"Aaaa!"
"Mawar!" pekik Bambang panik melihat tubuh sang istri yang terjatuh dan terguling ditangga. Bahkan semua orang yang berada di tempat tersebut ikut terkejut dan bergegas menghampiri tubuh Mawar yang kini sudah berada di atas tanah. Tergeletak tidak berdaya. Bambang langsung panik seketika, ketika melihat keadaan sang istri. Namun sayang, karena jaraknya yang lumayan jauh membuat Rendy yang kebetulan berada disana dengan sigap mengangkat tubuh Mawar dan membawanya masuk ke mobil. Aprilia ikut masuk ke mobil yang ditumpangi oleh Rendy dan juga mawar tersebut, sedangkan Bambang tidak mempu berbicara apa-apa melihat semua yang terjadi begitu cepat. Hingga sedetik kemudian Bambang tersadar kemudian kembali naik ke atas motornya dan mengekori mobil mereka bertiga dari belakang. "Minggir! Tolong! Beri jalan!" teriak Rendy panik seraya menggedong tubuh Mawar ketika sudah sampai disebuah puskesmas sederhana yang berada di desa tersebut. Sedangkan Aprlila yang sedari tadi berjalan dibelakang tubuh tegap Rendy hanya mampu menangis serta menutup mulutnya dengan tangan. Rendy mengendong Mawar masuk ke ruangan IGD dan meletakan tubuh wanita itu di atas bangkar. Hingga, tidak sengaja Rendy melihat ada sedikit d4r4h yang keluar dari hidung Mawar. "War, kamu kuat! Kamu wanita paling kuat yang pernah aku kenal!" ucap Rendy dengan suara bergetar, menahan diri agar tidak menangis. Sebab, hal ini pernah terjadi kepada Mawar dan membuat Rendy harus merelakan wanita yang amat ia cintai itu pergi dari hidupnya. "Aku baik-baik saja," jawab Mawar dengan suara pelan, nyaris tidak terdengar sampai seorang petugas puskesmas dan seorang dokter wanita masuk. Rendy di minta untuk menunggu diluar dan tidak sengaja melihat Bambang yang juga menatap kearahnya. Kedua laki-laki itu saling pandang dalam diam, Aprilia yang sedari tadi memperhatikan keduanya merasakan aura tidak biasa. Seolah akan ada ledakan. "Kamu tidak bisa menjaga Mawar dengan baik? Lalu, untuk apa masih di sini?" Pertanyaan yang sangat tajam keluar begitu saja dari bibir Rendy. "Apa hak kamu ikut campur dalam rumah tanggaku? Mawar itu istriku!" balas Bambang sengit. Keadaan kian memanas, Bambang dan Randy sama-sama sulit untuk mengontrol emosi sampai terjadi bangku–hantam yang membuat Aprilia memanggil sekuriti. "Tolong, Pak! Di sini ada yang berkelahi!" pekik Aprilia panik melihat Bambang dan Rendy. Hingga keduanya barhasil dilerai oleh sekuriti. "Silahkan tunggu di luar!" bentak sang sekuriti yang menyeret keduanya keluar dan berdiri didepan pintu masuk puskesmas. Cukup lama mereka terdiam, sampai akhirnya Bambang yang terlebih dahulu membuka suara. "Maafkan aku!" ucap Bambang setengah hati membuat Rendy menatap ke arahnya sekilas, kemudian memainkan gawainya dan tanpa permisi lelaki itu pergi begitu saja membuat Bambang mengumpat kesal didalam hati. "Dasar! Tidak b3r4d4b!" "Mas Bambang!" pekik Aprilia menghampiri Bambang dan memberitahukan, bahwa Mawar sudah mulai sadarkan diri. "Dek, kamu baik-baik aja, kan?" tanya Bambang dengan penuh kecemasan seraya menggenggam erat tangan sang istri yang kini sudah di pasang selang infus. Ketika memasuki ruangan di mana sang istri di rawat tersebut. Mawar hanya mengangguk pelan sebagai jawaban dari pertanyaan sang suami, kemudian matanya menelusuri setiap ruangan mencari sosok yang telah