"Lepasin dia, atau aku akan merubuhkan tempat ini sekarang juga!"
Pria bernama Zio itu hendak menghampiri Mas Salman, tapi di cekal oleh Ririn. Ririn menghampiri Mas Salman. "Tuan, tenanglah! Apa Anda juga ingin memboking Ana? Anda bis-""Lepasin istriku, atau aku akan menutup tempat ini sekarang juga!" Mas Salman menatap Ririn dengan Ririn. "Kamu tahu siapa saya? Salman Emir, dan wanita itu adalah istriku."Ririn membekap mulutnya terkejut. Tentu saja mereka tahu siapa keluarga Emir, pengusaha paling berpengaruh di kota itu. Walau pun mereka tidak pernah ikut campur urusan club', tapi Ririn tahu resiko yang akan di tanggungnya karena berurusan dengan keluarga Emir.*****Sepanjang perjalanan aku hanya bisa terisak. Menangisi hidupku yang begitu pahit. Setelah aku di sesak oleh kenyataan dari Mas Salman. Kini aku pun di buat sesak karena hampir saja kehilangan harga diri karena kebodohanku yang percaya begitu saja pada Ririn.Entah apa yang Mas Salman bicarakan tadi dengan wanita bernama Mami Sela. Karena Mas Salman langsung membawaku ke mobilnya. Yang jelas aku melihat Mas Salman seperti tengah bertransaksi dengan pemilik klub itu. Entahlah, aku pun tidak ingin memikirkannya lagi. Yang aku tahu aku bersyukur Mas Salman datang tepat waktu. Jika tidak, mungkin aku sekarang sudah kehilangan keperawanan bukan oleh suamiku."Kamu bilang kamu bisa tanpaku, Ana? Yang ada kamu malah merepotkan'ku," kata Mas Salman pada akhirnya.Walau hatiku lelah, aku menoleh pada Mas Salman. "Apa maksudmu, Mas?"Mas Salman kembali menyeringai sambil terus menyetir. "Kamu pikir saya ambil kamu dari tempat tadi gratis?"Dadaku kembali kembang kempis mendengar ucapan Mas Salman. Pemikiran buruk lain pun berdatangan di benakku. Sungguh aku ingin sekali berteriak jika saja aku mau Mas Salman semakin mengejekku."Kamu sudah buang-buang waktu juga uangku 100 juta untuk menebusmu pada wanita tua itu."Aku membelalakkan mata terkejut. "100 juta, Mas?"Mas Salman menoleh padaku. "Ingat, Ana. Waktumu hanya satu hari. Kamu harus bisa mengembalikan uang itu juga membayar pengobatan ibumu setelah 24 jam dari waktu yang tadi aku tetapkan."Aku meremas jok mobil yang aku duduki sekarang. Baru saja aku bahagia karena Mas Salman berhasil menyelamatkan'ku dari palacuran. Kini, Mas Salman membuatku mati kutu kembali karena harus mengembalikan uang yang dipakainya untuk menebusku dari Mami Sela."Kenapa kamu kejam sekali padaku, Mas? Apa salahku padamu?" sentakku dengan amarah yang menggebu-gebu walau nyatanya Mas Salman begitu santai menghadapi amarahku."Sudah lah, Ana. Aku tidak ingin lebih banyak lagi membuang waktuku hanya untuk mengurusimu." Mas Salman keluar dari mobilnya dan membukakan pintu untukku. "Turun! Saya masih ada urusan. Lagi pula ini sudah malam, kamu istirahatlah. Dan mulai kembali memikirkan cara untuk mengembalikan uang padaku," ucapnya kembali menyeringai puas karena telah kembali menjeratku."Aaakkkhh ... hiks, hiks, kenapa kamu setega ini, Mas? Padahal aku begitu memujamu." Aku meremas dadaku yang teramat sesak.Aku menarik napasku berat. Demi apapun ujian ini sungguh berat. Dengan langkah gontai aku kembali masuk ke rumah sakit karena Mas Salman menurunkan aku di jalan dekat rumah sakit Ibu di rawat.Menyesal, sungguh menyesal karena lagi-lagi aku tertipu oleh perlakuan baik Mas Salman. Mungkin memang benar Mas Salman sudah berhasil membawaku dari tempat