Hari-hari berikutnya di rumah Adrian semakin terasa seperti sebuah teka-teki besar bagi Alya. Setiap langkah yang ia ambil dipenuhi dengan ketidakpastian, seolah-olah ia sedang berjalan di atas jembatan rapuh yang bisa runtuh kapan saja. Pesan misterius, tatapan dingin Adrian, dan senyum palsu Nadine terus menghantui pikirannya. Ia merasa seperti sedang berada di tengah badai yang tidak bisa ia kendalikan, dengan angin kencang yang datang dari segala arah.
Namun, lebih dari semua itu, ada satu hal yang membuatnya semakin cemas: rahasia besar yang belum terungkap. Alya tahu bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Adrian dan Nadine, tetapi ia tidak tahu apa itu. Ia hanya bisa menduga-duga, mencoba menyatukan potongan-potongan kecil yang ia temukan selama ini. Namun, semakin ia mencoba memahami, semakin ia merasa bingung. Pada hari Senin pagi, Alya duduk di meja makan yang luas, menikmati secangkir teh hangat sambil mencoba fokus pada pekerjaannya. Namun, pikirannya terus-menerus melayang ke pesan misterius yang ia terima beberapa hari lalu. "Waktu kamu hampir habis. Pilih dengan bijak." Kalimat itu terus terngiang di benaknya, seolah-olah seseorang sedang memberinya peringatan tentang sesuatu yang akan segera terjadi. Tiba-tiba, pintu ruang makan terbuka, dan Adrian masuk dengan langkah cepat. Ia tampak lebih serius dari biasanya, dengan ekspresi wajah yang sulit dibaca. "Alya," katanya dengan nada datar, "kita harus bicara." Alya merasa tubuhnya menegang. Apa yang ingin dibicarakan Adrian? Apakah ini tentang pesan misterius itu? Atau apakah ada sesuatu yang lebih besar yang belum ia ketahui? Adrian duduk di kursi di depan Alya, menatapnya dengan intensitas yang membuat gadis itu merasa seperti seekor mangsa yang sedang diamati oleh predator. "Ada sesuatu yang harus kamu ketahui," lanjutnya, suaranya terdengar lebih pelan namun tetap tegas. "Ini tentang keluargaku." Alya merasa jantungnya berdebar kencang. Apa maksud Adrian dengan perkataan itu? Apakah ini tentang alasan mengapa ia meminta Alya untuk menjadi istri kontraknya? Dengan hati-hati, ia menjawab, "Apa... apa yang harus aku ketahui?" Adrian menghela napas sejenak, seolah-olah ia sedang mempertimbangkan kata-katanya. "Ayahku sedang dalam kondisi kritis," katanya akhirnya, suaranya terdengar lebih lembut daripada biasanya. "Dokter mengatakan bahwa ia tidak punya banyak waktu lagi." Alya merasa terkejut. Ia tidak pernah membayangkan bahwa ayah Adrian sedang dalam kondisi seperti itu. "Kenapa kamu tidak memberitahuku sebelumnya?" tanyanya dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan rasa cemasnya. Adrian menggeleng pelan. "Aku tidak ingin kamu terlibat dalam masalah keluargaku," katanya dengan nada datar. "Namun, sekarang aku tidak punya pilihan lain. Kamu harus tahu bahwa pernikahan kontrak ini bukan hanya tentang bisnis. Ini juga tentang warisan keluarga." Alya merasa bingung. Apa hubungan antara pernikahan kontrak ini dengan warisan keluarga Adrian? Ia tidak tahu harus berkata apa. "Jika aku tidak menikah sebelum ayahku meninggal," lanjut Adrian, suaranya terdengar lebih tegas kali ini, "aku akan kehilangan kendali atas perusahaan. Ayahku telah membuat kesepakatan dengan para pemegang saham bahwa aku harus menikah untuk mendapatkan hak penuh atas Hartanto Group." Alya merasa napasnya tersengal-sengal. Jadi, inilah alasan sebenarnya mengapa Adrian meminta dirinya untuk menjadi istri kontraknya. Bukan hanya karena tekanan keluarga, tetapi juga karena warisan besar yang terancam hilang. Namun, sebelum Alya bisa bertanya lebih lanjut, Adrian melanjutkan, "Dan ada satu hal lagi yang harus kamu ketahui. Nadine juga memiliki rencana sendiri." Alya merasa tubuhnya membeku. Apa maksud Adrian dengan perkataan itu? Apakah Nadine terlibat dalam rencana ini? "Apa maksudmu?" tanyanya dengan suara gemetar, mencoba menyembunyikan rasa takutnya. Adrian menatap Alya dengan intens. "Nadine ingin mengambil alih posisiku di perusahaan," katanya dengan nada dingin. "Dia sudah lama mengincar kursi CEO Hartanto Group, dan dia akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya." Alya merasa bingung. Apakah Nadine benar-benar memiliki rencana untuk menggulingkan Adrian? Dan jika iya, apa hubungannya dengan dirinya? "Nadine tahu tentang pernikahan kontrak ini," lanjut Adrian, suaranya terdengar lebih pelan. "Dan dia akan mencoba menghentikannya dengan cara apa pun. Itulah sebabnya kamu harus hati-hati." Alya merasa cemas. Ia tidak tahu siapa yang bisa ia percaya lagi. Nadine tampaknya memiliki agenda tersembunyi, dan Adrian juga tidak sepenuhnya jujur padanya. Ia merasa seperti sedang berada di tengah medan perang, dengan musuh yang datang dari segala arah. Namun, sebelum Alya bisa memikirkan hal itu lebih jauh, pintu ruang makan tiba-tiba terbuka lagi. Kali ini, Nadine berdiri di ambang