Alya terbangun dengan rasa gelisah yang tidak ia pahami. Cahaya pagi menyelinap masuk melalui tirai jendela, tetapi sinar itu tidak membawa ketenangan. Semalam, pikirannya terus dikepung oleh pesan misterius dan perasaan bahwa seseorang mengawasinya.
Saat ia bersiap untuk turun ke ruang makan, Adrian sudah tidak ada di kamar. Mungkin ia sudah pergi ke kantor atau sedang mengurus urusan penting lainnya. Alya merasa lega sekaligus kesal. Lega karena ia bisa memiliki waktu sendiri untuk berpikir, tetapi kesal karena Adrian selalu menghilang tanpa penjelasan. Di meja makan, seorang pelayan membawakan sarapan untuknya. “Tuan Adrian meninggalkan pesan untuk Anda, Nyonya,” kata pelayan itu sopan, menyodorkan sebuah amplop kecil. Alya membuka amplop itu dengan cepat. “Alya, aku harus pergi lebih awal untuk pertemuan penting. Tetap di rumah hari ini, dan jangan keluar tanpa pengawalan. Aku akan kembali malam nanti. Adrian.” Pesan itu sederhana, tetapi membuat Alya semakin curiga. Mengapa Adrian begitu ketat mengawasinya akhir-akhir ini? Apa yang sebenarnya ia takutkan? Setelah sarapan, Alya berjalan ke perpustakaan kecil di rumah itu, tempat yang jarang ia kunjungi. Ruangan itu dipenuhi rak-rak kayu yang penuh dengan buku tebal, sebagian besar tentang bisnis dan investasi. Namun, ada sesuatu yang menarik perhatiannya—sebuah buku yang tampak berbeda dari yang lain. Sampulnya berwarna merah tua dengan ukiran emas di bagian tepinya. Ketika Alya menarik buku itu, ia menyadari bahwa buku itu lebih ringan dari yang ia duga. Dan saat ia membuka halaman pertamanya, ia menemukan sesuatu yang mengejutkan—sebuah amplop cokelat yang disisipkan di antara halaman-halaman buku itu. Tangannya gemetar saat ia membuka amplop itu. Di dalamnya, ada beberapa dokumen dan foto. Salah satu foto itu menunjukkan Adrian sedang bersama seorang wanita yang Alya tidak kenal. Mereka tampak akrab, bahkan intim. Alya merasa dadanya sesak. Siapa wanita itu? Dan mengapa Adrian menyimpan foto ini? Namun, sebelum ia sempat memikirkan lebih jauh, pandangannya jatuh pada dokumen yang menyertainya. Itu adalah kontrak bisnis yang ditandatangani oleh Adrian dan seorang pria bernama Wijaya. Nama itu langsung mengingatkan Alya pada pria yang ia temui saat makan malam beberapa hari yang lalu. Ketegangan mulai membangun di dalam dirinya. Apa hubungan Adrian dengan Wijaya? Dan mengapa dokumen ini disembunyikan? Saat Alya mencoba mencerna semuanya, suara langkah kaki terdengar dari luar pintu perpustakaan. Ia buru-buru menyimpan kembali amplop itu di tempatnya dan mencoba terlihat santai. Seorang pelayan muncul di pintu. “Nyonya Alya, ada tamu yang ingin bertemu dengan Anda.” “Tamu?” Alya bertanya, bingung. “Siapa?” Pelayan itu tampak ragu sejenak sebelum menjawab, “Ia memperkenalkan dirinya sebagai Pak Wijaya.” Alya merasa jantungnya hampir berhenti. Mengapa pria itu datang ke sini? Dan apa yang ia inginkan? Dengan langkah yang penuh keraguan, Alya menuju ruang tamu. Di sana, Pak Wijaya sudah duduk dengan santai, memegang secangkir kopi yang disediakan pelayan. Senyumannya penuh arti saat melihat Alya masuk. “Selamat pagi, Nona Alya,” katanya dengan nada yang terlalu ramah. “Maaf jika kedatangan saya mengganggu.” Alya mencoba menenangkan dirinya dan duduk di sofa di seberang pria itu. “Tidak apa-apa, Pak Wijaya. Ada yang bisa saya bantu?” Pak Wijaya mengangguk pelan, tetapi matanya terus mengamati Alya dengan tajam. “Saya hanya ingin mengenal Anda lebih baik. Adrian sangat tertutup tentang kehidupan