"Mas, Al-ku." Santi dengan cepat membuka pintu apartemennya saat tahu Mas Salman menuju ke kamarnya. "Mas Al, aku yakin kamu juga tidak bisa hidup tanpaku," ucapnya lagi dengan merapikan bajunya. Mas Salman terdiam sejenak menatap pintu kamar apartemen Santi. Matanya memejam dengan kepalan tangan yang erat. Entah apa yang membuatnya mengepalkan tangan yang jelas Mas Salman begitu terlihat marah. Ting! tong! "Mas Al." Santi hendak memeluk Mas Salman, namun, Mas Salman menepis tubuhnya hingga terjatuh. "Aw, Mas. Kok kamu dorong aku sih? Kamu jahat deh." "Bangun, Santi! Kamu itu jagoan bukan? Kamu sudah melakukan hal kriminal pada anak dan istriku!" sentak Mas Salman dengan emosinya. Santi menatap Mas Salman dengan sendu. "Apa sih maksudmu, Mas?" Mas Salman menatap Santi dengan sorot mata merah tajam. Tangannya tak bisa lagi menahan amarahnya. Mas Salman menarik tubuh Santi dan mencengkeram kerah baju Santi. "Apa yang kamu lakukan pada istri dan anakku, hah?" Tubuh Santi bergeta
"Mas, alhamdulillah." Aku segera memeluk Mas Al saat Mas Al datang setelah beberapa jam menghilang. "Kamu ke mana aja, Mas? Aku khawatir." Mas Al memeluk dan mengecupi wajahku. "Maafkan aku, Ana. Aku terlalu lemah dan tidak bisa mengendalikan diriku."Aku mengapit wajah Mas Al. "Aku takut kamu melakukan hal bodoh, Mas."Mas Al menatapku dengan sendu. "Tidak, Ana. Aku tidak akan membiarkanmu menjanda." Aku mengerutkan kening dan sedikit mengerucutkan bibirku. "Apa maksudmu, Mas?"Mas Al tersenyum tipis penuh arti. "Bukankah kamu pikir aku akan melakukan hal bodoh? Kamu pikir aku akan bunuh diri begitu?""Ist, bukan itu. Aku pikir kamu sama Santi ...." Aku menunduk tak sanggup melanjutkan ucapanku. Mas Al menatapku dengan tersenyum getir. Nyatanya tidak hanya bagiku, trauma masa lalu itu tidak mudah bagi Mas Al. Sungguh, luka itu tidak hanya untukku, tapi juga untuk Mas Al. "Maaf, Mas. Maaf aku membuatmu-" Cup!"Kamu tidak salah, sayang. Aku yang salah." Dalam sejenak kami terdiam
Setelah Akilah akhirnya hilang dari pandangan kami, aku dan Mas Al bersiap-siap untuk membereskan barang-barangku. Pandanganku tertuju pada benda pipih yang tergeletak di kursi tempat Akilah tadi. Aku mengambilnya dan benar saja itu adalah handphone milik Akilah."Astaghfirullah, ini handphonenya Akilah ketinggalan, Mas." "Handphone Kila?" "Heem,, ini." Aku memberikan handphonenya itu pada Mas Al."Heeh dasar, masih muda udah pikun!" "Ist, ko gitu amat sih, Mas? He he. Nanti kita mampir dulu aja ke rumah mereka gimana? Kita juga akhirnya enggak jadi ikut antar mereka kan kemaren?"Mas Al terlihat berpikir. "Ya, baiklah." Setelah selesai membereskan barang-barangku, Mas Al membereskan administrasi terlebih dahulu sebelum kami keluar dari rumah sakit. Setelah itu kita pun segera menuju rumah Akilah karena kebetulan letak rumah Akilah lebih dekat dari rumah sakit di banding ke rumahku atau Ibu. Hanya beberapa menit kita pun sampai di rumah baru Akilah. "Assalamualaikum, Bi, Kila ada
