Share

Bab 6

Hari demi hari berlalu, Mawar masih saja terngiang-ngiang akan akan ucapan Aprilia tempo lalu. Di mana wanita itu mempertanyakan alasan apa yang membuatnya tetap bertahan dengan pernikahan toksik ini.

Hingga terlintas begitu saja di dalam benaknya untuk meninggalkan sang suami, akan tetapi Mawar belum mendapatkan alasan yang tepat untuk mengajukan perceraian.

"Dek, Mas minta uang kamu untuk beli rokok ya?" Pernyataan Bambang yang tiba-tiba itu membuat Mawar yang sedang menjemur pakaian terdiam sejenak, kemudian membuang nafas panjang dan bergegas menyudahi aktifitasnya.

Sebagai seorang istri, Mawar sangat menghindari perdebatan dengan sang suami. Terlebih tentang masalah ekonomi.

"Ini Mas, uangnya," ucap Mawar seraya menyodorkan uang berwarna merah. Namun, bukannya menerima uang tersebut. Bambang malahan membuang muka dan memakinya.

"Mana cukup ini, Dek!"

Sebisa mungkin Mawar menahan amarah yang mulai naik keubun-ubun, andaikan saja lelaki yang berada dihadapannya ini bukanlah orang yang berstatus suaminya. Kemungkin besar akan ia membalas makian Bambang.

"Ya udah, kalau enggak mau. Lumayan untuk lauk makan siang nanti, bisa beli tempe dan kangkung," kata Mawar seraya masuk ke rumah. Namun, langkahnya terhenti. Karena sang suami yang menahan pergelangan tangannya, dengan perasaan malas dan dongkol ia menatap Bambang lekat.

"Mau apa lagi?" tanya Mawar dengan menarik kasar tangannya.

"Kamu!" ucap Bambang dengan penuh penekanan seraya menujuk wajah Mawar dengan geram. Akan tetapi wanita itu tidak bergeming sama sekali.

Kehidupan keduanya dulu baik-baik saja, namun setelah Bambang di PHK dari tempatnya bekerja dan menjadi pengangguran yang suka keluyuran serta nongkrong ditempat yang tidak jelas. Hubungan suami-istri itupun mulai diterpa badai.

"Apa? Mau nampar aku? Silahkan!" balas Mawar sengit.

Tangan Bambang yang sudah mengepal kuat diudara ditariknya kembali, kemudian lelaki itu berlalu keluar begitu saja.

"Satu hal yang harus kamu ingat, Mas! Uang istri mutlak miliknya!" teriak Mawar membuat sang suami hanya terdiam, tanpa mampu membalas perkataannya.  

Namun, sekuat-kuatnya wanita. Ia merupakan sosok yang lemah, setelah pertengkaran kecil tersebut Mawar masuk ke kamar dan menangis dalam diam.

Bukan hanya masalah ekonomi yang harus ia hadapi, akan tetapi perubahan sikap sang suami pun harus ia pertimbangkan untuk bertahan.

"Ayo Mawar! Kamu harus kuat," ucapnya menyemangati diri.

Hari minggu yang dulu biasanya ia habiskan dengan bersantai dan rehat dari pekerjaan kantor, namun berubah untuk saat ini.

Baru saja Mawar masuk ke kamar, tidak berapa lama terdengar teriakan dari ibu mertua yang meraung-raung tidak henti.

"Mawar! Mawar!"

Mawar mengusap kasar air mata yang masih saja sempat jatuh, kemudian membuka pintu kamar yang sudah menampakkan sosok Herlina yang tengah berkacak pinggang.

"Kamu itu ada telinga atau tidak sih? Ibu panggil sedari tadi tidak menyahut!" decak Herlina kesal.

Mawar tersenyum kecil, "Aku ada telinga, Bu. Tapi, tidak berusara saja. Karena Ibu mempertanyakan telingaku, bukan mulutku."

Herlina nampak naik pitam akan jawaban dari Mawar, wanita itu mengendus kesal.

"Sekarang kamu sudah pandai menjawab, ya? Mau jadi menantu durhaka, kamu!" balas Herlina sengit.

Karena tidak ingin memperpanjang masalah yang tidak seberapa, membuat Mawar mengalah seraya mengusap dadanya bersabar.

