"Aku tuh rindu sekali padamu, Mas," ucap sahabat Mas Salman saat berkunjung ke rumah kami. "Kamu sibuk banget akhir-akhir ini sampai tak pernah mampir ke apartemenku," ucapnya lagi pada Mas Salman dengan nada sangat manja yang membuatku sedikit merinding.
"Iya Sandy, maaf ya. Aku janji deh nanti malam mampir ke apartemen kamu. Aku juga sudah sangat rindu ngobrol bersamamu."Kata-kata itu terus terngiang di telingaku dan terus bergelayut di pikiranku juga memikirkan apa arti dari semua itu. Aku hanya mampu mematung dan mencerna dengan baik apa yang aku dengar tadi. Aku pun terus memutar memori kehidupan rumah tanggaku dengan Mas Salman yang sudah 2 bulan lamanya tapi Mas Salman bahkan belum pernah menyentuhku. Ya, aku Ana Risty, wanita yang sudah menikah 2 bulan lalu tapi nyatanya aku masih saja perawan.Mas Salman selalu berdalih jika dirinya sangat cape akibat pekerjaannya yang selalu banyak. Dan belum bisa menyentuhku karena mempunyai sedikit trauma di masa lalu. Aku sendiri tak ingin mempermasalahkan hal itu karena takut jika Mas Salman menganggapku istri yang tak bisa mengerti pada suaminya.Hari ini suamiku kedatangan tamu bernama Mas Sandy. Yang aku tahu mereka adalah sahabat yang sangat dekat. Bahkan saat pernikahan kami di langsungkan, Mas Sandy sangat sibuk mengatur dan mengurus segala keperluannya. Mas Salman bilang agar aku bisa fokus pada diriku dan tak sibuk dengan urusan pernikahan kami yang lain.Aku menyambut Mas Sandy dengan suka cita karena memang aku pun sudah sedikit kenal dan akrab dengannya. "Aku ambilkan dulu minum ya, Mas Sandy. Mas Sandy mau minum apa?""Apa aja aku minum ko, he he," ujarnya dengan tawa sedikit gemulai. "Aku itu apa aja masuk An, he he," ujarnya lagi dengan gurauan seperti biasa.Sekembalinya dari dapur, aku mematung dan tak berani meneruskan langkah kakiku saat aku dengar obrolan suamiku dengan Mas Sandy. Bahkan aku meraba-raba dadaku yang sesak akibat ucapan mesra suamiku pada seorang pria yang katanya sahabatnya itu. Entah karena lupa atau tak sengaja ucapan mereka sedikit kencang membuat aku sangat jelas mendengar obrolan mereka yang menjijikkan.Aku tak jadi membawa minuman itu pada Mas Sandy. Aku berlari ke kamarku dengan beribu pemikiran yang masih sangat tabu bagiku. Entah apa yang ada dalam benakku saat ini yang ku tahu hanyalah sesak tak berarti."Ya Allah ... aku tahu apa yang aku lakukan sekarang ini salah. Tapi aku tidak punya tempat berbagi selain Mas Azzam." Aku mengirim pesan pada sahabat baikku, aku pun membuka balasan dari pesan yang aku kirim pada Mas Azzam.{"Kamu jangan buru-buru bersuudzon dan mencurigainya yang tidak-tidak, An. Mungkin mereka bercanda."}Itulah balasan dari Mas Azzam perihal pesan yang aku kirim. Aku tahu jika seharusnya aku tidak terburu-buru mengambil kesimpulan yang buruk itu pada suamiku. Akan tetapi, apa yang terjadi dalam pernikahanku selama 2bulan bersama Mas Salman menunjukkan ketidak beresan dalam rumah tanggaku.Aku pun menghembuskan napas dengan berat. Aku teringat kembali pada Ibu yang masih terbaring lemah di rumah sakit akibat penyakit yang telah lama diderita oleh Ibu. Akhirnya aku pun pasrah dan kembali mengubur pikiran burukku pada Mas Salman."Ana, kok kamu tidak jadi bawa minuman pada Sandy sih? Sandy sampai kehausan menunggu minuman yang kamu bawa." Mas Salman seperti sangat kesal padaku. "Kamu kok mulai bertingkah