Aku mencoba berpikir setelah menenangkan diri dengan mengadu pada Robb-ku. Aku terus menggulir nama-nama kontak di handphoneku dengan penuh harapan. Mataku tertuju pada sahabatku bernama Elsa. Aku pun segera menghubunginya.
"Gitu, ya, Sa? Baiklah, tidak apa-apa. Aku ngerti, Sa." Aku pun menghembuskan napas kecewa setelah menutup sambungan teleponku dari Elsa.Aku berniat untuk meminta bantuan Elsa, meminjam uangnya untuk sementara waktu sebelum aku nantinya punya gaji setelah bekerja. Aku bertekad akan bekerja setelah mendapatkan pinjaman untuk pengobatan Ibu sementara waktu. Namun, nyatanya Elsa pun kini tengah sedikit kesulitan karena biaya pengobatan Ibu juga tak sedikit. Aku kembali menggulir nama-nama di kontakku. Hanya Mas Azzam satu-satunya orang yang aku yakini bisa membantunya."Aaakkkkkhhhh ... hiks, kenapa kamu kejam sekali, Mas?" teriakku mengurungkan niat untuk menghubungi Mas Azzam. "Tring!!Satu pesan masuk ke handphoneku dan ternyata itu adalah pesan dari Mas Salman yang mengingatkan aku untuk segera menyerah karena waktu yang diberikan olehnya terus berjalan. "Enggak, Mas. Aku tidak akan menyerah. Aku yakin aku pasti bisa membiayai pengobatan Ibu tanpamu."Aku tidak mungkin meminta bantuan Mas Azzam. Aku tidak ingin selalu membebani hidupnya dengan segala keluh kesahku. Aku bingung aku putus asa, tapi aku yakin jika Robb-ku akan memberikan jalan. Aku kembali menghubungi temanku yang lain. Dengan senyum bahagia aku bangkit karena akhirnya aku berhasil mendapatkan pekerjaan yang katanya akan dengan mudah membuatku mendapatkan uang."Alhamdulillah ya, Robb," ucapku senang. "Semangat, Ana. Pasti ada jalan, masih ada waktu agar aku bisa pergi dari pria tak punya hati itu. Ya, aku bisa tanpa pria sesat itu," ucapku yakin.****Tiba di satu Club ternama di Ibukota ...Walau dengan perasaan tidak nyaman karena aku tidak terbiasa dengan tempat seperti itu, aku mengedarkan pandangan di alamat yang aku dapatkan dari sahabatku. Aku terus menoleh ke kanan dan kiri mencari sahabatku yang katanya akan memberiku pekerjaan. Aku ragu pada tempat yang aku datangi saat ini, tapi aku tak punya pilihan karena aku butuh pekerjaan untuk biaya pengobatan Ibu.Aku merasa sedikit risih pada pandangan pria-pria di sana yang bahkan tengah meraba-raba bagian tubuh wanita namun matanya menatap ke arahku. Sekilas aku merinding membayangkan pekerjaan yang akan aku dapatkan di sana. Namun, bayangan Ibu yang terbaring lemah di rumah sakit kembali membuatku menepis sangkaan buruk itu."Enggak mungkin, Ririn wanita baik-baik. Pasti di sini dia bekerja sebagai pelayan atau ....""Anaaa."Aku langsung menoleh ke arah suara. Nampaklah gadis yang kusebut sahabatku itu dengan pakaian yang kurang bahan. Bahkan aku merasa malu sendiri saat melihat lekukan juga belahan di dadanya. Aku langsung menatap Ririn dari ujung kepala sampai ujung kakinya."Woi, Ana! Kenapa malah bengong?""Rin, kok bajumu terbuka seperti itu sih? Terus, aku kerja di sini?" tanyaku menoleh ke kanan dan kiri melihat pemandangan yang tak biasa aku lihat