membantunya tadi. "Lia, di mana Pak Randy?" tanya Mawar pelan kepada Aprilia yang membuat suaminya naik pitam. "Kenapa kamu mencari lelaki itu! Hah! Mas, suamimu, Dek!" bentak Bambang dengan dada yang naik turun. Aprilia segera melarikan diri, tidak ingin ikut campur dalam urusan suami istri tersebut. Sedangkan Mawar hanya mampu membuang nafas panjang menghadapi sifat cemburu buta suaminya. "Aku mencari Pak Rendy hanya ingin mengucapkan terimakasih, karena telah menolongku tadi," jelas Mawar pelan, memberikan pengertian kepada Bambang. Namun sayang, suaminya semakin merajuk. "Ya sudah! Berterimakasih lah kepada lelaki lain yang telah menolongmu itu!" bentak Bambang seraya meninggalkan Mawar seorang diri. Mawar hanya menatap punggung tengap suaminya sampai menghilang dibalik pintu yang tertutup, ia tidak menyangka. Jika lelaki yang ia kenal selama ini begitu mencintainya. Rasa cemburu yang Bambang perlihatkan, merupakan gambaran dari rasa cinta yang lelaki itu miliki. Walaupun, bagi Mawar semua yang suaminya lakukan terlalu berlebihan. "Gila, ya? Suami kamu, War! Tadi, dia adu jotos dengan Pak Rendy," adu Aprilia yang baru saja masuk ke ruangan tersebut. Mawar hanya tersenyum kecil menanggapi pertanyaan temannya itu. "Kamu baik-baik aja, kan? Gak benar-benar sakit?" tanya Aprilia lagi, sebab merasa heran. Kenapa Mawar bisa oleng seperti tadi. "Aku baik-baik aja, Lia. Mungkin, karena terlalu kecapekan. Jadi begini," jelas Mawar. Kemudian Aprilia mulai menjadi kompor dalam hubungan Mawar dan Bambang yang mulai memanas, di mana Aprilia memberitahu betapa ia kagum dengan Rendy serta apa yang telah lelaki itu lakukan. "Aku benar-benar terpesona, War. Pas adegan Pak Rendy gendong kamu itu! Meleleh hatiku," ucap Aprilia seraya memeluk dadanya dan membayangkan, seandainya tadi yang berada di gendongan Rendy adalah dirinya. Mawar hanya tersenyum geli melihat kelakuan abstrak dari temannya itu, kemudian menasehati Aprilia agar jangan terlalu berharap terlalu tinggi. "Lia, Lia, kamu dari dulu gak berubah, ya? Jangan terperdaya dengan apa yang kamu lihat, cobalah gali lebih dalam. Agar kamu lebih banyak tahu." "Cih, kamu War. Merusak suasana hatiku. Tapi, yang pasti aku gak suka sama laki-laki kasar kayak suamimu itu. Maaf ya, War. Apa sih yang kamu harapkan dari Bambang? Apalagi kalian 'kan belum punya momongan dan kamu juga bekerja. So ... kalau kalian pisah enggak ada yang namanya berebut anak." Mawar terdiam seribu bahasa mendengar penuturan Aprilia, tidak semua yang temannya itu katakan salah dan tidak juga benar. Semua tergantung dari sudut pandang mana ia melihatnya. Pernikahan Mawar dan Bambang yang hampir setahun ini memang diuji oleh badai yang sangat berat, akan tetapi yang paling menyakitkan untuk Mawar adalah perkara anak. Bukan sekali atau dua dirinya harus tersenyum pahit, ketika ada yang menyinggung masalah momongan. "War, aku rasa suami kamu mandul, deh. Soalnya, lelaki yang tremamental itu tingkat kesuburannya kurang. Berbeda dengan lelaki yang lemah lembut dan penyayang, seperti Pak Rendy. Uuuhhh ... beruntung kalau punya suami seperti Pak Rendy," kata Aprilia. "Apa benar? Lelaki tremamental memiliki tingkat kesuburan yang rendah?" batin Mawar bertanya-tanya. Ketika Mawar sedang memikirkan apa yang baru saja diucapkan oleh Aprilia, tidak lama kemudian terdengar dari luar