sih, An."Aku pun menatap Mas Salman sedikit tak mengerti. "Apa maksudmu aku bertingkah Mas?"Mas Salman menatapku dengan sinis. "Sudahlah, An. Aku capek aku males berdebat denganmu," ucapnya dengan langsung memasuki kamar mandi.Aku pun menatap kepergian suamiku itu dengan penuh tanda tanya. Tanda tanya dengan penuh kebingungan karena aku rasa jika suamiku tidaklah mungkin tak menyukaiku sebagai seorang pria kepada seorang wanita. Aku memang tidak dikatakan seperti primadona, tapi jika aku bandingkan dengan teman-temanku di desa, aku termasuk wanita yang mempunyai wajah cantik.Aku pun sangat bangga ketika aku bisa bersanding dengan Mas Salman. Pria keturunan Timur Tengah yang mempunyai hidung mancung serta berperawakan gagah, tinggi besar. Apalagi Mas Salman termasuk salah satu pengusaha hebat dan pewaris dari keluarga Emir yang terkenal akan kekayaan dan kesantunannya.Kemapanan itu pula'lah membuat Mas Salman terlihat semakin tampan dan gagah. Fisik yang nyaris sempurna, kekayaan yang berlimpah serta bibit bobot keluarga yang baik. Membuatku merasa menjadi orang yang sangat beruntung bisa menjadi istri seorang Salman Emir.Namun, nyatanya keberuntungan itu tak jua aku dapatkan dalam rumah tanggaku bersama Mas Salman. Selama menjadi istri dari Mas Salman, aku memang tidak di perlakukan buruk oleh Mas Salman. Hanya saja, kebutuhan bathin yang tak pernah di berikan oleh suamiku.Bayangan menjadi seorang wanita yang paling beruntung itu pun hanya sebatas angan-angan saja. Karena nyatanya sudah dua bulan lamanya kami menikah, aku masih perawan. Suamiku tak pernah merasa ingin menyentuhku walaupun aku memakai pakaian yang menurut keluarganya itu bisa menyukseskan malam pengantin kami.Hari berganti hari aku lalui seperti biasanya tak pernah merasa curiga lagi pada suamiku. Aku pun sudah melupakan ucapan dan obrolan menjijikkan antara suamiku dengan Mas Sandy hari itu. Namun, ternyata Allah ingin sekali memberitahuku apa rahasia besar dari suami tampan dan gagahku itu.'Mas Salman?' batinku saat aku melihat Mas Salman tengah makan malam bersama Mas Sandy di satu restoran ternama di ibukota. Padahal aku tahunya jika saat ini Mas Salman tengah berada di luar kota. "Sa, aku ke toilet bentar ya," ucapku pada Elsa teman baikku yang kini tengah makan malam bersamaku."Ooh ... siap, An."Aku pun berjalan menuju tempat Mas Salman dan Mas Sandy berada. Aku melihat mereka dari kejauhan untuk memastikan jika itu memang benar Mas Salman. Sampai akhirnya tak lama mereka pun beranjak dan pergi dari restoran itu.Aku kembali berlari memasuki taksi untuk mengikuti mereka. Pikiran burukku kembali menghampiri dan menggelayut dalam pikiranku. Dengan perasaan cemas serta takut aku terus mengikuti mobil yang dikendarai Mas Salman.Tiba di satu hotel ternama di ibukota pula mobil mereka berhenti. Jantung dan pikiranku pun tak karuan menerka semua hal buruk yang akan terjadi setelah ini. Apalagi Mas Salman saat ini tengah berbohong padaku jika dirinya tengah berada di luar kota. Nyatanya, saat ini Mas Salman tengah berada di hotel bersama Mas Sandy."Ya Allah ... walaupun ini menyakitkan, tapi jika ini adalah untuk kebaikan masa depanku, tunjukkanlah kebenarannya. Agar aku pun tidak terus-terusan berpikiran buruk pada suamiku." Aku memejamkan mata dan menguatkan hatiku untuk menghadapi kemungkinan buruk yang akan terjadi.Dengan berat hati aku melangkahkan