itu.Ririn tersenyum kecut. "Ini memang pekerjaan yang mudah untuk mendapatkan uang dengan cepat, An."Aku membelalakkan mata mendengar ungkapan dari Ririn. "Apa maksudmu, Rin?"Ririn merangkul tanganku dengan iba. "Aku tahu ini tidak nyaman. Aku juga dulu seperti kamu, tapi lama kelamaan aku terbiasa. Apalagi aku pun bisa mendapatkan uang yang banyak dengan cara yang mudah. Uang dapat, kenikmatan juga dapat," ujarnya dengan mata genitnya.Aku menghempaskan tangan Ririn. "Astagfirullah, Rin. Apa maksudmu pekerjaan yang kamu tawarkan padaku adalah-""Ck, kamu tidak perlu munafik seperti itu, An. Zaman sekarang uang lebih dari segalanya. Apalagi kamu cantik, pasti akan ada banyak pria yang ingin memberimu tips di luar harga yang Mami Sela berikan."Dadaku kembang kempis mendengar ucapan menjijikkan dari Ririn. Aku bingung pada mereka yang menganggap dosa besar itu sebagai hal biasa. Baik Ririn maupun Mas Salman menurutku mereka sama-sama menjijikkan. Sungguh aku menyesal karena percaya pada Ririn yang mengatakan akan membatuku keluar dari masalahku."Aku memang butuh uang, Rin. Tapi aku tidak sudi jika harus menjual harga diriku!" Aku membalikkan badan hendak pergi dari tempat yang menurutku menjijikkan itu."Mau kemana, cantik?"Aku tersentak karena aku di hadang oleh dua pria berbaju hitam dan berbadan kekar. Lalu aku menoleh pada Ririn yang saat ini tengah menyeringai. Aku begitu menyesal, aku kembali tertipu."Sorry, Ana. Semua yang sudah menginjakkan kaki di klub ini, dia tidak akan bisa keluar." Ririn memberikan kode pada kedua pria itu untuk membawaku."Lepasin! Ririn, kenapa kamu tega banget sih, Rin. Aku sahabatmu, Rin!"Ririn seolah tak mau mendengar teriakan dan cacian dariku. Aku diseret dan di bawah ke satu kamar yang berada di lantai dua. Aku terus berusaha berontak untuk lari dari mereka. Akan tetapi, tenaga mereka tentu saja lebih kuat dari tenagaku. Apalagi jiwa dan ragaku sudah lelah sejak kemarin, membuatku ingin sekali pasrah."Ya, Roob. Aku yakin ini semua adalah jalan terbaik untukku." Walau berat aku berusaha untuk tetap mengingat Robb yang memberiku kekuatan.Krieeet ..."Pake ini, An! Sebentar lagi kamu akan di bawa oleh tamu VVIP." Ririn melemparkan baju padaku. "Kamu itu beruntung banget, An. Baru juga datang sudah di boking pelanggan VVIP. Susah loh dapetinnya, aku aja baru satu kali. Cepetan ya An, ganti bajunya! Jangan sampai Mami Sela yang turun tangan, karena dia lebih kejam dariku." Ririn menyipitkan matanya memberi peringatan, lalu menutup kembali pintu itu.Aku masih terdiam tak bergeming. Entah apa yang harus aku lakukan saat ini karena jiwa dan ragaku begitu lelah. Namun, bayangan Ibu yang terbaring lemah kembali terpampang di benakku. Aku meraih baju di lemparkan oleh Ririn tadi. Aku begitu tersentak melihat baju itu karena menurutku tidak bisa dikatakan sebagai baju. Selain kain yang tipis, baju itu juga hanya menutupi bagian sensitifnya saja."Astagfirullah ...." Aku mengusap wajahku.Pintu kembali terbuka. "Loh, kok masih belum dipakai sih, An? Cepetan pake, pelanggan