Kini keadaan Mawar masih belum sadarkan diri, hal itu membuat Arumi dan Arman merasa sedih. Melihat keadaan putri mereka yang demikian."Bun, sampai kapan Mawar seperti ini?" tanya Arman, entah sudah kesekian kalinya membuat Arumi tidak mampu memberikan jawaban apapun. Sebab, ia juga merasa tidak mampu untuk berbuat apa-apa.Melihat keadaan Mawar dengan selang infus dan alat oksigen yang terpasang dihidung membuat hati Arumi terasa diremas-remas."Bunda mau ke mana?" tanya Arman, ketika melihat sang istri yang beranjak dari tempatnya duduk."Bunda mau cari angin segar dulu," jawab Arumi.Arumi perlu rehat sejenak, agar tidak stres. Karena memikirkan keadaan Mawar, ia membawa langkahnya menyelusuri lorong-lorong rumah sakit. Hingga tidak sengaja menabrak seseorang."Maaf," ucap seorang pemuda yang tidak sengaja menabrak Arumi, hingga mereka saling menatap dan menujuk."Kamu!" pekik Arumi setelah cukup lama mengingat pemuda yang ada dihadapannya tersebut, sedetik kemudian Arumi memukul
Setelah beberapa hari dirawat, hari ini Mawar diperbolehkan untuk pulang. Sebab keadaan wanita itu yang sudah mulai membaik. Namun, masih harus cek up kembali untuk beberapa hari kedepan.Namun, perubahan Mawar sangat berbeda dengan sebelumnya. Wanita itu banyak diam dan melamun, sama seperti saat ini."War, hari ini kamu pulang. Apa kamu tidak senang?" tanya Arumi, akan tetapi diacuhkan oleh Mawar yang masih saja diam.Hati wanita mana yang sanggup menerima surat undangan pernikahan dari lelaki yang amat dicintai? Begitu pun dengan Mawar, ia masih belum percaya dengan apa yang kemarin terjadi.Di mana setelah melihat nama Bambang yang bersanding dengan Melati pada sebuah surat undangan membuat Mawar gelap mata dan memilih untuk mengakhiri hidupnya."Hey, Mawar, apa kabar?" suara yang begitu familiar membuat Mawar menatap kearah asal suara tersebut.Kini berdiri seorang pemuda tampan dengan sebuket bunga mawar yang begitu besar."Mawar cantik, hanya untukmu," kata Rendy seraya menyodo
"Menjadi suami Mawar?" tanya Rendy yang masih tidak percaya dengan apa yang diminta oleh Arumi."Bohongan, Ren!" tegas Arumi membuat raut wajah Rendy berubah drastis."Tertipu, aku," gelak Rendy yang sudah berharap jauh, namun dihempaskan dengan begitu menyakitkan.Rendy masih menyimpan rasa terhadap Mawar, hal itu yang menjadi alasan kenapa masih belum bisa jauh dari Mawar. Sebab Rendy masih berharap Mawar bisa kembali kepelukkannya."Bunda ingin kamu menemani Mawar dan menggantikan peran Bambang, mengisi kekosongan hatinya Mawar," kata Arumi memperjelas tugas yang harus Rendy lakukan.Arumi melihat, semenjak Mawar kehilangan sosok Bambang. Putrinya menjadi pemurung dan hanya berusaha terlihat baik-baik, padahal Arumi begitu tahu serapuh apa Mawar.Dengan bantuan Rendy, Arumi berharap Mawar bisa kembali seperti semula dan bangkit untuk membalas rasa sakit yang telah orang-orang goreskan pada hati mereka."Kamu bisa, enggak?" tanya Arumi yang mendapatkan anggukan dari Rendy. ***Bebe
