Hari demi hari berlalu, Mawar masih saja terngiang-ngiang akan akan ucapan Aprilia tempo lalu. Di mana wanita itu mempertanyakan alasan apa yang membuatnya tetap bertahan dengan pernikahan toksik ini.
Hingga terlintas begitu saja di dalam benaknya untuk meninggalkan sang suami, akan tetapi Mawar belum mendapatkan alasan yang tepat untuk mengajukan perceraian.
"Dek, Mas minta uang kamu untuk beli rokok ya?" Pernyataan Bambang yang tiba-tiba itu membuat Mawar yang sedang menjemur pakaian terdiam sejenak, kemudian membuang nafas panjang dan bergegas menyudahi aktifitasnya.
Sebagai seorang istri, Mawar sangat menghindari perdebatan dengan sang suami. Terlebih tentang masalah ekonomi.
"Ini Mas, uangnya," ucap Mawar seraya menyodorkan uang berwarna merah. Namun, bukannya menerima uang tersebut. Bambang malahan membuang muka dan memakinya.
"Mana cukup ini, Dek!"
Sebisa mungkin Mawar menahan amarah yang mulai naik keubun-ubun, andaikan saja lelaki yang berada dihadapannya ini bukanlah orang yang berstatus suaminya. Kemungkin besar akan ia membalas makian Bambang.
"Ya udah, kalau enggak mau. Lumayan untuk lauk makan siang nanti, bisa beli tempe dan kangkung," kata Mawar seraya masuk ke rumah. Namun, langkahnya terhenti. Karena sang suami yang menahan pergelangan tangannya, dengan perasaan malas dan dongkol ia menatap Bambang lekat.
"Mau apa lagi?" tanya Mawar dengan menarik kasar tangannya.
"Kamu!" ucap Bambang dengan penuh penekanan seraya menujuk wajah Mawar dengan geram. Akan tetapi wanita itu tidak bergeming sama sekali.
Kehidupan keduanya dulu baik-baik saja, namun setelah Bambang di PHK dari tempatnya bekerja dan menjadi pengangguran yang suka keluyuran serta nongkrong ditempat yang tidak jelas. Hubungan suami-istri itupun mulai diterpa badai.
"Apa? Mau nampar aku? Silahkan!" balas Mawar sengit.
Tangan Bambang yang sudah mengepal kuat diudara ditariknya kembali, kemudian lelaki itu berlalu keluar begitu saja.
"Satu hal yang harus kamu ingat, Mas! Uang istri mutlak miliknya!" teriak Mawar membuat sang suami hanya terdiam, tanpa mampu membalas perkataannya.
Namun, sekuat-kuatnya wanita. Ia merupakan sosok yang lemah, setelah pertengkaran kecil tersebut Mawar masuk ke kamar dan menangis dalam diam.
Bukan hanya masalah ekonomi yang harus ia hadapi, akan tetapi perubahan sikap sang suami pun harus ia pertimbangkan untuk bertahan.
"Ayo Mawar! Kamu harus kuat," ucapnya menyemangati diri.
Hari minggu yang dulu biasanya ia habiskan dengan bersantai dan rehat dari pekerjaan kantor, namun berubah untuk saat ini.
Baru saja Mawar masuk ke kamar, tidak berapa lama terdengar teriakan dari ibu mertua yang meraung-raung tidak henti.
"Mawar! Mawar!"
Mawar mengusap kasar air mata yang masih saja sempat jatuh, kemudian membuka pintu kamar yang sudah menampakkan sosok Herlina yang tengah berkacak pinggang.
"Kamu itu ada telinga atau tidak sih? Ibu panggil sedari tadi tidak menyahut!" decak Herlina kesal.
Mawar tersenyum kecil, "Aku ada telinga, Bu. Tapi, tidak berusara saja. Karena Ibu mempertanyakan telingaku, bukan mulutku."
Herlina nampak naik pitam akan jawaban dari Mawar, wanita itu mengendus kesal.
"Sekarang kamu sudah pandai menjawab, ya? Mau jadi menantu durhaka, kamu!" balas Herlina sengit.
Karena tidak ingin memperpanjang masalah yang tidak seberapa, membuat Mawar mengalah seraya mengusap dadanya bersabar.