kaki dan bertanya pada resepsionis apakah benar ada nama suamiku di hotel itu. Entah karena selama ini mereka sudah terbiasa melakukannya atau karena Mas Salman menganggapku wanita yang tak tahu apa-apa. Mas Salman tidak menyembunyikan identitasnya sama sekali.Aku pun terus berjalan menelusuri lorong-lorong dalam hotel itu dengan langkah berat. Walaupun hati ini belum siap tetapi perasaan dan pikiran ingin tahu itu terus memaksaku untuk terus berjalan. Sampai tiba di nomor kamar yang aku dapatkan tadi dengan nama suamiku.Aku menarik napas dalam dan panjang untuk mempersiapkan diri akan segala kemungkinan buruk yang terjadi. Tak lupa juga aku terus berdoa jika apa yang aku lakukan ini tak salah. Aku pun mengambil handphoneku dan mencari nomor kontak suamiku."Hallo, ada apa sih? Aku masih sibuk bekerja Ana. Nanti kalau sudah selesai aku telpon balik ya!" Tak terasa air mataku meleleh membasahi pipiku saat mendengar kebohongan dari mulut suami yang
Aku mencoba berpikir setelah menenangkan diri dengan mengadu pada Robb-ku. Aku terus menggulir nama-nama kontak di handphoneku dengan penuh harapan. Mataku tertuju pada sahabatku bernama Elsa. Aku pun segera menghubunginya. "Gitu, ya, Sa? Baiklah, tidak apa-apa. Aku ngerti, Sa." Aku pun menghembuskan napas kecewa setelah menutup sambungan teleponku dari Elsa. Aku berniat untuk meminta bantuan Elsa, meminjam uangnya untuk sementara waktu sebelum aku nantinya punya gaji setelah bekerja. Aku bertekad akan bekerja setelah mendapatkan pinjaman untuk pengobatan Ibu sementara waktu. Namun, nyatanya Elsa pun kini tengah sedikit kesulitan karena biaya pengobatan Ibu juga tak sedikit. Aku kembali menggulir nama-nama di kontakku. Hanya Mas Azzam satu-satunya orang yang aku yakini bisa membantunya. "Aaakkkkkhhhh ... hiks, kenapa kamu kejam sekali, Mas?" teriakku mengurungkan niat untuk menghubungi Mas Azzam. "Tring!! Satu pesan masuk ke handphoneku dan ternyata itu adalah pesan dari Mas Salm
"Lepasin dia, atau aku akan merubuhkan tempat ini sekarang juga!" Pria bernama Zio itu hendak menghampiri Mas Salman, tapi di cekal oleh Ririn. Ririn menghampiri Mas Salman. "Tuan, tenanglah! Apa Anda juga ingin memboking Ana? Anda bis-" "Lepasin istriku, atau aku akan menutup tempat ini sekarang juga!" Mas Salman menatap Ririn dengan Ririn. "Kamu tahu siapa saya? Salman Emir, dan wanita itu adalah istriku." Ririn membekap mulutnya terkejut. Tentu saja mereka tahu siapa keluarga Emir, pengusaha paling berpengaruh di kota itu. Walau pun mereka tidak pernah ikut campur urusan club', tapi Ririn tahu resiko yang akan di tanggungnya karena berurusan dengan keluarga Emir. *****Sepanjang perjalanan aku hanya bisa terisak. Menangisi hidupku yang begitu pahit. Setelah aku di sesak oleh kenyataan dari Mas Salman. Kini aku pun di buat sesak karena hampir saja kehilangan harga diri karena kebodohanku yang percaya begitu saja pada Ririn. Entah apa yang Mas Salman bicarakan tadi dengan wanita
