Persiapan pernikahan Akilah dengan Mas Azzam mulai di persiapkan dengan sedemikian rupa. Aku begitu antusias membantu mempersiapkan rencana pernikahan mereka. Karena selain Akilah adalah adik perempuanku, calon suaminya pun adalah sahabatku. Aku begitu bahagia dan senang melihat Akilah selalu tersenyum bahagia karena Mas Salman pun sudah merestui hubungan mereka. "Sayang, ingat ya! Enggak boleh sampai kecapean!" ujar Mas Salman mengingatkan aku untuk tetap menjaga kandunganku. "Iya, An. Mungkin sebaiknya kamu duduk aja, ya. Ibu juga takut nanti kamu kecapean." "Enggak apa-apa ko, Bu. Ini juga kan sambil duduk." Kami tengah menata berbagai acara untuk menyambut tamu undangan. Karena Ayah adalah seorang pengusaha besar, tentunya tamu undangan yang di undang pun tak sedikit. Walau pun Akilah terus merengek tidak perlu mewah-mewah, Ayah dan Ibu merasa jika pernikahan Akilah harus mewah mengingat banyak klien dari Ayah dan Mas Salman yang sudah sangat dekat dengan mereka. Tentu saja ak
Resepsi pernikahan Akila dengan Mas Azzam digelar sedikit mewah. Karena banyaknya tamu undangan yang Ayah dan Mas Salman undang. Juga berbagai acara-acara yang dimeriahkan oleh anak-anak yatim undangan Ibu. Acara itu belum selesai sampai sore hari, karena malamnya masih ada acara tabligh Akbar. Aku yang sudah sedikit lelah pun izin untuk tidak ikut mendengarkan tabligh Akbar sampai selesai. Aku pergi ke kamar hotel di gedung itu untuk beristiraha. Mas Salman mengantar sampai depan pintu karena Mas Salman masih harus menyambut tamu. Mas Salman sebenarnya ingin menemaniku, hanya saja aku bilang tidak enak sama tamu undangan. "Baiklah, Mas tinggal dulu ya." Mas Salman mengecup kening juga bibirku. "Jangan jauh-jauh dari handphone, oke!""Iya, maaf ya. Aku enggak bisa temenin Mas." "Sstt, no problem sayang. Kesehatan kamu juga anak kita lebih penting. Mas ke bawah lagi." Mas Salman pun segara beranjak kembali untuk menyambut tamu setelah mengucapkan salam padaku. "Waalaikum salam," uca
POV Akilah Delara Emir ..."Apa maksudmu, Mas?" Aku berusaha untuk tetap tenang walau gejolak di dadaku begitu ingin terteriak. "Kila, aku yakin kamu bukan wanita bodoh yang tidak mengerti maksudku, bukan?" Aku masih menatap Mas Azzam dengan fokus pada matanya untuk mencari pembenaran atas ucapannya. "Tapi, nyatanya aku memang bodoh bukan, Mas? Aku tertipu oleh rayuan manismu, bukan begitu, Mas?" Mas Azzam kini menatapku. "Ya, itu benar," ucapnya tanpa merasa bersalah padaku sengaja istrinya. Air mataku mengalir begitu saja setelah Mas Azzam mengatakan bahwa aku memang bodoh. Aku tertipu oleh rayuan manisnya yang mengatakan jika aku adalah obat hatinya. Aku yang mengobati sakit hatinya karena cintanya pada Kak Ana bertepuk sebelah tangan. Nyatanya, aku adalah alat untuknya membalaskan dendam sakit hatinya pada Mas Salman yang tidak jadi menceraikan Kak Ana. "Jadi, apa mau mu sekarang, Mas?" Aku menunduk menahan sesak di malam pengantinku. "Aku ingin kamu merasakan apa yang Ana r
"Sayang, bangun yuk!" bisik Mas Salman di telingaku. "Kita sholat bareng atau mandi bareng," bisiknya lagi di telingaku. Aku membuka mataku perlahan. "Jam berapa ini, Mas?" "Jam 05.00 pagi, sayang." Mas Salman mengecupi wajahku yang kini sudah membuka mata. "Kita sholat bareng." Kami pun bangun dan segera membersihkan diri. Setelah itu kami sholat subuh bersama. Begitu bahagia kehidupanku saat ini setelah aku berhasil melewati ujian besar dalam rumah tanggaku. "Sehat-sehat di perut Mommy ya." Mas Salman mengusap perutku yang masih rata lalu mengecupnya dengan penuh cinta. "Sepertinya dia ingin di tengok sebelum kita pulang ke rumah sayang," ucapnya mengedipkan mata padaku. Aku memutar bola mataku dengan malas. "Alasan aja itu mah, Mas." Mas Salman malah tertawa renyah memelukku. "Mau apa enggak nih? Siapa tahu beda rasanya di rumah sama di hotel." "Apa begitu, Mas?" Aku pura-pura polos. Mas Salman membalikkan tubuhku hingga menghadap padanya. "Jangan pura-pura polos, Ana. Ata
"Alhamdulillah ... akhirnya pengantin baru kita sudah pulang. Apa sudah puas bermalam pengantinnya? He he," ujar Ayah menggoda Akilah dan Mas Azzam yang baru pulang setelah satu Minggu lamanya mereka berada di hotel bermalam pengantin. Aku pun segera menghampiri dan memeluk Akilah. "Hhhmmm, yang sudah tidak perawan, he he," godaku sambil mencubit dagu adik ipar yang ku sayangi itu dengan penuh kebahagiaan. "Kila, pokoknya kakak ingin kepo sama kamu, boleh ya?" "Sayaaaang, kenapa harus kepo sama Akilah? Sama aku aja keponya," sahut Mas Salman menimpali. "Laaah, kepo sama Salman mah bukan cerita nanti jadinya malah praktek, he he," sahut Ibu ikut menimpali."He he, kalian ini. Kasian Azzam ama Akilah, mereka pasti masih malu.""Tidak apa-apa, Ayah. Lama-lama mungkin kami akan terbiasa melihat romansa dari kalian para senior, iya'kan Kila?" Mas Azzam menoleh pada Akilah. "Iya, Mas," jawab Akilah sekilas dengan hanya tersenyum tipis. "Bu, Ayah, Kak Ana, Mas ... aku ke kamar dulu lah."