pintu, dengan senyum manis yang terlihat palsu seperti biasa. "Maaf mengganggu," katanya dengan nada ramah, meskipun ada sesuatu dalam matanya yang membuat Alya merasa tidak nyaman. "Aku hanya ingin memberitahu bahwa rapat dengan tim senior akan dimulai dalam sepuluh menit." Adrian mengangguk singkat, lalu menatap Alya sekilas. "Kita akan melanjutkan pembicaraan ini nanti," katanya dengan nada dingin, sebelum meninggalkan ruangan bersama Nadine. Alya merasa tubuhnya membeku di tempat. Ada sesuatu dalam interaksi antara Adrian dan Nadine yang membuatnya merasa tidak tenang. Apakah Nadine tahu tentang rencana pernikahan kontrak ini? Dan jika iya, apa yang akan dilakukan wanita itu? Beberapa jam kemudian, setelah rapat selesai, Alya kembali ke kamarnya dengan perasaan tidak tenang. Ia mencoba fokus pada pekerjaannya, tetapi pikirannya terus-menerus melayang ke percakapan antara Adrian dan Nadine. Apa yang mereka bicarakan? Apakah Nadine mencoba menghentikan rencana pernikahan ini? Dan yang paling penting, apakah Nadine akan melakukan sesuatu untuk memperburuk situasi? Namun, sebelum Alya bisa memikirkan hal itu lebih jauh, telepon di mejanya berdering. Saat ia mengangkatnya, suara Nadine terdengar dari seberang. "Alya," kata wanita itu dengan nada manis namun dingin, "aku ingin ngobrol sebentar denganmu. Bisa bertemu di pantry?" Alya merasa tubuhnya menegang. Mengapa Nadine ingin berbicara dengannya? Apakah wanita itu tahu tentang pernikahan kontrak ini? Dengan hati-hati, ia menjawab, "Baik, aku akan ke sana sekarang." Saat Alya tiba di pantry, Nadine sudah menunggunya di sana, dengan senyum yang sama manis namun palsu seperti biasa. "Terima kasih sudah datang," kata Nadine dengan nada ramah, meskipun ada sesuatu dalam matanya yang membuat Alya merasa tidak nyaman. "Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Alya dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya. Nadine tersenyum tipis, lalu berkata, "Aku hanya ingin memastikan bahwa kamu tahu apa yang sedang kamu lakukan. Menikah dengan Adrian bukanlah keputusan yang mudah. Kamu tahu, kan, bahwa dia bukan orang yang baik?" Alya merasa terkejut. Apakah Nadine benar-benar peduli padanya, ataukah wanita itu hanya mencoba menghentikan pernikahan ini karena alasan pribadi? Dengan hati-hati, ia menjawab, "Aku... aku tidak tahu apa yang kamu maksud." Nadine tertawa kecil, suaranya terdengar seperti bisikan dingin. "Oh, ayolah, Alya. Aku tahu segalanya tentang Adrian. Dia bukan orang yang baik. Kamu hanya akan terluka jika terus melanjutkan ini." Alya merasa bingung. Apakah Nadine benar-benar ingin melindunginya, ataukah wanita itu hanya mencoba menghentikan rencana pernikahan ini untuk kepentingannya sendiri? Ia tidak tahu harus mempercayai siapa lagi. Sebelum Alya bisa bertanya lebih lanjut, Nadine melanjutkan, "Aku hanya ingin memperingatkanmu. Jangan biarkan Adrian memanfaatkanmu. Dia hanya memikirkan keuntungannya sendiri." Setelah itu, Nadine berjalan pergi tanpa memberikan kesempatan bagi Alya untuk menjawab. Alya merasa tubuhnya membeku di tempat. Apa yang Nadine katakan benar-benar menghantui pikirannya. Apakah Adrian benar-benar hanya memanfaatkannya? Apakah ia membuat keputusan yang salah? Namun, sebelum Alya bisa memikirkan hal itu lebih jauh, ponselnya berdering lagi. Kali ini, ada pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Pesan itu hanya berisi satu kalimat: "Hati-hati dengan keputusanmu. Semua ada harganya." Alya merasa napasnya tersengal-sengal. Siapa yang mengirim pesan ini? Apakah ini peringatan dari seseorang yang tahu tentang rencana pernikahannya dengan Adrian? Ataukah ini hanya lelucon yang tidak berarti? Pikiran-pikiran ini membuat Alya semakin cemas. Ia tidak tahu siapa yang bisa ia percaya lagi. Nadine tampaknya memiliki rencana sendiri, Adrian terlihat dingin dan sulit dibaca, dan sekarang ada pesan misterius yang membuatnya merasa semakin terjebak. Malam itu, Alya pulang ke kamarnya dengan perasaan gelisah. Ia tahu bahwa ia telah membuat keputusan besar, tetapi ia juga merasa bahwa ia sedang berjalan di atas jalan yang penuh ranjau. Setiap langkah yang ia ambil bisa membawa bencana, tetapi ia tidak punya pilihan lain selain melanjutkan. Namun, pertanyaan terbesar tetap menghantuinya: Apakah ia membuat keputusan yang benar? Apakah Adrian benar-benar bisa dipercaya? Dan yang paling penting, apakah ia bisa bertahan dalam dunia yang keras dan penuh intrik ini? Berikut adalah **cliffhanger baru untuk Bab 7**, yang dirancang khusus untuk menyambungkan dengan narasi Bab 7 dan berbeda dari cliffhanger sebelumnya (Bab 5, 6, dan 8). Cliffhanger ini akan mengikuti alur cerita yang telah dikembangkan di Bab 7, sambil meninggalkan pembaca dengan rasa penasaran yang mendalam. Malam itu, Alya duduk di tepi tempat tidur king-size yang terlalu besar untuknya, merasa