"Ana, tolong hentikan air mata ini. Aku minta maaf, Ana." Mas Salman terus mengusap dan menyeka air mataku yang terus-menerus mengalir begitu saja. "Mas salah, Mas sudah menyakiti kamu. Hentikan, Ana." Aku berusaha menarik napas dengan begitu dalam untuk menahan air matanya yang terus saja mengalir. "Aku tidak apa-apa, Mas. Aku enggak tahu kenapa ini enggak bisa di tahan air matanya." Mas Salman kembali memelukku dengan erat. Mas Salman merasa bersalah dan menyadari kesalahannya. Aku pun tahu suamiku sudah berubah, tapi beyangan buruk masa-masa menyakitkan itu menderaku tiba-tiba. Mas Salman juga selalu berusaha menunjukkan kepeduliannya padaku. ****"Jadi, bagaimana Kila? Kapan keluarga Azzam datang?" "Minggu ini katanya, Ayah. Mas Azzam kebetulan sudha tidak punya orang tua. Sodara pun pada jauh, paling ke sini sama om dan tantenya." Ayah menganggukkan kepalanya mengerti. "Bu, bagaimana? Apa Ini sudah siap?" "Insya Allah, siap, Ayah. Ibu sebenarnya ingin Ana yang membantu kita
"Ada apa, Mas?" Aku mencoba bertanya dan bersikap biasa saja. "Apa yang terjadi dengan Santi?" Mas Salman menghembuskan nafasnya. "Santi ... sudahlah, An. Aku tidak peduli padanya. Aku takut jika aku mengikuti permainannya, aku takut tersesat lagi." Mas Salman menyimpan kembali handphonenya dan kembali menghampiriku. "Saat ini kamu dan calon anak kita adalah prioritasku." Aku begitu terharu dan semakin percaya pada Mas Salman yang sudah berubah menjadi pria normal. "Terima kasih, Mas." "Untuk apa?" "Untuk perubahan yang Mas lakukan demi rumah tangga kita." Aku menatap Mas Salman yang langsung memelukku. "Aku yang berterima kasih padamu, Ana. Terima kasih karena masih tetap di sisiku," ucapnya mengeratkan pelukannya padaku. ****"Tidak di angkat," ucap Santi dengan nada manjanya."Ck, bodoh! Payah sekali sih kamu," umpat Mas Azzam pada Santi dengan kasar.. "Hih, kenapa kamu terus memaki ku, Mas? Ini semua gara-gara Mbak Ana, dia yang merebut Mas Salman dariku," sahut Santi la
POV Azzam ... "Aaakhh sial," gerutuku membanting handphone. "Percuma saja aku kerja sama dengan si manusia jadi-jadian itu. Enggak guna juga, semua enggak berhasil. Aaakkgggrr." Aku terus menggusar rambutku dengan kasar setelah mendapat pesan dari Santi. Tentu saja aku merasa marah. Bagaimana tidak, karena dia tidak berhasil membujuk Salman datang dan masuk dalam jebakanku. Mau tidak mau aku pun harus melanjutkan rencanaku untuk memasuki keluarga Salman dengan menikahi adiknya. Aku harus pura-pura bahagia dan pura-pura mencintai wanita yang sama sekali tidak aku sukai karena cintaku hanyalah untuk Ana.Hari ini pun aku menugaskan Santi untuk datang ke kantornya Salman. Karena aku yakin jika di kantor, Santi bisa lebih leluasa membujuk Salman agar kembali padanya. Selain tidak ada Ana, di kantor juga Salman pasti akan lebih menjaga sikap dan wibawanya. Namun, ternyata Santi gagal bertemu Salman, dengan alasan jika Salman tidak datang ke kantor. "Aku harus gerak cepat berarti." Deng
