"Lalu, apa yang harus aku lakukan?" tanya Mawar dengan polos. Arumi hanya mengangkat bahunya, tidak berkomentar atas pertanyaan yang diajukan oleh Mawar dan memilih untuk keluar.Sebelum benar-benar meninggalkan Mawar, Arumi kembali berpesan, "War, kalau kamu merasa sedih? Maka, ingatlah hal bahagia yang pernah kamu rasakan."Mawar hanya mampu menatap lekat wajah bundanya sampai wanita itu menghilang dibalik pintu. Mawar sangat paham akan maksud yang disampaikan oleh sang bunda.Hal yang selalu Arumi sarankan ketika dirinya merasa sedih, agar kembali mengingat rasa senang yang pernah ia rasakan. Sebab, terlalu munafik untuk mengeluh atas rasa sakit yang dirasakan ketika Tuhan pernah memberikan rasa bahagia.Setiap manusia selalu diuji sampai akhirnya kembali kepada Sang Pencipta, dunia ini hanyalah sebuah panggung sandirwara di mana Manusia hanya menjalankan perannya saja."Dek," panggil Bambang yang tiba-tiba saja masuk membuat Mawar sontak saja terkaget."Apa yang Mas lakukan
"Mas bukan maling, Dek," elak Bambang membuat Mawar semakin jengah dengan suaminya yang sangat pandai bersilat lidah."Pokoknya aku mau cerai!" teriak Mawar.Arman yang tidak terima dengan apa yang baru saja disampaikan oleh Mawar kini menjadi tameng untuk sang putri dan akan membela mati-matian anak semata wayangnya itu.Sedangkan Arumi yang mencoba menjadi penengah atas masalah yang tengah Bambang dan Mawar hadapi mencoba mencari celah atas sebuah kebenaraan yang sesungguhnya."War, kamu bilang kalau Bambang selingkuh?" tanya Arumi membuat Mawar mengagguk cepat."Apa kamu punya bukti dan alasan yang kuat untuk mengajukan perceraian?" tanya Arumi lagi dan membuat Mawar meraih ponselnya, kemudian menujukkan foto Bambang yang tengah berboncengan dengan Melati.Arman yang melihat bukti yang Mawar tunjukkan bergegas menghampiri Bambang dan melayangkan sebuah bogem mentah tepat diwajah menantunya itu sampai terjatuh.Arumi melihat apa yang dilakukan oleh Arman segera menghadang lelaki itu
Setelah kepergian Bambang, Mawar malahan terus saja menangis dan menyalahkan keadaan yang terjadi.Bahkan, Mawar beberapa kali menyalahkan sang ayah yang telah memukul Bambang. Apa yang Mawar lakukan membuat kedua orangtuanya menjadi pusing akan sifat kekanak-kanakan Mawar tersebut."Ini semua salah Bunda!" kata Mawar membuat Arumi yang sedari tadi diam sampai angkat bicara."Apa maksudmu, War? Sudah jelas kamu yang salah, terus ... ingin menyalahkan orang lain?" tanya Arumi tidak habis pikir dengan tuduhan Mawar yang masih tidak sadar akan kesalahannya sendiri dan menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi.Arman yang awalnya diam, mencoba membujuk anak kesayangannya itu."Sudahlah, War. Nanti Ayah ke rumah Bambang dan memintanya untuk rujuk kembali sama kamu," jelas Arman membuat Arumi melongo dengan mulut terbuka lebar dan mata melotot."Apa Ayah sudah g1l4? Atau, kehilangan rasa malu?" tanya Arumi.Hingga terjadi adu mulut antara keduanya, di mana Arumi dan Arman saling menyudut
