Hari demi hari berlalu, Mawar masih saja terngiang-ngiang akan akan ucapan Aprilia tempo lalu. Di mana wanita itu mempertanyakan alasan apa yang membuatnya tetap bertahan dengan pernikahan toksik ini.
Hingga terlintas begitu saja di dalam benaknya untuk meninggalkan sang suami, akan tetapi Mawar belum mendapatkan alasan yang tepat untuk mengajukan perceraian.
"Dek, Mas minta uang kamu untuk beli rokok ya?" Pernyataan Bambang yang tiba-tiba itu membuat Mawar yang sedang menjemur pakaian terdiam sejenak, kemudian membuang nafas panjang dan bergegas menyudahi aktifitasnya.
Sebagai seorang istri, Mawar sangat menghindari perdebatan dengan sang suami. Terlebih tentang masalah ekonomi.
"Ini Mas, uangnya," ucap Mawar seraya menyodorkan uang berwarna merah. Namun, bukannya menerima uang tersebut. Bambang malahan membuang muka dan memakinya.
"Mana cukup ini, Dek!"
Sebisa mungkin Mawar menahan amarah yang mulai naik keubun-ubun, andaikan saja lelaki yang berada dihadapannya ini bukanlah orang yang berstatus suaminya. Kemungkin besar akan ia membalas makian Bambang.
"Ya udah, kalau enggak mau. Lumayan untuk lauk makan siang nanti, bisa beli tempe dan kangkung," kata Mawar seraya masuk ke rumah. Namun, langkahnya terhenti. Karena sang suami yang menahan pergelangan tangannya, dengan perasaan malas dan dongkol ia menatap Bambang lekat.
"Mau apa lagi?" tanya Mawar dengan menarik kasar tangannya.
"Kamu!" ucap Bambang dengan penuh penekanan seraya menujuk wajah Mawar dengan geram. Akan tetapi wanita itu tidak bergeming sama sekali.
Kehidupan keduanya dulu baik-baik saja, namun setelah Bambang di PHK dari tempatnya bekerja dan menjadi pengangguran yang suka keluyuran serta nongkrong ditempat yang tidak jelas. Hubungan suami-istri itupun mulai diterpa badai.
"Apa? Mau nampar aku? Silahkan!" balas Mawar sengit.
Tangan Bambang yang sudah mengepal kuat diudara ditariknya kembali, kemudian lelaki itu berlalu keluar begitu saja.
"Satu hal yang harus kamu ingat, Mas! Uang istri mutlak miliknya!" teriak Mawar membuat sang suami hanya terdiam, tanpa mampu membalas perkataannya.
Namun, sekuat-kuatnya wanita. Ia merupakan sosok yang lemah, setelah pertengkaran kecil tersebut Mawar masuk ke kamar dan menangis dalam diam.
Bukan hanya masalah ekonomi yang harus ia hadapi, akan tetapi perubahan sikap sang suami pun harus ia pertimbangkan untuk bertahan.
"Ayo Mawar! Kamu harus kuat," ucapnya menyemangati diri.
Hari minggu yang dulu biasanya ia habiskan dengan bersantai dan rehat dari pekerjaan kantor, namun berubah untuk saat ini.
Baru saja Mawar masuk ke kamar, tidak berapa lama terdengar teriakan dari ibu mertua yang meraung-raung tidak henti.
"Mawar! Mawar!"
Mawar mengusap kasar air mata yang masih saja sempat jatuh, kemudian membuka pintu kamar yang sudah menampakkan sosok Herlina yang tengah berkacak pinggang.
"Kamu itu ada telinga atau tidak sih? Ibu panggil sedari tadi tidak menyahut!" decak Herlina kesal.
Mawar tersenyum kecil, "Aku ada telinga, Bu. Tapi, tidak berusara saja. Karena Ibu mempertanyakan telingaku, bukan mulutku."
Herlina nampak naik pitam akan jawaban dari Mawar, wanita itu mengendus kesal.
"Sekarang kamu sudah pandai menjawab, ya? Mau jadi menantu durhaka, kamu!" balas Herlina sengit.
Karena tidak ingin memperpanjang masalah yang tidak seberapa, membuat Mawar mengalah seraya mengusap dadanya bersabar.
"Ibu kenapa memanggilku?" tanya Mawar pelan, namun dengan sorot mata lekat menatap ibu mertuanya.
"Ini!" terang Herlina seraya menyodorkan kantong plastik kepada Mawar, kemudian wanita itu berlalu begitu saja.