"Kila, kenapa kamu ngeyel banget sih? Mas yakin jika dia itu tidak mencintaimu benar-benar. Enggak mungkin dia bisa langsung jatuh cinta sama kamu dalam waktu hanya satu bulan." "Mas, stop! Kenapa Mas Al tidak mengerti juga sih? Aku mencintainya, Mas. Aku juga yakin Mas Azzam mencintaiku, Mas. Aku bisa merasakan cintanya padaku kok." "Kilaaaa." "Cukup, Mas! Apa Mas lupa, hubungan Mas dengan Kak Ana? Bahkan hubungan Mas dengan Kak Ana baru bisa di katakan benar jadi suami istri itu baru satu bulan bukan? Lalu apa Kak Ana harus tidak percaya jika Mas sudah berubah?" Aku hanya bisa menatap Mas Salman yang kini tak bisa lagi menjawab ucapan adiknya. Aku sendiri bingung harus berkata apa. Mungkin apa yang di rasakan oleh Akilah sekarang ada yang benar-benar cinta yang tulus seperti yang kurasakan pada Mas Salman. Bagaimana mungkin aku akan menentang perasaan Akilah yang Mas Salman bilang jika hubungan Akilah dengan Mas Azzam terlalu singkat. Karena, aku sendiri merasakan cinta itu pada
Persiapan pernikahan Akilah dengan Mas Azzam mulai di persiapkan dengan sedemikian rupa. Aku begitu antusias membantu mempersiapkan rencana pernikahan mereka. Karena selain Akilah adalah adik perempuanku, calon suaminya pun adalah sahabatku. Aku begitu bahagia dan senang melihat Akilah selalu tersenyum bahagia karena Mas Salman pun sudah merestui hubungan mereka. "Sayang, ingat ya! Enggak boleh sampai kecapean!" ujar Mas Salman mengingatkan aku untuk tetap menjaga kandunganku. "Iya, An. Mungkin sebaiknya kamu duduk aja, ya. Ibu juga takut nanti kamu kecapean." "Enggak apa-apa ko, Bu. Ini juga kan sambil duduk." Kami tengah menata berbagai acara untuk menyambut tamu undangan. Karena Ayah adalah seorang pengusaha besar, tentunya tamu undangan yang di undang pun tak sedikit. Walau pun Akilah terus merengek tidak perlu mewah-mewah, Ayah dan Ibu merasa jika pernikahan Akilah harus mewah mengingat banyak klien dari Ayah dan Mas Salman yang sudah sangat dekat dengan mereka. Tentu saja ak
Resepsi pernikahan Akila dengan Mas Azzam digelar sedikit mewah. Karena banyaknya tamu undangan yang Ayah dan Mas Salman undang. Juga berbagai acara-acara yang dimeriahkan oleh anak-anak yatim undangan Ibu. Acara itu belum selesai sampai sore hari, karena malamnya masih ada acara tabligh Akbar. Aku yang sudah sedikit lelah pun izin untuk tidak ikut mendengarkan tabligh Akbar sampai selesai. Aku pergi ke kamar hotel di gedung itu untuk beristiraha. Mas Salman mengantar sampai depan pintu karena Mas Salman masih harus menyambut tamu. Mas Salman sebenarnya ingin menemaniku, hanya saja aku bilang tidak enak sama tamu undangan. "Baiklah, Mas tinggal dulu ya." Mas Salman mengecup kening juga bibirku. "Jangan jauh-jauh dari handphone, oke!""Iya, maaf ya. Aku enggak bisa temenin Mas." "Sstt, no problem sayang. Kesehatan kamu juga anak kita lebih penting. Mas ke bawah lagi." Mas Salman pun segara beranjak kembali untuk menyambut tamu setelah mengucapkan salam padaku. "Waalaikum salam," uca
POV Akilah Delara Emir ..."Apa maksudmu, Mas?" Aku berusaha untuk tetap tenang walau gejolak di dadaku begitu ingin terteriak. "Kila, aku yakin kamu bukan wanita bodoh yang tidak mengerti maksudku, bukan?" Aku masih menatap Mas Azzam dengan fokus pada matanya untuk mencari pembenaran atas ucapannya. "Tapi, nyatanya aku memang bodoh bukan, Mas? Aku tertipu oleh rayuan manismu, bukan begitu, Mas?" Mas Azzam kini menatapku. "Ya, itu benar," ucapnya tanpa merasa bersalah padaku sengaja istrinya. Air mataku mengalir begitu saja setelah Mas Azzam mengatakan bahwa aku memang bodoh. Aku tertipu oleh rayuan manisnya yang mengatakan jika aku adalah obat hatinya. Aku yang mengobati sakit hatinya karena cintanya pada Kak Ana bertepuk sebelah tangan. Nyatanya, aku adalah alat untuknya membalaskan dendam sakit hatinya pada Mas Salman yang tidak jadi menceraikan Kak Ana. "Jadi, apa mau mu sekarang, Mas?" Aku menunduk menahan sesak di malam pengantinku. "Aku ingin kamu merasakan apa yang Ana r