"Apa yang kamu lakukan, Lati?" pekik Bambang murka."Aku hanya membalas chet Mawar, Mas," balas Melati apa adanya.Bambang begitu marah akan kelancangan yang telah Melati perbuatan, ketika dirinya tengah tertidur. Bahkan, Bambang tidak bisa menghubungi Mawar lagi. Sepertinya nomor ponselnya telah diblokir oleh Mawar."Ini semua salah kamu!" bentak Bambang marah."Ada apa ini? Ko ribut-ribut?" tanya Herlina yang merasa terganggu akan kegaduhan yang dibuat oleh Bambang."Itu! Menantu kesayangan, Bu!" pekik Bambang seraya menunjuk wajah polos Melati yang merasa seolah tidak bersalah dan berdosa.Semenjak kejadian temo hari, Bambang mau tidak mau menikahi Melati secara sirih. Namun, tidak pernah sekalipun Bambang menyentuh Melati. Kecuali dalam keadaan tidak sadar, di mana Melati suka menyelinap masuk ke pelukannya.Bambang benar-benar muak akan sikap dan tindakan polos Melati yang ia tahu tidak demikian, andaikan kepala desa tidak mengancam dirinya. Mungkin, Bambang tidak akan pernah ma
"Mas Bambang mau ke mana?" tanya Melati yang sedari tadi mengekor dari belakang.Ketika Bambang berhenti mendadak dan berbalik badan, tubuh Melati pun langsung menabrak badan kekar Bambang dan membuat Melati memekik."Aw!""Kamu kenapa sih?" tanya Bambang jengah akan sikap Melati.Melati mengusap-usap hidungnya yang terasa sakit, ketika menabrak tubuh Bambang."Mas mau ke mana?" tanya Melati mengulangi pertanyaan yang sama."Kerja," jawab Bambang singkat dan berlalu begitu saja.Bambang begitu dingin kepada Melati, sangat berbeda sekali. Ketika bersama Mawar, ditambah hati dan pikiran Bambang hanya ada nama Mawar seorang.Kini Bambang memacu motornya menuju ke tempat kerja, ia diterima menjadi kuli bangunan berkat kepala desa.Bambang bekerja di salah satu proyek pembangunan pariwisata yang dikelola oleh desa, walaupun pendapatnya hanya cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari."Selamat pagi Pak Bambang," sapa satpam, ketika Bambang baru saja datang."Selamat pagi juga, Pak," balas
"Tidak mungkin!" pekik Bambang nyaring.Sedangkan Rendy yang melihat keterkejutan Bambang hanya tersenyum penuh arti. Setelah menyampaikan undangan pernikahannya serta arahan untuk melanjutkan proyek pembangunan yang harus rampung dalan waktu dekat, Rendy pun pergi meninggalkan tanda tanya besar di dalam benak Bambang akan acara pernikahan Rendy dan Mawar.Raut wajah Bambang hari ini benar-benar berubah menjadi tidak sedap untuk dipandang, bahkan lelaki itu hanya memilih banyak diam ketimbang berbicara sampai pulang ke rumah.Terlihat dari kejauhan Melati yang tengah berdiri diambang pintu menunggu kedatangan Bambang dengan senyum yang mengembang."Mas Bambang sudah pulang?" tanya Melati seraya mengiringi langkah gontai Bambang yang kini masuk ke rumah."Mas, kenapa?" tanya Melati yang melihat perubahan Bambang yang begitu dingin dari sebelumnya.Namun, tidak ada tanggapan apa-apa dari Bambang yang memilih masuk ke kamar dan mengunci diri.Lelah bekerja tidak seberat dengan beban ha
Pada akhirnya Bambang menyerah pada keadaan, terlebih desakan dari sang mandor yang akan memecat dirinya jika sampai tidak hadir dalam acara yang penuh sejarah untuk Mawar dan Rendy.Andaikan saja Bambang memiliki pilihan lain, mungkin ia akan memilih untuk berhenti bekerja dan menjadi tukang ojek keliling seperti sebelumnya.Namun, hal itu tidak bisa ia lakukan. Sebab, pendapatan menjadi tukang ojek tidak menentu. Sedangkan kebutuhan sehari-hari terus saja meningkat."Pak Bambang, saya merasa tidak pantas untuk hadir," cicit lelaki paruh baya yang kini duduk disamping Bambang."Kita sama, Pak," balas Bambang berusaha menghibur temannya itu.Bukan lagi merasa tidak pantas untuk menghadiri acara tersebut, melainkan hati dan raganya yang tidak sanggup untuk terluka.Kini semua anggota konduksi yang bekerja di proyek sudah berada di dalam bis, setelah mengabsen semuanya. Barulah bis yang mengakut mereka itu mulai bergerak menuju ketempat tujuan.Selama perjalanan , Bambang memilih diam s