"Ibu kenapa memanggilku?" tanya Mawar pelan, namun dengan sorot mata lekat menatap ibu mertuanya.
"Ini!" terang Herlina seraya menyodorkan kantong plastik kepada Mawar, kemudian wanita itu berlalu begitu saja.
Mawar yang sudah bisa menebak isi kantong plastik itu pun berlalu menuju dapur, jika tidak berangkat ke kantor seperti saat ini. Maka, Mawar akan di suruh mengerjakan semua pekerjaan rumah.
Dari berbersih-bersih, sampai memasak dan terkadang disuruh mencari uang tambahan dengan membuat kue. Sungguh, realita pernikahan yang tidak ada di dalam kamus kehidupan sorang Mawar.
"Mbak, mau masak?" Pertanyaan Kirana membuat Mawar menatap sekilas ke arah adik iparnya itu dan kembali melanjutkan aktivitasnya tanpa berniat menimpali ucapan Kirana.
Merasa diacuhkan gadis itu pun menghentakkan kakinya dan mendekati Mawar.
"Mbak punya telinga, enggak sih?" teriak Karina nyaring.
"Punya, kamu bisa melihatnya," balas Mawar seraya menunjuk daun telinganya dengan jari. Hal itu membuat Kirana semakin kesal.
"Benar kata Ibu, Mbak itu sekolah aja tinggi! Tapi, gak ada sopan santunya!" cibir Kiranan membuat Mawar geram.
"Hey! Nona muda tukang numpang! Kamu tadi tanya tentang apa? Telinga, bukan? Jadi, aku hanya perlu mendengar apa yang kamu ucapkan. Kecuali! Kamu mengajakku berbicara, maka ... mulut ini pun akan terbuka!" balas Mawar sengit.
Jika tidak ada siapa-siapa, tanpa merasa ragu. Mawar akan melempiaskan kekesalannya kepada Kirana. Menurut Mawar adik iparnya itu sudah mampu untuk hidup mandiri dan mencari pekerjaan.
Namun, cara Herlina yang salah dalam mendidik anak gadisnya membuat Kirana bagaikan benalu dalam rumah tangga Mawar dan Bambang.
"Cih! IQ Mbak rendahan!" kata Kirana.
Mawar membulatkan mulut dan matanya setelah mendengar ucapan Kirana barusan, ketika ingin membalas gadis itu. Tiba-tiba saja Herlina masuk ke dapur.
"War! Kamu sudah masak?" tanya Herlina membuat Mawar menggeleng pelan.
"Mana bisa masak dia, Bu! Kalau kerjaannya cuma malas-malasan!" adu Kiranan membuat Herlina memaki Mawar.
Hal seperti ini sudah sering terjadi, di mana Mawar adalah orang yang akan selalu di salahkan atas apapun yang terjadi.
Walaupun dirinya tidak melakukan kesalahan, namun Herlina akan selalu mengungkit-ungkit bahwa Mawar hanyalah orang luar yang hidup bersama mereka.
"Cepat masak! Jangan malas-malasan! Makanya kamu enggak hamil-hamil! Kalau disuruh suka malas!"
Bukan hanya telinga yang terasa panas, namun hati dan tubuh Mawar pun ikut terasa mendidih akan pedasnya ucapan Herlina.
Padahal, bukan keinginan Mawar tidak memiliki anak. Hanya saja, Tuhan yang belum memberikan kepercayaan.
"Kerja yang rajin, ya Mbak," ucap Kirana dengan nada mengejek, kemudian menyusul Herlina.
Setelah ibu dan anak itu pergi, barulah Mawar bisa bernafas. Semakin lama ia menjalani hubungan pernikahan ini, maka semakin kewarasannya dipertaruhkan.
Ingin sekali rasanya ia menelpon ayah dan bundanya, lalu mengadukan semua penderitaan yang ia rasakan. Namun, Mawar teringat akan pesan sang ayah.
Bahwa kehidupan berumahtangga tidak boleh diumbar, ada aib yang harus ditutupi. Terlebih akan kekurangan dari pasangan. Di mana seroang istri adalah pakaian untuk suaminya dan begitu pun sebaliknya.
