Alya menatap cermin di kamar apartemennya, mengenakan blus satin lembut berwarna krem yang dipadukan dengan rok hitam sederhana. Penampilannya tampak berbeda, lebih elegan dari biasanya. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Hari ini adalah hari pertama ia akan menjalani peran sebagai tunangan palsu Adrian Hilman.
Adrian telah memintanya untuk datang ke kantor pusat perusahaan miliknya, Hilman Tech Corp. Ia ingin memperkenalkan Alya kepada staf-staf utama dan memulai strategi mereka untuk tampil di depan publik. Alya tahu ini bukan hal yang mudah, tetapi ia sudah berkomitmen. Ketika ia tiba di lobi kantor Adrian, pandangannya langsung tertuju pada arsitektur modern dan suasana profesional yang mendominasi tempat itu. Dinding-dinding kaca besar memantulkan cahaya matahari pagi, memberikan kesan megah namun dingin. "Selamat pagi, Nona Alya," suara seorang wanita terdengar. Seorang resepsionis dengan senyum ramah menyapanya. "Pak Adrian sedang menunggu Anda di ruangannya." Alya mengangguk dan mengikuti wanita itu menuju lift khusus. Jantungnya berdegup kencang ketika mereka naik ke lantai tertinggi gedung itu. Ketika pintu lift terbuka, pemandangan kota yang luas terlihat dari balik jendela kaca besar. Adrian berdiri di depan jendela itu, mengenakan setelan jas biru tua yang sempurna. Ia berbalik ketika mendengar langkah Alya memasuki ruangan. "Selamat datang," katanya, suaranya tenang namun penuh wibawa. "Duduklah." Alya mengangguk dan duduk di sofa besar yang berada di tengah ruangan. Adrian mengambil tempat di seberangnya, menatapnya dengan intensitas yang biasa. "Kita akan mulai tampil di depan umum minggu ini," kata Adrian, langsung ke inti pembicaraan. "Tapi sebelum itu, aku ingin memastikan bahwa kita memahami peran masing-masing dengan baik." Adrian menjelaskan rencananya dengan detail. Mulai dari acara sosial yang harus mereka hadiri bersama hingga perilaku yang harus mereka tunjukkan di depan umum. Alya mendengarkan dengan saksama, meskipun hatinya dipenuhi kegelisahan. "Tapi ada satu hal lagi yang perlu kita diskusikan," kata Adrian, tatapannya menjadi lebih serius. "Aku ingin memastikan bahwa peranmu tidak hanya meyakinkan, tapi juga tidak bisa digoyahkan oleh siapa pun." Alya mengernyit bingung. "Apa maksud Anda?" Adrian menyandarkan tubuhnya ke kursi, tangannya menyatukan jari-jarinya di depan wajahnya. "Aku ingin mengadakan kontrak tambahan—sesuatu yang lebih pribadi. Aku ingin memastikan bahwa peranmu tidak akan diragukan oleh orang-orang yang curiga." Alya merasa ada yang aneh dengan nada suaranya. "Kontrak tambahan seperti apa?" Adrian tersenyum tipis. "Kamu harus pindah ke rumahku. Kita perlu tinggal bersama agar terlihat seperti pasangan sesungguhnya." Pernyataan itu membuat Alya membelalakkan mata. "Apa? Tinggal bersama? Bukankah itu terlalu berlebihan?" Adrian mengangkat bahu dengan santai. "Ini bukan tentang berlebihan, Alya. Ini tentang kredibilitas. Media, rekan bisnis, bahkan keluarga dekatku tidak akan percaya jika kita tidak tinggal bersama." Alya mencoba memproses permintaan itu. Tinggal bersama Adrian? Ia tahu bahwa tawaran ini adalah bagian dari kontrak mereka, tetapi ia tidak menyangka akan sampai sejauh ini. "Aku tahu ini mengejutkan," Adrian melanjutkan, seolah membaca pikirannya. "Tapi aku sudah menyiapkan kamar terpisah untukmu. Tidak akan ada yang melanggar batas. Ini murni profesional." Alya ingin protes, tetapi ia tahu bahwa Adrian selalu