Hari-hari berikutnya di rumah Adrian semakin terasa seperti mimpi buruk bagi Alya. Ia merasa seperti sedang berada di tengah badai yang tidak bisa ia kendalikan, dengan angin kencang yang menerpa dari segala arah. Setiap kali ia mencoba menenangkan diri, ada saja hal baru yang membuatnya semakin cemas. Pesan misterius, tatapan dingin Adrian, dan senyum palsu Nadine—semua itu terus menghantuinya, seolah-olah ia sedang ditarik ke dalam pusaran konflik yang tidak pernah ia minta.
Namun, lebih dari semua itu, ada satu masalah besar yang belum Alya selesaikan: keluarganya. Sejak awal, ia telah memutuskan untuk menyembunyikan pernikahan kontrak ini dari mereka. Bagaimana mungkin ia bisa menjelaskan kepada orang tuanya bahwa ia tiba-tiba menikah dengan seorang pria yang hampir tidak mereka kenal? Terlebih lagi, bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa pernikahan ini hanya sebuah kesepakatan bisnis, bukan hubungan yang didasarkan pada cinta? Alya tahu bahwa ia harus berbohong. Ia tidak punya pilihan lain. Jika keluarganya tahu tentang pernikahan kontrak ini, mereka pasti akan menentangnya. Mereka mungkin akan menganggap bahwa ia telah membuat keputusan bodoh atau bahwa ia sedang dimanfaatkan oleh Adrian. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk mengarang cerita bahwa ia tinggal bersama teman lamanya untuk fokus pada pekerjaannya yang baru. Awalnya, keluarganya tampak percaya. Ayah dan ibunya hanya bertanya beberapa kali tentang pekerjaan barunya, tetapi mereka tidak mendesak lebih jauh. Namun, adik laki-lakinya, Raka, tampak lebih curiga. Raka adalah anak muda yang cerdas dan selalu bisa membaca pikiran Alya dengan mudah. Saat mereka berbicara melalui telepon, Raka langsung menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres. "Kak, kamu yakin baik-baik saja?" tanya Raka suatu sore, nada suaranya terdengar khawatir. "Kamu terdengar... berbeda akhir-akhir ini." Alya tersenyum tipis, meskipun ia tahu bahwa Raka tidak bisa melihatnya. "Aku baik-baik saja," jawabnya cepat, mencoba menyembunyikan rasa cemasnya. "Aku hanya sibuk dengan pekerjaan baru." Raka tidak langsung menjawab. Ada jeda panjang yang membuat Alya merasa tidak nyaman. "Aku hanya khawatir," lanjut Raka akhirnya, suaranya terdengar lebih pelan. "Kamu jarang pulang, dan aku tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku." Alya merasa tubuhnya menegang. Apakah Raka sudah mulai curiga? Ia tidak bisa membiarkan adiknya tahu tentang pernikahan kontrak ini. "Tidak ada apa-apa," katanya cepat, mencoba terdengar meyakinkan. "Aku hanya... ingin fokus pada karierku dulu." Raka menghela napas, seolah-olah ia tahu bahwa kakaknya sedang berbohong. Namun, ia tidak menekan lebih jauh. "Baiklah," katanya akhirnya, suaranya terdengar lelah. "Tapi jika ada sesuatu yang mengganggumu, kamu harus memberitahuku. Aku selalu ada untukmu." Alya merasa lega mendengar kata-kata itu, tetapi juga merasa bersalah. Ia tahu bahwa ia sedang membohongi keluarganya, terutama Raka, yang selalu menjadi tempat ia mencurahkan isi hatinya. Namun, ia tidak punya pilihan lain. Ia harus melindungi mereka dari kebenaran yang mungkin akan menyakitkan bagi mereka. Di sisi lain, hidup di rumah Adrian semakin sulit bagi Alya. Ia mencoba beradaptasi dengan rutinitas baru sebagai istri kontrak, tetapi semuanya terasa begitu asing dan tidak alami. Pagi-pagi ia harus bangun lebih awal untuk sarapan bersama Adrian, meskipun pria itu jarang