"Aw!" Akilah sedikit terkejut karena tangannya di tarik oleh Mas Azzam. "Ada apa sih, Mas?" Mas Azzam menatap tajam Akilah dengan cekalan tangan yang semakin kuat. "Jika sampai mereka tahu keadaan rumah tangga kita. Itu berarti salah kamu, Kila!" Akilah meringis karena cengkeraman tangan Mas Azzam tidak main-main. "Kamu benar-benar sakit, Mas. Aku pikir pria sepertimu tidak memiliki penyakit seperti itu, tapi nyatanya kamu benar-benar gila." Mendengar cemohan Akilah, tangan Mas Azzam beralih mencengkram dagu Akilah. "Ya, aku memang sakit. Dan itu semua karena Kakakmu, Kila. Jadi, kamu yang harus menanggung akibatnya. Jika aku sakit dan gila karena aku tidak bisa memiliki Ana, maka kamu pun harus merasakan hal yang sama." Akilah kembali merembeskan air matanya, dengan sekuat tenaga Akilah mencoba untuk menghentikan cengkeraman Mas Azzam. "Sakit, Mas, hiks! Kenapa? Kenapa harus aku yang harus menanggung akibatnya? Aku mencintaimu tapi kenapa kamu memperlakukanku seperti ini, Mas? Ji
"Mas, kamu kenapa sih? Aku lihat kamu itu murung terus? Ada apa?" Aku mengapit wajah Mas Salman dengan lembut. "Aku mohon jangan ada rahasia diantara kita." Mas Salman menatapku begitu dalam. "Tidak ada, sayang. Aku hanya tidak ingin banyak bicara aja." Aku menatap Mas Salam tak percaya. Setelah semua yang terjadi, aku tahu bagaimana keadaan raut wajah suamiku saat kesal, saat marah dan saat bahagia. Aku yakin Mas Salman menyembunyikan sesuatu dariku. "Ooh. Mas, aku ...." Aku menggantung ucapanku. "Enggak jadi deh." Aku pun beranjak dari duduk, namun, Mas Salman tak membiarkanku pergi dan menarik tubuhku. "Kamu apa, Ana?" tanya Mas Salman yang begitu penasaran karena ucapanku yang tergantung. Aku menarik napas panjang. "Aku tidak apa-apa. Aku hanya ingin menghirup udara sore di balkon," dalihku kembali beranjak, namun, lagi-lagi Mas Salman tak membiarkanku. "Jangan bohong, Ana. Kamu tidak bisa membohongiku." Aku pun kembali menarik napas dan duduk di samping Mas Salman dan mera
"Aaarrggghh!" Bugh!Bugh! Bugh! Mas Al memukul Mas Azzam tanpa henti. Amarahnya mungkin sudah tidak bisa ditahannya lagi setelah beberapa menit Mas Al menahannya. Aku dan Akilah pun berusaha untuk menarik tubuh Mas Al karena Mas Azzam semakin babak belur sebab tidak melawan sama sekali. "Mas, hentikan!" Kami menarik tubuh Mas Al dengan sekuat tenaga kami, namun, tenaga Mas Al masih bukan tandingan untuk kami. "Mas, Ku mohon hentikan! Jangan sakiti suamiku, Mas!" Akilah akhirnya menghalangi tubuh Mas Azzam dari depan, sehingga pukulan itu terkena juga pada Akilah. "Aw!" "Kila, astaghfirullah. Hentikan, Mas!" Aku menghalangi Mas Salman. Perlahan Mas Al pun berhenti memukul wajah Mas Azzam. "Aku akan menghabisimu." Bugh! "Akh!" Aku terkena pukulan Mas Al, setelah Akilah kini aku pun terjatuh karena terpukul oleh Mas Al. "Ana." Mas Al segera menghampiriku. "Maaf, sayang."Akilah kembali menghampiri Mas Azzam. "Mas, kamu tidak apa-apa? Kita ke dokter sekarang." Akilah merangkul t
Aku, Mas Al dan Ibu juga Ayah hanya menatap bingung pada Akilah yang begitu kekeh ingin mempertahankan pernikahannya dengan Mas Azzam. Walau aku tahu mungkin karena besarnya cinta Akilah pada Mas Azzam. Seperti halnya dulu saat Mas Al meminta maaf padaku.Akikah menarik napasnya. "Mas, aku tanya sama kamu. Apa kamu benar-benar tidak bisa mencintaiku, Mas? Aku tahu mungkin cintamu hanya untuk Kak Ana. Tapi, Kak Ana itu istri dari Mas Al. Jika saja kamu bisa menerimaku seperti hal nya Mas Al dulu menerima Kak Ana, insya Allah aku akan memaafkanmu dan menerimamu."Aku hanya bisa menggelengkan kepala mendengar penuturan dari Akilah. "Astaghfirullah, Kila.""Kila, putri Ayah, pikirkan baik-baik tentang keputusanmu, Nak." Ayah merangkul Akilah meyakinkan keputusan Akilah.Mas Azzam menatap Akilah. "Kila, apa kamu benar-benar mau memaafkanku?"Semua orang pun menoleh pada Mas Azzam. Ada hati yang tergores mendengar ucapan Mas Azzam karena aku pikir apa yang dilakukan oleh Mas Azzam sungguh j