haram tadi. Nyatanya, Mas Salman memang memanfaatkannya untuk kembali menjeratku. Kini beban yang harus aku hadapi semakin bertambah karena aku harus mendapatkan uang lain untuk menggantikan uang Mas Salman."Bagaimana mungkin aku bisa mengembalikan uang itu dalam waktu 12 jam." Aku mengusap wajahku mengingat waktu yang di berikan Mas Salman hanya 12 jam lagi.Aku menarik napas dengan begitu panjang dan dalam sambil terus berpikir apa yang harus aku lakukan sekarang. Apa aku harus diam dalam kebodohan mengikuti keinginan dari suamiku? Aku bingung karena aku tidak punya tempat untuk mengadu. Aku pun tidak mungkin menceritakan semuanya pada ibu juga ayah mertuaku karena jika itu terjadi, maka semua alat yang ada di tubuh Ibu saat ini sudah di pastikan tidak terpasang lagi."Astagfirullah Robbi." Aku mengusap wajahku dan menyeka air mata yang terus-menerus mengalir itu, dengan segenap jiwa dan raga aku bangkit dan memutuskan untuk tidak pulang dan akan tidur di rumah sakit bersama Ibu.******"Apa kamu masih belum menyerah, Ana?" Terdengar suara Mas Salman yang berteriak.Aku pun mengerjapkan mata dan membuka mataku yang masih sembab. Semalaman, ya, hampir semalaman aku menangis dalam sujudku pada sang Ilahi, terakhir aku menangis di samping ibuku yang masih terbaring lemah. Ibu, hanya ibu yang membuatku harus bertahan dengan perjanjian batil yang diminta oleh suamiku."Apa kamu sudah siap ibumu sekarat karena semua alat yang membuatnya masih hidup di lepas, Ana?" Mas Salman menatapku dengan senyum penuh ejekan. "Tepat jam 08.00, kamu sudah menghabiskan waktu 12 jam untuk berpikir, Ana. Jadi, pastikan kamu sudah siap untuk kehilangan ibumu, 12 jam dari sekarang."Aku menatap Mas Salman tak percaya. Bagaimana mungkin pria baik hati berstatus suamiku itu tega mengancamku seperti itu. Perih, sesak dan bingung menjadi satu karena tak mungkin aku bisa mencari jalan lain untuk pengobatan Ibu yang tak sedikit jumlahnya hanya dalam waktu 12 jam lagi."Kamu kejam, Mas! Kamu kejam!" Aku memukul tubuh Mas Salman, tak tahan dengan sikapnya yang tak punya hati itu."Sssttttt ... hentikan, Ana!" Mas Salman menyimpan jarinya di bibirku. "Karena marahmu hanya membuang-buang waktu untuk ibumu bernapas, hihihi." Mas Salman semakin membuatku murka pada tawa seringainya."Aku enggak akan nyerah, Mas! Aku yakin Allah akan membantuku pergi dari manusia tak punya hati sepertimu!""Baiklah, kalau begitu saya tunggu 12 jam dari sekarang, jam delapan malam nanti aku ke sini lagi. Dan aku pastikan kamu sudah siap dengan semuanya, Ana." Mas Salman mengedipkan matanya mengejekku lalu beranjak pergi meninggalkan rumah sakit.Aku kembali meremas dadaku. Sungguh sesak tak berkesesudahan dan itu adalah perbuatan suamiku sendiri. Suami yang nyatanya tak mencintaiku dan lebih mencintai sesama jenisnya.Aku berusaha berpikir kembali bagaimana caranya aku bisa mendapatkan uang untuk mengembalikan uang Mas Salman dan biaya pengobatan Ibu sementara. Pikiranku kalut, karena memang tidak ada cara lain. Tabungan yang aku punya pun tak banyak, karena aku memang tidak pernah meminta uang dari Mas Salman dan hanya minta padanya jika butuh. Aku pikir yang terpenting hidupku dan pengobatan Ibu terjamin, maka aku pun tak harus meminta banyak uang pada Mas Salman."Apa aku harus minta bantuan Mas Azzam?" Aku tak punya pilihan karena waktuku hanya 12 jam lagi dan mungkin sekarang sudah tinggal 11 jam lagi.Tut ... tut ... tut ...