suara ribut-ribut. "Ada suara orang ribut-ribut diluar ya, Lia?" tanya Mawar penasaran dan meminta Aprilia keluar untuk melihat apa yang terjadi. "Pak Randy!" pekik Aprilia keras membuat Mawar terkejut.Bambang menghajar wajah Rendy dengan membabi–buta, orang-orang yang berada di puskesmas tersebut menjadi gaduh dan berusaha untuk melerai keduanya."Aduh! Kamu pikir kamu siapa! Hah!" pekik Rendy setelah menerima bogem mentah dari Bambang di wajahnya. Rendy mengusap pelan sudut bibirnya yang sedikit mengeluarkan d4r4h, lelaki itu ingin membalas perbuatan Bambang. Namun, tangannya yang sudah berada di udara harus terhenti karena suara teriakan seseorang yang menyebut namanya."Pak Rendy!" pekik Aprilia dan bergegas berlari menuju ke arah Rendy."Kamu kenapa sih, Bang! Gaya kayak preman! Main pukul orang!" bentak Aprilia meluapkan emosinya setelah melihat wajah Rendy babak-belur akibat ulah Bambang."Itu bukan urusanmu! Minggir!" bantak Bambang yang ingin kembali memukul Rendy sampai puas. Namun, Aprilia membentangkan kedua tangannya. Melindungi Rendy, hal itu membuat Bambang semakin kesal.Bambang meludahkan air liurnya ke tanah, sebagai bentuk penghinaan kepada Rendy, "Dasar b4nc1!"
Hari demi hari berlalu, Mawar masih saja terngiang-ngiang akan akan ucapan Aprilia tempo lalu. Di mana wanita itu mempertanyakan alasan apa yang membuatnya tetap bertahan dengan pernikahan toksik ini.Hingga terlintas begitu saja di dalam benaknya untuk meninggalkan sang suami, akan tetapi Mawar belum mendapatkan alasan yang tepat untuk mengajukan perceraian."Dek, Mas minta uang kamu untuk beli rokok ya?" Pernyataan Bambang yang tiba-tiba itu membuat Mawar yang sedang menjemur pakaian terdiam sejenak, kemudian membuang nafas panjang dan bergegas menyudahi aktifitasnya.Sebagai seorang istri, Mawar sangat menghindari perdebatan dengan sang suami. Terlebih tentang masalah ekonomi."Ini Mas, uangnya," ucap Mawar seraya menyodorkan uang berwarna merah. Namun, bukannya menerima uang tersebut. Bambang malahan membuang muka dan memakinya."Mana cukup ini, Dek!"Sebisa mungkin Mawar menahan amarah yang mulai naik keubun-ubun, andaikan saja lelaki yang berada dihadapannya ini bukanlah orang y
Setelah semua pekerjaan rumah selesai, Mawar memilih untuk beristirahat sejenak. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, lalu memainkan ponsel miliknya.Ah, hanya hal yang sederhana. Namun bisa mengurangi rasa jenuh yang ia rasakan. Mawar mulai menggeser-geser layar ponselnya, mencari hal-hal yang menarik untuk dilihat. Sampai sebuah postingan seseorang membuatnya tertarik."Aku selalu berusaha, walaupun ... hasilnya entah sampai kapan baru bisa kamu rasakan."Mata Mawar membulat sempurna akan sepengalan kalimat tersebut, sampai merubah posisinya yang tadi rebahan kini menjadi duduk."Apa maksudnya?" gumam Mawar. Kemudian membaca komentar pada kolom postingan tersebut. Namun, ia tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan.Mawar semakin penasaran akan apa yang suaminya lakukan diluar sana, di mana yang ia ketahui kalau Bambang hanya keluyuran dan nongkrong bersama temannya.Pernah sekali Mawar meminta suaminya itu untuk mencari pekerjaan dan mengajukan lamaran, namun hanya dibalas deng