Tut ... tut ... tut ...( Nomer yang anda yang tuju saat ini tidak dapat di hubungi ) Aku mengusap wajahku begitu berat. Mas Azzam tidak aktif. Aku kembali memberikan semangat pada diriku sendiri. Aku memutuskan untuk ke pergi kantor Mas Azzam karena aku benar-benar tak punya pilihan. Sesampainya di kantor Mas Azzam, aku pun di buat kecewa karena nyatanya Mas Azzam tengah di luar kota."Ooh, gitu, Pak? Sejak kapan Mas Azzam ke luar kota?" "Tadi pagi, Bu Ana," kata asistennya. "Baik, terima kasih, ya Pak." Aku kembali meremas dadaku yang tak henti-hentinya sesak. Pupus sudah harapanku sekarang. Pria satu-satunya yang selalu peduli padaku pun kini tak bisa membantuku. Aku kembali ke rumah sakit karena hari sudah mulai sore. Pasrah, aku pasrah. "Selamat sore, istriku." Mas Salman kembali menyeringai mengejekku. Aku tidak menghiraukan Mas Salman dan lebih memilih fokus pada aktifitasku membereskan bajuku. Aku tahu maksud dan tujuannya mengejekku, tentu saja karena kini waktu yang di
"An, jika ada apa-apa dengan ibu kamu, jangan sampai kami tidak tahu ya, An. Ibu tidak akan memaafkan diri ibu jika sampai ibu menelantarkan kamu juga ibu kamu."Aku mengangkat wajahku menatap ibu mertua yang sangat menyayangiku. "Iya, Bu. Terima kasih karena ibu menyayangi Ana dengan tulus, juga begitu perhatian pada ibu Ana.""Kamu ini apaan sih, An? Kamu menantu ibu dan sudah pasti ibumu juga adalah ibu Salman, besan ibu," ujarnya meremas tanganku lembut. "Jangan bilang apa-apa lagi selain kata iya, okey!"Aku tersenyum tipis sedikit bahagia karena ternyata masih ada orang yang menyayangiku dengan tulus dari keluarga Mas Salman. "Iya, Bu.""Nah, begitu kan cantik, seperti menantu yang ibu inginkan, he he."Aku pun sedikit melupakan rasa sakit dan juga sesak di dadaku ketika ibu mertuaku menceritakan berbagai cerita padaku. Sampai ku dengar suara mobil Mas Salman memasuki garasi rumah kami. Ibu mertuaku begitu senang saat melihat putranya telah pulang ke rumah di siang hari."Bu, Ibu
"Lepasin Mas, sakit!" pekikku sambil ku dorong tubuh kekar Mas Salman yang membuat ku semakin menyayangkan sikapnya karena tidak sesuai dengan keadaan tubuhnya. "Aku tidak mengatakan apa-apa, sungguh!" ujarku memelas agar Mas Salman melepaskan cengkraman tangannya dari tanganku."Anaaa!" teriak seorang pria yang baru saja menyaksikan perlakuan Mas Salman padaku."Mas Azzam." Sungguh aku terkejut karena Mas Azzam kini menyaksikan perlakuan Mas Salman padaku. "Lepasin, Mas! Aku takut Mas Azzam tahu apa yang terjadi di antara kita," bisikku pada Mas Salman karena aku pun belum siap jika Mas Azzam mengetahui apa yang terjadi dalam pernikahanku."Apa yang kamu lakukan pada Ana, Salman?" Mas Azzam menarik ku dari Mas Salman. "Jika ada masalah, bicarakan'lah baik-baik tidak dengan memakai kekerasan," ucapnya lagi membuat ku semakin menyesal telah menyakiti hatinya dengan menikahi pria bejad seperti Mas Salman."Aku tidak apa-apa, Mas. Ini hanya salah paham," ucap ku tak ingin membuat Mas Azz
"An, kenapa kamu menatapku seperti itu? Apa hari ini aku terlihat tampan?" kata Mas Azzam bergurau.Aku pun memalingkan wajah karena malu telah kepergok Mas Azzam tengah menatap wajahnya. "Kamu memang selalu tampan, Mas." Aku dengan cepat membekap mulutku karena lagi-lagi mulutku mengucapkan makna yang tersirat dalam. "Seorang Azzam selalu tampan dari semenjak SMP sampai sekarang, he he," ucapku mengalihkan sangkaan penuh arti dari Mas Azzam yang kini juga tengah menatapku."Apa itu sebuah pujian?"Aku kembali menatap Mas Azzam sudah sedikit lega karena suasana kembali seperti biasa. "Mungkin, kamu memang tampan Mas. aku bingung aja kenapa kamu masih betah menjomblo, jangan bilang kamu tidak menyukai wanita Mas?" ejekku pada Mas Azzam.Mas Azzam bercedih tak suka dengan ucapanku. "Cih, amit-amit, An. Aku pria normal ya! Jantungku bahkan selalu berdebar-debar ketika berdekatan bersama wanita.""Oh, ya?" ejekku tak percaya. "Berarti sekarang kamu pun berdebar-debar, Mas? Kan dekat aku,