Mawar bergegas melepaskan genggaman tangan Bambang dan berdiri dibalik tubuh Rendy, seolah meminta perlindungan dari lelaki tersebut.Bambang yang melihat perubahan yang begitu jelas dari Mawar akhirnya memilih mengambil jarak dan menahan tubuh Melati yang tiba-tiba saja ingin meraih gaun yang dikenakan oleh Mawar."Dasar wanita mudahan! Perebut suami orang!" teriak Melati dengan tidak tahu malu dan membuat ruangan tersebut riuh dengan aksi nekat wanita itu.Arumi yang menyaksikan drama tersebut tidak menyangka akan adanya kedatangan Melati, hancur sudah semua rencananya."Tolong! Jaga ucapanmu!" hardik Rendy tidak suka dan menatap tajam ke arah Melati.Namun, bukannya takut. Melati malahan menantang Rendy."Apa? Memang benar Mawar itu pelakor! Aku ini istri Mas Bambang! Semua orang bisa melihat! Bagaikan dia ingin merebut Mas Bambang dariku!" ucap Melati dengan menggebu-gebu seraya menunjuk wajah Mawar.Tidak ingin terjadi keributan yang berlanjut dan membuat dirinya merasa begitu te
Angin sore berhembus pelan di pemakaman, membawa aroma khas tanah basah yang bercampur dengan harumnya bunga mawar putih yang bertabur di atas makam Bambang. Matahari hampir tenggelam di ufuk barat, menciptakan pendar jingga keemasan yang meliputi seluruh area. Di sana, di depan pusara yang sederhana namun penuh makna, berdiri Mawar dan Rendy. Mawar mengenakan pakaian serba hitam yang sederhana, wajahnya terlihat sendu tetapi menenangkan. Di tangannya tergenggam buket bunga mawar putih, simbol cinta dan penghormatan untuk Bambang. Rendy, dengan wajah penuh keyakinan, berdiri di sampingnya mengenakan kemeja berwarna hitam dan sarung hijau tua. Di depannya, seorang pembuka agama dan beberapa keluarga serta teman dekat berkumpul dalam suasana yang penuh keharuan. “Apa kamu sudah siap, Dek?” bisik Rendy pelan, menoleh ke arah wanita yang kini menjadi tanggung jawabnya. Mawar mengangguk kecil, matanya berkaca-kaca
Sore itu, rumah Mawar dipenuhi suasana yang begitu asing. Di ruang tamu, beberapa tamu yang terdiri dari kerabat dekat dan tetangga duduk dalam hening. Tidak ada gemerlap dekorasi atau pesta besar. Hanya meja sederhana yang dihiasi bunga mawar putih, seolah menjadi simbol kebersahajaan acara yang berlangsung hari itu. Mawar duduk di sudut ruangan dengan wajah penuh emosi yang sulit diartikan. Gaun putih sederhana yang ia kenakan terasa berat, bukan karena bahan kainnya, tetapi karena beban di dalam hatinya. Di sampingnya, Rendy berdiri dengan wajah tenang, meski ada sedikit kegugupan di mata tegas pria itu. "Apa kamu yakin ingin melakukannya, Dek?" tanya Rendy pelan, nyaris berbisik. Mawar mengangguk tanpa menoleh, matanya masih menatap ke arah lantai. "Ini yang Bambang inginkan. Aku hanya mencoba memenuhi permintaannya." Mendengar itu, Rendy hanya bisa menghela napas. Ia tahu Mawar tidak benar-benar melakukan ini untuk dirinya