"Aku harus kuat! Tapi, sampai kapan aku bisa bertahan?" batin Mawar.
Setelah semua pekerjaan rumah selesai, Mawar memilih untuk beristirahat sejenak. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, lalu memainkan ponsel miliknya.Ah, hanya hal yang sederhana. Namun bisa mengurangi rasa jenuh yang ia rasakan. Mawar mulai menggeser-geser layar ponselnya, mencari hal-hal yang menarik untuk dilihat. Sampai sebuah postingan seseorang membuatnya tertarik."Aku selalu berusaha, walaupun ... hasilnya entah sampai kapan baru bisa kamu rasakan."Mata Mawar membulat sempurna akan sepengalan kalimat tersebut, sampai merubah posisinya yang tadi rebahan kini menjadi duduk."Apa maksudnya?" gumam Mawar. Kemudian membaca komentar pada kolom postingan tersebut. Namun, ia tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan.Mawar semakin penasaran akan apa yang suaminya lakukan diluar sana, di mana yang ia ketahui kalau Bambang hanya keluyuran dan nongkrong bersama temannya.Pernah sekali Mawar meminta suaminya itu untuk mencari pekerjaan dan mengajukan lamaran, namun hanya dibalas deng
Bab 8 Di TalakHari kembali kepada aktivitas yang melelahkan lagi, sekarang tugas Mawar bukan hanya mencari nafkah dengan bekerja di kantor. Melainkan mencari tambahan dengan membuat kue yang akan dititipkan ke beberapa warung.Cibiran demi hinaan mulai menerpa Mawar, sebab sebagian orang mengenalnya sebagai istri Bambang. Hingga banyak sekali isu yang tidak sedap didengar sampai ke telinga sang suami."Dek! Kamu kalau pergi kerja, jangan dandan! Mas enggak suka!" perintah Bambang ketika Mawar baru saja mengoleskan lipstik tipis ke bibirnya.Bukan kali ini saja sang suami menyuarakan ketidaksukaan atas penampilannya dalam bekerja, sebab Mawar tidak mampu menghitung berapa kali mereka berdua bertengkar akan masalah sepele menurutnya."Dek! Kamu dengar atau, tidak?" bentak Bambang, sebab diacuhkan oleh Mawar."Aku dengar, Mas. Cuma enggak menyahut," balas Mawar cepat dan bergegas memasukan poselnya ke dalam tas dan berjalan menuju keluar.Baru saja di ambang pintu rumah, Kiranan sudah m
Bab 9 Minta Pulang"Siapa yang mau ditalak?"Mawar bergegas mengusap air matanya yang sempat terjatuh dan berusaha terlihat baik-baik saja, ketika Rendy yang entah dari mana tiba-tiba saja muncul dan bertanya."Itu si Mawar—""Bukan apa-apa, Pak!" balas Mawar dengan cepat, memotong ucapan Aprilia dan menatap wajah temannya itu dengan sorot mata yajam. Seolah, jika Aprilia membuka mulutnya akan m4ti.Aprilia menjadi bungkam dan tidak berkutik, Rendy yang merasa ada kejanggalan tersebut kembali memperjelas apa yang disampaikan oleh Mawar."Beneran?" tanya Rendy yang mendapatkan anggukan dari Mawar."Oh, iya Pak Rendy. Nanti siang, kemungkinan hanya Aprilia yang akan menemani Bapak ke lokasi bangunan yang akan kita buat. Sebab, saya ada keperluan lain," jelas Mawar yang mengingat akan adanya agenda bersama Rendy.Mungkin begitu berat bagi Mawar untuk bisa bekerja dengan baik, jika ditipa masalah yang begitu besar seperti saat ini.Bukan ingin menghindari tanggungjawab, tapi Mawar ingin c