pribadinya, tetapi saya selalu percaya bahwa kita harus memahami semua orang di sekitar kita.” Alya tidak menjawab, mencoba membaca maksud di balik kata-kata pria itu. “Tentu saja, ada hal lain yang ingin saya bicarakan,” lanjutnya, nada suaranya menjadi lebih serius. “Adrian dan saya memiliki hubungan bisnis yang cukup rumit. Saya yakin Anda tahu itu.” Alya mengangguk pelan, meskipun ia sebenarnya tidak tahu apa-apa. “Dan dalam dunia bisnis, kepercayaan adalah segalanya,” tambah Pak Wijaya, menatap Alya dengan intens. “Namun, saya merasa bahwa Adrian menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang penting. Dan mungkin, Anda bisa membantu saya memahami apa itu.” Alya merasa tubuhnya menegang. Ia tahu bahwa percakapan ini adalah jebakan, tetapi ia tidak tahu bagaimana cara keluar darinya tanpa membuat Pak Wijaya curiga. “Saya rasa saya tidak tahu banyak tentang urusan bisnis Adrian,” jawabnya hati-hati. Pak Wijaya tersenyum tipis, seolah sudah menduga jawaban itu. “Tentu saja. Tetapi, jika Anda menemukan sesuatu yang menarik, saya harap Anda mau berbagi dengan saya. Untuk kebaikan kita bersama.” Sebelum Alya sempat menjawab, Pak Wijaya berdiri. “Baiklah, saya tidak ingin mengganggu Anda lebih lama. Saya hanya ingin mengatakan bahwa saya selalu tersedia jika Anda membutuhkan seseorang untuk diajak bicara.” Ia berjalan menuju pintu, tetapi sebelum pergi, ia menoleh kembali ke arah Alya. “Oh, dan satu lagi. Berhati-hatilah, Nona Alya. Tidak semua orang di sekitar Anda adalah teman.” Setelah pria itu pergi, Alya merasa tubuhnya lemas. Kata-kata Pak Wijaya terus terngiang-ngiang di pikirannya. Setelah Pak Wijaya meninggalkan rumah, Alya merasa seperti rumah itu telah kehilangan sebagian besar udaranya. Ia berdiri di ruang tamu dengan tangan yang gemetar, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Kata-kata pria itu terus terngiang di benaknya, menambah kekhawatiran yang sudah ia rasakan sejak menemukan foto dan dokumen aneh di perpustakaan. “Berhati-hatilah, Nona Alya. Tidak semua orang di sekitar Anda adalah teman.” Kalimat itu terasa seperti ancaman terselubung. Tapi dari siapa? Adrian, Pak Wijaya, atau orang lain? Alya berjalan ke kamar, berharap menemukan kedamaian, tetapi pikirannya terus bergejolak. Setiap langkahnya terasa berat, seolah beban yang ia pikul semakin besar. Ketika ia akhirnya tiba di kamar, matanya kembali tertuju pada amplop cokelat yang ia temukan tadi. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Alya menarik amplop itu dari buku tempat ia menyembunyikannya. Kali ini, ia memutuskan untuk membaca setiap dokumen dan memeriksa foto dengan lebih teliti. Foto pertama menunjukkan Adrian bersama seorang wanita muda yang cantik. Wanita itu memiliki rambut panjang berwarna hitam, senyumannya lembut, tetapi ada sesuatu di matanya yang tampak penuh rahasia. “Siapa dia?” Alya berbisik pada dirinya sendiri, mencoba mengingat apakah Adrian pernah menyebutkan seseorang yang cocok dengan deskripsi itu. Namun, tidak ada yang muncul di benaknya. Ia memindahkan pandangannya ke dokumen yang menyertai foto itu. Kali ini, Alya mencoba membaca setiap detailnya. Dokumen itu tampaknya adalah perjanjian bisnis antara Adrian dan Pak Wijaya, tetapi ada beberapa klausul yang tampak aneh. Salah satu klausul itu berbicara tentang “pengalihan kepemilikan aset” yang terkait dengan nama wanita yang ada di foto. “Aset? Apa maksudnya ini?” Alya mengernyit, merasa bahwa ada sesuatu yang jauh lebih besar terjadi di balik layar. Namun, sebelum ia sempat