VVIP sudah menunggumu!""Enggak, Rin. Aku tidak mau memakai baju itu!"Ririn menatapku kesal. Lalu dengan paksa dia menarik jilbabku. Setelah itu dia memanggil pria berbadan kekar tadi."Kamu pake sendiri bajunya, atau mereka yang akan memaksamu, Ana?" Pria berbadan kekar itu tersenyum menyeringai penuh ejekkan.Aku tidak mungkin membiarkan mereka membuka bajuku dan akhirnya aku pasrah melepaskan sendiri baju syar'i yang selalu aku pakai. Dengan berat hati aku memakai baju kurang bahan yang di berikan oleh Ririn tadi. Ririn tersenyum puas melihatnya. Lalu membawaku keluar dari kamar itu dengan senang."Aku tidak mau, Rin! Aku mau pulang!" ucapku trus berusaha menutupi badanku dengan kedua tangan."Sudahlah, An. Aku ini ingin sekali membantumu." Tiba di lantai dasar, sudah terlihat pria hidung belang Tengah menatap aku dengan Ririn. "Bagaimana Tuan Zio?"Pria itu menatapku dari ujung kaki sampai ujung kepala. "Perfect," ucapnya mengedipkan mata.Aku merinding takut. "Aku tidak mau, Rin." Aku hendak berlari.Namun pria itu dengan cepat mencekal tanganku. "Kamu mau kemana, baby?""Lepasin! Lepasin! Aku tidak mau, Rin. Lepasin, aku, Rin!" Aku terus memberontak memanggil sahabatku yang saat ini tengah tersenyum puas melihatku dibawa oleh pria bernama Zio itu."Lepasin dia!" teriak seorang pria dari arah belakangku.Aku pun menoleh pada arah suara dengan bahagia. "Mas Salman."Lepasin dia, atau aku akan merubuhkan tempat ini sekarang juga!" Pria bernama Zio itu hendak menghampiri Mas Salman, tapi di cekal oleh Ririn. Ririn menghampiri Mas Salman. "Tuan, tenanglah! Apa Anda juga ingin memboking Ana? Anda bis-" "Lepasin istriku, atau aku akan menutup tempat ini sekarang juga!" Mas Salman menatap Ririn dengan Ririn. "Kamu tahu siapa saya? Salman Emir, dan wanita itu adalah istriku." Ririn membekap mulutnya terkejut. Tentu saja mereka tahu siapa keluarga Emir, pengusaha paling berpengaruh di kota itu. Walau pun mereka tidak pernah ikut campur urusan club', tapi Ririn tahu resiko yang akan di tanggungnya karena berurusan dengan keluarga Emir. *****Sepanjang perjalanan aku hanya bisa terisak. Menangisi hidupku yang begitu pahit. Setelah aku di sesak oleh kenyataan dari Mas Salman. Kini aku pun di buat sesak karena hampir saja kehilangan harga diri karena kebodohanku yang percaya begitu saja pada Ririn. Entah apa yang Mas Salman bicarakan tadi dengan wanita
Tut ... tut ... tut ...( Nomer yang anda yang tuju saat ini tidak dapat di hubungi ) Aku mengusap wajahku begitu berat. Mas Azzam tidak aktif. Aku kembali memberikan semangat pada diriku sendiri. Aku memutuskan untuk ke pergi kantor Mas Azzam karena aku benar-benar tak punya pilihan. Sesampainya di kantor Mas Azzam, aku pun di buat kecewa karena nyatanya Mas Azzam tengah di luar kota."Ooh, gitu, Pak? Sejak kapan Mas Azzam ke luar kota?" "Tadi pagi, Bu Ana," kata asistennya. "Baik, terima kasih, ya Pak." Aku kembali meremas dadaku yang tak henti-hentinya sesak. Pupus sudah harapanku sekarang. Pria satu-satunya yang selalu peduli padaku pun kini tak bisa membantuku. Aku kembali ke rumah sakit karena hari sudah mulai sore. Pasrah, aku pasrah. "Selamat sore, istriku." Mas Salman kembali menyeringai mengejekku. Aku tidak menghiraukan Mas Salman dan lebih memilih fokus pada aktifitasku membereskan bajuku. Aku tahu maksud dan tujuannya mengejekku, tentu saja karena kini waktu yang di