Herlina mondar-mandir seperti setrika membuat Kirana jengah akan sikap sang ibu, bahkan tidak terhitung berapa kali wanita itu menanyakan hal yang sama berulang-ulang."Di mana Bambang ya, Kir?" Pertanyaan itu terus berputar seperti radio lama yang sudah rusak.Hingga, tidak berapa lama terdengar suara deru motor membuat Herlina bergegas keluar rumah. Wanita itu melihat kedatangan putranya yang sedari tadi membuat Herlina cemas."Bang! Kamu ke mana aja, sih? Terus, di mana Mawar?" Herlina menodong Bambang dengan beberapa pertanyaan, bahkan lelaki tersebut baru saja melepas helmnya."Kita masuk dulu, ya Bu," ajak Bambang seraya berjalan mendahului sang ibu yang mengekor dibelakang.Herlina benar-benar tidak tenang dan kembali bertanya tentang keberadaan Mawar kepada Bambang."Bang, Mawar mana?""Mawar sudah pulang ke rumah orangtuanya, Bu," jelas Bambang apa adanya membuat raut wajah Herlina menjadi pias dan pucat."Pu-la-ng?" tanya Herlia terbata-bata dan mendapatkan anggukan dari Bam
Bambang mengantar Melati berkeliling, dari satu warung ke warung lainnya untuk mengambil kue buatan gadis itu yang dititipkan.Hal ini sudah hampir sepekan ini Bambang lakukan, kerjaan sampingan yang baru saja ia bertitahukan kepada Mawar.Teringat kepada sang istri membuat hati Bambang kembali dilema, apa yang sudah ia lakukan? Setangguh apa hatinya berpisah dari wanita yang amat ia cintai itu."Mas bambang," panggil Melati pelan membuyarkan lamunan Bambang yang kembali bergegas menyalakan motornya dan membawa Melati ke tempat lain."Ini yang terakhir, ya?" tanya Bambang ketika mereka sudah sampai di depan sebuah warung sederhana, Melati hanya mengangguk kecil sebagai jawaban.Bambang menunggu Melati yang sudah masuk ke warung tersebut dengan sabar, hingga terdengar bisik-bisik dari sekumpulan ibu-ibu yang lewat."Itu 'kan suaminya Mawar?" "Iya, ngapain dia beboncengan dengan anak kepala desa?""Kasihan Mawar, suaminya jalan sama anak gadis orang. Sedangkan Mawar sibuk bekerja."Mas
"B14d4b!""Hajar saja dia!"Suara gaduh dan umpatan membuat Bambang memaksakan kesadarannya, sayup-sayup ia juga mendengar suara isakan tangis.Kepalanya begitu berat dan terasa pening, cukup lama ia berusaha tersadar serta membuka mata. Hingga Bambang bisa melihat beberapa orang warga tengah berdiri didepannya."Ada apa, ini?" lirih Bambang pelan seraya memegangi kepalanya. Hal terakhir yang bisa ia ingat adalah ketika Kirana membawakan dirinya secangkir teh hangat.Walaupun Bambang merasa aneh dengan sikap sang adik yang tiba-tiba saja baik, akan tetapi ia tetap meminum air yang dibawakan oleh Kirana tersebut."Alah! Pura-pura tidak tahu!""Hajar saja, dia!" teriak salah seorang dari kerumbunan warga yang nampak begitu kesal tersebut.Hingga ada yang menarik tubuhnya dan menghajar Bambang sampai oleng."D4s4r! Predator!" hardik orang tersebut."Hentikan! Jangan sakiti anakku!" teriak Herlina dengan tergugu, menangis membuat Bambang yang sempat oleng berusaha untuk bangun.Namun, ket
Tidak terasa, sudah seminggu Mawar tinggal di rumah kedua orangtuanya. Begitu banyak nasehat dan petuah yang diberikan oleh sang bunda kepadanya membuka wawasan Melati tentang kehidupan ini.Melati adalah anak yang tidak diinginkan kehadirannya, bukan karena hubungan gelap. Akan tetapi, Arumi yang belum siap memiliki anak."Kamu sedang apa, War?" tanya Arumi yang baru saja datang seraya menghampiri Mawar yang tengah asik dengan ponsel ditangan wanita itu."Bun, aku lagi lihat video tentang cara memandikan bayi," jawab Melati dengan raut wajah gembira.Arumi tersenyum lebar seraya mengusap kepala Mawar dengan penuh kasih sayang, semenjak sang putri tahu akan kebenaran yang selama ini Arumi semunyikan."Jadi, apa kamu sudah siap punya anak?" tanya Arumi yang kini duduk di samping Mawar.Dalam seminggu ini sudah tidak terhitung celotehan Mawar akan tutorial dalam mengasuh bayi yang wanita itu pelajari dari ponsel pintarnya.Bahkan, Arman ikut membantu minat Mawar yang ingin belajar denga