Bab 8 Di TalakHari kembali kepada aktivitas yang melelahkan lagi, sekarang tugas Mawar bukan hanya mencari nafkah dengan bekerja di kantor. Melainkan mencari tambahan dengan membuat kue yang akan dititipkan ke beberapa warung.Cibiran demi hinaan mulai menerpa Mawar, sebab sebagian orang mengenalnya sebagai istri Bambang. Hingga banyak sekali isu yang tidak sedap didengar sampai ke telinga sang suami."Dek! Kamu kalau pergi kerja, jangan dandan! Mas enggak suka!" perintah Bambang ketika Mawar baru saja mengoleskan lipstik tipis ke bibirnya.Bukan kali ini saja sang suami menyuarakan ketidaksukaan atas penampilannya dalam bekerja, sebab Mawar tidak mampu menghitung berapa kali mereka berdua bertengkar akan masalah sepele menurutnya."Dek! Kamu dengar atau, tidak?" bentak Bambang, sebab diacuhkan oleh Mawar."Aku dengar, Mas. Cuma enggak menyahut," balas Mawar cepat dan bergegas memasukan poselnya ke dalam tas dan berjalan menuju keluar.Baru saja di ambang pintu rumah, Kiranan sudah m
Bab 9 Minta Pulang"Siapa yang mau ditalak?"Mawar bergegas mengusap air matanya yang sempat terjatuh dan berusaha terlihat baik-baik saja, ketika Rendy yang entah dari mana tiba-tiba saja muncul dan bertanya."Itu si Mawar—""Bukan apa-apa, Pak!" balas Mawar dengan cepat, memotong ucapan Aprilia dan menatap wajah temannya itu dengan sorot mata yajam. Seolah, jika Aprilia membuka mulutnya akan m4ti.Aprilia menjadi bungkam dan tidak berkutik, Rendy yang merasa ada kejanggalan tersebut kembali memperjelas apa yang disampaikan oleh Mawar."Beneran?" tanya Rendy yang mendapatkan anggukan dari Mawar."Oh, iya Pak Rendy. Nanti siang, kemungkinan hanya Aprilia yang akan menemani Bapak ke lokasi bangunan yang akan kita buat. Sebab, saya ada keperluan lain," jelas Mawar yang mengingat akan adanya agenda bersama Rendy.Mungkin begitu berat bagi Mawar untuk bisa bekerja dengan baik, jika ditipa masalah yang begitu besar seperti saat ini.Bukan ingin menghindari tanggungjawab, tapi Mawar ingin c
Bab 10 Petuah orangtua"Tidak Ibu! Tidak anak! Kalian sama saja!" teriak Mawar marah.Herlina yang ingin membalas ucapan Mawar dihadang oleh Bambang yang memberikan sebuah ancaman yang begitu menakutkan."Kalau Ibu masih menganggap aku sebagai anak? Jangan mengatakan hal yang kasar lagi." Setelah itu, Bambang segera menarik tangan Mawar untuk naik ke atas motornya."Apa yang Mas lakukan?" tanya Mawar yang berniat menolak ajakan sang suami."Mas sendiri yang akan mengantarkan kamu pulang! Ingat! Mas ini masih suamimu," jelas Bambang membuat Mawar terdiam dan hanya bisa manut-manut.Mereka berdua pun meninggalkan Herlina yang hanya mampu terdiam, tidak berkutik. Selama diperjalanan Bambang hanya saling terdiam, begitupun dengan Mawar. Hingga Bambang memakirkan motornya di depan sebuah warung makan."Mas mau apa?" tanya Mawar yang hanya mendapatkan tatap dingin dari sang suami yang sudah terlebih dahulu masuk.Dengan langkah gontai, Mawar mengikuti suaminya. Ingin sekali ia menyeruakan p