Bab 10 Petuah orangtua"Tidak Ibu! Tidak anak! Kalian sama saja!" teriak Mawar marah.Herlina yang ingin membalas ucapan Mawar dihadang oleh Bambang yang memberikan sebuah ancaman yang begitu menakutkan."Kalau Ibu masih menganggap aku sebagai anak? Jangan mengatakan hal yang kasar lagi." Setelah itu, Bambang segera menarik tangan Mawar untuk naik ke atas motornya."Apa yang Mas lakukan?" tanya Mawar yang berniat menolak ajakan sang suami."Mas sendiri yang akan mengantarkan kamu pulang! Ingat! Mas ini masih suamimu," jelas Bambang membuat Mawar terdiam dan hanya bisa manut-manut.Mereka berdua pun meninggalkan Herlina yang hanya mampu terdiam, tidak berkutik. Selama diperjalanan Bambang hanya saling terdiam, begitupun dengan Mawar. Hingga Bambang memakirkan motornya di depan sebuah warung makan."Mas mau apa?" tanya Mawar yang hanya mendapatkan tatap dingin dari sang suami yang sudah terlebih dahulu masuk.Dengan langkah gontai, Mawar mengikuti suaminya. Ingin sekali ia menyeruakan p
"Lalu, apa yang harus aku lakukan?" tanya Mawar dengan polos. Arumi hanya mengangkat bahunya, tidak berkomentar atas pertanyaan yang diajukan oleh Mawar dan memilih untuk keluar.Sebelum benar-benar meninggalkan Mawar, Arumi kembali berpesan, "War, kalau kamu merasa sedih? Maka, ingatlah hal bahagia yang pernah kamu rasakan."Mawar hanya mampu menatap lekat wajah bundanya sampai wanita itu menghilang dibalik pintu. Mawar sangat paham akan maksud yang disampaikan oleh sang bunda.Hal yang selalu Arumi sarankan ketika dirinya merasa sedih, agar kembali mengingat rasa senang yang pernah ia rasakan. Sebab, terlalu munafik untuk mengeluh atas rasa sakit yang dirasakan ketika Tuhan pernah memberikan rasa bahagia.Setiap manusia selalu diuji sampai akhirnya kembali kepada Sang Pencipta, dunia ini hanyalah sebuah panggung sandirwara di mana Manusia hanya menjalankan perannya saja."Dek," panggil Bambang yang tiba-tiba saja masuk membuat Mawar sontak saja terkaget."Apa yang Mas lakukan
"Mas bukan maling, Dek," elak Bambang membuat Mawar semakin jengah dengan suaminya yang sangat pandai bersilat lidah."Pokoknya aku mau cerai!" teriak Mawar.Arman yang tidak terima dengan apa yang baru saja disampaikan oleh Mawar kini menjadi tameng untuk sang putri dan akan membela mati-matian anak semata wayangnya itu.Sedangkan Arumi yang mencoba menjadi penengah atas masalah yang tengah Bambang dan Mawar hadapi mencoba mencari celah atas sebuah kebenaraan yang sesungguhnya."War, kamu bilang kalau Bambang selingkuh?" tanya Arumi membuat Mawar mengagguk cepat."Apa kamu punya bukti dan alasan yang kuat untuk mengajukan perceraian?" tanya Arumi lagi dan membuat Mawar meraih ponselnya, kemudian menujukkan foto Bambang yang tengah berboncengan dengan Melati.Arman yang melihat bukti yang Mawar tunjukkan bergegas menghampiri Bambang dan melayangkan sebuah bogem mentah tepat diwajah menantunya itu sampai terjatuh.Arumi melihat apa yang dilakukan oleh Arman segera menghadang lelaki itu
Setelah kepergian Bambang, Mawar malahan terus saja menangis dan menyalahkan keadaan yang terjadi.Bahkan, Mawar beberapa kali menyalahkan sang ayah yang telah memukul Bambang. Apa yang Mawar lakukan membuat kedua orangtuanya menjadi pusing akan sifat kekanak-kanakan Mawar tersebut."Ini semua salah Bunda!" kata Mawar membuat Arumi yang sedari tadi diam sampai angkat bicara."Apa maksudmu, War? Sudah jelas kamu yang salah, terus ... ingin menyalahkan orang lain?" tanya Arumi tidak habis pikir dengan tuduhan Mawar yang masih tidak sadar akan kesalahannya sendiri dan menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi.Arman yang awalnya diam, mencoba membujuk anak kesayangannya itu."Sudahlah, War. Nanti Ayah ke rumah Bambang dan memintanya untuk rujuk kembali sama kamu," jelas Arman membuat Arumi melongo dengan mulut terbuka lebar dan mata melotot."Apa Ayah sudah g1l4? Atau, kehilangan rasa malu?" tanya Arumi.Hingga terjadi adu mulut antara keduanya, di mana Arumi dan Arman saling menyudut