( Nomer yang anda yang tuju saat ini tidak dapat di hubungi ) Aku mengusap wajahku begitu berat. Mas Azzam tidak aktif. Aku kembali memberikan semangat pada diriku sendiri. Aku memutuskan untuk ke pergi kantor Mas Azzam karena aku benar-benar tak punya pilihan. Sesampainya di kantor Mas Azzam, aku pun di buat kecewa karena nyatanya Mas Azzam tengah di luar kota."Ooh, gitu, Pak? Sejak kapan Mas Azzam ke luar kota?" "Tadi pagi, Bu Ana," kata asistennya. "Baik, terima kasih, ya Pak." Aku kembali meremas dadaku yang tak henti-hentinya sesak. Pupus sudah harapanku sekarang. Pria satu-satunya yang selalu peduli padaku pun kini tak bisa membantuku. Aku kembali ke rumah sakit karena hari sudah mulai sore. Pasrah, aku pasrah. "Selamat sore, istriku." Mas Salman kembali menyeringai mengejekku. Aku tidak menghiraukan Mas Salman dan lebih memilih fokus pada aktifitasku membereskan bajuku. Aku tahu maksud dan tujuannya mengejekku, tentu saja karena kini waktu yang di
"An, jika ada apa-apa dengan ibu kamu, jangan sampai kami tidak tahu ya, An. Ibu tidak akan memaafkan diri ibu jika sampai ibu menelantarkan kamu juga ibu kamu."Aku mengangkat wajahku menatap ibu mertua yang sangat menyayangiku. "Iya, Bu. Terima kasih karena ibu menyayangi Ana dengan tulus, juga begitu perhatian pada ibu Ana.""Kamu ini apaan sih, An? Kamu menantu ibu dan sudah pasti ibumu juga adalah ibu Salman, besan ibu," ujarnya meremas tanganku lembut. "Jangan bilang apa-apa lagi selain kata iya, okey!"Aku tersenyum tipis sedikit bahagia karena ternyata masih ada orang yang menyayangiku dengan tulus dari keluarga Mas Salman. "Iya, Bu.""Nah, begitu kan cantik, seperti menantu yang ibu inginkan, he he."Aku pun sedikit melupakan rasa sakit dan juga sesak di dadaku ketika ibu mertuaku menceritakan berbagai cerita padaku. Sampai ku dengar suara mobil Mas Salman memasuki garasi rumah kami. Ibu mertuaku begitu senang saat melihat putranya telah pulang ke rumah di siang hari."Bu, Ibu
"Lepasin Mas, sakit!" pekikku sambil ku dorong tubuh kekar Mas Salman yang membuat ku semakin menyayangkan sikapnya karena tidak sesuai dengan keadaan tubuhnya. "Aku tidak mengatakan apa-apa, sungguh!" ujarku memelas agar Mas Salman melepaskan cengkraman tangannya dari tanganku."Anaaa!" teriak seorang pria yang baru saja menyaksikan perlakuan Mas Salman padaku."Mas Azzam." Sungguh aku terkejut karena Mas Azzam kini menyaksikan perlakuan Mas Salman padaku. "Lepasin, Mas! Aku takut Mas Azzam tahu apa yang terjadi di antara kita," bisikku pada Mas Salman karena aku pun belum siap jika Mas Azzam mengetahui apa yang terjadi dalam pernikahanku."Apa yang kamu lakukan pada Ana, Salman?" Mas Azzam menarik ku dari Mas Salman. "Jika ada masalah, bicarakan'lah baik-baik tidak dengan memakai kekerasan," ucapnya lagi membuat ku semakin menyesal telah menyakiti hatinya dengan menikahi pria bejad seperti Mas Salman."Aku tidak apa-apa, Mas. Ini hanya salah paham," ucap ku tak ingin membuat Mas Azz