"An, jika ada apa-apa dengan ibu kamu, jangan sampai kami tidak tahu ya, An. Ibu tidak akan memaafkan diri ibu jika sampai ibu menelantarkan kamu juga ibu kamu."Aku mengangkat wajahku menatap ibu mertua yang sangat menyayangiku. "Iya, Bu. Terima kasih karena ibu menyayangi Ana dengan tulus, juga begitu perhatian pada ibu Ana.""Kamu ini apaan sih, An? Kamu menantu ibu dan sudah pasti ibumu juga adalah ibu Salman, besan ibu," ujarnya meremas tanganku lembut. "Jangan bilang apa-apa lagi selain kata iya, okey!"Aku tersenyum tipis sedikit bahagia karena ternyata masih ada orang yang menyayangiku dengan tulus dari keluarga Mas Salman. "Iya, Bu.""Nah, begitu kan cantik, seperti menantu yang ibu inginkan, he he."Aku pun sedikit melupakan rasa sakit dan juga sesak di dadaku ketika ibu mertuaku menceritakan berbagai cerita padaku. Sampai ku dengar suara mobil Mas Salman memasuki garasi rumah kami. Ibu mertuaku begitu senang saat melihat putranya telah pulang ke rumah di siang hari."Bu, Ibu
"Lepasin Mas, sakit!" pekikku sambil ku dorong tubuh kekar Mas Salman yang membuat ku semakin menyayangkan sikapnya karena tidak sesuai dengan keadaan tubuhnya. "Aku tidak mengatakan apa-apa, sungguh!" ujarku memelas agar Mas Salman melepaskan cengkraman tangannya dari tanganku."Anaaa!" teriak seorang pria yang baru saja menyaksikan perlakuan Mas Salman padaku."Mas Azzam." Sungguh aku terkejut karena Mas Azzam kini menyaksikan perlakuan Mas Salman padaku. "Lepasin, Mas! Aku takut Mas Azzam tahu apa yang terjadi di antara kita," bisikku pada Mas Salman karena aku pun belum siap jika Mas Azzam mengetahui apa yang terjadi dalam pernikahanku."Apa yang kamu lakukan pada Ana, Salman?" Mas Azzam menarik ku dari Mas Salman. "Jika ada masalah, bicarakan'lah baik-baik tidak dengan memakai kekerasan," ucapnya lagi membuat ku semakin menyesal telah menyakiti hatinya dengan menikahi pria bejad seperti Mas Salman."Aku tidak apa-apa, Mas. Ini hanya salah paham," ucap ku tak ingin membuat Mas Azz
"An, kenapa kamu menatapku seperti itu? Apa hari ini aku terlihat tampan?" kata Mas Azzam bergurau.Aku pun memalingkan wajah karena malu telah kepergok Mas Azzam tengah menatap wajahnya. "Kamu memang selalu tampan, Mas." Aku dengan cepat membekap mulutku karena lagi-lagi mulutku mengucapkan makna yang tersirat dalam. "Seorang Azzam selalu tampan dari semenjak SMP sampai sekarang, he he," ucapku mengalihkan sangkaan penuh arti dari Mas Azzam yang kini juga tengah menatapku."Apa itu sebuah pujian?"Aku kembali menatap Mas Azzam sudah sedikit lega karena suasana kembali seperti biasa. "Mungkin, kamu memang tampan Mas. aku bingung aja kenapa kamu masih betah menjomblo, jangan bilang kamu tidak menyukai wanita Mas?" ejekku pada Mas Azzam.Mas Azzam bercedih tak suka dengan ucapanku. "Cih, amit-amit, An. Aku pria normal ya! Jantungku bahkan selalu berdebar-debar ketika berdekatan bersama wanita.""Oh, ya?" ejekku tak percaya. "Berarti sekarang kamu pun berdebar-debar, Mas? Kan dekat aku,