Herlina mondar-mandir seperti setrika membuat Kirana jengah akan sikap sang ibu, bahkan tidak terhitung berapa kali wanita itu menanyakan hal yang sama berulang-ulang."Di mana Bambang ya, Kir?" Pertanyaan itu terus berputar seperti radio lama yang sudah rusak.Hingga, tidak berapa lama terdengar suara deru motor membuat Herlina bergegas keluar rumah. Wanita itu melihat kedatangan putranya yang sedari tadi membuat Herlina cemas."Bang! Kamu ke mana aja, sih? Terus, di mana Mawar?" Herlina menodong Bambang dengan beberapa pertanyaan, bahkan lelaki tersebut baru saja melepas helmnya."Kita masuk dulu, ya Bu," ajak Bambang seraya berjalan mendahului sang ibu yang mengekor dibelakang.Herlina benar-benar tidak tenang dan kembali bertanya tentang keberadaan Mawar kepada Bambang."Bang, Mawar mana?""Mawar sudah pulang ke rumah orangtuanya, Bu," jelas Bambang apa adanya membuat raut wajah Herlina menjadi pias dan pucat."Pu-la-ng?" tanya Herlia terbata-bata dan mendapatkan anggukan dari Bam
Mawar mengerjap beberapa saat, ketika sebuah cahaya masuk dan menerpa wajahnya. Ia memutar bola matanya seraya menatap setiap sudut kamarnya.Ia pun menghela nafas pelan, kemudian meraih ponsel miliknya yang terletak di atas naskas untuk melihat jam berapa kah saat ini."Hufff, untuk hari ini aku enggak bekerja," gumamnya bernafas lega, kemudian dengan malas ia beranjak dari ranjang dan menuju ke kamar mandi.Menguyur seluruh tubuhnya dengan air dan memubuhi sabun disetiap lengkuknya, setelah selesai dengan rutinitas mandi. Mawar pun membawa langkahnya menuju ke lemari dan bergegas keluar dari kamar.Baru saja ia ingin masuk ke dapur, tiba-tiba saja indra penciumannya sudah disuguhkan dengan aroma sedap yang menggugah selera.Terlihat dari pintu sebuah punggung tegap dengan celemek tengah berada di depan kompor dan tidak berapa lama sang pemilik punggung itupun memutar tubuhnya."Selamat pagi, Dek," sapa Rendy seraya menghidangkan sepiring nasi goreng yang baru saja dimasak dengan tel
"Dek, kamu oke?" tanya Rendy seraya menakup kedua wajah Mawar yang nampak pucat.Tentu saja hal ini membuat Rendy tersiksa, ia begitu kesal akan kedatangan Bambang dan adiknya yang hanya membuat Mawar kembali terluka.Bahkan, di dalam hatinya Rendy tidak akan membiarkan kedua lelaki itu sampai menginjakkan kaki mereka ke rumah ini.Andaikan saja Mawar tidak memintanya untuk berpura-pura baik kepada Bambang, mungkin hal ini tidak akan pernah terjadi."Dek," panggil Rendy lagi, akan tetapi Mawar masih belum bisa meresponnya.Rendy merasa frustasi akan keadaan Mawar yang demikian, dengan penuh perhatian ia pun menuntun wanita yang amat dicintainya masuk ke kamar.Ia merebahkan tubuh Mawar di atas ranjang dan kemudian menutupinya dengan selimut, setelah itu Rendy berlalu keluar dari kamar dan membiarkan Mawar beristirahat setelah memastikan wanita itu terlelap.Rendy segera meraih ponselnya dan memainkan benda pipih itu untuk menelpon seseorang."Hallo, aku ingin kamu! Buat hidup Bambang
