamu enggak mungkin tega meninggalkan aku yang mencintaimu'kan, Mas?" Mas Sandy terus menggoyang-goyangkan tubuh Mas Salman yang masih berdiri mematung. Aku menghembuskan napas dengan dalam. "Mas, aku masuk duluan." Mas Salman menghentikan langkahku dengan menarik tanganku. "Ana, kamu tidak perlu khawatir. Aku tidak mungkin melakukan kes
"Ana, tolong hentikan air mata ini. Aku minta maaf, Ana." Mas Salman terus mengusap dan menyeka air mataku yang terus-menerus mengalir begitu saja. "Mas salah, Mas sudah menyakiti kamu. Hentikan, Ana." Aku berusaha menarik napas dengan begitu dalam untuk menahan air matanya yang terus saja mengalir. "Aku tidak apa-apa, Mas. Aku enggak tahu kenapa ini enggak bisa di tahan air matanya." Mas Salman kembali memelukku dengan erat. Mas Salman merasa bersalah dan menyadari kesalahannya. Aku pun tahu suamiku sudah berubah, tapi beyangan buruk masa-masa menyakitkan itu menderaku tiba-tiba. Mas Salman juga selalu berusaha menunjukkan kepeduliannya padaku. ****"Jadi, bagaimana Kila? Kapan keluarga Azzam datang?" "Minggu ini katanya, Ayah. Mas Azzam kebetulan sudha tidak punya orang tua. Sodara pun pada jauh, paling ke sini sama om dan tantenya." Ayah menganggukkan kepalanya mengerti. "Bu, bagaimana? Apa Ini sudah siap?" "Insya Allah, siap, Ayah. Ibu sebenarnya ingin Ana yang membantu kita
"Ada apa, Mas?" Aku mencoba bertanya dan bersikap biasa saja. "Apa yang terjadi dengan Santi?" Mas Salman menghembuskan nafasnya. "Santi ... sudahlah, An. Aku tidak peduli padanya. Aku takut jika aku mengikuti permainannya, aku takut tersesat lagi." Mas Salman menyimpan kembali handphonenya dan kembali menghampiriku. "Saat ini kamu dan calon anak kita adalah prioritasku." Aku begitu terharu dan semakin percaya pada Mas Salman yang sudah berubah menjadi pria normal. "Terima kasih, Mas." "Untuk apa?" "Untuk perubahan yang Mas lakukan demi rumah tangga kita." Aku menatap Mas Salman yang langsung memelukku. "Aku yang berterima kasih padamu, Ana. Terima kasih karena masih tetap di sisiku," ucapnya mengeratkan pelukannya padaku. ****"Tidak di angkat," ucap Santi dengan nada manjanya."Ck, bodoh! Payah sekali sih kamu," umpat Mas Azzam pada Santi dengan kasar.. "Hih, kenapa kamu terus memaki ku, Mas? Ini semua gara-gara Mbak Ana, dia yang merebut Mas Salman dariku," sahut Santi la
POV Azzam ... "Aaakhh sial," gerutuku membanting handphone. "Percuma saja aku kerja sama dengan si manusia jadi-jadian itu. Enggak guna juga, semua enggak berhasil. Aaakkgggrr." Aku terus menggusar rambutku dengan kasar setelah mendapat pesan dari Santi. Tentu saja aku merasa marah. Bagaimana tidak, karena dia tidak berhasil membujuk Salman datang dan masuk dalam jebakanku. Mau tidak mau aku pun harus melanjutkan rencanaku untuk memasuki keluarga Salman dengan menikahi adiknya. Aku harus pura-pura bahagia dan pura-pura mencintai wanita yang sama sekali tidak aku sukai karena cintaku hanyalah untuk Ana.Hari ini pun aku menugaskan Santi untuk datang ke kantornya Salman. Karena aku yakin jika di kantor, Santi bisa lebih leluasa membujuk Salman agar kembali padanya. Selain tidak ada Ana, di kantor juga Salman pasti akan lebih menjaga sikap dan wibawanya. Namun, ternyata Santi gagal bertemu Salman, dengan alasan jika Salman tidak datang ke kantor. "Aku harus gerak cepat berarti." Deng
"Kila, kenapa kamu ngeyel banget sih? Mas yakin jika dia itu tidak mencintaimu benar-benar. Enggak mungkin dia bisa langsung jatuh cinta sama kamu dalam waktu hanya satu bulan." "Mas, stop! Kenapa Mas Al tidak mengerti juga sih? Aku mencintainya, Mas. Aku juga yakin Mas Azzam mencintaiku, Mas. Aku bisa merasakan cintanya padaku kok." "Kilaaaa." "Cukup, Mas! Apa Mas lupa, hubungan Mas dengan Kak Ana? Bahkan hubungan Mas dengan Kak Ana baru bisa di katakan benar jadi suami istri itu baru satu bulan bukan? Lalu apa Kak Ana harus tidak percaya jika Mas sudah berubah?" Aku hanya bisa menatap Mas Salman yang kini tak bisa lagi menjawab ucapan adiknya. Aku sendiri bingung harus berkata apa. Mungkin apa yang di rasakan oleh Akilah sekarang ada yang benar-benar cinta yang tulus seperti yang kurasakan pada Mas Salman. Bagaimana mungkin aku akan menentang perasaan Akilah yang Mas Salman bilang jika hubungan Akilah dengan Mas Azzam terlalu singkat. Karena, aku sendiri merasakan cinta itu pada
Persiapan pernikahan Akilah dengan Mas Azzam mulai di persiapkan dengan sedemikian rupa. Aku begitu antusias membantu mempersiapkan rencana pernikahan mereka. Karena selain Akilah adalah adik perempuanku, calon suaminya pun adalah sahabatku. Aku begitu bahagia dan senang melihat Akilah selalu tersenyum bahagia karena Mas Salman pun sudah merestui hubungan mereka. "Sayang, ingat ya! Enggak boleh sampai kecapean!" ujar Mas Salman mengingatkan aku untuk tetap menjaga kandunganku. "Iya, An. Mungkin sebaiknya kamu duduk aja, ya. Ibu juga takut nanti kamu kecapean." "Enggak apa-apa ko, Bu. Ini juga kan sambil duduk." Kami tengah menata berbagai acara untuk menyambut tamu undangan. Karena Ayah adalah seorang pengusaha besar, tentunya tamu undangan yang di undang pun tak sedikit. Walau pun Akilah terus merengek tidak perlu mewah-mewah, Ayah dan Ibu merasa jika pernikahan Akilah harus mewah mengingat banyak klien dari Ayah dan Mas Salman yang sudah sangat dekat dengan mereka. Tentu saja ak