"Ana, aku ingin bicara." Mas Azzam menarik tangan ku dan membawa ku keluar dari ruangan Ibu.Aku dan Mas Azzam duduk di taman rumah sakit tak jauh dari ruangan Ibu. Dengan perasaan yang campur aduk aku menarik napas dalam-dalam. Aku yakin jika Mas Azzam akan bertanya banyak hal pada ku terutama tentang ucapan ku tadi."Sudah berapa lama kita bersahabat, An?" tanya Mas Azzam dengan suara khasnya."Kalau terhitung sejak kita bersahabat dari kita SMP, mungkin sudah hampir 10 tahun," ucapku dengan menatap lurus ke depan."Selama itu juga lah aku mencintaimu, Ana."Deg!!Entah aku harus merasa bahagia atau justru sedih karena aku lagi-lagi merasa menyesal karena sudah menikah dengan Mas Salman. Jujur, aku bahagia mendengar ucapan Mas Azzam. Namun, aku justru merasa bersalah karena tak bisa membalas cintanya."An, aku mencintaimu sejak kita masih SMA. Sampai sekarang belum ada yang mampu memasuki hati ini," ucapnya menoleh pada ku.Aku masih terdiam tak bergeming entah apa yang harus aku ka
"Lepasin, Mas!" Aku mendorong Mas Salman dari bibirku. "Jangan kurang ajar kamu, Mas!" sentak ku dengan dada yang masih kembang kempis lalu berlari keluar ruangan Ibu karena takut mengganggu ketenangan Ibu.Mas Salman ikut keluar dan berdesis mengejek ku. "Heuh, bukannya kamu sangat menginginkan itu, Ana?" ejeknya menyunggingkan senyum. "Itu alasan kamu dekat dengan pria tadi bukan?"Aku menatap Mas Salman begitu geram entah apa yang ada di pikirannya. "Apa maksudmu, Mas? Sejak kapan kamu mempermasalahkan kedekatan ku dengan Mas Azzam, Mas? Bukankah kamu selalu sibuk dengan pekerjaanmu?" cercaku dengan emosi yang sudah menggunung. "Ah ... aku lupa, lebih tepatnya sibuk dengan urusan mu dengan Sandy."Plak!!Mas Salman menampar ku dengan sangat kuat. Sakit, sangat sakit. Ini kedua kalinya Mas Salman menampar pipiku setelah aku mengejek hubungannya dengan Mas Sandy."Kenapa, Mas? Apa kamu marah aku mengatakan jika itu adalah perbuatan terlarang? Tidakkah kamu berpikir bagaimana nanti pe
"Mas, yang sabar ya! Aku yakin ibu tidak akan kenapa-napa."Mas Salman menoleh pada Sandy dengan tatapan tajam. "Ini semua karena kamu, Sandy! Kenapa kamu harus datang ke rumah, hah?" sentaknya dengan sangat marah."Mas, aku khawatir padamu karena kamu tidak ada kabar sama sekali. Aku tahu keadaanmu seperti apa, jadi--" Cckiit!!Mobil yang dikendarai oleh ayah mertuaku berhenti tiba-tiba dengan sengaja. "Al, kamu suruh manusia itu keluar atau kamu tidak ayah izinkan bertemu lagi dengan ibumu!" sentaknya dengan kencang.Ayah mertua ku tahu bagaimana Mas Salman menyayangi ibunya jadi sangat mudah untuknya menekan Mas Salman. "Apa kamu mendengar ayah, Al?"Mas Salman akhirnya menyuruh Mas Sandy untuk keluar dari mobil. Walau Mas Sandy sangat ngotot ingin ikut namun Mas Salman pun menyuruh Sandy untuk keluar dengan tegas. Sampai akhirnya Mas Sandy pun keluar dari mobil, itulah yang ku lihat dari mobil Mas Azzam.Mobil kami sudah memasuki rumah sakit. Dengan segera Mas Salman membawa ibu