"Sayang, bangun yuk!" bisik Mas Salman di telingaku. "Kita sholat bareng atau mandi bareng," bisiknya lagi di telingaku. Aku membuka mataku perlahan. "Jam berapa ini, Mas?" "Jam 05.00 pagi, sayang." Mas Salman mengecupi wajahku yang kini sudah membuka mata. "Kita sholat bareng." Kami pun bangun dan segera membersihkan diri. Setelah itu kami sholat subuh bersama. Begitu bahagia kehidupanku saat ini setelah aku berhasil melewati ujian besar dalam rumah tanggaku. "Sehat-sehat di perut Mommy ya." Mas Salman mengusap perutku yang masih rata lalu mengecupnya dengan penuh cinta. "Sepertinya dia ingin di tengok sebelum kita pulang ke rumah sayang," ucapnya mengedipkan mata padaku. Aku memutar bola mataku dengan malas. "Alasan aja itu mah, Mas." Mas Salman malah tertawa renyah memelukku. "Mau apa enggak nih? Siapa tahu beda rasanya di rumah sama di hotel." "Apa begitu, Mas?" Aku pura-pura polos. Mas Salman membalikkan tubuhku hingga menghadap padanya. "Jangan pura-pura polos, Ana. Ata
Aku, Mas Al dan Ibu juga Ayah hanya menatap bingung pada Akilah yang begitu kekeh ingin mempertahankan pernikahannya dengan Mas Azzam. Walau aku tahu mungkin karena besarnya cinta Akilah pada Mas Azzam. Seperti halnya dulu saat Mas Al meminta maaf padaku.Akikah menarik napasnya. "Mas, aku tanya sama kamu. Apa kamu benar-benar tidak bisa mencintaiku, Mas? Aku tahu mungkin cintamu hanya untuk Kak Ana. Tapi, Kak Ana itu istri dari Mas Al. Jika saja kamu bisa menerimaku seperti hal nya Mas Al dulu menerima Kak Ana, insya Allah aku akan memaafkanmu dan menerimamu."Aku hanya bisa menggelengkan kepala mendengar penuturan dari Akilah. "Astaghfirullah, Kila.""Kila, putri Ayah, pikirkan baik-baik tentang keputusanmu, Nak." Ayah merangkul Akilah meyakinkan keputusan Akilah.Mas Azzam menatap Akilah. "Kila, apa kamu benar-benar mau memaafkanku?"Semua orang pun menoleh pada Mas Azzam. Ada hati yang tergores mendengar ucapan Mas Azzam karena aku pikir apa yang dilakukan oleh Mas Azzam sungguh j
"Aaarrggghh!" Bugh!Bugh! Bugh! Mas Al memukul Mas Azzam tanpa henti. Amarahnya mungkin sudah tidak bisa ditahannya lagi setelah beberapa menit Mas Al menahannya. Aku dan Akilah pun berusaha untuk menarik tubuh Mas Al karena Mas Azzam semakin babak belur sebab tidak melawan sama sekali. "Mas, hentikan!" Kami menarik tubuh Mas Al dengan sekuat tenaga kami, namun, tenaga Mas Al masih bukan tandingan untuk kami. "Mas, Ku mohon hentikan! Jangan sakiti suamiku, Mas!" Akilah akhirnya menghalangi tubuh Mas Azzam dari depan, sehingga pukulan itu terkena juga pada Akilah. "Aw!" "Kila, astaghfirullah. Hentikan, Mas!" Aku menghalangi Mas Salman. Perlahan Mas Al pun berhenti memukul wajah Mas Azzam. "Aku akan menghabisimu." Bugh! "Akh!" Aku terkena pukulan Mas Al, setelah Akilah kini aku pun terjatuh karena terpukul oleh Mas Al. "Ana." Mas Al segera menghampiriku. "Maaf, sayang."Akilah kembali menghampiri Mas Azzam. "Mas, kamu tidak apa-apa? Kita ke dokter sekarang." Akilah merangkul t