seperti seorang bayangan dalam rumah megah yang tidak pernah ia impikan akan menjadi tempat tinggalnya. Suara angin malam yang berdesir melalui jendela besar membuat suasana semakin dingin, meskipun suhu ruangan sudah disesuaikan dengan sempurna oleh sistem pendingin udara otomatis. Ia mencoba membaca buku untuk mengalihkan pikiran dari semua ketegangan yang menekannya, tetapi setiap halaman hanya membuatnya semakin sulit berkonsentrasi. Pikirannya terus-menerus melayang ke Adrian, Nadine, dan rahasia besar tentang keluarga Hartanto yang mulai terungkap. Beberapa jam sebelumnya, Adrian telah memberitahunya tentang kondisi ayahnya yang kritis—sebuah rahasia yang membuat Alya semakin bingung tentang alasan sebenarnya di balik pernikahan kontrak ini. Bukan hanya tentang bisnis atau warisan, tetapi juga tentang tekanan keluarga yang tampaknya lebih kompleks daripada yang ia bayangkan. Namun, ada sesuatu dalam tatapan Adrian yang membuatnya merasa bahwa pria itu belum sepenuhnya jujur padanya. Apakah ada rahasia lain yang disembunyikan Adrian? Atau apakah Nadine benar-benar memiliki agenda sendiri? Saat Alya mencoba memikirkan hal itu lebih jauh, ponselnya tiba-tiba berdering lagi. Kali ini, nomor yang sama dengan pesan misterius sebelumnya muncul di layar. Jantungnya langsung berdebar kencang. Siapa yang mengirim pesan ini? Apa yang mereka inginkan darinya? Dengan tangan gemetar, ia membuka pesan tersebut. Isinya singkat, namun lebih mengancam daripada sebelumnya: "Jangan percaya siapa pun. Mereka semua punya rencana sendiri." Alya merasa tubuhnya membeku. Apa maksud pesan ini? Siapa "mereka" yang dimaksud? Apakah ini tentang Adrian? Ataukah ada orang lain yang terlibat dalam rencana pernikahan kontrak ini tanpa sepengetahuannya? Sebelum ia bisa memikirkan lebih jauh, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka tanpa diketuk. Alya langsung menoleh, jantungnya berdebar lebih kencang. Di ambang pintu, Adrian berdiri dengan ekspresi datar, seolah-olah ia sedang mencoba menyembunyikan sesuatu. "Kenapa lampu masih menyala?" tanyanya dengan nada dingin, matanya menyapu ruangan sebelum akhirnya tertuju pada ponsel di tangan Alya. Alya buru-buru menyembunyikan ponselnya di balik bantal, mencoba menyembunyikan rasa cemasnya. "Aku... aku belum bisa tidur," katanya dengan suara pelan, berusaha menjaga sikapnya tetap tenang. Adrian melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. Ia berjalan mendekati Alya dengan langkah yang terdengar berat di lantai marmer. "Ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya dengan nada tajam, tatapannya menusuk langsung ke mata Alya. Alya merasa napasnya tersengal-sengal. Ia tidak tahu apakah ia harus mengatakan yang sebenarnya atau tidak. "Tidak," jawabnya cepat, mencoba menyembunyikan rasa takutnya. "Aku hanya... sedang membaca." Adrian tampak tidak puas dengan jawaban itu. Ia menatap Alya selama beberapa detik, seolah-olah mencoba membaca pikirannya. "Kamu yakin?" tanyanya lagi, nada suaranya lebih tegas kali ini. Alya mengangguk dengan cepat, meskipun tubuhnya gemetar hebat. "Ya, aku yakin." Namun, Adrian tidak langsung pergi. Sebaliknya, ia berdiri di sana, menatap Alya dengan intensitas yang membuat gadis itu merasa seperti seekor mangsa yang sedang diamati oleh predator. "Jika ada sesuatu yang mengganggumu, kamu harus memberitahuku," katanya dengan nada datar, meskipun ada sesuatu dalam suaranya yang terdengar seperti peringatan. Alya hanya bisa mengangguk lagi, tidak tahu harus berkata apa. Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, Adrian akhirnya berbalik dan meninggalkan ruangan, menutup pintu di belakangnya tanpa suara. Namun, begitu Adrian pergi, Alya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ada sesuatu dalam tatapan Adrian yang membuatnya merasa bahwa pria itu tahu lebih banyak daripada yang ia tunjukkan. Apakah Adrian tahu tentang pesan misterius itu? Atau apakah ia memiliki rencana lain yang belum ia ungkapkan kepada Alya? Saat Alya mencoba menenangkan dirinya, ponselnya berdering lagi. Kali ini, ada panggilan masuk dari nomor yang sama. Jantungnya langsung berdebar kencang. Haruskah ia menjawabnya? Ataukah ia harus mengabaikannya? Setelah ragu-ragu selama beberapa detik, Alya akhirnya menjawab panggilan itu. Suara di seberang terdengar samar-samar, seolah-olah seseorang sedang berbicara dari jarak jauh. "Alya," kata suara itu dengan nada rendah, "kamu harus hati-hati. Adrian tidak seperti yang kamu kira." Alya merasa tubuhnya membeku. "Siapa kamu?" tanyanya dengan suara gemetar, mencoba menyembunyikan rasa takutnya. Suara itu tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ada jeda panjang yang membuat Alya semakin cemas. "Itu tidak penting," kata suara itu akhirnya. "Yang penting adalah kamu tidak boleh mempercayainya sepenuhnya. Dia punya rahasia besar yang