"Lalu, apa yang harus aku lakukan?" tanya Mawar dengan polos. Arumi hanya mengangkat bahunya, tidak berkomentar atas pertanyaan yang diajukan oleh Mawar dan memilih untuk keluar.Sebelum benar-benar meninggalkan Mawar, Arumi kembali berpesan, "War, kalau kamu merasa sedih? Maka, ingatlah hal bahagia yang pernah kamu rasakan."Mawar hanya mampu menatap lekat wajah bundanya sampai wanita itu menghilang dibalik pintu. Mawar sangat paham akan maksud yang disampaikan oleh sang bunda.Hal yang selalu Arumi sarankan ketika dirinya merasa sedih, agar kembali mengingat rasa senang yang pernah ia rasakan. Sebab, terlalu munafik untuk mengeluh atas rasa sakit yang dirasakan ketika Tuhan pernah memberikan rasa bahagia.Setiap manusia selalu diuji sampai akhirnya kembali kepada Sang Pencipta, dunia ini hanyalah sebuah panggung sandirwara di mana Manusia hanya menjalankan perannya saja."Dek," panggil Bambang yang tiba-tiba saja masuk membuat Mawar sontak saja terkaget."Apa yang Mas lakukan
"Mas bukan maling, Dek," elak Bambang membuat Mawar semakin jengah dengan suaminya yang sangat pandai bersilat lidah."Pokoknya aku mau cerai!" teriak Mawar.Arman yang tidak terima dengan apa yang baru saja disampaikan oleh Mawar kini menjadi tameng untuk sang putri dan akan membela mati-matian anak semata wayangnya itu.Sedangkan Arumi yang mencoba menjadi penengah atas masalah yang tengah Bambang dan Mawar hadapi mencoba mencari celah atas sebuah kebenaraan yang sesungguhnya."War, kamu bilang kalau Bambang selingkuh?" tanya Arumi membuat Mawar mengagguk cepat."Apa kamu punya bukti dan alasan yang kuat untuk mengajukan perceraian?" tanya Arumi lagi dan membuat Mawar meraih ponselnya, kemudian menujukkan foto Bambang yang tengah berboncengan dengan Melati.Arman yang melihat bukti yang Mawar tunjukkan bergegas menghampiri Bambang dan melayangkan sebuah bogem mentah tepat diwajah menantunya itu sampai terjatuh.Arumi melihat apa yang dilakukan oleh Arman segera menghadang lelaki itu
Angin sore berhembus pelan di pemakaman, membawa aroma khas tanah basah yang bercampur dengan harumnya bunga mawar putih yang bertabur di atas makam Bambang. Matahari hampir tenggelam di ufuk barat, menciptakan pendar jingga keemasan yang meliputi seluruh area. Di sana, di depan pusara yang sederhana namun penuh makna, berdiri Mawar dan Rendy. Mawar mengenakan pakaian serba hitam yang sederhana, wajahnya terlihat sendu tetapi menenangkan. Di tangannya tergenggam buket bunga mawar putih, simbol cinta dan penghormatan untuk Bambang. Rendy, dengan wajah penuh keyakinan, berdiri di sampingnya mengenakan kemeja berwarna hitam dan sarung hijau tua. Di depannya, seorang pembuka agama dan beberapa keluarga serta teman dekat berkumpul dalam suasana yang penuh keharuan. “Apa kamu sudah siap, Dek?” bisik Rendy pelan, menoleh ke arah wanita yang kini menjadi tanggung jawabnya. Mawar mengangguk kecil, matanya berkaca-kaca
Sore itu, rumah Mawar dipenuhi suasana yang begitu asing. Di ruang tamu, beberapa tamu yang terdiri dari kerabat dekat dan tetangga duduk dalam hening. Tidak ada gemerlap dekorasi atau pesta besar. Hanya meja sederhana yang dihiasi bunga mawar putih, seolah menjadi simbol kebersahajaan acara yang berlangsung hari itu. Mawar duduk di sudut ruangan dengan wajah penuh emosi yang sulit diartikan. Gaun putih sederhana yang ia kenakan terasa berat, bukan karena bahan kainnya, tetapi karena beban di dalam hatinya. Di sampingnya, Rendy berdiri dengan wajah tenang, meski ada sedikit kegugupan di mata tegas pria itu. "Apa kamu yakin ingin melakukannya, Dek?" tanya Rendy pelan, nyaris berbisik. Mawar mengangguk tanpa menoleh, matanya masih menatap ke arah lantai. "Ini yang Bambang inginkan. Aku hanya mencoba memenuhi permintaannya." Mendengar itu, Rendy hanya bisa menghela napas. Ia tahu Mawar tidak benar-benar melakukan ini untuk dirinya