"Ana, aku ingin bicara." Mas Azzam menarik tangan ku dan membawa ku keluar dari ruangan Ibu.Aku dan Mas Azzam duduk di taman rumah sakit tak jauh dari ruangan Ibu. Dengan perasaan yang campur aduk aku menarik napas dalam-dalam. Aku yakin jika Mas Azzam akan bertanya banyak hal pada ku terutama tentang ucapan ku tadi."Sudah berapa lama kita bersahabat, An?" tanya Mas Azzam dengan suara khasnya."Kalau terhitung sejak kita bersahabat dari kita SMP, mungkin sudah hampir 10 tahun," ucapku dengan menatap lurus ke depan."Selama itu juga lah aku mencintaimu, Ana."Deg!!Entah aku harus merasa bahagia atau justru sedih karena aku lagi-lagi merasa menyesal karena sudah menikah dengan Mas Salman. Jujur, aku bahagia mendengar ucapan Mas Azzam. Namun, aku justru merasa bersalah karena tak bisa membalas cintanya."An, aku mencintaimu sejak kita masih SMA. Sampai sekarang belum ada yang mampu memasuki hati ini," ucapnya menoleh pada ku.Aku masih terdiam tak bergeming entah apa yang harus aku ka
Aku, Mas Al dan Ibu juga Ayah hanya menatap bingung pada Akilah yang begitu kekeh ingin mempertahankan pernikahannya dengan Mas Azzam. Walau aku tahu mungkin karena besarnya cinta Akilah pada Mas Azzam. Seperti halnya dulu saat Mas Al meminta maaf padaku.Akikah menarik napasnya. "Mas, aku tanya sama kamu. Apa kamu benar-benar tidak bisa mencintaiku, Mas? Aku tahu mungkin cintamu hanya untuk Kak Ana. Tapi, Kak Ana itu istri dari Mas Al. Jika saja kamu bisa menerimaku seperti hal nya Mas Al dulu menerima Kak Ana, insya Allah aku akan memaafkanmu dan menerimamu."Aku hanya bisa menggelengkan kepala mendengar penuturan dari Akilah. "Astaghfirullah, Kila.""Kila, putri Ayah, pikirkan baik-baik tentang keputusanmu, Nak." Ayah merangkul Akilah meyakinkan keputusan Akilah.Mas Azzam menatap Akilah. "Kila, apa kamu benar-benar mau memaafkanku?"Semua orang pun menoleh pada Mas Azzam. Ada hati yang tergores mendengar ucapan Mas Azzam karena aku pikir apa yang dilakukan oleh Mas Azzam sungguh j
"Aaarrggghh!" Bugh!Bugh! Bugh! Mas Al memukul Mas Azzam tanpa henti. Amarahnya mungkin sudah tidak bisa ditahannya lagi setelah beberapa menit Mas Al menahannya. Aku dan Akilah pun berusaha untuk menarik tubuh Mas Al karena Mas Azzam semakin babak belur sebab tidak melawan sama sekali. "Mas, hentikan!" Kami menarik tubuh Mas Al dengan sekuat tenaga kami, namun, tenaga Mas Al masih bukan tandingan untuk kami. "Mas, Ku mohon hentikan! Jangan sakiti suamiku, Mas!" Akilah akhirnya menghalangi tubuh Mas Azzam dari depan, sehingga pukulan itu terkena juga pada Akilah. "Aw!" "Kila, astaghfirullah. Hentikan, Mas!" Aku menghalangi Mas Salman. Perlahan Mas Al pun berhenti memukul wajah Mas Azzam. "Aku akan menghabisimu." Bugh! "Akh!" Aku terkena pukulan Mas Al, setelah Akilah kini aku pun terjatuh karena terpukul oleh Mas Al. "Ana." Mas Al segera menghampiriku. "Maaf, sayang."Akilah kembali menghampiri Mas Azzam. "Mas, kamu tidak apa-apa? Kita ke dokter sekarang." Akilah merangkul t