memikirkan lebih jauh, ia mendengar suara pintu depan dibuka. Langkah kaki Adrian yang tegas terdengar di seluruh rumah, membuat Alya buru-buru menyimpan kembali dokumen itu di tempatnya. Adrian muncul di ambang pintu kamar dengan ekspresi serius. “Alya, aku harus berbicara denganmu.” Nada suaranya langsung membuat Alya merasa cemas. “Ada apa?” tanyanya, mencoba terlihat tenang meskipun hatinya berdebar kencang. Adrian mendekat, mengambil tempat di sampingnya. Ia menatap Alya dengan intens, seolah mencoba mencari sesuatu di dalam matanya. “Apa yang Pak Wijaya katakan padamu tadi?” tanyanya, nadanya datar tetapi penuh tekanan. Alya merasa panik sejenak, tetapi ia berusaha menjaga suaranya tetap stabil. “Dia hanya ingin mengenalku lebih baik. Dia bilang kalian punya hubungan bisnis yang rumit.” Adrian menyipitkan matanya, seolah mencoba membaca apakah Alya mengatakan yang sebenarnya. “Dia tidak mengatakan apa-apa lagi?” “Tidak,” jawab Alya singkat. Adrian menghela napas panjang, tetapi Alya bisa melihat bahwa kekhawatiran masih tergambar di wajahnya. Ia tahu bahwa Adrian menyembunyikan sesuatu, tetapi ia juga tahu bahwa menanyakannya secara langsung tidak akan memberikan jawaban yang ia cari. “Pak Wijaya adalah orang yang berbahaya, Alya,” kata Adrian akhirnya. “Aku ingin kamu menjauhinya sebanyak mungkin. Jangan pernah percaya padanya, apa pun yang dia katakan.” Alya ingin bertanya mengapa, tetapi Adrian berdiri sebelum ia sempat membuka mulut. “Aku harus pergi lagi,” katanya. “Ada sesuatu yang harus aku selesaikan.” “Adrian,” panggil Alya dengan suara pelan. Adrian berhenti di pintu, menoleh ke arahnya. “Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang kamu sembunyikan dariku?” Untuk sesaat, Adrian tampak ragu, tetapi akhirnya ia hanya menggeleng. “Aku melakukan ini untuk melindungimu, Alya. Itu saja yang perlu kamu tahu.” Setelah itu, ia pergi, meninggalkan Alya sendirian dengan semua pertanyaannya yang tak terjawab. Malam itu, Alya terjaga di tempat tidur, pikirannya penuh dengan kemungkinan-kemungkinan yang menakutkan. Ia tahu bahwa Adrian sedang menyembunyikan sesuatu darinya—sesuatu yang besar. Dan kini, dengan kehadiran Pak Wijaya, ia merasa bahwa dirinya semakin terjebak dalam permainan yang tidak ia pahami. Saat matanya akhirnya terpejam, ia bermimpi tentang wanita di foto itu. Wanita itu berdiri di sebuah ruangan gelap, memandang Alya dengan mata penuh luka. “Kamu harus mencari kebenarannya,” katanya dengan suara yang menggema. Ketika Alya terbangun, ia sadar bahwa mimpi itu bukan hanya sekadar bunga tidur. Itu adalah peringatan—atau mungkin, sebuah petunjuk. Di sisi tempat tidur, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak ia kenal. “Jika kamu ingin tahu kebenaran, temui aku di kafe Horizon pukul 9 pagi. Jangan beri tahu Adrian.” Alya merasa tubuhnya membeku. Pesan itu bisa menjadi jawaban yang ia cari—atau jebakan yang berbahaya. Tetapi satu hal yang pasti, ia tidak bisa mengabaikannya. Dan dengan itu, langkah pertama Alya menuju kebenaran pun dimulai.Pagi itu, Alya tidak bisa memejamkan mata lebih lama. Pesan yang ia terima malam sebelumnya terus berputar di pikirannya. Si pengirim pesan, dengan jelas, tahu bahwa Alya tengah terjebak dalam dilema. Dan fakta bahwa pesan itu melarangnya memberi tahu Adrian, membuatnya semakin waspada.Alya duduk di meja makan dengan segelas kopi yang nyaris tidak tersentuh. Adrian, seperti biasa, sudah berangkat pagi-pagi sekali tanpa banyak penjelasan. Hal itu membuatnya sedikit lega, karena