"An, kenapa kamu menatapku seperti itu? Apa hari ini aku terlihat tampan?" kata Mas Azzam bergurau.Aku pun memalingkan wajah karena malu telah kepergok Mas Azzam tengah menatap wajahnya. "Kamu memang selalu tampan, Mas." Aku dengan cepat membekap mulutku karena lagi-lagi mulutku mengucapkan makna yang tersirat dalam. "Seorang Azzam selalu tampan dari semenjak SMP sampai sekarang, he he," ucapku mengalihkan sangkaan penuh arti dari Mas Azzam yang kini juga tengah menatapku."Apa itu sebuah pujian?"Aku kembali menatap Mas Azzam sudah sedikit lega karena suasana kembali seperti biasa. "Mungkin, kamu memang tampan Mas. aku bingung aja kenapa kamu masih betah menjomblo, jangan bilang kamu tidak menyukai wanita Mas?" ejekku pada Mas Azzam.Mas Azzam bercedih tak suka dengan ucapanku. "Cih, amit-amit, An. Aku pria normal ya! Jantungku bahkan selalu berdebar-debar ketika berdekatan bersama wanita.""Oh, ya?" ejekku tak percaya. "Berarti sekarang kamu pun berdebar-debar, Mas? Kan dekat aku,
"Ana, aku ingin bicara." Mas Azzam menarik tangan ku dan membawa ku keluar dari ruangan Ibu.Aku dan Mas Azzam duduk di taman rumah sakit tak jauh dari ruangan Ibu. Dengan perasaan yang campur aduk aku menarik napas dalam-dalam. Aku yakin jika Mas Azzam akan bertanya banyak hal pada ku terutama tentang ucapan ku tadi."Sudah berapa lama kita bersahabat, An?" tanya Mas Azzam dengan suara khasnya."Kalau terhitung sejak kita bersahabat dari kita SMP, mungkin sudah hampir 10 tahun," ucapku dengan menatap lurus ke depan."Selama itu juga lah aku mencintaimu, Ana."Deg!!Entah aku harus merasa bahagia atau justru sedih karena aku lagi-lagi merasa menyesal karena sudah menikah dengan Mas Salman. Jujur, aku bahagia mendengar ucapan Mas Azzam. Namun, aku justru merasa bersalah karena tak bisa membalas cintanya."An, aku mencintaimu sejak kita masih SMA. Sampai sekarang belum ada yang mampu memasuki hati ini," ucapnya menoleh pada ku.Aku masih terdiam tak bergeming entah apa yang harus aku ka
"Lepasin, Mas!" Aku mendorong Mas Salman dari bibirku. "Jangan kurang ajar kamu, Mas!" sentak ku dengan dada yang masih kembang kempis lalu berlari keluar ruangan Ibu karena takut mengganggu ketenangan Ibu.Mas Salman ikut keluar dan berdesis mengejek ku. "Heuh, bukannya kamu sangat menginginkan itu, Ana?" ejeknya menyunggingkan senyum. "Itu alasan kamu dekat dengan pria tadi bukan?"Aku menatap Mas Salman begitu geram entah apa yang ada di pikirannya. "Apa maksudmu, Mas? Sejak kapan kamu mempermasalahkan kedekatan ku dengan Mas Azzam, Mas? Bukankah kamu selalu sibuk dengan pekerjaanmu?" cercaku dengan emosi yang sudah menggunung. "Ah ... aku lupa, lebih tepatnya sibuk dengan urusan mu dengan Sandy."Plak!!Mas Salman menampar ku dengan sangat kuat. Sakit, sangat sakit. Ini kedua kalinya Mas Salman menampar pipiku setelah aku mengejek hubungannya dengan Mas Sandy."Kenapa, Mas? Apa kamu marah aku mengatakan jika itu adalah perbuatan terlarang? Tidakkah kamu berpikir bagaimana nanti pe
"Mas, yang sabar ya! Aku yakin ibu tidak akan kenapa-napa."Mas Salman menoleh pada Sandy dengan tatapan tajam. "Ini semua karena kamu, Sandy! Kenapa kamu harus datang ke rumah, hah?" sentaknya dengan sangat marah."Mas, aku khawatir padamu karena kamu tidak ada kabar sama sekali. Aku tahu keadaanmu seperti apa, jadi--" Cckiit!!Mobil yang dikendarai oleh ayah mertuaku berhenti tiba-tiba dengan sengaja. "Al, kamu suruh manusia itu keluar atau kamu tidak ayah izinkan bertemu lagi dengan ibumu!" sentaknya dengan kencang.Ayah mertua ku tahu bagaimana Mas Salman menyayangi ibunya jadi sangat mudah untuknya menekan Mas Salman. "Apa kamu mendengar ayah, Al?"Mas Salman akhirnya menyuruh Mas Sandy untuk keluar dari mobil. Walau Mas Sandy sangat ngotot ingin ikut namun Mas Salman pun menyuruh Sandy untuk keluar dengan tegas. Sampai akhirnya Mas Sandy pun keluar dari mobil, itulah yang ku lihat dari mobil Mas Azzam.Mobil kami sudah memasuki rumah sakit. Dengan segera Mas Salman membawa ibu