punya alasan untuk setiap keputusannya. Dan ia juga tahu bahwa ia tidak punya pilihan. Jika ia menolak, kontrak mereka bisa berakhir, dan ia akan kehilangan satu-satunya cara untuk membantu keluarganya. "Baik," katanya akhirnya, meskipun suaranya terdengar ragu. "Aku akan melakukannya." Adrian mengangguk puas. "Bagus. Aku akan mengirimkan stafku untuk membantumu pindah. Kita harus memulai sesegera mungkin." Ketika Alya melangkah keluar dari kantor Adrian, suasana hati yang semula tegang berubah menjadi lebih berat. Ia tidak bisa menghilangkan bayangan permintaan Adrian yang terlalu besar untuknya. Tinggal bersama pria itu di rumahnya? Bahkan dengan segala jaminan yang diberikan, rasanya tetap saja seperti melangkah ke dalam jebakan yang belum ia pahami. "Apa yang sebenarnya aku lakukan?" gumam Alya pelan sambil memeluk tasnya lebih erat. Langkah kakinya terhenti ketika ia mencapai lobi. Ia mengambil napas dalam-dalam, berusaha meredakan gemuruh di dadanya. Namun, ketenangan itu hanya bertahan beberapa detik. "Alya, kan?" Suara seorang wanita memanggilnya. Alya menoleh, mendapati seorang wanita cantik dengan rambut panjang tergerai berdiri tidak jauh darinya. Wanita itu mengenakan gaun bermerek yang memeluk tubuhnya dengan sempurna, lengkap dengan perhiasan mahal yang mencerminkan statusnya. Matanya memandang Alya dengan tatapan yang tidak bersahabat. "Maaf, Anda siapa?" tanya Alya, mencoba tetap sopan meskipun jelas ada sesuatu yang salah dengan cara wanita itu memandangnya. Wanita itu tersenyum tipis, namun senyum itu lebih terasa seperti ejekan. Ia melangkah mendekat, memperhatikan Alya dari ujung kepala hingga kaki seolah menilai barang dagangan. "Aku hanya penasaran," katanya dengan nada santai yang dibuat-buat. "Jadi, kamu yang berhasil merebut perhatian Adrian? Aku tidak menyangka dia akan memilih seseorang… seperti ini." Alya merasa wajahnya memanas. Ia tahu apa yang dimaksud wanita itu. Penampilan Alya yang sederhana jelas tidak sebanding dengan gaya glamor wanita di hadapannya. Namun, ia mencoba tetap tenang. "Jika Anda punya masalah, lebih baik langsung saja berbicara dengan Adrian," kata Alya, suaranya tetap lembut meskipun ada sedikit nada tegas. Wanita itu tertawa kecil, nadanya penuh dengan hinaan. "Kamu manis sekali. Tapi biar aku beri peringatan, Alya. Adrian bukan tipe pria yang mudah untuk… dijinakkan. Dia punya rahasia yang mungkin akan membuatmu berpikir ulang tentang keputusanmu." Kata-kata itu membuat Alya terdiam. Ada sesuatu dalam nada wanita itu yang membuatnya gelisah. Bukan hanya ancaman, tetapi seolah ada kebenaran di baliknya. "Dan satu hal lagi," wanita itu menambahkan sambil mendekatkan wajahnya ke Alya, hampir berbisik. "Jika kamu berpikir hubungan ini akan bertahan lama, maka kamu sangat naif. Banyak wanita sebelum kamu sudah mencoba, dan mereka semua gagal." Sebelum Alya sempat merespons, wanita itu mundur dengan senyum dingin. Ia melangkah pergi dengan anggun, meninggalkan aroma parfum mahal di udara. Alya hanya bisa berdiri terpaku, pikirannya dipenuhi pertanyaan. Siapa wanita itu? Dan apa yang ia maksud dengan 'rahasia Adrian'? Namun, sebelum ia sempat merenungkan lebih jauh, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Adrian: "Persiapkan dirimu. Mobil akan menjemputmu besok pagi untuk pindah ke rumahku." Alya menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Wanita tadi, pesan Adrian, dan keputusan yang baru saja ia ambil semuanya