Aku, Mas Al dan Ibu juga Ayah hanya menatap bingung pada Akilah yang begitu kekeh ingin mempertahankan pernikahannya dengan Mas Azzam. Walau aku tahu mungkin karena besarnya cinta Akilah pada Mas Azzam. Seperti halnya dulu saat Mas Al meminta maaf padaku.Akikah menarik napasnya. "Mas, aku tanya sama kamu. Apa kamu benar-benar tidak bisa mencintaiku, Mas? Aku tahu mungkin cintamu hanya untuk Kak Ana. Tapi, Kak Ana itu istri dari Mas Al. Jika saja kamu bisa menerimaku seperti hal nya Mas Al dulu menerima Kak Ana, insya Allah aku akan memaafkanmu dan menerimamu."Aku hanya bisa menggelengkan kepala mendengar penuturan dari Akilah. "Astaghfirullah, Kila.""Kila, putri Ayah, pikirkan baik-baik tentang keputusanmu, Nak." Ayah merangkul Akilah meyakinkan keputusan Akilah.Mas Azzam menatap Akilah. "Kila, apa kamu benar-benar mau memaafkanku?"Semua orang pun menoleh pada Mas Azzam. Ada hati yang tergores mendengar ucapan Mas Azzam karena aku pikir apa yang dilakukan oleh Mas Azzam sungguh j
"Aaarrggghh!" Bugh!Bugh! Bugh! Mas Al memukul Mas Azzam tanpa henti. Amarahnya mungkin sudah tidak bisa ditahannya lagi setelah beberapa menit Mas Al menahannya. Aku dan Akilah pun berusaha untuk menarik tubuh Mas Al karena Mas Azzam semakin babak belur sebab tidak melawan sama sekali. "Mas, hentikan!" Kami menarik tubuh Mas Al dengan sekuat tenaga kami, namun, tenaga Mas Al masih bukan tandingan untuk kami. "Mas, Ku mohon hentikan! Jangan sakiti suamiku, Mas!" Akilah akhirnya menghalangi tubuh Mas Azzam dari depan, sehingga pukulan itu terkena juga pada Akilah. "Aw!" "Kila, astaghfirullah. Hentikan, Mas!" Aku menghalangi Mas Salman. Perlahan Mas Al pun berhenti memukul wajah Mas Azzam. "Aku akan menghabisimu." Bugh! "Akh!" Aku terkena pukulan Mas Al, setelah Akilah kini aku pun terjatuh karena terpukul oleh Mas Al. "Ana." Mas Al segera menghampiriku. "Maaf, sayang."Akilah kembali menghampiri Mas Azzam. "Mas, kamu tidak apa-apa? Kita ke dokter sekarang." Akilah merangkul t
"Mas, kamu kenapa sih? Aku lihat kamu itu murung terus? Ada apa?" Aku mengapit wajah Mas Salman dengan lembut. "Aku mohon jangan ada rahasia diantara kita." Mas Salman menatapku begitu dalam. "Tidak ada, sayang. Aku hanya tidak ingin banyak bicara aja." Aku menatap Mas Salam tak percaya. Setelah semua yang terjadi, aku tahu bagaimana keadaan raut wajah suamiku saat kesal, saat marah dan saat bahagia. Aku yakin Mas Salman menyembunyikan sesuatu dariku. "Ooh. Mas, aku ...." Aku menggantung ucapanku. "Enggak jadi deh." Aku pun beranjak dari duduk, namun, Mas Salman tak membiarkanku pergi dan menarik tubuhku. "Kamu apa, Ana?" tanya Mas Salman yang begitu penasaran karena ucapanku yang tergantung. Aku menarik napas panjang. "Aku tidak apa-apa. Aku hanya ingin menghirup udara sore di balkon," dalihku kembali beranjak, namun, lagi-lagi Mas Salman tak membiarkanku. "Jangan bohong, Ana. Kamu tidak bisa membohongiku." Aku pun kembali menarik napas dan duduk di samping Mas Salman dan mera