"Mawar!" pekik Arumi nyaring, ketika mendapati tubuh Mawar yang tergeletak begitu saja dibawah kasur dengan keadaan bersimbah d4r4h.Air matanya menetes begitu deras, Arumi tidak menyangka kalau sang putri nekat mencoba mengakhiri hidupnya dengan hal demikian."Ayah! Angkat tubuh Mawar!" perintah Arumi ketika melihat keadaan Mawar yang sudah tidak sadarkan diri. Sedangkan Arman bergegas mengendong tubuh Mawar dan membawanya keluar di mana Arumi mengekor dari belakang.Mereka bertiga masuk ke dalam mobi, Arumi memilih yang mengemudi. Sebab, tidak ingin Arman yang sama seperti dirinya, kalut melihat keadaan Mawar yang mengemudi. Jika menyruh Arman, yang ada nanti mereka semua masuk ke rumah sakit. Karena Arman yang tidak bisa mengontrol emosinya, sama seperti saat ini."Bun! Cepat!" perintah Arman seraya memegangi tangan Mawar yang sudah diikat dengan kain, berharap agar d4r4h yang mengalir seperti keran mau berkurang.Seakan semuanya berjalan dengan lambat, Arumi berusaha tetap tenang
Angin sore berhembus pelan di pemakaman, membawa aroma khas tanah basah yang bercampur dengan harumnya bunga mawar putih yang bertabur di atas makam Bambang. Matahari hampir tenggelam di ufuk barat, menciptakan pendar jingga keemasan yang meliputi seluruh area. Di sana, di depan pusara yang sederhana namun penuh makna, berdiri Mawar dan Rendy. Mawar mengenakan pakaian serba hitam yang sederhana, wajahnya terlihat sendu tetapi menenangkan. Di tangannya tergenggam buket bunga mawar putih, simbol cinta dan penghormatan untuk Bambang. Rendy, dengan wajah penuh keyakinan, berdiri di sampingnya mengenakan kemeja berwarna hitam dan sarung hijau tua. Di depannya, seorang pembuka agama dan beberapa keluarga serta teman dekat berkumpul dalam suasana yang penuh keharuan. “Apa kamu sudah siap, Dek?” bisik Rendy pelan, menoleh ke arah wanita yang kini menjadi tanggung jawabnya. Mawar mengangguk kecil, matanya berkaca-kaca
Sore itu, rumah Mawar dipenuhi suasana yang begitu asing. Di ruang tamu, beberapa tamu yang terdiri dari kerabat dekat dan tetangga duduk dalam hening. Tidak ada gemerlap dekorasi atau pesta besar. Hanya meja sederhana yang dihiasi bunga mawar putih, seolah menjadi simbol kebersahajaan acara yang berlangsung hari itu. Mawar duduk di sudut ruangan dengan wajah penuh emosi yang sulit diartikan. Gaun putih sederhana yang ia kenakan terasa berat, bukan karena bahan kainnya, tetapi karena beban di dalam hatinya. Di sampingnya, Rendy berdiri dengan wajah tenang, meski ada sedikit kegugupan di mata tegas pria itu. "Apa kamu yakin ingin melakukannya, Dek?" tanya Rendy pelan, nyaris berbisik. Mawar mengangguk tanpa menoleh, matanya masih menatap ke arah lantai. "Ini yang Bambang inginkan. Aku hanya mencoba memenuhi permintaannya." Mendengar itu, Rendy hanya bisa menghela napas. Ia tahu Mawar tidak benar-benar melakukan ini untuk dirinya