terasa seperti potongan teka-teki yang membingungkan. Namun, satu hal yang pasti: ia baru saja melangkah masuk ke dalam dunia Adrian Hilman, sebuah dunia yang tidak hanya penuh dengan kemewahan, tetapi juga bahaya dan rahasia yang mengintai di setiap sudut.Alya melangkah memasuki rumah Adrian dengan perasaan yang campur aduk. Rumah itu lebih mirip istana modern daripada tempat tinggal biasa. Dinding kaca besar memamerkan pemandangan kota, sementara perabotan mahal dan desain minimalis memberikan kesan dingin dan berkelas."Selamat datang," suara Adrian menyambutnya. Pria itu berdiri di tengah ruang tamu, mengenakan pakaian kasual namun tetap terlihat memukau. "Bagaimana menurutmu?"Alya menatap sekeliling dengan canggung. "Rumah ini... luar biasa."Adrian tersenyum tipis. "Kamu akan terbiasa. Biarkan aku memberimu tur."Mereka berjalan melalui lorong-lorong panjang yang dipenuhi karya seni mahal dan perabotan elegan. Adrian menjelaskan fungsi setiap ruangan dengan nada santai, tetapi Alya merasakan sesuatu yang aneh—seolah-olah rumah ini terlalu sempurna, terlalu teratur, seperti tempat yang dibuat untuk menyembunyikan sesuatu."Ini kamarmu," kata Adrian akhirnya, membuka pintu ke sebuah kamar yang luas. Dindingnya dihiasi dengan warna
Keesokan paginya, Alya terbangun dengan perasaan tidak tenang. Percakapan aneh dengan Adrian semalam masih terngiang di kepalanya. Kata-katanya yang penuh misteri membuat Alya sulit memahami apa yang sebenarnya terjadi di balik sikap dingin dan terkontrol pria itu. Ketika Alya turun ke lantai bawah, aroma kopi segar dan roti panggang menyambutnya. Dapur yang megah, dengan marmer hitam berkilauan dan peralatan dapur modern, tampak begitu berkelas. Namun, pemandangan yang lebih mengejutkan adalah Adrian yang duduk di meja makan, mengenakan kemeja putih santai dan sedang membaca koran pagi. "Selamat pagi," sapanya tanpa menoleh, seolah sudah tahu Alya berada di sana. "Selamat pagi," jawab Alya pelan, masih merasa canggung dengan situasi ini. Adrian menurunkan korannya dan menatapnya. "Kamu tidur nyenyak?" Alya ragu-ragu sebelum menjawab. "Ya, cukup nyenyak." "Tidak terlihat seperti itu," Adrian mengamati wajah Alya yang tampak sedikit lelah. "Apa kamu masih ragu dengan keputusanmu
Restoran mewah itu berdiri megah di tengah kota, dikelilingi gedung-gedung pencakar langit yang memancarkan cahaya terang di malam hari. Dari luar, restoran ini tampak seperti istana modern, dengan kaca-kaca besar yang memperlihatkan interior elegan di dalamnya. Adrian menggandeng Alya dengan tenang, membimbingnya melewati pintu besar yang dijaga oleh pelayan berpakaian rapi.“Tenang saja. Mereka tidak akan berbuat apa-apa,” bisik Adrian lembut, seolah membaca kegugupan Alya.Alya mengangguk kecil, tetapi tangannya yang bergetar di lengan Adrian mengungkapkan sebaliknya.Di ruang makan pribadi, beberapa orang dengan penampilan berkelas sudah menunggu. Mereka duduk dengan postur sempurna, mengenakan setelan mahal yang mencerminkan status mereka. Percakapan mereka terhenti saat Adrian dan Alya masuk. Tatapan mereka terfokus pada Alya, menilai dan menimbang, seolah mencoba menyingkap rahasia yang ia sembunyikan.“Selamat malam,” sapa Adrian dengan nada tenang, tapi penuh otoritas.Salah