"Aw!" Akilah sedikit terkejut karena tangannya di tarik oleh Mas Azzam. "Ada apa sih, Mas?" Mas Azzam menatap tajam Akilah dengan cekalan tangan yang semakin kuat. "Jika sampai mereka tahu keadaan rumah tangga kita. Itu berarti salah kamu, Kila!" Akilah meringis karena cengkeraman tangan Mas Azzam tidak main-main. "Kamu benar-benar sakit, Mas. Aku pikir pria sepertimu tidak memiliki penyakit seperti itu, tapi nyatanya kamu benar-benar gila." Mendengar cemohan Akilah, tangan Mas Azzam beralih mencengkram dagu Akilah. "Ya, aku memang sakit. Dan itu semua karena Kakakmu, Kila. Jadi, kamu yang harus menanggung akibatnya. Jika aku sakit dan gila karena aku tidak bisa memiliki Ana, maka kamu pun harus merasakan hal yang sama." Akilah kembali merembeskan air matanya, dengan sekuat tenaga Akilah mencoba untuk menghentikan cengkeraman Mas Azzam. "Sakit, Mas, hiks! Kenapa? Kenapa harus aku yang harus menanggung akibatnya? Aku mencintaimu tapi kenapa kamu memperlakukanku seperti ini, Mas? Ji
Setelah Akilah akhirnya hilang dari pandangan kami, aku dan Mas Al bersiap-siap untuk membereskan barang-barangku. Pandanganku tertuju pada benda pipih yang tergeletak di kursi tempat Akilah tadi. Aku mengambilnya dan benar saja itu adalah handphone milik Akilah."Astaghfirullah, ini handphonenya Akilah ketinggalan, Mas." "Handphone Kila?" "Heem,, ini." Aku memberikan handphonenya itu pada Mas Al."Heeh dasar, masih muda udah pikun!" "Ist, ko gitu amat sih, Mas? He he. Nanti kita mampir dulu aja ke rumah mereka gimana? Kita juga akhirnya enggak jadi ikut antar mereka kan kemaren?"Mas Al terlihat berpikir. "Ya, baiklah." Setelah selesai membereskan barang-barangku, Mas Al membereskan administrasi terlebih dahulu sebelum kami keluar dari rumah sakit. Setelah itu kita pun segera menuju rumah Akilah karena kebetulan letak rumah Akilah lebih dekat dari rumah sakit di banding ke rumahku atau Ibu. Hanya beberapa menit kita pun sampai di rumah baru Akilah. "Assalamualaikum, Bi, Kila ada
"Mas, alhamdulillah." Aku segera memeluk Mas Al saat Mas Al datang setelah beberapa jam menghilang. "Kamu ke mana aja, Mas? Aku khawatir." Mas Al memeluk dan mengecupi wajahku. "Maafkan aku, Ana. Aku terlalu lemah dan tidak bisa mengendalikan diriku."Aku mengapit wajah Mas Al. "Aku takut kamu melakukan hal bodoh, Mas."Mas Al menatapku dengan sendu. "Tidak, Ana. Aku tidak akan membiarkanmu menjanda." Aku mengerutkan kening dan sedikit mengerucutkan bibirku. "Apa maksudmu, Mas?"Mas Al tersenyum tipis penuh arti. "Bukankah kamu pikir aku akan melakukan hal bodoh? Kamu pikir aku akan bunuh diri begitu?""Ist, bukan itu. Aku pikir kamu sama Santi ...." Aku menunduk tak sanggup melanjutkan ucapanku. Mas Al menatapku dengan tersenyum getir. Nyatanya tidak hanya bagiku, trauma masa lalu itu tidak mudah bagi Mas Al. Sungguh, luka itu tidak hanya untukku, tapi juga untuk Mas Al. "Maaf, Mas. Maaf aku membuatmu-" Cup!"Kamu tidak salah, sayang. Aku yang salah." Dalam sejenak kami terdiam