ia tidak perlu berbohong tentang rencana yang akan ia lakukan.Namun, sebuah pertanyaan besar terus menghantuinya: Apakah ia bisa mempercayai pengirim pesan itu? Bagaimana jika ini hanya salah satu dari jebakan yang Adrian maksudkan?Menepis keraguan yang terus menggerogoti pikirannya, Alya memutuskan untuk pergi ke kafe Horizon. Ia perlu tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi, dan ia tahu bahwa hanya dengan mencari jawaban sendirilah ia bisa mengatasi perasaan tidak pasti ini.Di Kafe HorizonTepat pukul semb
Pukul tiga sore, seperti yang dijanjikan, Adrian tiba di apartemen Alya. Tidak seperti biasanya, ia tidak mengenakan setelan jas formal, melainkan pakaian kasual: kemeja hitam lengan panjang yang digulung hingga siku dan celana chino abu-abu. Namun, wajahnya tetap menunjukkan keseriusan yang sulit disembunyikan.Alya berdiri di ruang tamu, memegang secangkir teh yang sejak tadi tidak disentuh. Ia menunggu dengan penuh kecemasan, memikirkan apa yang akan terjadi setelah pertemuan dengan Dito dan amplop cokelat yang kini tersimpan di dalam laci meja kerjanya.“Maaf jika aku datang tiba-tiba,” ujar Adrian sambil berjalan masuk, menutup pintu di belakangnya. “Ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu.”Alya mencoba terlihat tenang meski jantungnya berdetak cepat. “Apa yang ingin kau bicarakan?”Adrian duduk di sofa, mengamati Alya dengan tatapan mendalam. “Alya, aku tahu akhir-akhir ini kau merasa tidak nyaman. Aku bisa melihatnya dari caramu bersikap. Kau selalu tampak gelisah, sep
Matahari pagi menerobos melalui celah tirai, memberikan cahaya lembut di kamar Alya. Namun, ketenangan pagi itu tidak mampu menghapus kegelisahan yang melanda dirinya. Malam sebelumnya meninggalkan jejak yang begitu kuat di pikirannya—kehadiran Dito, ancamannya, dan sikap Adrian yang semakin misterius. Alya memutuskan bahwa ia tidak bisa hanya diam menunggu jawaban dari Adrian. Jika Adrian tidak bersedia membuka rahasianya, maka ia harus mencari tahu sendiri. Sambil duduk di tepi tempat tidur, Alya memandangi ponselnya. Ia menggulir kontak yang ada, hingga akhirnya berhenti pada nama sahabatnya, Karin. Karin adalah orang yang selalu ia andalkan saat hidupnya berada di titik terendah. "Karin, aku butuh bantuanmu," kata Alya segera setelah panggilan tersambung. "Wow, pagi-pagi sudah serius banget. Ada apa, Alya?" tanya Karin, terdengar sedikit bingung. "Aku butuh informasi tentang seseorang. Aku tidak tahu harus mulai dari mana, tapi aku yakin kamu punya cara." "Informasi te
Restoran mewah itu berdiri megah di bawah langit malam yang kelabu, lampu-lampunya bersinar hangat menembus kaca-kaca besar. Adrian dan Alya tiba tepat waktu, mengenakan pakaian formal yang membuat keduanya tampak memukau. Namun, hati Alya penuh dengan kecemasan. Pertemuan kali ini jelas bukan hanya sekadar acara biasa. Adrian membimbing Alya memasuki ruangan privat di lantai atas. Di dalam, sudah ada tiga pria dan satu wanita yang menunggu, semuanya berpakaian mahal dan memancarkan aura otoritas. Tatapan mereka langsung tertuju pada Alya saat ia melangkah masuk bersama Adrian. “Adrian,” sapa salah satu pria, pria paruh baya dengan rambut keperakan yang tampak seperti pemimpin di antara mereka. “Kau datang tepat waktu. Dan ini pasti tunanganmu yang terkenal.” Adrian tersenyum tipis, tetapi tidak menjawab langsung. Ia menarik kursi untuk Alya, memberi isyarat agar ia duduk. Alya mematuhi, meskipun ia bisa merasakan ketegangan di udara. "Perkenalkan, ini Alya," kata Adrian akhirnya.