"Aku tuh rindu sekali padamu, Mas," ucap sahabat Mas Salman saat berkunjung ke rumah kami. "Kamu sibuk banget akhir-akhir ini sampai tak pernah mampir ke apartemenku," ucapnya lagi pada Mas Salman dengan nada sangat manja yang membuatku sedikit merinding."Iya Sandy, maaf ya. Aku janji deh nanti malam mampir ke apartemen kamu. Aku juga sudah sangat rindu ngobrol bersamamu."Kata-kata itu terus terngiang di telingaku dan terus bergelayut di pikiranku juga memikirkan apa arti dari semua itu. Aku hanya mampu mematung dan mencerna dengan baik apa yang aku dengar tadi. Aku pun terus memutar memori kehidupan rumah tanggaku dengan Mas Salman yang sudah 2 bulan lamanya tapi Mas Salman bahkan belum pernah menyentuhku. Ya, aku Ana Risty, wanita yang sudah menikah 2 bulan lalu tapi nyatanya aku masih saja perawan.Mas Salman selalu berdalih jika dirinya sangat cape akibat pekerjaannya yang selalu banyak. Dan belum bisa menyentuhku karena mempunyai sedikit trauma di masa lalu. Aku sendiri tak ing
Aku, Mas Al dan Ibu juga Ayah hanya menatap bingung pada Akilah yang begitu kekeh ingin mempertahankan pernikahannya dengan Mas Azzam. Walau aku tahu mungkin karena besarnya cinta Akilah pada Mas Azzam. Seperti halnya dulu saat Mas Al meminta maaf padaku.Akikah menarik napasnya. "Mas, aku tanya sama kamu. Apa kamu benar-benar tidak bisa mencintaiku, Mas? Aku tahu mungkin cintamu hanya untuk Kak Ana. Tapi, Kak Ana itu istri dari Mas Al. Jika saja kamu bisa menerimaku seperti hal nya Mas Al dulu menerima Kak Ana, insya Allah aku akan memaafkanmu dan menerimamu."Aku hanya bisa menggelengkan kepala mendengar penuturan dari Akilah. "Astaghfirullah, Kila.""Kila, putri Ayah, pikirkan baik-baik tentang keputusanmu, Nak." Ayah merangkul Akilah meyakinkan keputusan Akilah.Mas Azzam menatap Akilah. "Kila, apa kamu benar-benar mau memaafkanku?"Semua orang pun menoleh pada Mas Azzam. Ada hati yang tergores mendengar ucapan Mas Azzam karena aku pikir apa yang dilakukan oleh Mas Azzam sungguh j
"Aaarrggghh!" Bugh!Bugh! Bugh! Mas Al memukul Mas Azzam tanpa henti. Amarahnya mungkin sudah tidak bisa ditahannya lagi setelah beberapa menit Mas Al menahannya. Aku dan Akilah pun berusaha untuk menarik tubuh Mas Al karena Mas Azzam semakin babak belur sebab tidak melawan sama sekali. "Mas, hentikan!" Kami menarik tubuh Mas Al dengan sekuat tenaga kami, namun, tenaga Mas Al masih bukan tandingan untuk kami. "Mas, Ku mohon hentikan! Jangan sakiti suamiku, Mas!" Akilah akhirnya menghalangi tubuh Mas Azzam dari depan, sehingga pukulan itu terkena juga pada Akilah. "Aw!" "Kila, astaghfirullah. Hentikan, Mas!" Aku menghalangi Mas Salman. Perlahan Mas Al pun berhenti memukul wajah Mas Azzam. "Aku akan menghabisimu." Bugh! "Akh!" Aku terkena pukulan Mas Al, setelah Akilah kini aku pun terjatuh karena terpukul oleh Mas Al. "Ana." Mas Al segera menghampiriku. "Maaf, sayang."Akilah kembali menghampiri Mas Azzam. "Mas, kamu tidak apa-apa? Kita ke dokter sekarang." Akilah merangkul t