"Maksudmu apa? Mawar g1l4, gitu?" tanya Bambang.Budi hanya terhenyak mendengar ucapan Bambang dan meminta agar sang kakak menenangkan diri, agar ia bisa menjelaskan maksud yang sebenarnya."Coba Mas tenang dulu, ini yang buat aku enggak suka dari Mas. Terlalu cepat menyimpulkan tanpa menyelidikinya terlebih dahulu, coba tabayun dulu sebelum melakukan sesuatu."Bambang terdiam setelah mendengar ceramah Budi dan mengusap dadanya yang tiba-tiba saja berdetak cepat, bahkan terasa sesak.Setelah merasa agak mendingan, ia pun meminta Budi menjelaskan maksud dari ucapan adiknya barusan."Jadi, bagaimana maksudmu?""Begini, Mas. Ketika tadi Mas keluar, aku sempat berbincang dengan Mbak Mawar dan menyinggung masalah Mas yang ingin rujuk dengan Mbak Mawar. Tapi, aku enggak menyangka. Jika keadaannya Mbak Mawar malahan depresi seraya meraung-raung," jelas Budi memberitahu apa yang sebenarnya terjadi tadi.Bambang masih terdiam, sebab benar-benar tidak tahu akan kejadian tersebut. Memang benar,
Bambang terdiam seribu bahasa, entah setan mana yang merasukinya sampai lupa akan tujuan ia ke sini.Beberapa kali ia menghembuskan nafas panjang, mencoba menetralkan perasaan dan gelisah didada yang semakin kian menggerogoti hatinya."Maafkan, Mas, Dek. Sebenarnya, Mas ke sini ingin menemuimu," kata Bambang dengan jujur.Mawar nampak mengerutkan alisnya, kemudian mempertegas pernyataan Bambang barusan."Untuk apa, Mas mencari aku?" tanya Mawar.Bambang agak terkejut dengan pernyataan Mawar, akan tetapi hatinya sudah bertekad untuk menebus kesalahannya."Mas mau minta maaf, Dek. Mas bersalah," kata Bambang dengan menunduk dalam. Dirinya benar-benar menyesali perbuatan yang pernah ia lakukan dan keluarganya yang membuat Mawar terluka.Cukup sunyi menemani mereka, seolah tengah berperang dengan pikiran masing-masing sampai Budi angkat bicara."Mohon maaf, Mbak. Apakah orang tuanya ada di rumah?" Mawar menggeleng pelan sebagai jawaban atas pertanyaan Budi barusan, "emangnya kenapa?" tan
Bambang terus didorong oleh Budi, hingga pada akhirnya ia pun mau mengikuti saran dari sang adik untuk pergi menemui Mawar.Di dalam hati Bambang penuh akan berbagai macam prasangka, terlebih ia sangat mengenal bunda dan ayahnya Mawar.Bagaimana nantinya ia bisa menghadapi kedua orangtuanya Mawar? Terlebih setelah kejadian waktu itu. Semakin memikirkan semuanya membuat Bambang semakin tidak tenang."Di, kamu ikut masuk enggak?" tanya Bambang yang merasa enggan untuk turun dari mobil pickup Budi.Keadaan malam yang dingin menambah perasaan gelisah Bambang tentang bagaiman nantinya tanggapan dari keluarga Mawar.Tentu saja sebagai seorang laki-laki, Bambang diselimuti perasaan tidak gentle. Jika hanya memikirkan Mawar tanpa menanyakan langsung tentang perasaan wanita itu terhadapnya."Apa perlu aku ikut, Mas?" tanya Budi yang merasa sungkan, sebab sudah bukan ranahnya untuk ikut campur semakin dalam pada masalah sang kakak."Ya, perlu, lah! Setidaknya temani aku," pinta Bambang dengan r
Bambang hanya mampu terdiam seribu bahasa setelah mendengar ucapan Budi, ternyata dirinya begitu berharap bisa kembali kepada Mawar dan hidup bersama seperti dulu.Setelah cukup lama terdiam, Bambang pun memilih berlalu dan masuk ke kamar, mengunci diri seraya merenungi nasibnya.Tidak bisa ia pungkiri jika hatinya begitu besar mencintai Mawar, terlebih Bambang sangat mengenal wanita itu."Dek, maafkan Mas. Apa yang bisa Mas lakukan untuk menebus semua rasa sakit yang telah kamu rasakan selama ini?" Bambang berbicara dengan dirinya sendiri, seolah tidak ada tempat untuknya mengadukan rasa sesak di dalam dadanya.Semakin memikirkan Mawar membuat Bambang merasa semakin bersalah, tapi ia ingin merubah dan menebus kesalahannya itu.Namun, dengan cara apa ia bisa membuat Mawar kembali lagi ke dalam pelukannya? Ingin sekali ia pergi dan menemui wanita itu, akan tetapi hatinya belum siap jika harus mendapatkan penolakan dari Mawar nantinya."Mas," suara panggilan Budi mengalihkan pikiran Bam