Malam itu terasa begitu sunyi di ruang perawatan Bambang. Hanya suara alat monitor jantung yang terus berdetak lambat, menjadi penanda bahwa waktu Bambang di dunia ini semakin menipis. Mawar duduk di sisi ranjang suaminya, menggenggam erat tangan Bambang yang terasa semakin dingin. Wajahnya pucat, tetapi matanya tetap menatap Bambang penuh harap, seolah berusaha menyangkal kenyataan yang semakin nyata di depannya. "Mas, jangan tinggalkan aku," bisik Mawar, suaranya bergetar. "Aku butuh kamu. Aku nggak tahu bagaimana caranya menjalani hidup tanpa kamu." Bambang tersenyum tipis. Meski tubuhnya semakin lemah, ia berusaha memberikan ketenangan untuk Mawar. "Sayang, kamu lebih kuat dari yang kamu pikirkan. Mas percaya kamu bisa melewati ini. Kamu harus percaya pada dirimu sendiri." Air mata Mawar mengalir deras. Ia menggenggam tangan Bambang semakin erat, seolah berusaha menahan kepergiannya. "Tapi aku nggak mau kehilangan kamu, Ma
Di ruang perawatan rumah sakit, suasana begitu sunyi. Hanya suara detak alat monitor jantung yang terus berdetak pelan, seolah menjadi pengingat waktu yang kian menipis. Bambang terbaring di atas ranjang dengan tubuh lemah. Napasnya tersengal-sengal, tetapi matanya tetap memancarkan tekad yang tidak pernah pudar. Di sisi ranjangnya, Mawar duduk dengan tangan menggenggam jemari Bambang yang mulai dingin. Wajahnya nampak begitu lelah dengan mata yang sembap karena kurang tidur. Sejak Bambang dirawat kembali, ia hampir tidak pernah meninggalkan suaminya dan terus berada di sisi sang suami. Rasa takut yang terus menghantui membuatnya tidak ingin membuang sedetik pun waktu bersama Bambang. “Mas …” Mawar memanggil pelan, suaranya bergetar. “Tolong jangan tinggalkan aku. Aku nggak tahu harus bagaimana kalau kamu pergi.” Bambang tersenyum tipis, meski itu hanya memperlihatkan rasa lelah di wajahnya. “Sayang, Mas nggak akan pernah benar
Malam itu, Mawar duduk di samping tempat tidur dengan mata sembap. Wajahnya terlihat lelah, bukan karena fisik, tetapi karena hatinya yang terus-menerus digempur rasa sakit. Di depannya, Bambang terbaring dengan tubuh lemah, napasnya sesekali terengah-engah. Namun, meski raganya mulai menyerah, tekad di dalam dirinya tetap kokoh. Ia tahu ia tidak punya banyak waktu, dan ini adalah kesempatan terakhir untuk berbicara dengan Mawar. “Dek,” Bambang memanggil pelan, suaranya serak. “Kita harus bicara.” Mawar menggelengkan kepala. "Aku nggak mau dengar, Mas. Tolong jangan bicarakan hal itu lagi." Tapi Bambang tidak menyerah. Ia mengulurkan tangannya, mencoba menggenggam jemari Mawar. "Sayang, tolong dengarkan Mas. Ini penting!" Mawar memejamkan matanya, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah lagi. "Mas, kenapa kamu memaksa aku untuk melakukan sesuatu yang begitu menyakitkan? Kita baru saja memperbaiki semuanya. Kita bar
Suasana rumah terasa sunyi malam itu, hanya suara detak jam dinding yang terdengar di ruang tamu. Mawar sedang tertidur di samping Bambang, menggenggam tangan suaminya yang semakin kurus. Wajah Bambang pucat, matanya redup, tapi pikirannya tak bisa tenang. Ia tahu waktunya tidak lama lagi. Dokter sudah memberitahu bahwa kondisinya semakin memburuk, dan operasi yang sebelumnya menjadi harapan kini tidak lagi mungkin dilakukan. Namun, bukan kematian yang membuatnya gelisah malam ini, melainkan Mawar. Ia tidak bisa membayangkan Mawar hidup sendirian setelah dirinya pergi. Dengan hati yang berat, Bambang memutuskan sesuatu. Ia harus menemukan Rendy. Rendy adalah mantan istrinya, seseorang yang pernah mengisi masa lalu Mawar sebelum mereka menikah. Bambang tahu betapa dalam hubungan Mawar dengan Rendy dulu. Meskipun Mawar tidak pernah menceritakannya secara rinci, Bambang bisa merasakan bahwa ada bagian dari hati istrinya yang pern