Alya terbangun di pagi hari dengan perasaan gelisah yang menggantung berat di dadanya. Malam itu ia hampir tidak tidur, pikirannya terus berputar-putar memikirkan pesan-pesan misterius yang diterimanya dan peran Adrian dalam permainan berbahaya ini. Ketika sinar matahari menyusup melalui celah-celah tirai, Alya memutuskan bahwa ia tidak bisa lagi pasif.Ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Saat Alya turun ke ruang makan, Adrian sudah duduk di meja makan, mengenakan jas hitam yang terlihat sempurna melekat di tubuhnya. Ekspresinya serius seperti biasa, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda—seperti bayangan kekhawatiran di matanya.“Selamat pagi,” sapa Adrian tanpa mengangkat wajahnya dari ponsel.“Selamat pagi,” jawab Alya pelan, mencoba menyembunyikan perasaan gugupnya.Mereka makan dalam keheningan, hanya suara sendok dan garpu yang terdengar. Alya sesekali melirik Adrian, mencoba mencari tanda-tanda yang bisa mengungkapkan pikirannya. Namun, seperti biasa, pria itu se
Alya terbangun dengan rasa gelisah yang tidak ia pahami. Cahaya pagi menyelinap masuk melalui tirai jendela, tetapi sinar itu tidak membawa ketenangan. Semalam, pikirannya terus dikepung oleh pesan misterius dan perasaan bahwa seseorang mengawasinya. Saat ia bersiap untuk turun ke ruang makan, Adrian sudah tidak ada di kamar. Mungkin ia sudah pergi ke kantor atau sedang mengurus urusan penting lainnya. Alya merasa lega sekaligus kesal. Lega karena ia bisa memiliki waktu sendiri untuk berpikir, tetapi kesal karena Adrian selalu menghilang tanpa penjelasan. Di meja makan, seorang pelayan membawakan sarapan untuknya. “Tuan Adrian meninggalkan pesan untuk Anda, Nyonya,” kata pelayan itu sopan, menyodorkan sebuah amplop kecil. Alya membuka amplop itu dengan cepat. “Alya, aku harus pergi lebih awal untuk pertemuan penting. Tetap di rumah hari ini, dan jangan keluar tanpa pengawalan. Aku akan kembali malam nanti. Adrian.” Pesan itu sederhana, tetapi membuat Alya semakin curiga. Mengapa
Pagi itu, Alya tidak bisa memejamkan mata lebih lama. Pesan yang ia terima malam sebelumnya terus berputar di pikirannya. Si pengirim pesan, dengan jelas, tahu bahwa Alya tengah terjebak dalam dilema. Dan fakta bahwa pesan itu melarangnya memberi tahu Adrian, membuatnya semakin waspada.Alya duduk di meja makan dengan segelas kopi yang nyaris tidak tersentuh. Adrian, seperti biasa, sudah berangkat pagi-pagi sekali tanpa banyak penjelasan. Hal itu membuatnya sedikit lega, karena ia tidak perlu berbohong tentang rencana yang akan ia lakukan.Namun, sebuah pertanyaan besar terus menghantuinya: Apakah ia bisa mempercayai pengirim pesan itu? Bagaimana jika ini hanya salah satu dari jebakan yang Adrian maksudkan?Menepis keraguan yang terus menggerogoti pikirannya, Alya memutuskan untuk pergi ke kafe Horizon. Ia perlu tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi, dan ia tahu bahwa hanya dengan mencari jawaban sendirilah ia bisa mengatasi perasaan tidak pasti ini.Di Kafe HorizonTepat pukul semb
Pukul tiga sore, seperti yang dijanjikan, Adrian tiba di apartemen Alya. Tidak seperti biasanya, ia tidak mengenakan setelan jas formal, melainkan pakaian kasual: kemeja hitam lengan panjang yang digulung hingga siku dan celana chino abu-abu. Namun, wajahnya tetap menunjukkan keseriusan yang sulit disembunyikan.Alya berdiri di ruang tamu, memegang secangkir teh yang sejak tadi tidak disentuh. Ia menunggu dengan penuh kecemasan, memikirkan apa yang akan terjadi setelah pertemuan dengan Dito dan amplop cokelat yang kini tersimpan di dalam laci meja kerjanya.“Maaf jika aku datang tiba-tiba,” ujar Adrian sambil berjalan masuk, menutup pintu di belakangnya. “Ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu.”Alya mencoba terlihat tenang meski jantungnya berdetak cepat. “Apa yang ingin kau bicarakan?”Adrian duduk di sofa, mengamati Alya dengan tatapan mendalam. “Alya, aku tahu akhir-akhir ini kau merasa tidak nyaman. Aku bisa melihatnya dari caramu bersikap. Kau selalu tampak gelisah, sep