"Dia bukan anak ibu lagi, Kila, hiks ... ibu bahkan setiap hari mengajarkan orang-orang untuk selalu bertakwa kepada Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Tapi anak ibu sendiri malah ...." Ibu tak mampu melanjutkan lagi ucapannya. "Buu, sudah ya. Untuk saat ini Ibu fokuslah pada kesehatan Ibu dulu." Aku terus membujuk Ibu mertuanya agar tetap tenang. "Bu, Ana mohon. Tenanglah! Ana pun sakit Bu, tapi Ana yakin jika ada bisa melewati ini semua dengan tetap tenang." Ibu menggelengkan kepalanya tak percaya pada ketabahan dan kesabaranku. "Gadis bodoh," ucapnya langsung memeluk tubuhku dengan berat. "Terbuat dari apa hatimu, Ana? Kamu bahkan menyimpannya sendirian?" "Kak, kenapa Kakak simpan ini semua sendiri? Apa Kakak tidak percaya pada Kila?" Akilah pun merasa iba pada ku yang memang aku sangat dekat dengan mereka. "Bukan! Bukan kakak tidak percaya padamu, kakak hanya tidak ingin hati kakak lebih sakit dengan mengatakan hal yang menyakiti hati kakak pada kalian. Biarlah dia yang m
Aku, Mas Al dan Ibu juga Ayah hanya menatap bingung pada Akilah yang begitu kekeh ingin mempertahankan pernikahannya dengan Mas Azzam. Walau aku tahu mungkin karena besarnya cinta Akilah pada Mas Azzam. Seperti halnya dulu saat Mas Al meminta maaf padaku.Akikah menarik napasnya. "Mas, aku tanya sama kamu. Apa kamu benar-benar tidak bisa mencintaiku, Mas? Aku tahu mungkin cintamu hanya untuk Kak Ana. Tapi, Kak Ana itu istri dari Mas Al. Jika saja kamu bisa menerimaku seperti hal nya Mas Al dulu menerima Kak Ana, insya Allah aku akan memaafkanmu dan menerimamu."Aku hanya bisa menggelengkan kepala mendengar penuturan dari Akilah. "Astaghfirullah, Kila.""Kila, putri Ayah, pikirkan baik-baik tentang keputusanmu, Nak." Ayah merangkul Akilah meyakinkan keputusan Akilah.Mas Azzam menatap Akilah. "Kila, apa kamu benar-benar mau memaafkanku?"Semua orang pun menoleh pada Mas Azzam. Ada hati yang tergores mendengar ucapan Mas Azzam karena aku pikir apa yang dilakukan oleh Mas Azzam sungguh j
"Aaarrggghh!" Bugh!Bugh! Bugh! Mas Al memukul Mas Azzam tanpa henti. Amarahnya mungkin sudah tidak bisa ditahannya lagi setelah beberapa menit Mas Al menahannya. Aku dan Akilah pun berusaha untuk menarik tubuh Mas Al karena Mas Azzam semakin babak belur sebab tidak melawan sama sekali. "Mas, hentikan!" Kami menarik tubuh Mas Al dengan sekuat tenaga kami, namun, tenaga Mas Al masih bukan tandingan untuk kami. "Mas, Ku mohon hentikan! Jangan sakiti suamiku, Mas!" Akilah akhirnya menghalangi tubuh Mas Azzam dari depan, sehingga pukulan itu terkena juga pada Akilah. "Aw!" "Kila, astaghfirullah. Hentikan, Mas!" Aku menghalangi Mas Salman. Perlahan Mas Al pun berhenti memukul wajah Mas Azzam. "Aku akan menghabisimu." Bugh! "Akh!" Aku terkena pukulan Mas Al, setelah Akilah kini aku pun terjatuh karena terpukul oleh Mas Al. "Ana." Mas Al segera menghampiriku. "Maaf, sayang."Akilah kembali menghampiri Mas Azzam. "Mas, kamu tidak apa-apa? Kita ke dokter sekarang." Akilah merangkul t