Mawar yang sudah bisa menebak isi kantong plastik itu pun berlalu menuju dapur, jika tidak berangkat ke kantor seperti saat ini. Maka, Mawar akan di suruh mengerjakan semua pekerjaan rumah.
Dari berbersih-bersih, sampai memasak dan terkadang disuruh mencari uang tambahan dengan membuat kue. Sungguh, realita pernikahan yang tidak ada di dalam kamus kehidupan sorang Mawar.
"Mbak, mau masak?" Pertanyaan Kirana membuat Mawar menatap sekilas ke arah adik iparnya itu dan kembali melanjutkan aktivitasnya tanpa berniat menimpali ucapan Kirana.
Merasa diacuhkan gadis itu pun menghentakkan kakinya dan mendekati Mawar.
"Mbak punya telinga, enggak sih?" teriak Karina nyaring.
"Punya, kamu bisa melihatnya," balas Mawar seraya menunjuk daun telinganya dengan jari. Hal itu membuat Kirana semakin kesal.
"Benar kata Ibu, Mbak itu sekolah aja tinggi! Tapi, gak ada sopan santunya!" cibir Kiranan membuat Mawar geram.
"Hey! Nona muda tukang numpang! Kamu tadi tanya tentang apa? Telinga, bukan? Jadi, aku hanya perlu mendengar apa yang kamu ucapkan. Kecuali! Kamu mengajakku berbicara, maka ... mulut ini pun akan terbuka!" balas Mawar sengit.
Jika tidak ada siapa-siapa, tanpa merasa ragu. Mawar akan melempiaskan kekesalannya kepada Kirana. Menurut Mawar adik iparnya itu sudah mampu untuk hidup mandiri dan mencari pekerjaan.
Namun, cara Herlina yang salah dalam mendidik anak gadisnya membuat Kirana bagaikan benalu dalam rumah tangga Mawar dan Bambang.
"Cih! IQ Mbak rendahan!" kata Kirana.
Mawar membulatkan mulut dan matanya setelah mendengar ucapan Kirana barusan, ketika ingin membalas gadis itu. Tiba-tiba saja Herlina masuk ke dapur.
"War! Kamu sudah masak?" tanya Herlina membuat Mawar menggeleng pelan.
"Mana bisa masak dia, Bu! Kalau kerjaannya cuma malas-malasan!" adu Kiranan membuat Herlina memaki Mawar.
Hal seperti ini sudah sering terjadi, di mana Mawar adalah orang yang akan selalu di salahkan atas apapun yang terjadi.
Walaupun dirinya tidak melakukan kesalahan, namun Herlina akan selalu mengungkit-ungkit bahwa Mawar hanyalah orang luar yang hidup bersama mereka.
"Cepat masak! Jangan malas-malasan! Makanya kamu enggak hamil-hamil! Kalau disuruh suka malas!"
Bukan hanya telinga yang terasa panas, namun hati dan tubuh Mawar pun ikut terasa mendidih akan pedasnya ucapan Herlina.
Padahal, bukan keinginan Mawar tidak memiliki anak. Hanya saja, Tuhan yang belum memberikan kepercayaan.
"Kerja yang rajin, ya Mbak," ucap Kirana dengan nada mengejek, kemudian menyusul Herlina.
Setelah ibu dan anak itu pergi, barulah Mawar bisa bernafas. Semakin lama ia menjalani hubungan pernikahan ini, maka semakin kewarasannya dipertaruhkan.
Ingin sekali rasanya ia menelpon ayah dan bundanya, lalu mengadukan semua penderitaan yang ia rasakan. Namun, Mawar teringat akan pesan sang ayah.
Bahwa kehidupan berumahtangga tidak boleh diumbar, ada aib yang harus ditutupi. Terlebih akan kekurangan dari pasangan. Di mana seroang istri adalah pakaian untuk suaminya dan begitu pun sebaliknya.
"Aku harus kuat! Tapi, sampai kapan aku bisa bertahan?" batin Mawar.