bicara dengannya. Setelah itu, ia harus pergi ke kantor seperti biasa, mencoba menjalani hari-harinya tanpa menunjukkan tanda-tanda ketidaknyamanan. Namun, setiap kali ia melihat tatapan dingin Adrian atau senyum palsu Nadine, ia merasa seperti sedang bermain peran dalam drama yang tidak ia pahami. Adrian sendiri tampak semakin sibuk. Ia sering menghabiskan waktu berjam-jam di ruang kerjanya, berbicara dengan kolega atau menghadiri rapat penting. Kadang-kadang, ia bahkan tidak pulang ke rumah sampai larut malam. Alya merasa seperti tamu di rumah sendiri, seseorang yang hanya ada untuk memenuhi syarat sebagai istri di atas kertas. Namun, meskipun Adrian tampak dingin dan sulit dibaca, ada sesuatu dalam caranya berperilaku yang membuat Alya merasa penasaran. Kadang-kadang, ia menangkap tatapan Adrian yang seolah-olah ingin mengatakan sesuatu, tetapi pria itu selalu menutup dirinya sebelum Alya bisa bertanya lebih jauh. Apakah Adrian benar-benar hanya memanfaatkannya? Atau apakah ada sesuatu yang lebih besar yang belum ia ungkapkan? Sementara itu, Nadine semakin sering muncul di rumah. Wanita itu tampaknya memiliki akses bebas ke rumah Adrian, meskipun Alya tidak tahu apakah itu karena izin Adrian atau karena Nadine memiliki cara lain untuk masuk. Setiap kali Nadine datang, ia selalu mencoba mendekati Alya, berbicara tentang hal-hal ringan seperti cuaca atau acara televisi favorit. Namun, ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Alya merasa tidak nyaman. Seolah-olah Nadine sedang mencoba mendapatkan kepercayaannya, tetapi dengan tujuan yang tidak sepenuhnya baik. "Alya," kata Nadine suatu sore saat mereka bertemu di ruang tamu, "bagaimana perasaanmu tinggal di sini? Apakah kamu sudah terbiasa?" Alya tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa cemasnya. "Ya, aku mulai terbiasa," jawabnya singkat, meskipun ia tahu bahwa itu bukan sepenuhnya benar. Ia masih merasa seperti orang asing di rumah ini. Nadine mengangguk pelan, lalu melanjutkan, "Itu bagus. Tapi jika ada sesuatu yang mengganggumu, kamu bisa memberitahuku. Aku akan membantu." Alya merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan perkataan itu. Mengapa Nadine begitu peduli padanya? Apakah ini hanya cara wanita itu untuk mendapatkan kepercayaannya? Atau apakah ada sesuatu yang lebih besar yang sedang direncanakan? Namun, sebelum Alya bisa bertanya lebih lanjut, Nadine berdiri dari kursinya dan berkata, "Aku harus pergi sekarang. Ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan." Wanita itu tersenyum lagi, lalu meninggalkan ruangan tanpa menoleh ke belakang. Setelah Nadine pergi, Alya merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ada sesuatu dalam percakapan tadi yang membuatnya merasa tidak tenang. Nadine terlalu sering muncul di sekitarnya, seolah-olah wanita itu sedang mengamati setiap gerak-geriknya. Awalnya, Alya mencoba mengabaikan perasaan itu, menganggap bahwa Nadine hanya melakukan tugasnya sebagai sekretaris Adrian. Namun, semakin hari, Nadine tampak semakin tertarik pada Alya, bahkan hingga menanyakan hal-hal kecil yang seharusnya tidak penting. Pada hari Rabu pagi, saat Alya sedang sarapan di meja makan yang luas, Nadine kembali muncul. Kali ini, ia membawa secangkir teh dan meletakkannya di depan Alya dengan senyum manis yang terlihat dipaksakan. "Ini untukmu," katanya, suaranya terdengar ramah namun ada sesuatu yang dingin di balik nada bicaranya. "Kamu pasti lelah