Alya tidak bisa menghilangkan rasa cemas yang terus menghantuinya sejak makan malam bersama Adrian dan para mitranya. Kata-kata Adrian tadi malam terus terngiang di kepalanya, seakan menjadi alarm yang tak henti-hentinya berdentang.Pagi itu, ia duduk di meja makan, memandangi secangkir kopi yang sudah mulai mendingin. Pikiran Alya melayang-layang, memikirkan semua pengakuan Adrian. Dia adalah kelemahan Adrian. Pernyataan itu terdengar indah sekaligus mengerikan. Apakah cinta mereka cukup kuat untuk bertahan dalam badai yang sedang berkecamuk di sekitar mereka?"Alya," panggil Adrian, membuyarkan lamunannya.Alya mengangkat wajahnya. Adrian berdiri di dekat pintu dengan setelan jas abu-abu gelap yang membuatnya terlihat lebih berwibawa dari biasanya. Namun, ada lingkaran hitam di bawah matanya, tanda bahwa dia juga tidak tidur nyenyak."Aku harus pergi ke kantor," katanya. "Tapi aku sudah memerintahkan sopir untuk mengantarmu ke butik sore ini. Aku ingin kau memilih pakaian baru untuk
Alya berjalan menyusuri trotoar yang sepi, mencoba mengatur napasnya yang tidak beraturan. Angin malam menusuk kulitnya, tetapi itu tidak sebanding dengan rasa dingin yang menguasai hatinya. Amplop yang tadi ia buka masih tergenggam erat di tangannya, seolah menjadi bukti nyata bahwa hidupnya tidak lagi sama.Di kejauhan, suara kendaraan dan hiruk pikuk kota terdengar samar, tetapi pikiran Alya terlalu bising untuk memproses apa pun. Wajah Adrian, pria yang ia percayai sepenuhnya, terus muncul di benaknya. Apakah semua ini kebohongan? Apakah seluruh perasaan yang ia bangun hanyalah sandiwara belaka?Alya berhenti di depan sebuah taman kecil, duduk di bangku kayu yang basah oleh embun malam. Tangannya bergetar saat membuka kembali amplop itu, memeriksa dokumen yang tadi membuatnya terpukul.Ada foto-foto Adrian bersama pria-pria berjas hitam, berdiri di depan pabrik yang terlihat seperti fasilitas ilegal. Beberapa dokumen menunjukkan aliran dana yang mencurigakan ke rekening luar neger
Alya terbangun di pagi hari dengan perasaan berat. Tidurnya semalam tidak nyenyak. Ingatan tentang pertemuan dengan pria misterius itu terus mengganggunya. Ia merasa seperti sedang bermain dalam permainan yang aturannya tidak ia pahami.Setelah mempersiapkan diri, Alya melangkah keluar dari apartemennya. Udara pagi terasa dingin, seolah-olah menyatu dengan kecemasan yang menghantui dirinya. Langkah kakinya menuju ke kantor Adrian terasa lebih lambat dari biasanya, seakan ada sesuatu yang menahannya.Ketika tiba di lobi gedung, senyum para resepsionis menyambutnya seperti biasa. Namun, di balik senyum itu, Alya merasa seperti ada bisikan-bisikan yang membicarakannya. Entah mengapa, ia merasa semua mata tertuju padanya.“Selamat pagi, Nona Alya,” sapa seorang resepsionis. “Tuan Adrian sudah menunggu Anda di ruangannya.”Alya mengangguk, membalas senyum tipis, lalu melangkah menuju lift. Di dalam lift, ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri.Setibanya di lantai kantor Adrian