bahkan dia sendiri tidak ingin kamu ketahui." Alya merasa bingung. Apa rahasia besar yang dimaksud? Apakah ini hanya lelucon untuk menakut-nakuti dirinya? Atau apakah ada sesuatu yang lebih serius yang sedang terjadi? Sebelum Alya bisa bertanya lebih lanjut, suara itu melanjutkan, "Dan satu lagi—Nadine juga bukan orang yang bisa dipercaya. Dia punya rencana sendiri, dan kamu mungkin akan menjadi korban berikutnya." Panggilan itu tiba-tiba terputus, meninggalkan Alya dengan segudang pertanyaan yang belum terjawab. Ia merasa seperti sedang berada di tengah badai yang tidak bisa ia kendalikan. Semua orang di sekitarnya tampak memiliki agenda tersembunyi, dan ia tidak tahu siapa yang bisa ia percayai. Namun, sebelum Alya bisa memikirkan hal itu lebih jauh, pintu kamarnya kembali terbuka. Kali ini, Nadine berdiri di ambang pintu, dengan senyum manis yang terlihat palsu seperti biasa. "Aku hanya ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja," katanya dengan nada ramah, meskipun ada sesuatu dalam matanya yang membuat Alya merasa tidak nyaman. Alya merasa tubuhnya menegang. Mengapa Nadine ada di sini? Apakah wanita itu tahu tentang pesan misterius itu? Dengan hati-hati, ia menjawab, "Aku baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Nadine tersenyum tipis, lalu melangkah masuk ke dalam kamar. "Aku hanya ingin memperingatkanmu," katanya dengan nada pelan, suaranya terdengar seperti bisikan dingin. "Adrian bukan orang yang bisa dipercaya. Dia hanya memikirkan keuntungannya sendiri." Alya merasa bingung. Apakah Nadine benar-benar peduli padanya, ataukah wanita itu hanya mencoba menghentikan pernikahan ini karena alasan pribadi? Ia tidak tahu harus mempercayai siapa lagi. Sebelum Alya bisa bertanya lebih lanjut, Nadine melanjutkan, "Dan satu lagi—jangan biarkan dirimu terjebak dalam rencana Adrian. Kamu hanya akan terluka jika terus melanjutkan ini." Setelah itu, Nadine berjalan pergi tanpa memberikan kesempatan bagi Alya untuk menjawab. Alya merasa tubuhnya membeku di tempat. Apa yang Nadine katakan benar-benar menghantui pikirannya. Apakah Adrian benar-benar hanya memanfaatkannya? Apakah ia membuat keputusan yang salah? Namun, sebelum Alya bisa memikirkan hal itu lebih jauh, ponselnya berdering lagi. Kali ini, ada pesan masuk dari nomor yang sama. Pesan itu hanya berisi satu kalimat: "Waktu kamu hampir habis. Pilih dengan bijak." Alya merasa napasnya tersengal-sengal. Siapa yang mengirim pesan ini? Apakah ini peringatan dari seseorang yang tahu tentang rencana pernikahannya dengan Adrian? Ataukah ini hanya lelucon yang tidak berarti? Pikiran-pikiran ini membuat Alya semakin cemas. Ia tidak tahu siapa yang bisa ia percaya lagi. Nadine tampaknya memiliki rencana sendiri, Adrian terlihat dingin dan sulit dibaca, dan sekarang ada pesan misterius yang membuatnya merasa semakin terjebak. Namun, sebelum Alya bisa memikirkan hal itu lebih jauh, pintu kamarnya kembali terbuka tanpa diketuk. Kali ini, bukan Adrian atau Nadine yang berdiri di ambang pintu, melainkan seorang pria asing yang tampaknya tidak pernah ia lihat sebelumnya. Pria itu mengenakan setelan hitam rapi dan wajahnya ditutupi topeng hitam yang hanya menyisakan matanya yang tajam. "Siapa kamu?" tanya Alya dengan suara gemetar, mencoba menyembunyikan rasa takutnya. Pria itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia melangkah masuk ke dalam kamar, menutup pintu di belakangnya dengan pelan. Ia mengeluarkan sebuah amplop dari sakunya dan meletakkannya di atas meja kecil di dekat tempat tidur Alya. "Baca ini," katanya dengan nada rendah, suaranya terdengar seperti bisikan yang dingin. Alya merasa tubuhnya membeku. Ia tidak tahu apakah ia harus membuka amplop itu atau tidak. Namun, pria itu tidak memberinya waktu untuk berpikir. Setelah meletakkan amplop itu, ia langsung berbalik dan meninggalkan ruangan, menutup pintu di belakangnya tanpa suara. Alya menatap amplop itu dengan tangan gemetar. Apa isi amplop itu? Apakah ini bagian dari rencana Adrian? Atau apakah ini ancaman dari seseorang yang ingin menghancurkan hidupnya? Setelah ragu-ragu selama beberapa detik, Alya akhirnya membuka amplop itu. Di dalamnya, ada sebuah surat pendek yang hanya berisi satu kalimat: "Jika kamu ingin tahu kebenaran, datanglah ke alamat ini besok malam pukul sepuluh." Di bawah kalimat itu, ada alamat yang tertulis dengan rapi. Alya merasa tubuhnya membeku. Apa yang harus ia lakukan? Apakah ia harus pergi ke alamat itu? Atau apakah ini hanya jebakan untuk menjeratnya? Namun, sebelum Alya bisa memutuskan, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka kembali. Kali ini, seorang pria asing lainnya muncul di ambang pintu, wajahnya sama sekali tidak dikenal oleh Alya. Pria itu mengenakan setelan hitam yang serupa dengan orang yang sebelumnya memberinya amplop. Namun, kali ini, ia tidak membawa