Malam itu terasa begitu sunyi di ruang perawatan Bambang. Hanya suara alat monitor jantung yang terus berdetak lambat, menjadi penanda bahwa waktu Bambang di dunia ini semakin menipis. Mawar duduk di sisi ranjang suaminya, menggenggam erat tangan Bambang yang terasa semakin dingin. Wajahnya pucat, tetapi matanya tetap menatap Bambang penuh harap, seolah berusaha menyangkal kenyataan yang semakin nyata di depannya. "Mas, jangan tinggalkan aku," bisik Mawar, suaranya bergetar. "Aku butuh kamu. Aku nggak tahu bagaimana caranya menjalani hidup tanpa kamu." Bambang tersenyum tipis. Meski tubuhnya semakin lemah, ia berusaha memberikan ketenangan untuk Mawar. "Sayang, kamu lebih kuat dari yang kamu pikirkan. Mas percaya kamu bisa melewati ini. Kamu harus percaya pada dirimu sendiri." Air mata Mawar mengalir deras. Ia menggenggam tangan Bambang semakin erat, seolah berusaha menahan kepergiannya. "Tapi aku nggak mau kehilangan kamu, Ma
Di ruang perawatan rumah sakit, suasana begitu sunyi. Hanya suara detak alat monitor jantung yang terus berdetak pelan, seolah menjadi pengingat waktu yang kian menipis. Bambang terbaring di atas ranjang dengan tubuh lemah. Napasnya tersengal-sengal, tetapi matanya tetap memancarkan tekad yang tidak pernah pudar. Di sisi ranjangnya, Mawar duduk dengan tangan menggenggam jemari Bambang yang mulai dingin. Wajahnya nampak begitu lelah dengan mata yang sembap karena kurang tidur. Sejak Bambang dirawat kembali, ia hampir tidak pernah meninggalkan suaminya dan terus berada di sisi sang suami. Rasa takut yang terus menghantui membuatnya tidak ingin membuang sedetik pun waktu bersama Bambang. “Mas …” Mawar memanggil pelan, suaranya bergetar. “Tolong jangan tinggalkan aku. Aku nggak tahu harus bagaimana kalau kamu pergi.” Bambang tersenyum tipis, meski itu hanya memperlihatkan rasa lelah di wajahnya. “Sayang, Mas nggak akan pernah benar
Malam itu, Mawar duduk di samping tempat tidur dengan mata sembap. Wajahnya terlihat lelah, bukan karena fisik, tetapi karena hatinya yang terus-menerus digempur rasa sakit. Di depannya, Bambang terbaring dengan tubuh lemah, napasnya sesekali terengah-engah. Namun, meski raganya mulai menyerah, tekad di dalam dirinya tetap kokoh. Ia tahu ia tidak punya banyak waktu, dan ini adalah kesempatan terakhir untuk berbicara dengan Mawar. “Dek,” Bambang memanggil pelan, suaranya serak. “Kita harus bicara.” Mawar menggelengkan kepala. "Aku nggak mau dengar, Mas. Tolong jangan bicarakan hal itu lagi." Tapi Bambang tidak menyerah. Ia mengulurkan tangannya, mencoba menggenggam jemari Mawar. "Sayang, tolong dengarkan Mas. Ini penting!" Mawar memejamkan matanya, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah lagi. "Mas, kenapa kamu memaksa aku untuk melakukan sesuatu yang begitu menyakitkan? Kita baru saja memperbaiki semuanya. Kita bar
Suasana rumah terasa sunyi malam itu, hanya suara detak jam dinding yang terdengar di ruang tamu. Mawar sedang tertidur di samping Bambang, menggenggam tangan suaminya yang semakin kurus. Wajah Bambang pucat, matanya redup, tapi pikirannya tak bisa tenang. Ia tahu waktunya tidak lama lagi. Dokter sudah memberitahu bahwa kondisinya semakin memburuk, dan operasi yang sebelumnya menjadi harapan kini tidak lagi mungkin dilakukan. Namun, bukan kematian yang membuatnya gelisah malam ini, melainkan Mawar. Ia tidak bisa membayangkan Mawar hidup sendirian setelah dirinya pergi. Dengan hati yang berat, Bambang memutuskan sesuatu. Ia harus menemukan Rendy. Rendy adalah mantan istrinya, seseorang yang pernah mengisi masa lalu Mawar sebelum mereka menikah. Bambang tahu betapa dalam hubungan Mawar dengan Rendy dulu. Meskipun Mawar tidak pernah menceritakannya secara rinci, Bambang bisa merasakan bahwa ada bagian dari hati istrinya yang pern