Malam itu terasa begitu sunyi di ruang perawatan Bambang. Hanya suara alat monitor jantung yang terus berdetak lambat, menjadi penanda bahwa waktu Bambang di dunia ini semakin menipis. Mawar duduk di sisi ranjang suaminya, menggenggam erat tangan Bambang yang terasa semakin dingin. Wajahnya pucat, tetapi matanya tetap menatap Bambang penuh harap, seolah berusaha menyangkal kenyataan yang semakin nyata di depannya. "Mas, jangan tinggalkan aku," bisik Mawar, suaranya bergetar. "Aku butuh kamu. Aku nggak tahu bagaimana caranya menjalani hidup tanpa kamu." Bambang tersenyum tipis. Meski tubuhnya semakin lemah, ia berusaha memberikan ketenangan untuk Mawar. "Sayang, kamu lebih kuat dari yang kamu pikirkan. Mas percaya kamu bisa melewati ini. Kamu harus percaya pada dirimu sendiri." Air mata Mawar mengalir deras. Ia menggenggam tangan Bambang semakin erat, seolah berusaha menahan kepergiannya. "Tapi aku nggak mau kehilangan kamu, Ma
Di ruang perawatan rumah sakit, suasana begitu sunyi. Hanya suara detak alat monitor jantung yang terus berdetak pelan, seolah menjadi pengingat waktu yang kian menipis. Bambang terbaring di atas ranjang dengan tubuh lemah. Napasnya tersengal-sengal, tetapi matanya tetap memancarkan tekad yang tidak pernah pudar. Di sisi ranjangnya, Mawar duduk dengan tangan menggenggam jemari Bambang yang mulai dingin. Wajahnya nampak begitu lelah dengan mata yang sembap karena kurang tidur. Sejak Bambang dirawat kembali, ia hampir tidak pernah meninggalkan suaminya dan terus berada di sisi sang suami. Rasa takut yang terus menghantui membuatnya tidak ingin membuang sedetik pun waktu bersama Bambang. “Mas …” Mawar memanggil pelan, suaranya bergetar. “Tolong jangan tinggalkan aku. Aku nggak tahu harus bagaimana kalau kamu pergi.” Bambang tersenyum tipis, meski itu hanya memperlihatkan rasa lelah di wajahnya. “Sayang, Mas nggak akan pernah benar
Malam itu, Mawar duduk di samping tempat tidur dengan mata sembap. Wajahnya terlihat lelah, bukan karena fisik, tetapi karena hatinya yang terus-menerus digempur rasa sakit. Di depannya, Bambang terbaring dengan tubuh lemah, napasnya sesekali terengah-engah. Namun, meski raganya mulai menyerah, tekad di dalam dirinya tetap kokoh. Ia tahu ia tidak punya banyak waktu, dan ini adalah kesempatan terakhir untuk berbicara dengan Mawar. “Dek,” Bambang memanggil pelan, suaranya serak. “Kita harus bicara.” Mawar menggelengkan kepala. "Aku nggak mau dengar, Mas. Tolong jangan bicarakan hal itu lagi." Tapi Bambang tidak menyerah. Ia mengulurkan tangannya, mencoba menggenggam jemari Mawar. "Sayang, tolong dengarkan Mas. Ini penting!" Mawar memejamkan matanya, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah lagi. "Mas, kenapa kamu memaksa aku untuk melakukan sesuatu yang begitu menyakitkan? Kita baru saja memperbaiki semuanya. Kita bar
Suasana rumah terasa sunyi malam itu, hanya suara detak jam dinding yang terdengar di ruang tamu. Mawar sedang tertidur di samping Bambang, menggenggam tangan suaminya yang semakin kurus. Wajah Bambang pucat, matanya redup, tapi pikirannya tak bisa tenang. Ia tahu waktunya tidak lama lagi. Dokter sudah memberitahu bahwa kondisinya semakin memburuk, dan operasi yang sebelumnya menjadi harapan kini tidak lagi mungkin dilakukan. Namun, bukan kematian yang membuatnya gelisah malam ini, melainkan Mawar. Ia tidak bisa membayangkan Mawar hidup sendirian setelah dirinya pergi. Dengan hati yang berat, Bambang memutuskan sesuatu. Ia harus menemukan Rendy. Rendy adalah mantan istrinya, seseorang yang pernah mengisi masa lalu Mawar sebelum mereka menikah. Bambang tahu betapa dalam hubungan Mawar dengan Rendy dulu. Meskipun Mawar tidak pernah menceritakannya secara rinci, Bambang bisa merasakan bahwa ada bagian dari hati istrinya yang pern