amplop—melainkan sebuah pistol yang diarahkan langsung ke kepala Alya. "Jangan bergerak," kata pria itu dengan suara dingin, matanya yang tajam menatap lurus ke arah Alya. "Kamu sudah terlalu banyak tahu." Alya merasa tubuhnya benar-benar membeku. Apa yang sedang terjadi? Mengapa semua orang di sekitarnya tampak ingin menghentikannya? Apakah ini bagian dari rencana Adrian? Atau apakah ada rahasia yang lebih besar yang tidak boleh ia ketahui? Adrian dan Nadine saling bertukar pandang lagi, namun kali ini ada kepanikan yang jelas terlihat di mata mereka. "Apa yang kamu lakukan?" tanya Adrian dengan suara keras, langkahnya maju ke arah pria itu. Pria itu tersenyum dingin, pistolnya tetap teracung pada Alya. "Ini bukan urusanmu, Adrian. Kamu sudah terlalu banyak bermain-main. Sekarang, biarkan aku yang menyelesaikan ini."Malam itu, Alya tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi oleh amplop misterius dan panggilan telepon yang membuatnya semakin cemas. Ia merasa seperti sedang berada di tengah badai yang tidak bisa ia kendalikan, dengan angin kencang yang datang dari segala arah. Amplop itu masih tergeletak di atas meja kecil di dekat tempat tidurnya, seolah-olah menantangnya untuk membuka rahasia yang tersembunyi di dalamnya. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya ragu—apa yang akan ia temukan jika ia pergi ke alamat yang tertulis di surat itu? Apakah ini jebakan? Atau apakah ini satu-satunya cara untuk mengetahui kebenaran? Pagi berikutnya, Alya bangun dengan perasaan lelah yang mendalam. Matahari sudah mulai naik tinggi saat ia tiba di kantor, namun suasana di sana tampak lebih tegang dari biasanya. Para staf senior berkumpul di ruang rapat utama, membahas detail proyek kolaborasi yang semakin kompleks. Alya mencoba fokus pada pekerjaannya, tetapi pikirannya terus-menerus melayang ke amplop mi
Pukul tiga sore, seperti yang dijanjikan, Adrian tiba di apartemen Alya. Tidak seperti biasanya, ia tidak mengenakan setelan jas formal, melainkan pakaian kasual: kemeja hitam lengan panjang yang digulung hingga siku dan celana chino abu-abu. Namun, wajahnya tetap menunjukkan keseriusan yang sulit disembunyikan.Alya berdiri di ruang tamu, memegang secangkir teh yang sejak tadi tidak disentuh. Ia menunggu dengan penuh kecemasan, memikirkan apa yang akan terjadi setelah pertemuan dengan Dito dan amplop cokelat yang kini tersimpan di dalam laci meja kerjanya.“Maaf jika aku datang tiba-tiba,” ujar Adrian sambil berjalan masuk, menutup pintu di belakangnya. “Ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu.”Alya mencoba terlihat tenang meski jantungnya berdetak cepat. “Apa yang ingin kau bicarakan?”Adrian duduk di sofa, mengamati Alya dengan tatapan mendalam. “Alya, aku tahu akhir-akhir ini kau merasa tidak nyaman. Aku bisa melihatnya dari caramu bersikap. Kau selalu tampak gelisah, sep
Matahari pagi menerobos melalui celah tirai, memberikan cahaya lembut di kamar Alya. Namun, ketenangan pagi itu tidak mampu menghapus kegelisahan yang melanda dirinya. Malam sebelumnya meninggalkan jejak yang begitu kuat di pikirannya—kehadiran Dito, ancamannya, dan sikap Adrian yang semakin misterius. Alya memutuskan bahwa ia tidak bisa hanya diam menunggu jawaban dari Adrian. Jika Adrian tidak bersedia membuka rahasianya, maka ia harus mencari tahu sendiri. Sambil duduk di tepi tempat tidur, Alya memandangi ponselnya. Ia menggulir kontak yang ada, hingga akhirnya berhenti pada nama sahabatnya, Karin. Karin adalah orang yang selalu ia andalkan saat hidupnya berada di titik terendah. "Karin, aku butuh bantuanmu," kata Alya segera setelah panggilan tersambung. "Wow, pagi-pagi sudah serius banget. Ada apa, Alya?" tanya Karin, terdengar sedikit bingung. "Aku butuh informasi tentang seseorang. Aku tidak tahu harus mulai dari mana, tapi aku yakin kamu punya cara." "Informasi te
Restoran mewah itu berdiri megah di bawah langit malam yang kelabu, lampu-lampunya bersinar hangat menembus kaca-kaca besar. Adrian dan Alya tiba tepat waktu, mengenakan pakaian formal yang membuat keduanya tampak memukau. Namun, hati Alya penuh dengan kecemasan. Pertemuan kali ini jelas bukan hanya sekadar acara biasa. Adrian membimbing Alya memasuki ruangan privat di lantai atas. Di dalam, sudah ada tiga pria dan satu wanita yang menunggu, semuanya berpakaian mahal dan memancarkan aura otoritas. Tatapan mereka langsung tertuju pada Alya saat ia melangkah masuk bersama Adrian. “Adrian,” sapa salah satu pria, pria paruh baya dengan rambut keperakan yang tampak seperti pemimpin di antara mereka. “Kau datang tepat waktu. Dan ini pasti tunanganmu yang terkenal.” Adrian tersenyum tipis, tetapi tidak menjawab langsung. Ia menarik kursi untuk Alya, memberi isyarat agar ia duduk. Alya mematuhi, meskipun ia bisa merasakan ketegangan di udara. "Perkenalkan, ini Alya," kata Adrian akhirnya.