Matahari pagi menerobos melalui celah tirai, memberikan cahaya lembut di kamar Alya. Namun, ketenangan pagi itu tidak mampu menghapus kegelisahan yang melanda dirinya. Malam sebelumnya meninggalkan jejak yang begitu kuat di pikirannya—kehadiran Dito, ancamannya, dan sikap Adrian yang semakin misterius. Alya memutuskan bahwa ia tidak bisa hanya diam menunggu jawaban dari Adrian. Jika Adrian tidak bersedia membuka rahasianya, maka ia harus mencari tahu sendiri. Sambil duduk di tepi tempat tidur, Alya memandangi ponselnya. Ia menggulir kontak yang ada, hingga akhirnya berhenti pada nama sahabatnya, Karin. Karin adalah orang yang selalu ia andalkan saat hidupnya berada di titik terendah. "Karin, aku butuh bantuanmu," kata Alya segera setelah panggilan tersambung. "Wow, pagi-pagi sudah serius banget. Ada apa, Alya?" tanya Karin, terdengar sedikit bingung. "Aku butuh informasi tentang seseorang. Aku tidak tahu harus mulai dari mana, tapi aku yakin kamu punya cara." "Informasi te
Hujan deras mengguyur kota malam itu, meninggalkan genangan air yang memantulkan lampu jalan yang berkilauan. Suara hujan yang menghantam atap rumah terasa menenangkan, tetapi bagi Alya, malam itu jauh dari kata damai.Ia duduk di tepi ranjangnya, menatap kosong ke arah jendela. Pikirannya kembali pada percakapan yang ia dengar tadi di depan ruang kerja Adrian. Kata-kata itu terus berulang di kepalanya, mengusik hatinya. Apakah ia sudah terlalu percaya pada Adrian? Ataukah selama ini ia hanya melihat sisi yang ingin ia lihat?Handphone di tangannya bergetar. Pesan dari Adrian masuk, tetapi ia ragu untuk membacanya. Ia menatap layar itu cukup lama sebelum akhirnya membuka pesan tersebut."Alya, aku perlu bicara denganmu. Tolong jangan salah paham."Hanya itu isi pesannya. Tidak ada penjelasan. Tidak ada permintaan maaf. Alya menghela napas panjang. Semakin ia mencoba memahami situasi ini, semakin banyak pertanyaan yang muncul di benaknya.Ia ingat kembali ekspresi wajah Adrian saat mer
Alya melangkah keluar dari ruang makan dengan kepala yang penuh pikiran. Suara dentingan alat makan yang sebelumnya terdengar riuh kini terasa seperti gema dari kejauhan. Pertemuan terakhir dengan Adrian—dengan tatapan dingin dan kalimat tajamnya—masih membekas di hati Alya. "Alya, kenapa kamu membiarkan dirimu tenggelam sejauh ini?" bisiknya pada diri sendiri sambil menyandarkan punggung pada dinding koridor. Namun, sebelum ia bisa merenung lebih jauh, suara langkah kaki mendekat. Adrian berdiri di depannya dengan sorot mata yang tidak lagi menunjukkan kebekuan seperti tadi. Kali ini, ada sesuatu yang berbeda—campuran penyesalan dan kebimbangan. "Alya, kita perlu bicara," ujarnya pelan. Alya mengangkat dagunya, berusaha menunjukkan kekuatan, meski hatinya rapuh. "Apa lagi yang ingin kamu katakan, Adrian? Bukankah semuanya sudah jelas?" Adrian menghela napas, wajahnya terlihat lebih lelah daripada biasanya. "Aku tahu aku telah memperlakukanmu dengan cara yang salah. Tapi... a