"Mas, kamu kenapa sih? Aku lihat kamu itu murung terus? Ada apa?" Aku mengapit wajah Mas Salman dengan lembut. "Aku mohon jangan ada rahasia diantara kita." Mas Salman menatapku begitu dalam. "Tidak ada, sayang. Aku hanya tidak ingin banyak bicara aja." Aku menatap Mas Salam tak percaya. Setelah semua yang terjadi, aku tahu bagaimana keadaan raut wajah suamiku saat kesal, saat marah dan saat bahagia. Aku yakin Mas Salman menyembunyikan sesuatu dariku. "Ooh. Mas, aku ...." Aku menggantung ucapanku. "Enggak jadi deh." Aku pun beranjak dari duduk, namun, Mas Salman tak membiarkanku pergi dan menarik tubuhku. "Kamu apa, Ana?" tanya Mas Salman yang begitu penasaran karena ucapanku yang tergantung. Aku menarik napas panjang. "Aku tidak apa-apa. Aku hanya ingin menghirup udara sore di balkon," dalihku kembali beranjak, namun, lagi-lagi Mas Salman tak membiarkanku. "Jangan bohong, Ana. Kamu tidak bisa membohongiku." Aku pun kembali menarik napas dan duduk di samping Mas Salman dan mera
"Aw!" Akilah sedikit terkejut karena tangannya di tarik oleh Mas Azzam. "Ada apa sih, Mas?" Mas Azzam menatap tajam Akilah dengan cekalan tangan yang semakin kuat. "Jika sampai mereka tahu keadaan rumah tangga kita. Itu berarti salah kamu, Kila!" Akilah meringis karena cengkeraman tangan Mas Azzam tidak main-main. "Kamu benar-benar sakit, Mas. Aku pikir pria sepertimu tidak memiliki penyakit seperti itu, tapi nyatanya kamu benar-benar gila." Mendengar cemohan Akilah, tangan Mas Azzam beralih mencengkram dagu Akilah. "Ya, aku memang sakit. Dan itu semua karena Kakakmu, Kila. Jadi, kamu yang harus menanggung akibatnya. Jika aku sakit dan gila karena aku tidak bisa memiliki Ana, maka kamu pun harus merasakan hal yang sama." Akilah kembali merembeskan air matanya, dengan sekuat tenaga Akilah mencoba untuk menghentikan cengkeraman Mas Azzam. "Sakit, Mas, hiks! Kenapa? Kenapa harus aku yang harus menanggung akibatnya? Aku mencintaimu tapi kenapa kamu memperlakukanku seperti ini, Mas? Ji
Setelah Akilah akhirnya hilang dari pandangan kami, aku dan Mas Al bersiap-siap untuk membereskan barang-barangku. Pandanganku tertuju pada benda pipih yang tergeletak di kursi tempat Akilah tadi. Aku mengambilnya dan benar saja itu adalah handphone milik Akilah."Astaghfirullah, ini handphonenya Akilah ketinggalan, Mas." "Handphone Kila?" "Heem,, ini." Aku memberikan handphonenya itu pada Mas Al."Heeh dasar, masih muda udah pikun!" "Ist, ko gitu amat sih, Mas? He he. Nanti kita mampir dulu aja ke rumah mereka gimana? Kita juga akhirnya enggak jadi ikut antar mereka kan kemaren?"Mas Al terlihat berpikir. "Ya, baiklah." Setelah selesai membereskan barang-barangku, Mas Al membereskan administrasi terlebih dahulu sebelum kami keluar dari rumah sakit. Setelah itu kita pun segera menuju rumah Akilah karena kebetulan letak rumah Akilah lebih dekat dari rumah sakit di banding ke rumahku atau Ibu. Hanya beberapa menit kita pun sampai di rumah baru Akilah. "Assalamualaikum, Bi, Kila ada
"Mas, alhamdulillah." Aku segera memeluk Mas Al saat Mas Al datang setelah beberapa jam menghilang. "Kamu ke mana aja, Mas? Aku khawatir." Mas Al memeluk dan mengecupi wajahku. "Maafkan aku, Ana. Aku terlalu lemah dan tidak bisa mengendalikan diriku."Aku mengapit wajah Mas Al. "Aku takut kamu melakukan hal bodoh, Mas."Mas Al menatapku dengan sendu. "Tidak, Ana. Aku tidak akan membiarkanmu menjanda." Aku mengerutkan kening dan sedikit mengerucutkan bibirku. "Apa maksudmu, Mas?"Mas Al tersenyum tipis penuh arti. "Bukankah kamu pikir aku akan melakukan hal bodoh? Kamu pikir aku akan bunuh diri begitu?""Ist, bukan itu. Aku pikir kamu sama Santi ...." Aku menunduk tak sanggup melanjutkan ucapanku. Mas Al menatapku dengan tersenyum getir. Nyatanya tidak hanya bagiku, trauma masa lalu itu tidak mudah bagi Mas Al. Sungguh, luka itu tidak hanya untukku, tapi juga untuk Mas Al. "Maaf, Mas. Maaf aku membuatmu-" Cup!"Kamu tidak salah, sayang. Aku yang salah." Dalam sejenak kami terdiam