Setelah semua pekerjaan rumah selesai, Mawar memilih untuk beristirahat sejenak. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, lalu memainkan ponsel miliknya.Ah, hanya hal yang sederhana. Namun bisa mengurangi rasa jenuh yang ia rasakan. Mawar mulai menggeser-geser layar ponselnya, mencari hal-hal yang menarik untuk dilihat. Sampai sebuah postingan seseorang membuatnya tertarik."Aku selalu berusaha, walaupun ... hasilnya entah sampai kapan baru bisa kamu rasakan."Mata Mawar membulat sempurna akan sepengalan kalimat tersebut, sampai merubah posisinya yang tadi rebahan kini menjadi duduk."Apa maksudnya?" gumam Mawar. Kemudian membaca komentar pada kolom postingan tersebut. Namun, ia tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan.Mawar semakin penasaran akan apa yang suaminya lakukan diluar sana, di mana yang ia ketahui kalau Bambang hanya keluyuran dan nongkrong bersama temannya.Pernah sekali Mawar meminta suaminya itu untuk mencari pekerjaan dan mengajukan lamaran, namun hanya dibalas deng
Bab 8 Di TalakHari kembali kepada aktivitas yang melelahkan lagi, sekarang tugas Mawar bukan hanya mencari nafkah dengan bekerja di kantor. Melainkan mencari tambahan dengan membuat kue yang akan dititipkan ke beberapa warung.Cibiran demi hinaan mulai menerpa Mawar, sebab sebagian orang mengenalnya sebagai istri Bambang. Hingga banyak sekali isu yang tidak sedap didengar sampai ke telinga sang suami."Dek! Kamu kalau pergi kerja, jangan dandan! Mas enggak suka!" perintah Bambang ketika Mawar baru saja mengoleskan lipstik tipis ke bibirnya.Bukan kali ini saja sang suami menyuarakan ketidaksukaan atas penampilannya dalam bekerja, sebab Mawar tidak mampu menghitung berapa kali mereka berdua bertengkar akan masalah sepele menurutnya."Dek! Kamu dengar atau, tidak?" bentak Bambang, sebab diacuhkan oleh Mawar."Aku dengar, Mas. Cuma enggak menyahut," balas Mawar cepat dan bergegas memasukan poselnya ke dalam tas dan berjalan menuju keluar.Baru saja di ambang pintu rumah, Kiranan sudah m
Bab 9 Minta Pulang"Siapa yang mau ditalak?"Mawar bergegas mengusap air matanya yang sempat terjatuh dan berusaha terlihat baik-baik saja, ketika Rendy yang entah dari mana tiba-tiba saja muncul dan bertanya."Itu si Mawar—""Bukan apa-apa, Pak!" balas Mawar dengan cepat, memotong ucapan Aprilia dan menatap wajah temannya itu dengan sorot mata yajam. Seolah, jika Aprilia membuka mulutnya akan m4ti.Aprilia menjadi bungkam dan tidak berkutik, Rendy yang merasa ada kejanggalan tersebut kembali memperjelas apa yang disampaikan oleh Mawar."Beneran?" tanya Rendy yang mendapatkan anggukan dari Mawar."Oh, iya Pak Rendy. Nanti siang, kemungkinan hanya Aprilia yang akan menemani Bapak ke lokasi bangunan yang akan kita buat. Sebab, saya ada keperluan lain," jelas Mawar yang mengingat akan adanya agenda bersama Rendy.Mungkin begitu berat bagi Mawar untuk bisa bekerja dengan baik, jika ditipa masalah yang begitu besar seperti saat ini.Bukan ingin menghindari tanggungjawab, tapi Mawar ingin c
Bab 10 Petuah orangtua"Tidak Ibu! Tidak anak! Kalian sama saja!" teriak Mawar marah.Herlina yang ingin membalas ucapan Mawar dihadang oleh Bambang yang memberikan sebuah ancaman yang begitu menakutkan."Kalau Ibu masih menganggap aku sebagai anak? Jangan mengatakan hal yang kasar lagi." Setelah itu, Bambang segera menarik tangan Mawar untuk naik ke atas motornya."Apa yang Mas lakukan?" tanya Mawar yang berniat menolak ajakan sang suami."Mas sendiri yang akan mengantarkan kamu pulang! Ingat! Mas ini masih suamimu," jelas Bambang membuat Mawar terdiam dan hanya bisa manut-manut.Mereka berdua pun meninggalkan Herlina yang hanya mampu terdiam, tidak berkutik. Selama diperjalanan Bambang hanya saling terdiam, begitupun dengan Mawar. Hingga Bambang memakirkan motornya di depan sebuah warung makan."Mas mau apa?" tanya Mawar yang hanya mendapatkan tatap dingin dari sang suami yang sudah terlebih dahulu masuk.Dengan langkah gontai, Mawar mengikuti suaminya. Ingin sekali ia menyeruakan p