"Kirana!" pekik Herlina dengan geram serta mata melotot tajam ke arah Kirana yang mematung ditempatnya berdiri.Gadis itu tidak sengaja menjatuhkan piring kaca yang baru saja dibeli oleh Bambang untuk menganti piring Budi yang dipecahkan oleh Kirana tempo hari.Tangan Kirana gemetar menghadapi kemarahan sang ibu yang terlihat dari sorot matanya penuh dengan kilatan."Ada apa?" tanya Budi yang baru saja masuk dan melihat keadaan disana, sudah bisa ia tebak apa yang membuat sang ibu menjadi marah.Tanpa banyak berbicara, Budi memunguti serpihan kaca seraya sesekali melirik wajah sang adik yang terlihat pucat.Setelah itu Budi menaruh pecahan kaca tersebut ke dalam kantong plastik dan meletakkan ke tong sampah."Sudah selesai, jangan marah-marah lagi, Bu," ucap Budi dengan santai, kemudian menarik pelan pergelangan tangan sang adik untuk menjauh dari ibu mereka yang nampak masih begitu marah.Budi membawa Kirana duduk di halaman luar yang terdapat sebuah bangku terbuat dari kayu tepat be
Beberapa minggu berlalu, semenjak kejadian tempo hari Herlina tidak pernah berani lagi untuk menentang permintaan Bambang.Wanita itu benar-benar takut akan kemarahan putranya tersebut dan hanya bisa menurut ketika Bambang meminta dirinya untuk berubah.Seperti saat ini, walaupun Herlina begitu jengkel. Akan tetapi, ia tidak bisa menolak permintaan Bamabang yang menyuruhnya menjadi buruh cuci."Kir! Apa kamu hanya diam saja? Hah!" bentak Herlina kesal ketika melihat anak gadisnya yang sedari tadi hanya menatap tumpukan cucian didepannya tanpa mau bergerak sama sekali.Benar-benar hal yang belum pernah Herlina lakukan selama ini, dulu ketika Bamabang masih bersama Mawar. Tentu saja semua pekerjaan Herlina limpahkan kepada sang menantu."Aku jijik, Bu!" kata Kirana dengan jujur seraya mendorong pelan satu bak penuh pakaian kotor yang entah siapa-siapa saja yang punya gadis itu tidak tahu.Semuanya terjadi sebab Budi yang memberikan ide untuk menjadikan Herlina dan Kirana sebagai buruh c
"Jika Ibu tidak ingin makan? Enggak papa! Tapi, jangan menghina!" teriak Bambang.Deru nafas Bamabang terasa terpacu, sebenarnya ia tidak terbiasa ribut didepan rezeki. Akan tetapi, hatinya benar-benar kesal akan sikap sang ibu yang tidak pernah bersyukur atas nikmat yang Tuhan berikan.Berkali-kali ia mengelus dada, berusaha untuk bersabar menghadapi ibunya. Namun, Bambang tetap tidak bisa mengendalikan diri."Ibu tidak pernah bekerja! Jadi, Ibu tidak tahu bagaimana susahnya mendapatkan uang! Yang Ibu tahu hanya meminta, semenjak bapak hidup dulu. Sekarang masih sama!" Bambang sampai mengungkit sang bapak yang telah tiada seking geramnya kepada sang ibu yang kini menatap lekat wajahnya."Apa kamu ingin menjadi anak durhaka, Bang?" Pertanyaan yang dilontarkan oleh sang ibu membuat Bamabang tersenyum kecil seraya menggeleng pelan tidak percaya dengan ancaman yang selalu wanita itu ucapkan jika disudutkan.Budi yang tidak ingin ikut campur bergegas menarik Kirana menjauh dari Bambang,