Alya tidak bisa menghilangkan rasa cemas yang terus menghantuinya sejak makan malam bersama Adrian dan para mitranya. Kata-kata Adrian tadi malam terus terngiang di kepalanya, seakan menjadi alarm yang tak henti-hentinya berdentang.Pagi itu, ia duduk di meja makan, memandangi secangkir kopi yang sudah mulai mendingin. Pikiran Alya melayang-layang, memikirkan semua pengakuan Adrian. Dia adalah kelemahan Adrian. Pernyataan itu terdengar indah sekaligus mengerikan. Apakah cinta mereka cukup kuat untuk bertahan dalam badai yang sedang berkecamuk di sekitar mereka?"Alya," panggil Adrian, membuyarkan lamunannya.Alya mengangkat wajahnya. Adrian berdiri di dekat pintu dengan setelan jas abu-abu gelap yang membuatnya terlihat lebih berwibawa dari biasanya. Namun, ada lingkaran hitam di bawah matanya, tanda bahwa dia juga tidak tidur nyenyak."Aku harus pergi ke kantor," katanya. "Tapi aku sudah memerintahkan sopir untuk mengantarmu ke butik sore ini. Aku ingin kau memilih pakaian baru untuk
Alya berjalan menyusuri trotoar yang sepi, mencoba mengatur napasnya yang tidak beraturan. Angin malam menusuk kulitnya, tetapi itu tidak sebanding dengan rasa dingin yang menguasai hatinya. Amplop yang tadi ia buka masih tergenggam erat di tangannya, seolah menjadi bukti nyata bahwa hidupnya tidak lagi sama.Di kejauhan, suara kendaraan dan hiruk pikuk kota terdengar samar, tetapi pikiran Alya terlalu bising untuk memproses apa pun. Wajah Adrian, pria yang ia percayai sepenuhnya, terus muncul di benaknya. Apakah semua ini kebohongan? Apakah seluruh perasaan yang ia bangun hanyalah sandiwara belaka?Alya berhenti di depan sebuah taman kecil, duduk di bangku kayu yang basah oleh embun malam. Tangannya bergetar saat membuka kembali amplop itu, memeriksa dokumen yang tadi membuatnya terpukul.Ada foto-foto Adrian bersama pria-pria berjas hitam, berdiri di depan pabrik yang terlihat seperti fasilitas ilegal. Beberapa dokumen menunjukkan aliran dana yang mencurigakan ke rekening luar neger
Alya terbangun di pagi hari dengan perasaan berat. Tidurnya semalam tidak nyenyak. Ingatan tentang pertemuan dengan pria misterius itu terus mengganggunya. Ia merasa seperti sedang bermain dalam permainan yang aturannya tidak ia pahami.Setelah mempersiapkan diri, Alya melangkah keluar dari apartemennya. Udara pagi terasa dingin, seolah-olah menyatu dengan kecemasan yang menghantui dirinya. Langkah kakinya menuju ke kantor Adrian terasa lebih lambat dari biasanya, seakan ada sesuatu yang menahannya.Ketika tiba di lobi gedung, senyum para resepsionis menyambutnya seperti biasa. Namun, di balik senyum itu, Alya merasa seperti ada bisikan-bisikan yang membicarakannya. Entah mengapa, ia merasa semua mata tertuju padanya.“Selamat pagi, Nona Alya,” sapa seorang resepsionis. “Tuan Adrian sudah menunggu Anda di ruangannya.”Alya mengangguk, membalas senyum tipis, lalu melangkah menuju lift. Di dalam lift, ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri.Setibanya di lantai kantor Adrian
Alya memandangi layar ponselnya dengan tatapan kosong, sementara pikirannya dipenuhi oleh berbagai pertanyaan yang semakin membingungkan. Pesan singkat itu terasa seperti sebuah peringatan yang datang dari tempat gelap yang tidak ia pahami. "Kebenaran ada di kontrak itu. Jika kau ingin tahu siapa Adrian sebenarnya, jangan percaya kata-katanya." Kata-kata itu terus berulang di pikirannya, seperti gema yang tak kunjung berhenti. Jantungnya berdetak lebih cepat, dan ia bisa merasakan aliran adrenalin membanjiri tubuhnya. Ada sesuatu yang sangat salah, dan pesan ini hanya mempertegas perasaan itu. Namun, siapa yang mengirimnya? Dan mengapa mereka begitu yakin bahwa Adrian sedang menyembunyikan sesuatu darinya? Dengan tangan gemetar, Alya membuka pesan itu sekali lagi, memastikan bahwa ia tidak salah membaca. Nomor pengirimnya tidak dikenal, hanya deretan angka yang asing dan tak terlacak. Ia mencoba menelepon nomor itu, tetapi tidak ada jawaban. Panggilannya langsung masuk ke pesan sua