Alya memandangi layar ponselnya dengan tatapan kosong, sementara pikirannya dipenuhi oleh berbagai pertanyaan yang semakin membingungkan. Pesan singkat itu terasa seperti sebuah peringatan yang datang dari tempat gelap yang tidak ia pahami. "Kebenaran ada di kontrak itu. Jika kau ingin tahu siapa Adrian sebenarnya, jangan percaya kata-katanya." Kata-kata itu terus berulang di pikirannya, seperti gema yang tak kunjung berhenti. Jantungnya berdetak lebih cepat, dan ia bisa merasakan aliran adrenalin membanjiri tubuhnya. Ada sesuatu yang sangat salah, dan pesan ini hanya mempertegas perasaan itu. Namun, siapa yang mengirimnya? Dan mengapa mereka begitu yakin bahwa Adrian sedang menyembunyikan sesuatu darinya? Dengan tangan gemetar, Alya membuka pesan itu sekali lagi, memastikan bahwa ia tidak salah membaca. Nomor pengirimnya tidak dikenal, hanya deretan angka yang asing dan tak terlacak. Ia mencoba menelepon nomor itu, tetapi tidak ada jawaban. Panggilannya langsung masuk ke pesan sua
Hujan deras mengguyur kota malam itu, meninggalkan genangan air yang memantulkan lampu jalan yang berkilauan. Suara hujan yang menghantam atap rumah terasa menenangkan, tetapi bagi Alya, malam itu jauh dari kata damai.Ia duduk di tepi ranjangnya, menatap kosong ke arah jendela. Pikirannya kembali pada percakapan yang ia dengar tadi di depan ruang kerja Adrian. Kata-kata itu terus berulang di kepalanya, mengusik hatinya. Apakah ia sudah terlalu percaya pada Adrian? Ataukah selama ini ia hanya melihat sisi yang ingin ia lihat?Handphone di tangannya bergetar. Pesan dari Adrian masuk, tetapi ia ragu untuk membacanya. Ia menatap layar itu cukup lama sebelum akhirnya membuka pesan tersebut."Alya, aku perlu bicara denganmu. Tolong jangan salah paham."Hanya itu isi pesannya. Tidak ada penjelasan. Tidak ada permintaan maaf. Alya menghela napas panjang. Semakin ia mencoba memahami situasi ini, semakin banyak pertanyaan yang muncul di benaknya.Ia ingat kembali ekspresi wajah Adrian saat mer
Alya melangkah keluar dari ruang makan dengan kepala yang penuh pikiran. Suara dentingan alat makan yang sebelumnya terdengar riuh kini terasa seperti gema dari kejauhan. Pertemuan terakhir dengan Adrian—dengan tatapan dingin dan kalimat tajamnya—masih membekas di hati Alya. "Alya, kenapa kamu membiarkan dirimu tenggelam sejauh ini?" bisiknya pada diri sendiri sambil menyandarkan punggung pada dinding koridor. Namun, sebelum ia bisa merenung lebih jauh, suara langkah kaki mendekat. Adrian berdiri di depannya dengan sorot mata yang tidak lagi menunjukkan kebekuan seperti tadi. Kali ini, ada sesuatu yang berbeda—campuran penyesalan dan kebimbangan. "Alya, kita perlu bicara," ujarnya pelan. Alya mengangkat dagunya, berusaha menunjukkan kekuatan, meski hatinya rapuh. "Apa lagi yang ingin kamu katakan, Adrian? Bukankah semuanya sudah jelas?" Adrian menghela napas, wajahnya terlihat lebih lelah daripada biasanya. "Aku tahu aku telah memperlakukanmu dengan cara yang salah. Tapi... a
Adrian memutar otaknya dengan cepat, mencari celah untuk keluar dari situasi yang tampaknya tidak memiliki jalan keluar. Pria-pria bersenjata itu mendekat perlahan, senjata mereka diarahkan langsung kepadanya dan Alya. Dalam kegelapan ruangan yang hanya diterangi oleh kilatan petir dari luar, wajah mereka tampak seperti bayangan kematian yang siap menjemput. Alya berdiri di belakang Adrian, mencoba menahan napas agar tidak membuat suara yang dapat memancing agresi dari para pria tersebut. Tangannya mencengkeram erat lengan Adrian, seolah ia adalah satu-satunya penghalang antara nyawa dan bahaya yang mengintai. Sementara itu, Adrian mencoba menilai situasi di sekelilingnya. Ruangan itu sempit, dipenuhi oleh lemari-lemari kayu tua yang mengeluarkan aroma lapuk. Hanya ada satu jendela kecil di sudut, tetapi tertutup rapat oleh jeruji besi yang tidak mungkin diloloskan tanpa alat. Jalan keluar lainnya adalah pintu yang kini dijaga oleh dua pria dengan senjata. Ia memejamkan mata sejena