"Mas, Al-ku." Santi dengan cepat membuka pintu apartemennya saat tahu Mas Salman menuju ke kamarnya. "Mas Al, aku yakin kamu juga tidak bisa hidup tanpaku," ucapnya lagi dengan merapikan bajunya. Mas Salman terdiam sejenak menatap pintu kamar apartemen Santi. Matanya memejam dengan kepalan tangan yang erat. Entah apa yang membuatnya mengepalkan tangan yang jelas Mas Salman begitu terlihat marah. Ting! tong! "Mas Al." Santi hendak memeluk Mas Salman, namun, Mas Salman menepis tubuhnya hingga terjatuh. "Aw, Mas. Kok kamu dorong aku sih? Kamu jahat deh." "Bangun, Santi! Kamu itu jagoan bukan? Kamu sudah melakukan hal kriminal pada anak dan istriku!" sentak Mas Salman dengan emosinya. Santi menatap Mas Salman dengan sendu. "Apa sih maksudmu, Mas?" Mas Salman menatap Santi dengan sorot mata merah tajam. Tangannya tak bisa lagi menahan amarahnya. Mas Salman menarik tubuh Santi dan mencengkeram kerah baju Santi. "Apa yang kamu lakukan pada istri dan anakku, hah?" Tubuh Santi bergeta
"Berani kamu menyakiti Ana-ku, hah?" sentak Mas Azzam pada Santi dengan tangan mencengkram erat pada leher Santi. Santi meringis matanya pun sedikit terbelalak. "Le-pas-sin!" Mas Azzam semakin mencengkeram leher Santi dengan begitu emosi. Untung saja handphonenya berbunyi. Mas Azzam pun mau tidak mau harus melepaskan cengkraman tangannya dari leher Santi."Uhuk! Uhuk! Hampir saja aku mati." Santi mengusap lehernya yang sakit akibat cengkeraman Mas Azzam. "Ya, bagaimana keadaan Ana, Kila?" ucap Mas Azzam pada sambungan teleponnya. "Baiklah, aku akan segera ke sana." Santi menatap takut pada Mas Azzam. Santi mengangkat wajahnya menatap Mas Azzam sejenak, lalu kembali menunduk karena takut. Mas Azzam masih menatap Santi dengan amarah. "Ini adalah awal peringatan untukmu! Jika sampai terjadi apa-apa pada Ana-ku. Maka aku tidak akan segan-segan untuk membunuhmu, ingat itu!" Mas Azzam beranjak pergi meninggalkan Santi yang masih memegang lehernya yang sakit. "Dasar gila, kalau memang
"Mas, aku jadi pergi ya sama Ibu. Jangan telponin aku terus ya. Nanti enggak jadi-jadi aku berburu diskonnya," ucapku pada Mas Salman, tentu saja membuat semua orang tertawa. "Ha ha, kamu ini, Al. Tenang aja, sekarang kan perginya sama Ibu. Tenang pasti Ibu jagain, iya'kan, Bu?" "He he, iya, Ayah. Siap! Tenang saja kalau soal jaga menjaga dari para pria jelalatan mah, ibu jagonya," ujar Ibu, kembali membuat semua orang tertawa renyah, termasuk Akilah. "Kila, apa Mas Azzam mau berangkat kerja juga?" tanyaku melihat Mas Azzam berjalan ke arah meja makan dengan sudah berpakaian lengkap ke kantor. "Iya, Kak. Katanya jenuh di rumah," ujar Akilah, "oh iya, apa Ayah dan Ibu sudah bilang aku akan pulang ke rumah kami nanti sore?" Aku dan Mas Salman menoleh pada Ayah dan Ibu. "Belum," ucap kami serentak.Ayah memalingkan wajahnya. "Mau bagaimana lagi, Kila? Mereka itu berada di kamar terus, bahkan melebihi kalian yang pengantin baru," ujar Ayah menyindir kamu. Aku pun menunduk malu karen