"Mas, kamu kenapa sih? Aku lihat kamu itu murung terus? Ada apa?" Aku mengapit wajah Mas Salman dengan lembut. "Aku mohon jangan ada rahasia diantara kita." Mas Salman menatapku begitu dalam. "Tidak ada, sayang. Aku hanya tidak ingin banyak bicara aja." Aku menatap Mas Salam tak percaya. Setelah semua yang terjadi, aku tahu bagaimana keadaan raut wajah suamiku saat kesal, saat marah dan saat bahagia. Aku yakin Mas Salman menyembunyikan sesuatu dariku. "Ooh. Mas, aku ...." Aku menggantung ucapanku. "Enggak jadi deh." Aku pun beranjak dari duduk, namun, Mas Salman tak membiarkanku pergi dan menarik tubuhku. "Kamu apa, Ana?" tanya Mas Salman yang begitu penasaran karena ucapanku yang tergantung. Aku menarik napas panjang. "Aku tidak apa-apa. Aku hanya ingin menghirup udara sore di balkon," dalihku kembali beranjak, namun, lagi-lagi Mas Salman tak membiarkanku. "Jangan bohong, Ana. Kamu tidak bisa membohongiku." Aku pun kembali menarik napas dan duduk di samping Mas Salman dan mera
"Aw!" Akilah sedikit terkejut karena tangannya di tarik oleh Mas Azzam. "Ada apa sih, Mas?" Mas Azzam menatap tajam Akilah dengan cekalan tangan yang semakin kuat. "Jika sampai mereka tahu keadaan rumah tangga kita. Itu berarti salah kamu, Kila!" Akilah meringis karena cengkeraman tangan Mas Azzam tidak main-main. "Kamu benar-benar sakit, Mas. Aku pikir pria sepertimu tidak memiliki penyakit seperti itu, tapi nyatanya kamu benar-benar gila." Mendengar cemohan Akilah, tangan Mas Azzam beralih mencengkram dagu Akilah. "Ya, aku memang sakit. Dan itu semua karena Kakakmu, Kila. Jadi, kamu yang harus menanggung akibatnya. Jika aku sakit dan gila karena aku tidak bisa memiliki Ana, maka kamu pun harus merasakan hal yang sama." Akilah kembali merembeskan air matanya, dengan sekuat tenaga Akilah mencoba untuk menghentikan cengkeraman Mas Azzam. "Sakit, Mas, hiks! Kenapa? Kenapa harus aku yang harus menanggung akibatnya? Aku mencintaimu tapi kenapa kamu memperlakukanku seperti ini, Mas? Ji
Setelah Akilah akhirnya hilang dari pandangan kami, aku dan Mas Al bersiap-siap untuk membereskan barang-barangku. Pandanganku tertuju pada benda pipih yang tergeletak di kursi tempat Akilah tadi. Aku mengambilnya dan benar saja itu adalah handphone milik Akilah."Astaghfirullah, ini handphonenya Akilah ketinggalan, Mas." "Handphone Kila?" "Heem,, ini." Aku memberikan handphonenya itu pada Mas Al."Heeh dasar, masih muda udah pikun!" "Ist, ko gitu amat sih, Mas? He he. Nanti kita mampir dulu aja ke rumah mereka gimana? Kita juga akhirnya enggak jadi ikut antar mereka kan kemaren?"Mas Al terlihat berpikir. "Ya, baiklah." Setelah selesai membereskan barang-barangku, Mas Al membereskan administrasi terlebih dahulu sebelum kami keluar dari rumah sakit. Setelah itu kita pun segera menuju rumah Akilah karena kebetulan letak rumah Akilah lebih dekat dari rumah sakit di banding ke rumahku atau Ibu. Hanya beberapa menit kita pun sampai di rumah baru Akilah. "Assalamualaikum, Bi, Kila ada
"Mas, alhamdulillah." Aku segera memeluk Mas Al saat Mas Al datang setelah beberapa jam menghilang. "Kamu ke mana aja, Mas? Aku khawatir." Mas Al memeluk dan mengecupi wajahku. "Maafkan aku, Ana. Aku terlalu lemah dan tidak bisa mengendalikan diriku."Aku mengapit wajah Mas Al. "Aku takut kamu melakukan hal bodoh, Mas."Mas Al menatapku dengan sendu. "Tidak, Ana. Aku tidak akan membiarkanmu menjanda." Aku mengerutkan kening dan sedikit mengerucutkan bibirku. "Apa maksudmu, Mas?"Mas Al tersenyum tipis penuh arti. "Bukankah kamu pikir aku akan melakukan hal bodoh? Kamu pikir aku akan bunuh diri begitu?""Ist, bukan itu. Aku pikir kamu sama Santi ...." Aku menunduk tak sanggup melanjutkan ucapanku. Mas Al menatapku dengan tersenyum getir. Nyatanya tidak hanya bagiku, trauma masa lalu itu tidak mudah bagi Mas Al. Sungguh, luka itu tidak hanya untukku, tapi juga untuk Mas Al. "Maaf, Mas. Maaf aku membuatmu-" Cup!"Kamu tidak salah, sayang. Aku yang salah." Dalam sejenak kami terdiam