"Mas, kamu kenapa sih? Aku lihat kamu itu murung terus? Ada apa?" Aku mengapit wajah Mas Salman dengan lembut. "Aku mohon jangan ada rahasia diantara kita." Mas Salman menatapku begitu dalam. "Tidak ada, sayang. Aku hanya tidak ingin banyak bicara aja." Aku menatap Mas Salam tak percaya. Setelah semua yang terjadi, aku tahu bagaimana keadaan raut wajah suamiku saat kesal, saat marah dan saat bahagia. Aku yakin Mas Salman menyembunyikan sesuatu dariku. "Ooh. Mas, aku ...." Aku menggantung ucapanku. "Enggak jadi deh." Aku pun beranjak dari duduk, namun, Mas Salman tak membiarkanku pergi dan menarik tubuhku. "Kamu apa, Ana?" tanya Mas Salman yang begitu penasaran karena ucapanku yang tergantung. Aku menarik napas panjang. "Aku tidak apa-apa. Aku hanya ingin menghirup udara sore di balkon," dalihku kembali beranjak, namun, lagi-lagi Mas Salman tak membiarkanku. "Jangan bohong, Ana. Kamu tidak bisa membohongiku." Aku pun kembali menarik napas dan duduk di samping Mas Salman dan mera
"Aw!" Akilah sedikit terkejut karena tangannya di tarik oleh Mas Azzam. "Ada apa sih, Mas?" Mas Azzam menatap tajam Akilah dengan cekalan tangan yang semakin kuat. "Jika sampai mereka tahu keadaan rumah tangga kita. Itu berarti salah kamu, Kila!" Akilah meringis karena cengkeraman tangan Mas Azzam tidak main-main. "Kamu benar-benar sakit, Mas. Aku pikir pria sepertimu tidak memiliki penyakit seperti itu, tapi nyatanya kamu benar-benar gila." Mendengar cemohan Akilah, tangan Mas Azzam beralih mencengkram dagu Akilah. "Ya, aku memang sakit. Dan itu semua karena Kakakmu, Kila. Jadi, kamu yang harus menanggung akibatnya. Jika aku sakit dan gila karena aku tidak bisa memiliki Ana, maka kamu pun harus merasakan hal yang sama." Akilah kembali merembeskan air matanya, dengan sekuat tenaga Akilah mencoba untuk menghentikan cengkeraman Mas Azzam. "Sakit, Mas, hiks! Kenapa? Kenapa harus aku yang harus menanggung akibatnya? Aku mencintaimu tapi kenapa kamu memperlakukanku seperti ini, Mas? Ji
Setelah Akilah akhirnya hilang dari pandangan kami, aku dan Mas Al bersiap-siap untuk membereskan barang-barangku. Pandanganku tertuju pada benda pipih yang tergeletak di kursi tempat Akilah tadi. Aku mengambilnya dan benar saja itu adalah handphone milik Akilah."Astaghfirullah, ini handphonenya Akilah ketinggalan, Mas." "Handphone Kila?" "Heem,, ini." Aku memberikan handphonenya itu pada Mas Al."Heeh dasar, masih muda udah pikun!" "Ist, ko gitu amat sih, Mas? He he. Nanti kita mampir dulu aja ke rumah mereka gimana? Kita juga akhirnya enggak jadi ikut antar mereka kan kemaren?"Mas Al terlihat berpikir. "Ya, baiklah." Setelah selesai membereskan barang-barangku, Mas Al membereskan administrasi terlebih dahulu sebelum kami keluar dari rumah sakit. Setelah itu kita pun segera menuju rumah Akilah karena kebetulan letak rumah Akilah lebih dekat dari rumah sakit di banding ke rumahku atau Ibu. Hanya beberapa menit kita pun sampai di rumah baru Akilah. "Assalamualaikum, Bi, Kila ada
"Mas, alhamdulillah." Aku segera memeluk Mas Al saat Mas Al datang setelah beberapa jam menghilang. "Kamu ke mana aja, Mas? Aku khawatir." Mas Al memeluk dan mengecupi wajahku. "Maafkan aku, Ana. Aku terlalu lemah dan tidak bisa mengendalikan diriku."Aku mengapit wajah Mas Al. "Aku takut kamu melakukan hal bodoh, Mas."Mas Al menatapku dengan sendu. "Tidak, Ana. Aku tidak akan membiarkanmu menjanda." Aku mengerutkan kening dan sedikit mengerucutkan bibirku. "Apa maksudmu, Mas?"Mas Al tersenyum tipis penuh arti. "Bukankah kamu pikir aku akan melakukan hal bodoh? Kamu pikir aku akan bunuh diri begitu?""Ist, bukan itu. Aku pikir kamu sama Santi ...." Aku menunduk tak sanggup melanjutkan ucapanku. Mas Al menatapku dengan tersenyum getir. Nyatanya tidak hanya bagiku, trauma masa lalu itu tidak mudah bagi Mas Al. Sungguh, luka itu tidak hanya untukku, tapi juga untuk Mas Al. "Maaf, Mas. Maaf aku membuatmu-" Cup!"Kamu tidak salah, sayang. Aku yang salah." Dalam sejenak kami terdiam