"Lalu, apa yang harus aku lakukan?" tanya Mawar dengan polos. Arumi hanya mengangkat bahunya, tidak berkomentar atas pertanyaan yang diajukan oleh Mawar dan memilih untuk keluar.Sebelum benar-benar meninggalkan Mawar, Arumi kembali berpesan, "War, kalau kamu merasa sedih? Maka, ingatlah hal bahagia yang pernah kamu rasakan."Mawar hanya mampu menatap lekat wajah bundanya sampai wanita itu menghilang dibalik pintu. Mawar sangat paham akan maksud yang disampaikan oleh sang bunda.Hal yang selalu Arumi sarankan ketika dirinya merasa sedih, agar kembali mengingat rasa senang yang pernah ia rasakan. Sebab, terlalu munafik untuk mengeluh atas rasa sakit yang dirasakan ketika Tuhan pernah memberikan rasa bahagia.Setiap manusia selalu diuji sampai akhirnya kembali kepada Sang Pencipta, dunia ini hanyalah sebuah panggung sandirwara di mana Manusia hanya menjalankan perannya saja."Dek," panggil Bambang yang tiba-tiba saja masuk membuat Mawar sontak saja terkaget."Apa yang Mas lakukan
"Mas bukan maling, Dek," elak Bambang membuat Mawar semakin jengah dengan suaminya yang sangat pandai bersilat lidah."Pokoknya aku mau cerai!" teriak Mawar.Arman yang tidak terima dengan apa yang baru saja disampaikan oleh Mawar kini menjadi tameng untuk sang putri dan akan membela mati-matian anak semata wayangnya itu.Sedangkan Arumi yang mencoba menjadi penengah atas masalah yang tengah Bambang dan Mawar hadapi mencoba mencari celah atas sebuah kebenaraan yang sesungguhnya."War, kamu bilang kalau Bambang selingkuh?" tanya Arumi membuat Mawar mengagguk cepat."Apa kamu punya bukti dan alasan yang kuat untuk mengajukan perceraian?" tanya Arumi lagi dan membuat Mawar meraih ponselnya, kemudian menujukkan foto Bambang yang tengah berboncengan dengan Melati.Arman yang melihat bukti yang Mawar tunjukkan bergegas menghampiri Bambang dan melayangkan sebuah bogem mentah tepat diwajah menantunya itu sampai terjatuh.Arumi melihat apa yang dilakukan oleh Arman segera menghadang lelaki itu
"Dek, Mas di PHK!"Bagaikan tidak memiliki tulang lagi, tubuh Mawar luruh ke bawah setelah mendengar pernyataan sang suami.Berbagai ujian dalam hidup berumah–tangga saja sudah membuat seorang Mawar yang berstatus sebagai istri harus menelan pil pahit, sekarang ditambah masalah ekonomi yang menjadi momok yang paling menakutkan."Lalu, bagaimana biaya hidup kita, Mas?" tanya Mawar dengan lirih."Kamu 'kan masih bekerja? Jadi, pakai uang gajih kamu saja dulu, untuk menutupi kebutuhan kita," terang Bambang yang membuat Mawar hanya mampu tersenyum getir.Bukan Mawar tidak ingin berbakti kepada sang suami, akan tetapi kebutuhan mereka sangatlah banyak. Karena Bambang yang harus membiayai ibu dan juga adik perempuannya, sedangkan gajih yang dimiliki oleh Mawar sebagai pegawai disalah satu pemerintahan desa tidaklah seberapa.Disaat semua hal tengah berkecambuk di dalam pikirannya, tidak berapa lama terdengar suara Herlina dari balik pintu."Bang! Ibu mau minta uang! Tabung gas habis!"Mawa
"Kamu!" pekik Mawar antara terkejut dan juga kesal, sedangkan Herlina tertawa lepas melihat ekspresi sang menantu yang berhasil ia kerjai."Ada apa sih, War?" tanya Kirana tanpa dosa membuat Mawar semakin kesal dan berbalik badan berlalu seraya menghentak-hentakkan kakinya. Bambang yang melihat tingkah ibu dan juga adik perempuannya itu hanya mampu membuang nafas panjang."Ibu kenapa, sih? Suka sekali mengerjai Mawar?" tanya Bambang tidak habis pikir dengan kelakukan sang ibu. Namun, wanita itu hanya mengangkat bahunya acuh.Ketika Bambang ingin berlalu menyusul sang istri, tangannya di cegat oleh Karina membuat lelaki itu menatap sang adik lekat."Ada apa lagi?" tanyanya dengan dingin."Its, Mas Bambang gitu deh," balas Kirana manja seraya mengayun-ayunkan tangan Bambang seperti anak kecil yang tengah merajuk dan meminta dibelikan permen.Herlina yang awalnya acuh kini menghampiri kedua anaknya itu."Kamu jangan kasar sama adikmu, Bang. Ibu gak suka,!" ucapnya dengan penuh penekanan.