Alya menggenggam kemudi erat-erat, matanya menatap lurus ke depan sementara pikirannya berkecamuk. Jalanan malam yang sepi membentang di depannya, hanya diterangi oleh cahaya lampu jalan yang berpendar suram. Napasnya sedikit memburu, bukan karena ketakutan, tetapi karena antisipasi yang menggelitik dadanya. Pelabuhan lama. Tempat itu selalu menjadi perbincangan orang-orang, terkenal karena kisah-kisah kelam yang menyelimutinya. Tempat bagi mereka yang ingin menyembunyikan sesuatu, tempat pertemuan bagi orang-orang yang tidak ingin diketahui keberadaannya. Pikirannya masih melayang ke Adrian. Tatapan pria itu saat memergokinya tadi masih terukir jelas dalam ingatannya. Ketidakpercayaan, kemarahan, dan sesuatu yang lain—sesuatu yang tidak dapat Alya artikan dengan pasti. Tapi yang jelas, Adrian tidak menyukai kepergiannya. Tapi ia tidak peduli. Ada hal yang lebih penting yang harus ia lakukan saat ini. Setelah beberapa menit berkendara, ia akhirnya sampai di lokasi yang dituju. Pel
Hujan rintik-rintik mengguyur kota malam itu, seolah menjadi saksi bisu atas kekacauan yang baru saja terjadi. Alya duduk di tepi ranjangnya, matanya terpaku pada lantai kayu yang dingin. Suasana hatinya serupa badai, penuh dengan kekhawatiran dan pertanyaan yang tak terjawab.Wanita yang mengaku sebagai istri Adrian telah meninggalkan ruangan itu dengan senyuman penuh arti, menyisakan kebisuan yang menghantui. Adrian, seperti biasanya, memilih untuk tidak memberikan penjelasan apa pun. Hanya keheningan yang membuat Alya semakin tenggelam dalam labirin pikirannya.Namun malam itu berbeda. Alya tidak bisa lagi menelan diam Adrian seperti sebelumnya. Selama ini, ia telah mengorbankan banyak hal untuk hubungan yang penuh teka-teki ini, tetapi kehadiran wanita itu memecahkan sesuatu dalam dirinya. Ia tidak lagi bisa bersikap pasrah.Langkah kaki Adrian terdengar mendekat. Pintu kamar mereka terbuka perlahan, memperlihatkan sosok pria itu dengan wajah yang penuh dengan ketegangan. Ia berdi
Alya memejamkan matanya, merasakan setiap helai udara yang dingin menyentuh kulitnya. Seluruh tubuhnya masih gemetar, bukan hanya karena hawa malam yang menusuk, tetapi juga akibat dari perasaan yang meluap-luap dalam hatinya. Kata-kata Adrian, pria yang selama ini ia anggap penyelamat sekaligus penjaranya, terus terngiang di benaknya.Langkah-langkah kecil Alya terdengar lemah saat ia melintasi koridor panjang rumah itu. Masing-masing langkahnya terasa berat, seolah ada rantai tak kasat mata yang mengikat kakinya. Tatapannya kosong, tapi pikirannya penuh. Suara Adrian, perasaan pengkhianatan, dan wajah pria asing yang tiba-tiba muncul malam itu bercampur menjadi satu, menciptakan badai dalam hatinya.Ketika tiba di kamarnya, Alya mengunci pintu dan menyandarkan tubuhnya di baliknya. Nafasnya memburu, dan ia mencoba menenangkan dirinya. Namun, pikirannya kembali mengarah pada wajah Adrian—wajah yang penuh dengan kepedihan, penyesalan, dan cinta yang membingungkan."Apa yang sebenarnya
Alya berdiri di depan cermin besar di kamar mereka, matanya masih basah oleh air mata yang tak kunjung berhenti. Pikirannya penuh dengan kebenaran pahit yang baru saja ia temukan. Dokumen-dokumen itu masih berserakan di atas meja, seperti hantu yang terus mengejarnya. Setiap kata yang ia baca terasa seperti belati yang menusuk jantungnya berulang kali.Adrian, lelaki yang ia percayai, lelaki yang ia cintai, ternyata menyimpan rahasia yang begitu mengerikan. Rahasia yang bukan hanya menghancurkan kepercayaannya, tetapi juga seluruh kehidupannya. Alya menggigit bibirnya, mencoba menahan isak yang semakin keras. Namun, tubuhnya bergetar hebat, tangannya mengepal dengan kekuatan yang hampir melukai dirinya sendiri.Adrian berdiri di ambang pintu, diam dan penuh kehancuran. Tatapannya kosong, tapi wajahnya jelas menunjukkan penderitaan yang tak kalah dalam dari Alya. Ia ingin mendekat, ingin memeluk Alya, tapi langkahnya terasa begitu berat. Jarak di antara mereka kini lebih lebar dari sam
Denting jam di dinding terasa begitu menggema di ruangan yang sunyi. Alya duduk di sudut ruangan dengan tubuh gemetar, tangannya mencengkeram dokumen yang baru saja ia baca. Kata-kata dalam dokumen itu seakan menampar kenyataan yang selama ini ia pikir aman dan terkendali. Ia menatap Adrian dengan tatapan penuh kebingungan, namun lelaki itu tampak membisu, seolah waktu telah berhenti di antara mereka. "Apa maksud semua ini, Adrian?" Alya akhirnya bertanya dengan suara bergetar, mencoba mencari jawaban dari tatapan lelaki itu. "Kenapa semua ini terasa seperti jebakan yang kau buat sendiri?" Adrian tidak langsung menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke jendela, menatap langit malam yang kelam seakan mencari kekuatan di balik kegelapan itu. Sorot matanya menyiratkan campuran rasa bersalah, kemarahan, dan ketakutan. "Aku tidak pernah menginginkan ini terjadi," katanya pelan, suaranya hampir seperti bisikan yang terbawa angin. "Jadi, kau tahu tentang ini?" Alya mendesak, nadanya meni