Alya berlari di tengah hujan deras, kaki-kakinya terpeleset di jalanan basah. Napasnya terengah-engah, dan detak jantungnya berdetak seperti genderang perang. Flash drive di genggamannya terasa seperti bara panas, tetapi ia tidak melepaskannya. Apa pun yang ada di dalam benda kecil itu, ia tahu bahwa isinya adalah kunci dari semua pertanyaan yang menghantuinya selama ini.Bayangan pria misterius yang tadi menolongnya masih terngiang-ngiang di benaknya. Siapa dia? Mengapa dia rela mempertaruhkan nyawanya demi memberikan flash drive itu? Dan yang lebih membingungkan, mengapa dia menyebut Adrian sebagai satu-satunya orang yang bisa melindunginya?“Adrian…” gumam Alya sambil terus berlari. Wajah pria itu memenuhi pikirannya, bercampur dengan rasa marah, curiga, dan rasa cinta yang sulit ia hilangkan.Langkahnya berhenti mendadak ketika ia mencapai sebuah persimpangan jalan. Di tengah hujan yang semakin deras, Alya mencoba berpikir jernih. Adrian saat ini berada di tempat yang tidak ia ket
Langit malam menampakkan kegelapan yang mencekam. Hujan masih mengguyur deras, menciptakan harmoni yang menyeramkan dengan denting rintik air di atas atap kaca gedung tua tempat Alya kini berada. Tangannya gemetar, memegang dokumen-dokumen yang telah mengubah cara pandangnya terhadap Adrian untuk selamanya. Kata-kata pada lembaran itu membakar ingatannya, meninggalkan luka yang tak kasat mata. Adrian berdiri di seberang ruangan, wajahnya tegang. Udara di antara mereka seperti terhenti, tegang dengan keheningan yang penuh pertanyaan tak terjawab. Tidak ada yang berbicara, seolah-olah kata-kata telah lenyap dari dunia ini, meninggalkan hanya sorotan mata mereka yang saling bertemu dalam pertarungan emosional. "Alya," suara Adrian akhirnya memecah keheningan, berat dan penuh penyesalan. "Kau tidak seharusnya menemukan ini." Alya tertawa pelan, tapi tawanya dipenuhi kepahitan. "Tidak seharusnya? Adrian, aku sudah memberimu kepercayaan penuh, tapi ini? Ini yang kau sembunyikan dariku se
Alya berdiri di depan gedung kosong di Jalan Merpati, tempat yang disebutkan dalam pesan suara misterius itu. Hujan telah berhenti, menyisakan udara dingin yang menggigit kulitnya. Gedung itu tampak suram, dengan jendela-jendela pecah dan pintu kayu yang sudah lapuk oleh waktu. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, hanya suara angin yang berbisik di antara celah-celah bangunan."Ini tempatnya," gumam Alya pada dirinya sendiri, mencoba mengumpulkan keberanian.Ia melangkah masuk, mendapati lorong gelap yang dipenuhi debu dan puing-puing. Setiap langkahnya menggema, menciptakan suasana mencekam yang membuat bulu kuduknya berdiri. Di tangannya, ia menggenggam senter kecil yang diambil dari tasnya. Cahaya redup dari senter itu menyoroti dinding yang dipenuhi grafiti, sebagian besar berupa simbol-simbol yang tidak ia pahami.Tangga menuju lantai tiga tampak rapuh, tetapi Alya tetap melangkah dengan hati-hati. Dalam setiap langkah, ia merasa seperti ada mata yang mengawasinya, meskipun ia tidak