"Mas, Al-ku." Santi dengan cepat membuka pintu apartemennya saat tahu Mas Salman menuju ke kamarnya. "Mas Al, aku yakin kamu juga tidak bisa hidup tanpaku," ucapnya lagi dengan merapikan bajunya. Mas Salman terdiam sejenak menatap pintu kamar apartemen Santi. Matanya memejam dengan kepalan tangan yang erat. Entah apa yang membuatnya mengepalkan tangan yang jelas Mas Salman begitu terlihat marah. Ting! tong! "Mas Al." Santi hendak memeluk Mas Salman, namun, Mas Salman menepis tubuhnya hingga terjatuh. "Aw, Mas. Kok kamu dorong aku sih? Kamu jahat deh." "Bangun, Santi! Kamu itu jagoan bukan? Kamu sudah melakukan hal kriminal pada anak dan istriku!" sentak Mas Salman dengan emosinya. Santi menatap Mas Salman dengan sendu. "Apa sih maksudmu, Mas?" Mas Salman menatap Santi dengan sorot mata merah tajam. Tangannya tak bisa lagi menahan amarahnya. Mas Salman menarik tubuh Santi dan mencengkeram kerah baju Santi. "Apa yang kamu lakukan pada istri dan anakku, hah?" Tubuh Santi bergeta
"Berani kamu menyakiti Ana-ku, hah?" sentak Mas Azzam pada Santi dengan tangan mencengkram erat pada leher Santi. Santi meringis matanya pun sedikit terbelalak. "Le-pas-sin!" Mas Azzam semakin mencengkeram leher Santi dengan begitu emosi. Untung saja handphonenya berbunyi. Mas Azzam pun mau tidak mau harus melepaskan cengkraman tangannya dari leher Santi."Uhuk! Uhuk! Hampir saja aku mati." Santi mengusap lehernya yang sakit akibat cengkeraman Mas Azzam. "Ya, bagaimana keadaan Ana, Kila?" ucap Mas Azzam pada sambungan teleponnya. "Baiklah, aku akan segera ke sana." Santi menatap takut pada Mas Azzam. Santi mengangkat wajahnya menatap Mas Azzam sejenak, lalu kembali menunduk karena takut. Mas Azzam masih menatap Santi dengan amarah. "Ini adalah awal peringatan untukmu! Jika sampai terjadi apa-apa pada Ana-ku. Maka aku tidak akan segan-segan untuk membunuhmu, ingat itu!" Mas Azzam beranjak pergi meninggalkan Santi yang masih memegang lehernya yang sakit. "Dasar gila, kalau memang
"Mas, aku jadi pergi ya sama Ibu. Jangan telponin aku terus ya. Nanti enggak jadi-jadi aku berburu diskonnya," ucapku pada Mas Salman, tentu saja membuat semua orang tertawa. "Ha ha, kamu ini, Al. Tenang aja, sekarang kan perginya sama Ibu. Tenang pasti Ibu jagain, iya'kan, Bu?" "He he, iya, Ayah. Siap! Tenang saja kalau soal jaga menjaga dari para pria jelalatan mah, ibu jagonya," ujar Ibu, kembali membuat semua orang tertawa renyah, termasuk Akilah. "Kila, apa Mas Azzam mau berangkat kerja juga?" tanyaku melihat Mas Azzam berjalan ke arah meja makan dengan sudah berpakaian lengkap ke kantor. "Iya, Kak. Katanya jenuh di rumah," ujar Akilah, "oh iya, apa Ayah dan Ibu sudah bilang aku akan pulang ke rumah kami nanti sore?" Aku dan Mas Salman menoleh pada Ayah dan Ibu. "Belum," ucap kami serentak.Ayah memalingkan wajahnya. "Mau bagaimana lagi, Kila? Mereka itu berada di kamar terus, bahkan melebihi kalian yang pengantin baru," ujar Ayah menyindir kamu. Aku pun menunduk malu karen