Malam itu, hujan turun deras. Angin dingin menyelinap ke sela-sela jendela, membawa hawa yang membuat Mawar merasa tidak nyaman. Samar-samar ia mendengar suara dari kamar mandi—seperti seseorang yang tengah terbatuk keras. Mawar langsung berjalan menuju kamar mandi, hatinya berdebar tak menentu. "Mas? Kamu di dalam?" tanyanya sambil mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Tapi suara batuk itu semakin terdengar parau, seperti menahan sakit yang luar biasa. Mawar langsung membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. Di sana, ia menemukan Bambang terduduk di lantai, bersandar di dinding, wajahnya pucat seperti tidak ada darah yang mengalir. "Mas! Kamu kenapa?" Mawar berlutut di samping suaminya, panik. Tangannya langsung memegang pipi Bambang yang dingin, lalu mengguncang bahunya pelan. Bambang berusaha tersenyum kecil, meski terlihat lemah. "Mas ... nggak apa-apa. Cuma sesak sedikit," kata sang suami, suaranya nyaris seperti bisikan. Ma
Pagi itu, udara dingin menyelimuti rumah kecil mereka. Mawar duduk di ruang tamu dengan secangkir teh yang mulai mendingin di tangannya. Percakapan kemarin malam masih terngiang jelas di telinganya, terutama ekspresi Herlina ketika mereka mengutarakan keinginan untuk pindah. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang berat di hati ibu mertuanya, meskipun Herlina berusaha menutupi itu dengan senyum tipis. Mawar tahu, Herlina tidak benar-benar setuju, meskipun bibirnya mengatakan ia memahami. Langkah kaki terdengar dari arah dapur. Herlina muncul dengan sebuah nampan berisi sepiring pisang goreng dan teko kopi hangat. Wajahnya tampak tenang seperti biasa, tapi Mawar bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan mata wanita itu. "Kamu sudah sarapan, War?" tanya Herlina, seraya meletakkan pisang goreng di atas meja. "Sudah, Bu. Terima kasih," jawab Mawar, mencoba tersenyum. Herlina duduk di sebelahnya, menuangkan kopi ke da
Langit sore itu memerah. Mawar sedang mencuci piring di dapur, tangannya bergerak tanpa pikir panjang. Suara gemericik air mengiringi pikirannya yang melayang jauh. Ia masih mengingat tajam bagaimana dulu Herlina, ibu mertuanya, selalu memandang dingin kepadanya, seperti orang asing yang tak diinginkan. Namun sore itu berbeda. "War, istirahatlah dulu. Biar Ibu yang selesaikan," suara Herlina terdengar lembut, menyusup pelan ke telinganya. Mawar menoleh, sedikit terkejut. Ibu mertuanya itu berdiri di ambang pintu dapur dengan senyum kecil yang terasa tulus. Wajah Herlina yang biasanya keras kini tampak lembut, meski garis-garis usia tetap jelas di sana. Mawar terdiam, mencoba membaca maksud di balik perubahan ini, ataukah karena kejadian barusan. Mawar hanya bisa menuga–nuga. "Eh, tidak apa-apa, Bu. Aku sudah hampir selesai," balas Mawar, mencoba terdengar biasa saja. Tapi Herlina tidak menyerah. Ia melangkah mendekat, m