Hujan turun dengan deras malam itu, menciptakan tirai air yang hampir menghalangi pandangan ke luar. Alya berjalan dengan langkah tergesa, menghindari genangan air yang semakin meluas di sepanjang trotoar. Udara dingin menusuk kulitnya, tetapi pikirannya terlalu penuh untuk memedulikan rasa tidak nyaman itu. Amplop cokelat di dalam tasnya seperti beban tak kasatmata yang menarik setiap langkahnya lebih berat.Setiap suara di sekitar, dari deru mobil yang melintas hingga bunyi payung orang-orang di jalan, terasa seperti ancaman. Ia merasa diikuti, meskipun ketika ia menoleh, yang terlihat hanyalah bayangan-bayangan orang berlalu-lalang.Alya memutuskan untuk berhenti sejenak di sebuah kedai kopi kecil di sudut jalan. Tempat itu tampak kosong, hanya diisi beberapa pelanggan yang sibuk dengan minuman panas mereka. Ia memilih meja di sudut ruangan, menghadap ke luar jendela. Pandangannya terpaku pada hujan yang terus mengguyur, tetapi pikirannya jauh dari situ.Ia membuka tasnya perlahan,
Alya melangkah pelan di dalam ruangan yang sepi itu. Suara gemuruh hujan di luar jendela yang retak memberikan suasana yang semakin mencekam. Ruangan itu dingin, aroma debu bercampur dengan bau kayu lapuk menyeruak. Ia memegang amplop cokelat di tangannya, tetapi langkahnya terasa berat. Seolah setiap langkah membawa beban yang tak kasat mata.Perasaan ganjil menyelimuti Alya sejak ia menemukan tempat ini. Sebuah gudang tua di pinggiran kota yang seolah telah lama ditinggalkan. Namun, sesuatu tentang tempat ini terasa salah. Seolah-olah ruangan ini pernah menjadi saksi bisu dari banyak hal yang seharusnya tidak pernah terjadi.Ia berhenti di tengah ruangan, menatap meja kayu besar yang berada di sudut. Di atasnya terdapat tumpukan dokumen, peta, dan foto-foto yang berserakan. Alya tidak tahu harus mulai dari mana. Namun, rasa ingin tahunya lebih kuat daripada rasa takutnya. Ia membuka amplop cokelat itu dan mengeluarkan isinya—selembar surat dengan tulisan tangan Adrian, beberapa lemb
Adrian berlari sekuat tenaga melewati lorong gelap gedung tua itu. Suara hujan deras di luar bercampur dengan suara langkah kakinya yang memantul di lantai beton, menciptakan gema yang menyeramkan. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat, seolah-olah udara dingin di sekitar mencengkeram tubuhnya, membuat napasnya terengah-engah.Ia tidak punya waktu untuk berhenti atau ragu. Informasi yang ia dapatkan beberapa jam sebelumnya cukup untuk membuatnya panik. Alya berada dalam bahaya, dan ia tahu bahwa ini bukan sekadar ancaman biasa. Ini adalah hasil dari semua kesalahan masa lalunya, rahasia yang telah ia sembunyikan begitu rapat mulai terungkap, menyeret Alya ke dalam pusaran kekacauan.Tangannya menggenggam erat senter kecil yang ia bawa. Cahaya kuning redupnya berusaha menembus kegelapan, tetapi hanya mampu menyinari beberapa langkah ke depan. Lorong itu panjang dan sempit, dengan dinding-dinding yang dipenuhi coretan graffiti dan poster-poster lusuh yang sebagian besar suda