Malam itu, hujan turun deras. Angin dingin menyelinap ke sela-sela jendela, membawa hawa yang membuat Mawar merasa tidak nyaman. Samar-samar ia mendengar suara dari kamar mandi—seperti seseorang yang tengah terbatuk keras. Mawar langsung berjalan menuju kamar mandi, hatinya berdebar tak menentu. "Mas? Kamu di dalam?" tanyanya sambil mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Tapi suara batuk itu semakin terdengar parau, seperti menahan sakit yang luar biasa. Mawar langsung membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. Di sana, ia menemukan Bambang terduduk di lantai, bersandar di dinding, wajahnya pucat seperti tidak ada darah yang mengalir. "Mas! Kamu kenapa?" Mawar berlutut di samping suaminya, panik. Tangannya langsung memegang pipi Bambang yang dingin, lalu mengguncang bahunya pelan. Bambang berusaha tersenyum kecil, meski terlihat lemah. "Mas ... nggak apa-apa. Cuma sesak sedikit," kata sang suami, suaranya nyaris seperti bisikan. Ma
Pagi itu, udara dingin menyelimuti rumah kecil mereka. Mawar duduk di ruang tamu dengan secangkir teh yang mulai mendingin di tangannya. Percakapan kemarin malam masih terngiang jelas di telinganya, terutama ekspresi Herlina ketika mereka mengutarakan keinginan untuk pindah. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang berat di hati ibu mertuanya, meskipun Herlina berusaha menutupi itu dengan senyum tipis. Mawar tahu, Herlina tidak benar-benar setuju, meskipun bibirnya mengatakan ia memahami. Langkah kaki terdengar dari arah dapur. Herlina muncul dengan sebuah nampan berisi sepiring pisang goreng dan teko kopi hangat. Wajahnya tampak tenang seperti biasa, tapi Mawar bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan mata wanita itu. "Kamu sudah sarapan, War?" tanya Herlina, seraya meletakkan pisang goreng di atas meja. "Sudah, Bu. Terima kasih," jawab Mawar, mencoba tersenyum. Herlina duduk di sebelahnya, menuangkan kopi ke da
Langit sore itu memerah. Mawar sedang mencuci piring di dapur, tangannya bergerak tanpa pikir panjang. Suara gemericik air mengiringi pikirannya yang melayang jauh. Ia masih mengingat tajam bagaimana dulu Herlina, ibu mertuanya, selalu memandang dingin kepadanya, seperti orang asing yang tak diinginkan. Namun sore itu berbeda. "War, istirahatlah dulu. Biar Ibu yang selesaikan," suara Herlina terdengar lembut, menyusup pelan ke telinganya. Mawar menoleh, sedikit terkejut. Ibu mertuanya itu berdiri di ambang pintu dapur dengan senyum kecil yang terasa tulus. Wajah Herlina yang biasanya keras kini tampak lembut, meski garis-garis usia tetap jelas di sana. Mawar terdiam, mencoba membaca maksud di balik perubahan ini, ataukah karena kejadian barusan. Mawar hanya bisa menuga–nuga. "Eh, tidak apa-apa, Bu. Aku sudah hampir selesai," balas Mawar, mencoba terdengar biasa saja. Tapi Herlina tidak menyerah. Ia melangkah mendekat, m