Adrian memutar otaknya dengan cepat, mencari celah untuk keluar dari situasi yang tampaknya tidak memiliki jalan keluar. Pria-pria bersenjata itu mendekat perlahan, senjata mereka diarahkan langsung kepadanya dan Alya. Dalam kegelapan ruangan yang hanya diterangi oleh kilatan petir dari luar, wajah mereka tampak seperti bayangan kematian yang siap menjemput. Alya berdiri di belakang Adrian, mencoba menahan napas agar tidak membuat suara yang dapat memancing agresi dari para pria tersebut. Tangannya mencengkeram erat lengan Adrian, seolah ia adalah satu-satunya penghalang antara nyawa dan bahaya yang mengintai. Sementara itu, Adrian mencoba menilai situasi di sekelilingnya. Ruangan itu sempit, dipenuhi oleh lemari-lemari kayu tua yang mengeluarkan aroma lapuk. Hanya ada satu jendela kecil di sudut, tetapi tertutup rapat oleh jeruji besi yang tidak mungkin diloloskan tanpa alat. Jalan keluar lainnya adalah pintu yang kini dijaga oleh dua pria dengan senjata. Ia memejamkan mata sejena
Alya berlari di tengah hujan deras, kaki-kakinya terpeleset di jalanan basah. Napasnya terengah-engah, dan detak jantungnya berdetak seperti genderang perang. Flash drive di genggamannya terasa seperti bara panas, tetapi ia tidak melepaskannya. Apa pun yang ada di dalam benda kecil itu, ia tahu bahwa isinya adalah kunci dari semua pertanyaan yang menghantuinya selama ini.Bayangan pria misterius yang tadi menolongnya masih terngiang-ngiang di benaknya. Siapa dia? Mengapa dia rela mempertaruhkan nyawanya demi memberikan flash drive itu? Dan yang lebih membingungkan, mengapa dia menyebut Adrian sebagai satu-satunya orang yang bisa melindunginya?“Adrian…” gumam Alya sambil terus berlari. Wajah pria itu memenuhi pikirannya, bercampur dengan rasa marah, curiga, dan rasa cinta yang sulit ia hilangkan.Langkahnya berhenti mendadak ketika ia mencapai sebuah persimpangan jalan. Di tengah hujan yang semakin deras, Alya mencoba berpikir jernih. Adrian saat ini berada di tempat yang tidak ia ket
Langit malam menampakkan kegelapan yang mencekam. Hujan masih mengguyur deras, menciptakan harmoni yang menyeramkan dengan denting rintik air di atas atap kaca gedung tua tempat Alya kini berada. Tangannya gemetar, memegang dokumen-dokumen yang telah mengubah cara pandangnya terhadap Adrian untuk selamanya. Kata-kata pada lembaran itu membakar ingatannya, meninggalkan luka yang tak kasat mata. Adrian berdiri di seberang ruangan, wajahnya tegang. Udara di antara mereka seperti terhenti, tegang dengan keheningan yang penuh pertanyaan tak terjawab. Tidak ada yang berbicara, seolah-olah kata-kata telah lenyap dari dunia ini, meninggalkan hanya sorotan mata mereka yang saling bertemu dalam pertarungan emosional. "Alya," suara Adrian akhirnya memecah keheningan, berat dan penuh penyesalan. "Kau tidak seharusnya menemukan ini." Alya tertawa pelan, tapi tawanya dipenuhi kepahitan. "Tidak seharusnya? Adrian, aku sudah memberimu kepercayaan penuh, tapi ini? Ini yang kau sembunyikan dariku se
Alya berdiri di depan gedung kosong di Jalan Merpati, tempat yang disebutkan dalam pesan suara misterius itu. Hujan telah berhenti, menyisakan udara dingin yang menggigit kulitnya. Gedung itu tampak suram, dengan jendela-jendela pecah dan pintu kayu yang sudah lapuk oleh waktu. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, hanya suara angin yang berbisik di antara celah-celah bangunan."Ini tempatnya," gumam Alya pada dirinya sendiri, mencoba mengumpulkan keberanian.Ia melangkah masuk, mendapati lorong gelap yang dipenuhi debu dan puing-puing. Setiap langkahnya menggema, menciptakan suasana mencekam yang membuat bulu kuduknya berdiri. Di tangannya, ia menggenggam senter kecil yang diambil dari tasnya. Cahaya redup dari senter itu menyoroti dinding yang dipenuhi grafiti, sebagian besar berupa simbol-simbol yang tidak ia pahami.Tangga menuju lantai tiga tampak rapuh, tetapi Alya tetap melangkah dengan hati-hati. Dalam setiap langkah, ia merasa seperti ada mata yang mengawasinya, meskipun ia tidak