"Mas, kamu kenapa sih? Aku lihat kamu itu murung terus? Ada apa?" Aku mengapit wajah Mas Salman dengan lembut. "Aku mohon jangan ada rahasia diantara kita." Mas Salman menatapku begitu dalam. "Tidak ada, sayang. Aku hanya tidak ingin banyak bicara aja." Aku menatap Mas Salam tak percaya. Setelah semua yang terjadi, aku tahu bagaimana keadaan raut wajah suamiku saat kesal, saat marah dan saat bahagia. Aku yakin Mas Salman menyembunyikan sesuatu dariku. "Ooh. Mas, aku ...." Aku menggantung ucapanku. "Enggak jadi deh." Aku pun beranjak dari duduk, namun, Mas Salman tak membiarkanku pergi dan menarik tubuhku. "Kamu apa, Ana?" tanya Mas Salman yang begitu penasaran karena ucapanku yang tergantung. Aku menarik napas panjang. "Aku tidak apa-apa. Aku hanya ingin menghirup udara sore di balkon," dalihku kembali beranjak, namun, lagi-lagi Mas Salman tak membiarkanku. "Jangan bohong, Ana. Kamu tidak bisa membohongiku." Aku pun kembali menarik napas dan duduk di samping Mas Salman dan mera
"Aw!" Akilah sedikit terkejut karena tangannya di tarik oleh Mas Azzam. "Ada apa sih, Mas?" Mas Azzam menatap tajam Akilah dengan cekalan tangan yang semakin kuat. "Jika sampai mereka tahu keadaan rumah tangga kita. Itu berarti salah kamu, Kila!" Akilah meringis karena cengkeraman tangan Mas Azzam tidak main-main. "Kamu benar-benar sakit, Mas. Aku pikir pria sepertimu tidak memiliki penyakit seperti itu, tapi nyatanya kamu benar-benar gila." Mendengar cemohan Akilah, tangan Mas Azzam beralih mencengkram dagu Akilah. "Ya, aku memang sakit. Dan itu semua karena Kakakmu, Kila. Jadi, kamu yang harus menanggung akibatnya. Jika aku sakit dan gila karena aku tidak bisa memiliki Ana, maka kamu pun harus merasakan hal yang sama." Akilah kembali merembeskan air matanya, dengan sekuat tenaga Akilah mencoba untuk menghentikan cengkeraman Mas Azzam. "Sakit, Mas, hiks! Kenapa? Kenapa harus aku yang harus menanggung akibatnya? Aku mencintaimu tapi kenapa kamu memperlakukanku seperti ini, Mas? Ji
Setelah Akilah akhirnya hilang dari pandangan kami, aku dan Mas Al bersiap-siap untuk membereskan barang-barangku. Pandanganku tertuju pada benda pipih yang tergeletak di kursi tempat Akilah tadi. Aku mengambilnya dan benar saja itu adalah handphone milik Akilah."Astaghfirullah, ini handphonenya Akilah ketinggalan, Mas." "Handphone Kila?" "Heem,, ini." Aku memberikan handphonenya itu pada Mas Al."Heeh dasar, masih muda udah pikun!" "Ist, ko gitu amat sih, Mas? He he. Nanti kita mampir dulu aja ke rumah mereka gimana? Kita juga akhirnya enggak jadi ikut antar mereka kan kemaren?"Mas Al terlihat berpikir. "Ya, baiklah." Setelah selesai membereskan barang-barangku, Mas Al membereskan administrasi terlebih dahulu sebelum kami keluar dari rumah sakit. Setelah itu kita pun segera menuju rumah Akilah karena kebetulan letak rumah Akilah lebih dekat dari rumah sakit di banding ke rumahku atau Ibu. Hanya beberapa menit kita pun sampai di rumah baru Akilah. "Assalamualaikum, Bi, Kila ada
"Mas, alhamdulillah." Aku segera memeluk Mas Al saat Mas Al datang setelah beberapa jam menghilang. "Kamu ke mana aja, Mas? Aku khawatir." Mas Al memeluk dan mengecupi wajahku. "Maafkan aku, Ana. Aku terlalu lemah dan tidak bisa mengendalikan diriku."Aku mengapit wajah Mas Al. "Aku takut kamu melakukan hal bodoh, Mas."Mas Al menatapku dengan sendu. "Tidak, Ana. Aku tidak akan membiarkanmu menjanda." Aku mengerutkan kening dan sedikit mengerucutkan bibirku. "Apa maksudmu, Mas?"Mas Al tersenyum tipis penuh arti. "Bukankah kamu pikir aku akan melakukan hal bodoh? Kamu pikir aku akan bunuh diri begitu?""Ist, bukan itu. Aku pikir kamu sama Santi ...." Aku menunduk tak sanggup melanjutkan ucapanku. Mas Al menatapku dengan tersenyum getir. Nyatanya tidak hanya bagiku, trauma masa lalu itu tidak mudah bagi Mas Al. Sungguh, luka itu tidak hanya untukku, tapi juga untuk Mas Al. "Maaf, Mas. Maaf aku membuatmu-" Cup!"Kamu tidak salah, sayang. Aku yang salah." Dalam sejenak kami terdiam