Hujan mengguyur deras di luar jendela, menciptakan simfoni yang menenangkan sekaligus penuh kecemasan di hati Alya. Ia duduk di sofa ruang kerja Adrian, tangannya menggenggam secangkir teh yang kini sudah mulai mendingin. Tatapannya terpaku pada tumpukan dokumen di meja Adrian, dokumen-dokumen yang sebagian besar bertuliskan nama yang tidak ia kenal.Adrian, yang biasanya begitu tenang dan terkendali, terlihat berbeda malam ini. Ia berjalan bolak-balik di ruang kerja dengan raut wajah tegang. Bibirnya terkatup rapat, seolah-olah ia sedang mencoba menahan kata-kata yang tak ingin diucapkan.“Adrian...” panggil Alya, suaranya terdengar ragu. “Ada apa sebenarnya? Kau tampak gelisah.”Adrian menghentikan langkahnya, menatapnya sejenak dengan tatapan yang sulit diartikan. “Ini bukan sesuatu yang perlu kau khawatirkan, Alya,” jawabnya, mencoba terdengar meyakinkan.Namun, Alya tahu lebih baik daripada percaya pada kata-kata itu. Selama beberapa minggu terakhir, ia telah belajar membaca emos
Ruangan itu diterangi oleh lampu gantung kristal yang memancarkan kilau lembut, menciptakan bayangan samar di dinding. Alya berdiri di sudut ruangan, jantungnya berdegup cepat. Gaun hitam panjang yang ia kenakan malam itu menonjolkan keanggunannya, tetapi juga membuatnya merasa rentan di tengah keramaian. Semua mata seolah tertuju padanya, atau lebih tepatnya, pada pria yang kini berdiri di sampingnya—Adrian.Pria itu mengenakan setelan jas yang sempurna, dengan dasi sutra yang senada dengan warna mata tajamnya. Senyum kecil yang menghiasi bibirnya seperti sebuah peringatan tersembunyi, membuat siapa pun yang menatapnya berpikir dua kali sebelum mendekat. Namun, Alya tahu bahwa senyum itu adalah bagian dari topeng yang Adrian kenakan. Di balik itu, ada badai yang siap menghancurkan siapa saja yang berani menantangnya.“Tenanglah,” bisik Adrian di telinganya, suaranya rendah tetapi penuh otoritas. “Ini hanya pesta.”Alya mengangguk pelan, meskipun tubuhnya kaku. “Hanya pesta?” tanyanya
Alya berdiri di depan cermin besar yang terpajang di sudut kamar. Kilauan lampu remang menyentuh kulitnya yang tampak bersinar, seolah membungkusnya dalam suasana yang memancarkan kemewahan dan ketegangan. Gaun sutra biru tua yang ia kenakan membalut tubuhnya dengan sempurna, setiap lekuknya diperlihatkan tanpa berlebihan. Namun, bukan penampilannya yang membuatnya terdiam di depan cermin. Pikirannya melayang pada kejadian-kejadian yang baru saja terjadi, terutama saat Adrian memandangnya dengan sorot mata yang tak biasa.“Apa yang sebenarnya dia pikirkan?” gumamnya pelan, suaranya hampir tidak terdengar di tengah heningnya ruangan. Ia teringat bagaimana Adrian, yang biasanya dingin dan tak tersentuh, tiba-tiba berubah menjadi sosok yang berbeda saat mereka berada di ruang makan tadi.Adrian, dengan jas hitam yang begitu rapi, terlihat seperti seorang raja di tengah kerajaan kecilnya. Tatapan tajamnya, senyum simpul yang sesekali muncul, dan caranya mengamati Alya—semuanya membuatnya
Cahaya pagi menyelinap perlahan melalui celah tirai, memantulkan bayangan samar di dinding kamar yang hening. Alya masih terbaring di ranjang, matanya tertutup, tetapi tubuhnya terasa lelah meski semalam ia memejamkan mata lebih lama dari biasanya. Dalam kepalanya, berbagai potongan kejadian terus berputar, membuat dadanya terasa sesak.Suara ketukan pintu yang lembut membangunkannya. Ia membuka mata dengan perlahan, membiarkan pandangannya beradaptasi dengan cahaya yang mulai memenuhi ruangan. Hanya beberapa detik berlalu sebelum ia menyadari bahwa ketukan itu berasal dari Adrian.“Alya, aku perlu bicara,” suara Adrian terdengar lebih tegas dari biasanya, seperti seseorang yang mencoba menutupi gejolak emosi di dalam dirinya.Alya bangkit dari ranjang, merapikan rambutnya yang sedikit kusut dengan jari-jarinya. Tanpa banyak berpikir, ia berjalan ke arah pintu dan membukanya. Di sana berdiri Adrian, mengenakan kemeja hitam yang membuat aura maskulinnya semakin mencolok. Matanya yang t