"Mas, Al-ku." Santi dengan cepat membuka pintu apartemennya saat tahu Mas Salman menuju ke kamarnya. "Mas Al, aku yakin kamu juga tidak bisa hidup tanpaku," ucapnya lagi dengan merapikan bajunya. Mas Salman terdiam sejenak menatap pintu kamar apartemen Santi. Matanya memejam dengan kepalan tangan yang erat. Entah apa yang membuatnya mengepalkan tangan yang jelas Mas Salman begitu terlihat marah. Ting! tong! "Mas Al." Santi hendak memeluk Mas Salman, namun, Mas Salman menepis tubuhnya hingga terjatuh. "Aw, Mas. Kok kamu dorong aku sih? Kamu jahat deh." "Bangun, Santi! Kamu itu jagoan bukan? Kamu sudah melakukan hal kriminal pada anak dan istriku!" sentak Mas Salman dengan emosinya. Santi menatap Mas Salman dengan sendu. "Apa sih maksudmu, Mas?" Mas Salman menatap Santi dengan sorot mata merah tajam. Tangannya tak bisa lagi menahan amarahnya. Mas Salman menarik tubuh Santi dan mencengkeram kerah baju Santi. "Apa yang kamu lakukan pada istri dan anakku, hah?" Tubuh Santi bergeta
"Berani kamu menyakiti Ana-ku, hah?" sentak Mas Azzam pada Santi dengan tangan mencengkram erat pada leher Santi. Santi meringis matanya pun sedikit terbelalak. "Le-pas-sin!" Mas Azzam semakin mencengkeram leher Santi dengan begitu emosi. Untung saja handphonenya berbunyi. Mas Azzam pun mau tidak mau harus melepaskan cengkraman tangannya dari leher Santi."Uhuk! Uhuk! Hampir saja aku mati." Santi mengusap lehernya yang sakit akibat cengkeraman Mas Azzam. "Ya, bagaimana keadaan Ana, Kila?" ucap Mas Azzam pada sambungan teleponnya. "Baiklah, aku akan segera ke sana." Santi menatap takut pada Mas Azzam. Santi mengangkat wajahnya menatap Mas Azzam sejenak, lalu kembali menunduk karena takut. Mas Azzam masih menatap Santi dengan amarah. "Ini adalah awal peringatan untukmu! Jika sampai terjadi apa-apa pada Ana-ku. Maka aku tidak akan segan-segan untuk membunuhmu, ingat itu!" Mas Azzam beranjak pergi meninggalkan Santi yang masih memegang lehernya yang sakit. "Dasar gila, kalau memang
"Mas, aku jadi pergi ya sama Ibu. Jangan telponin aku terus ya. Nanti enggak jadi-jadi aku berburu diskonnya," ucapku pada Mas Salman, tentu saja membuat semua orang tertawa. "Ha ha, kamu ini, Al. Tenang aja, sekarang kan perginya sama Ibu. Tenang pasti Ibu jagain, iya'kan, Bu?" "He he, iya, Ayah. Siap! Tenang saja kalau soal jaga menjaga dari para pria jelalatan mah, ibu jagonya," ujar Ibu, kembali membuat semua orang tertawa renyah, termasuk Akilah. "Kila, apa Mas Azzam mau berangkat kerja juga?" tanyaku melihat Mas Azzam berjalan ke arah meja makan dengan sudah berpakaian lengkap ke kantor. "Iya, Kak. Katanya jenuh di rumah," ujar Akilah, "oh iya, apa Ayah dan Ibu sudah bilang aku akan pulang ke rumah kami nanti sore?" Aku dan Mas Salman menoleh pada Ayah dan Ibu. "Belum," ucap kami serentak.Ayah memalingkan wajahnya. "Mau bagaimana lagi, Kila? Mereka itu berada di kamar terus, bahkan melebihi kalian yang pengantin baru," ujar Ayah menyindir kamu. Aku pun menunduk malu karen