Hujan turun dengan deras malam itu, menciptakan tirai air yang hampir menghalangi pandangan ke luar. Alya berjalan dengan langkah tergesa, menghindari genangan air yang semakin meluas di sepanjang trotoar. Udara dingin menusuk kulitnya, tetapi pikirannya terlalu penuh untuk memedulikan rasa tidak nyaman itu. Amplop cokelat di dalam tasnya seperti beban tak kasatmata yang menarik setiap langkahnya lebih berat.Setiap suara di sekitar, dari deru mobil yang melintas hingga bunyi payung orang-orang di jalan, terasa seperti ancaman. Ia merasa diikuti, meskipun ketika ia menoleh, yang terlihat hanyalah bayangan-bayangan orang berlalu-lalang.Alya memutuskan untuk berhenti sejenak di sebuah kedai kopi kecil di sudut jalan. Tempat itu tampak kosong, hanya diisi beberapa pelanggan yang sibuk dengan minuman panas mereka. Ia memilih meja di sudut ruangan, menghadap ke luar jendela. Pandangannya terpaku pada hujan yang terus mengguyur, tetapi pikirannya jauh dari situ.Ia membuka tasnya perlahan,
Alya melangkah pelan di dalam ruangan yang sepi itu. Suara gemuruh hujan di luar jendela yang retak memberikan suasana yang semakin mencekam. Ruangan itu dingin, aroma debu bercampur dengan bau kayu lapuk menyeruak. Ia memegang amplop cokelat di tangannya, tetapi langkahnya terasa berat. Seolah setiap langkah membawa beban yang tak kasat mata.Perasaan ganjil menyelimuti Alya sejak ia menemukan tempat ini. Sebuah gudang tua di pinggiran kota yang seolah telah lama ditinggalkan. Namun, sesuatu tentang tempat ini terasa salah. Seolah-olah ruangan ini pernah menjadi saksi bisu dari banyak hal yang seharusnya tidak pernah terjadi.Ia berhenti di tengah ruangan, menatap meja kayu besar yang berada di sudut. Di atasnya terdapat tumpukan dokumen, peta, dan foto-foto yang berserakan. Alya tidak tahu harus mulai dari mana. Namun, rasa ingin tahunya lebih kuat daripada rasa takutnya. Ia membuka amplop cokelat itu dan mengeluarkan isinya—selembar surat dengan tulisan tangan Adrian, beberapa lemb
Adrian berlari sekuat tenaga melewati lorong gelap gedung tua itu. Suara hujan deras di luar bercampur dengan suara langkah kakinya yang memantul di lantai beton, menciptakan gema yang menyeramkan. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat, seolah-olah udara dingin di sekitar mencengkeram tubuhnya, membuat napasnya terengah-engah.Ia tidak punya waktu untuk berhenti atau ragu. Informasi yang ia dapatkan beberapa jam sebelumnya cukup untuk membuatnya panik. Alya berada dalam bahaya, dan ia tahu bahwa ini bukan sekadar ancaman biasa. Ini adalah hasil dari semua kesalahan masa lalunya, rahasia yang telah ia sembunyikan begitu rapat mulai terungkap, menyeret Alya ke dalam pusaran kekacauan.Tangannya menggenggam erat senter kecil yang ia bawa. Cahaya kuning redupnya berusaha menembus kegelapan, tetapi hanya mampu menyinari beberapa langkah ke depan. Lorong itu panjang dan sempit, dengan dinding-dinding yang dipenuhi coretan graffiti dan poster-poster lusuh yang sebagian besar suda