"Mas, Al-ku." Santi dengan cepat membuka pintu apartemennya saat tahu Mas Salman menuju ke kamarnya. "Mas Al, aku yakin kamu juga tidak bisa hidup tanpaku," ucapnya lagi dengan merapikan bajunya. Mas Salman terdiam sejenak menatap pintu kamar apartemen Santi. Matanya memejam dengan kepalan tangan yang erat. Entah apa yang membuatnya mengepalkan tangan yang jelas Mas Salman begitu terlihat marah. Ting! tong! "Mas Al." Santi hendak memeluk Mas Salman, namun, Mas Salman menepis tubuhnya hingga terjatuh. "Aw, Mas. Kok kamu dorong aku sih? Kamu jahat deh." "Bangun, Santi! Kamu itu jagoan bukan? Kamu sudah melakukan hal kriminal pada anak dan istriku!" sentak Mas Salman dengan emosinya. Santi menatap Mas Salman dengan sendu. "Apa sih maksudmu, Mas?" Mas Salman menatap Santi dengan sorot mata merah tajam. Tangannya tak bisa lagi menahan amarahnya. Mas Salman menarik tubuh Santi dan mencengkeram kerah baju Santi. "Apa yang kamu lakukan pada istri dan anakku, hah?" Tubuh Santi bergeta
"Berani kamu menyakiti Ana-ku, hah?" sentak Mas Azzam pada Santi dengan tangan mencengkram erat pada leher Santi. Santi meringis matanya pun sedikit terbelalak. "Le-pas-sin!" Mas Azzam semakin mencengkeram leher Santi dengan begitu emosi. Untung saja handphonenya berbunyi. Mas Azzam pun mau tidak mau harus melepaskan cengkraman tangannya dari leher Santi."Uhuk! Uhuk! Hampir saja aku mati." Santi mengusap lehernya yang sakit akibat cengkeraman Mas Azzam. "Ya, bagaimana keadaan Ana, Kila?" ucap Mas Azzam pada sambungan teleponnya. "Baiklah, aku akan segera ke sana." Santi menatap takut pada Mas Azzam. Santi mengangkat wajahnya menatap Mas Azzam sejenak, lalu kembali menunduk karena takut. Mas Azzam masih menatap Santi dengan amarah. "Ini adalah awal peringatan untukmu! Jika sampai terjadi apa-apa pada Ana-ku. Maka aku tidak akan segan-segan untuk membunuhmu, ingat itu!" Mas Azzam beranjak pergi meninggalkan Santi yang masih memegang lehernya yang sakit. "Dasar gila, kalau memang
"Mas, aku jadi pergi ya sama Ibu. Jangan telponin aku terus ya. Nanti enggak jadi-jadi aku berburu diskonnya," ucapku pada Mas Salman, tentu saja membuat semua orang tertawa. "Ha ha, kamu ini, Al. Tenang aja, sekarang kan perginya sama Ibu. Tenang pasti Ibu jagain, iya'kan, Bu?" "He he, iya, Ayah. Siap! Tenang saja kalau soal jaga menjaga dari para pria jelalatan mah, ibu jagonya," ujar Ibu, kembali membuat semua orang tertawa renyah, termasuk Akilah. "Kila, apa Mas Azzam mau berangkat kerja juga?" tanyaku melihat Mas Azzam berjalan ke arah meja makan dengan sudah berpakaian lengkap ke kantor. "Iya, Kak. Katanya jenuh di rumah," ujar Akilah, "oh iya, apa Ayah dan Ibu sudah bilang aku akan pulang ke rumah kami nanti sore?" Aku dan Mas Salman menoleh pada Ayah dan Ibu. "Belum," ucap kami serentak.Ayah memalingkan wajahnya. "Mau bagaimana lagi, Kila? Mereka itu berada di kamar terus, bahkan melebihi kalian yang pengantin baru," ujar Ayah menyindir kamu. Aku pun menunduk malu karen