"Ibu kenapa memanggilku?" tanya Mawar pelan, namun dengan sorot mata lekat menatap ibu mertuanya.

"Ini!" terang Herlina seraya menyodorkan kantong plastik kepada Mawar, kemudian wanita itu berlalu begitu saja.

Mawar yang sudah bisa menebak isi kantong plastik itu pun berlalu menuju dapur, jika tidak berangkat ke kantor seperti saat ini. Maka, Mawar akan di suruh mengerjakan semua pekerjaan rumah.

Dari berbersih-bersih, sampai memasak dan terkadang disuruh mencari uang tambahan dengan membuat kue. Sungguh, realita pernikahan yang tidak ada di dalam kamus kehidupan sorang Mawar.

"Mbak, mau masak?" Pertanyaan Kirana membuat Mawar menatap sekilas ke arah adik iparnya itu dan kembali melanjutkan aktivitasnya tanpa berniat menimpali ucapan Kirana.

Merasa diacuhkan gadis itu pun menghentakkan kakinya dan mendekati Mawar.

"Mbak punya telinga, enggak sih?" teriak Karina nyaring.

"Punya, kamu bisa melihatnya," balas Mawar seraya menunjuk daun telinganya dengan jari. Hal itu membuat Kirana semakin kesal.

"Benar kata Ibu, Mbak itu sekolah aja tinggi! Tapi, gak ada sopan santunya!" cibir Kiranan membuat Mawar geram.

"Hey! Nona muda tukang numpang! Kamu tadi tanya tentang apa? Telinga, bukan? Jadi, aku hanya perlu mendengar apa yang kamu ucapkan. Kecuali! Kamu mengajakku berbicara, maka ... mulut ini pun akan terbuka!" balas Mawar sengit.

Jika tidak ada siapa-siapa, tanpa merasa ragu. Mawar akan melempiaskan kekesalannya kepada Kirana. Menurut Mawar adik iparnya itu sudah mampu untuk hidup mandiri dan mencari pekerjaan.

Namun, cara Herlina yang salah dalam mendidik anak gadisnya membuat Kirana bagaikan benalu dalam rumah tangga Mawar dan Bambang.

"Cih! IQ Mbak rendahan!" kata Kirana.

Mawar membulatkan mulut dan matanya setelah mendengar ucapan Kirana barusan, ketika ingin membalas gadis itu. Tiba-tiba saja Herlina masuk ke dapur.

"War! Kamu sudah masak?" tanya Herlina membuat Mawar menggeleng pelan.

"Mana bisa masak dia, Bu! Kalau kerjaannya cuma malas-malasan!" adu Kiranan membuat Herlina memaki Mawar.

Hal seperti ini sudah sering terjadi, di mana Mawar adalah orang yang akan selalu di salahkan atas apapun yang terjadi. 

Walaupun dirinya tidak melakukan kesalahan, namun Herlina akan selalu mengungkit-ungkit bahwa Mawar hanyalah orang luar yang hidup bersama mereka.

"Cepat masak! Jangan malas-malasan! Makanya kamu enggak hamil-hamil! Kalau disuruh suka malas!"

Bukan hanya telinga yang terasa panas, namun hati dan tubuh Mawar pun ikut terasa mendidih akan pedasnya ucapan Herlina.

Padahal, bukan keinginan Mawar tidak memiliki anak. Hanya saja, Tuhan yang belum memberikan kepercayaan.

"Kerja yang rajin, ya Mbak," ucap Kirana dengan nada mengejek, kemudian menyusul Herlina.  

Setelah ibu dan anak itu pergi, barulah Mawar bisa bernafas. Semakin lama ia menjalani hubungan pernikahan ini, maka semakin kewarasannya dipertaruhkan.

Ingin sekali rasanya ia menelpon ayah dan bundanya, lalu mengadukan semua penderitaan yang ia rasakan. Namun, Mawar teringat akan pesan sang ayah. 

Bahwa kehidupan berumahtangga tidak boleh diumbar, ada aib yang harus ditutupi. Terlebih akan kekurangan dari pasangan. Di mana seroang istri adalah pakaian untuk suaminya dan begitu pun sebaliknya.

"Aku harus kuat! Tapi, sampai kapan aku bisa bertahan?" batin Mawar.

   

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status