"Mas, aku jadi pergi ya sama Ibu. Jangan telponin aku terus ya. Nanti enggak jadi-jadi aku berburu diskonnya," ucapku pada Mas Salman, tentu saja membuat semua orang tertawa. "Ha ha, kamu ini, Al. Tenang aja, sekarang kan perginya sama Ibu. Tenang pasti Ibu jagain, iya'kan, Bu?" "He he, iya, Ayah. Siap! Tenang saja kalau soal jaga menjaga dari para pria jelalatan mah, ibu jagonya," ujar Ibu, kembali membuat semua orang tertawa renyah, termasuk Akilah. "Kila, apa Mas Azzam mau berangkat kerja juga?" tanyaku melihat Mas Azzam berjalan ke arah meja makan dengan sudah berpakaian lengkap ke kantor. "Iya, Kak. Katanya jenuh di rumah," ujar Akilah, "oh iya, apa Ayah dan Ibu sudah bilang aku akan pulang ke rumah kami nanti sore?" Aku dan Mas Salman menoleh pada Ayah dan Ibu. "Belum," ucap kami serentak.Ayah memalingkan wajahnya. "Mau bagaimana lagi, Kila? Mereka itu berada di kamar terus, bahkan melebihi kalian yang pengantin baru," ujar Ayah menyindir kamu. Aku pun menunduk malu karen
"Berani kamu menyakiti Ana-ku, hah?" sentak Mas Azzam pada Santi dengan tangan mencengkram erat pada leher Santi. Santi meringis matanya pun sedikit terbelalak. "Le-pas-sin!" Mas Azzam semakin mencengkeram leher Santi dengan begitu emosi. Untung saja handphonenya berbunyi. Mas Azzam pun mau tidak mau harus melepaskan cengkraman tangannya dari leher Santi."Uhuk! Uhuk! Hampir saja aku mati." Santi mengusap lehernya yang sakit akibat cengkeraman Mas Azzam. "Ya, bagaimana keadaan Ana, Kila?" ucap Mas Azzam pada sambungan teleponnya. "Baiklah, aku akan segera ke sana." Santi menatap takut pada Mas Azzam. Santi mengangkat wajahnya menatap Mas Azzam sejenak, lalu kembali menunduk karena takut. Mas Azzam masih menatap Santi dengan amarah. "Ini adalah awal peringatan untukmu! Jika sampai terjadi apa-apa pada Ana-ku. Maka aku tidak akan segan-segan untuk membunuhmu, ingat itu!" Mas Azzam beranjak pergi meninggalkan Santi yang masih memegang lehernya yang sakit. "Dasar gila, kalau memang
"Mas, Al-ku." Santi dengan cepat membuka pintu apartemennya saat tahu Mas Salman menuju ke kamarnya. "Mas Al, aku yakin kamu juga tidak bisa hidup tanpaku," ucapnya lagi dengan merapikan bajunya. Mas Salman terdiam sejenak menatap pintu kamar apartemen Santi. Matanya memejam dengan kepalan tangan yang erat. Entah apa yang membuatnya mengepalkan tangan yang jelas Mas Salman begitu terlihat marah. Ting! tong! "Mas Al." Santi hendak memeluk Mas Salman, namun, Mas Salman menepis tubuhnya hingga terjatuh. "Aw, Mas. Kok kamu dorong aku sih? Kamu jahat deh." "Bangun, Santi! Kamu itu jagoan bukan? Kamu sudah melakukan hal kriminal pada anak dan istriku!" sentak Mas Salman dengan emosinya. Santi menatap Mas Salman dengan sendu. "Apa sih maksudmu, Mas?" Mas Salman menatap Santi dengan sorot mata merah tajam. Tangannya tak bisa lagi menahan amarahnya. Mas Salman menarik tubuh Santi dan mencengkeram kerah baju Santi. "Apa yang kamu lakukan pada istri dan anakku, hah?" Tubuh Santi bergeta