"Mas, Al-ku." Santi dengan cepat membuka pintu apartemennya saat tahu Mas Salman menuju ke kamarnya. "Mas Al, aku yakin kamu juga tidak bisa hidup tanpaku," ucapnya lagi dengan merapikan bajunya. Mas Salman terdiam sejenak menatap pintu kamar apartemen Santi. Matanya memejam dengan kepalan tangan yang erat. Entah apa yang membuatnya mengepalkan tangan yang jelas Mas Salman begitu terlihat marah. Ting! tong! "Mas Al." Santi hendak memeluk Mas Salman, namun, Mas Salman menepis tubuhnya hingga terjatuh. "Aw, Mas. Kok kamu dorong aku sih? Kamu jahat deh." "Bangun, Santi! Kamu itu jagoan bukan? Kamu sudah melakukan hal kriminal pada anak dan istriku!" sentak Mas Salman dengan emosinya. Santi menatap Mas Salman dengan sendu. "Apa sih maksudmu, Mas?" Mas Salman menatap Santi dengan sorot mata merah tajam. Tangannya tak bisa lagi menahan amarahnya. Mas Salman menarik tubuh Santi dan mencengkeram kerah baju Santi. "Apa yang kamu lakukan pada istri dan anakku, hah?" Tubuh Santi bergeta
"Berani kamu menyakiti Ana-ku, hah?" sentak Mas Azzam pada Santi dengan tangan mencengkram erat pada leher Santi. Santi meringis matanya pun sedikit terbelalak. "Le-pas-sin!" Mas Azzam semakin mencengkeram leher Santi dengan begitu emosi. Untung saja handphonenya berbunyi. Mas Azzam pun mau tidak mau harus melepaskan cengkraman tangannya dari leher Santi."Uhuk! Uhuk! Hampir saja aku mati." Santi mengusap lehernya yang sakit akibat cengkeraman Mas Azzam. "Ya, bagaimana keadaan Ana, Kila?" ucap Mas Azzam pada sambungan teleponnya. "Baiklah, aku akan segera ke sana." Santi menatap takut pada Mas Azzam. Santi mengangkat wajahnya menatap Mas Azzam sejenak, lalu kembali menunduk karena takut. Mas Azzam masih menatap Santi dengan amarah. "Ini adalah awal peringatan untukmu! Jika sampai terjadi apa-apa pada Ana-ku. Maka aku tidak akan segan-segan untuk membunuhmu, ingat itu!" Mas Azzam beranjak pergi meninggalkan Santi yang masih memegang lehernya yang sakit. "Dasar gila, kalau memang
"Mas, aku jadi pergi ya sama Ibu. Jangan telponin aku terus ya. Nanti enggak jadi-jadi aku berburu diskonnya," ucapku pada Mas Salman, tentu saja membuat semua orang tertawa. "Ha ha, kamu ini, Al. Tenang aja, sekarang kan perginya sama Ibu. Tenang pasti Ibu jagain, iya'kan, Bu?" "He he, iya, Ayah. Siap! Tenang saja kalau soal jaga menjaga dari para pria jelalatan mah, ibu jagonya," ujar Ibu, kembali membuat semua orang tertawa renyah, termasuk Akilah. "Kila, apa Mas Azzam mau berangkat kerja juga?" tanyaku melihat Mas Azzam berjalan ke arah meja makan dengan sudah berpakaian lengkap ke kantor. "Iya, Kak. Katanya jenuh di rumah," ujar Akilah, "oh iya, apa Ayah dan Ibu sudah bilang aku akan pulang ke rumah kami nanti sore?" Aku dan Mas Salman menoleh pada Ayah dan Ibu. "Belum," ucap kami serentak.Ayah memalingkan wajahnya. "Mau bagaimana lagi, Kila? Mereka itu berada di kamar terus, bahkan melebihi kalian yang pengantin baru," ujar Ayah menyindir kamu. Aku pun menunduk malu karen