Malam itu, hujan turun deras. Angin dingin menyelinap ke sela-sela jendela, membawa hawa yang membuat Mawar merasa tidak nyaman. Samar-samar ia mendengar suara dari kamar mandi—seperti seseorang yang tengah terbatuk keras. Mawar langsung berjalan menuju kamar mandi, hatinya berdebar tak menentu. "Mas? Kamu di dalam?" tanyanya sambil mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Tapi suara batuk itu semakin terdengar parau, seperti menahan sakit yang luar biasa. Mawar langsung membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. Di sana, ia menemukan Bambang terduduk di lantai, bersandar di dinding, wajahnya pucat seperti tidak ada darah yang mengalir. "Mas! Kamu kenapa?" Mawar berlutut di samping suaminya, panik. Tangannya langsung memegang pipi Bambang yang dingin, lalu mengguncang bahunya pelan. Bambang berusaha tersenyum kecil, meski terlihat lemah. "Mas ... nggak apa-apa. Cuma sesak sedikit," kata sang suami, suaranya nyaris seperti bisikan. Ma
Pagi itu, udara dingin menyelimuti rumah kecil mereka. Mawar duduk di ruang tamu dengan secangkir teh yang mulai mendingin di tangannya. Percakapan kemarin malam masih terngiang jelas di telinganya, terutama ekspresi Herlina ketika mereka mengutarakan keinginan untuk pindah. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang berat di hati ibu mertuanya, meskipun Herlina berusaha menutupi itu dengan senyum tipis. Mawar tahu, Herlina tidak benar-benar setuju, meskipun bibirnya mengatakan ia memahami. Langkah kaki terdengar dari arah dapur. Herlina muncul dengan sebuah nampan berisi sepiring pisang goreng dan teko kopi hangat. Wajahnya tampak tenang seperti biasa, tapi Mawar bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan mata wanita itu. "Kamu sudah sarapan, War?" tanya Herlina, seraya meletakkan pisang goreng di atas meja. "Sudah, Bu. Terima kasih," jawab Mawar, mencoba tersenyum. Herlina duduk di sebelahnya, menuangkan kopi ke da
Langit sore itu memerah. Mawar sedang mencuci piring di dapur, tangannya bergerak tanpa pikir panjang. Suara gemericik air mengiringi pikirannya yang melayang jauh. Ia masih mengingat tajam bagaimana dulu Herlina, ibu mertuanya, selalu memandang dingin kepadanya, seperti orang asing yang tak diinginkan. Namun sore itu berbeda. "War, istirahatlah dulu. Biar Ibu yang selesaikan," suara Herlina terdengar lembut, menyusup pelan ke telinganya. Mawar menoleh, sedikit terkejut. Ibu mertuanya itu berdiri di ambang pintu dapur dengan senyum kecil yang terasa tulus. Wajah Herlina yang biasanya keras kini tampak lembut, meski garis-garis usia tetap jelas di sana. Mawar terdiam, mencoba membaca maksud di balik perubahan ini, ataukah karena kejadian barusan. Mawar hanya bisa menuga–nuga. "Eh, tidak apa-apa, Bu. Aku sudah hampir selesai," balas Mawar, mencoba terdengar biasa saja. Tapi Herlina tidak menyerah. Ia melangkah mendekat, m