bekerja keras akhir-akhir ini." Alya tersenyum tipis, mencoba bersikap sopan meskipun ia merasa curiga. "Terima kasih," jawabnya singkat, tidak yakin apakah ia harus minum teh itu atau tidak. Ia tahu bahwa Nadine bukan orang yang bisa sepenuhnya dipercaya, tetapi ia juga tidak ingin terlihat kasar. Nadine tidak langsung pergi. Sebaliknya, ia duduk di kursi di samping Alya, seolah-olah ia ingin mengobrol lebih lama. "Jadi, bagaimana menurutmu tentang proyek kolaborasi ini?" tanyanya dengan nada santai, meskipun matanya terus-menerus memperhatikan reaksi Alya. Alya mengangkat bahu, berusaha menjaga ekspresinya tetap netral. "Proyeknya cukup menantang, tapi aku yakin kita bisa melakukannya jika semua orang bekerja sama." Nadine tersenyum, tetapi senyum itu tidak sampai ke matanya. "Ya, tentu saja. Tapi aku penasaran... apa kamu sudah bertemu dengan Adrian lagi sejak acara amal itu?" Pertanyaan itu membuat Alya merasa tidak nyaman. Ia tidak tahu apakah Nadine benar-benar ingin tahu atau hanya mencoba menggali informasi. "Tidak," jawabnya dengan cepat, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya. "Aku jarang bertemu dengannya di kantor." Nadine mengangguk, tetapi ada kilatan aneh di matanya, seolah-olah ia tahu sesuatu yang tidak diketahui Alya. "Oh, begitu," katanya pelan, suaranya terdengar seperti bisikan. "Aku hanya bertanya-tanya... apa mungkin kamu salah paham tentangnya." Alya merasa tubuhnya menegang. Apa maksud Nadine dengan perkataan itu? Apakah ia mencoba memberitahunya sesuatu? Ataukah ini hanya cara Nadine untuk memancing reaksi darinya? Sebelum Alya bisa bertanya lebih lanjut, Nadine berdiri dan berkata, "Yah, aku harus kembali bekerja. Terima kasih sudah ngobrol denganku." Wanita itu tersenyum lagi, lalu berjalan pergi tanpa menoleh ke belakang. Alya menatap cangkir teh di mejanya, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ada sesuatu dalam percakapan tadi yang membuatnya merasa tidak tenang. Nadine terlalu banyak bertanya tentang Adrian, dan ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Alya merasa bahwa wanita itu sedang mencoba menyampaikan pesan terselubung. Namun, Alya tidak punya waktu untuk memikirkan hal itu lebih jauh. Beberapa jam kemudian, Adrian memanggilnya ke ruang kerjanya. Ruangan itu besar dan dingin, dengan dinding-dinding yang dipenuhi rak buku mahal dan meja kerja yang terbuat dari kayu solid. Adrian duduk di kursi kepala, dengan ekspresi yang sama dingin seperti biasanya. Ia tampak sedikit lebih santai, tetapi tatapannya tetap tajam dan mengintimidasi. "Alya," kata Adrian dengan nada datar, "aku ingin memastikan bahwa kamu siap untuk menghadapi media minggu depan." Alya merasa terkejut. "Media? Kenapa aku harus menghadapi mereka?" Adrian menghela napas sejenak, seolah-olah ia sedang mempertimbangkan kata-katanya. "Karena pernikahan kontrak ini harus terlihat nyata. Kamu akan menjadi istriku di mata publik, dan aku ingin memastikan bahwa kamu bisa menjalani peran itu dengan baik." Alya merasa cemas. Ia tidak pernah membayangkan bahwa ia harus berhadapan dengan media. Bagaimana mungkin ia bisa meyakinkan orang-orang bahwa ia adalah istri Adrian yang sebenarnya? Ia bahkan tidak tahu apa yang harus dikatakannya. "Jangan khawatir," lanjut Adrian, seolah-olah ia bisa membaca keraguan di wajah Alya. "Aku akan memberimu pelatihan. Kamu hanya perlu mengikuti instruksi yang aku berikan." Alya mengangguk pelan, meskipun ia merasa tidak yakin. Ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan lain selain mengikuti rencana Adrian, tetapi ia juga merasa bahwa ia sedang berjalan menuju sesuatu yang lebih besar dari yang ia bayangkan. Malam itu, Alya duduk di tepi tempat tidur king-size yang terlalu besar untuknya, merasa seperti seorang bayangan dalam rumah megah yang tidak pernah ia impikan akan menjadi tempat tinggalnya. Suara angin malam yang berdesir melalui jendela besar membuat suasana semakin dingin, meskipun suhu ruangan sudah disesuaikan dengan sempurna oleh sistem pendingin udara otomatis. Ia mencoba membaca buku untuk mengalihkan pikiran dari semua ketegangan yang menekannya, tetapi setiap halaman hanya membuatnya semakin sulit berkonsentrasi. Pikirannya terus-menerus melayang ke Adrian, Nadine, dan rahasia besar yang mulai terungkap tentang keluarga Hartanto. Tiba-tiba, ponselnya berdering lagi. Alya meraihnya dengan cepat, berharap itu hanya panggilan biasa atau pesan dari keluarganya. Namun, saat ia melihat layar, nomor yang sama dengan pesan misterius sebelumnya muncul kembali. Jantungnya langsung berdebar kencang. Siapa yang mengirim pesan ini? Apa yang mereka inginkan darinya? Dengan tangan gemetar, ia membuka pesan tersebut. Isinya singkat, namun lebih mengancam daripada sebelumnya: "Jangan percaya siapa pun. Mereka semua punya rencana sendiri." Alya merasa tubuhnya membeku. Apa maksud pesan ini? Siapa "mereka" yang dimaksud? Apakah ini tentang Adrian? Ataukah ada orang lain yang terlibat dalam rencana pernikahan kontrak ini tanpa sepengetahuannya? Sebelum ia bisa memikirkan lebih jauh, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka tanpa diketuk. Alya langsung menoleh, jantungnya berdebar lebih kencang. Di ambang pintu, Adrian berdiri dengan ekspresi datar, seolah-olah ia sedang mencoba menyembunyikan sesuatu. "Kenapa lampu masih menyala?" tanyanya dengan nada dingin, matanya menyapu ruangan sebelum akhirnya tertuju pada ponsel di tangan Alya. Alya buru-buru menyembunyikan ponselnya di balik bantal, mencoba menyembunyikan rasa cemasnya. "Aku... aku belum bisa tidur," katanya dengan suara pelan, berusaha menjaga sikapnya tetap tenang. Adrian melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. Ia berjalan mendekati Alya dengan langkah yang terdengar berat di lantai marmer. "Ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya dengan nada tajam, tatapannya menusuk langsung ke mata Alya. Alya merasa napasnya tersengal-sengal. Ia tidak tahu apakah ia harus mengatakan yang sebenarnya atau tidak. "Tidak," jawabnya cepat, mencoba menyembunyikan rasa takutnya. "Aku hanya... sedang membaca." Adrian tampak tidak puas dengan jawaban itu. Ia menatap Alya selama beberapa detik, seolah-olah mencoba membaca pikirannya. "Kamu yakin?" tanyanya lagi, nada suaranya lebih tegas kali ini. Alya mengangguk dengan cepat, meskipun tubuhnya gemetar hebat. "Ya, aku yakin." Namun, Adrian tidak langsung pergi. Sebaliknya, ia berdiri di sana, menatap Alya dengan intensitas yang membuat gadis itu merasa seperti seekor mangsa yang sedang diamati oleh predator. "Jika ada sesuatu yang mengganggumu, kamu harus memberitahuku," katanya dengan nada datar, meskipun ada sesuatu dalam suaranya yang terdengar seperti peringatan. Alya hanya bisa mengangguk lagi, tidak tahu harus berkata apa. Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, Adrian akhirnya berbalik dan meninggalkan ruangan, menutup pintu di belakangnya tanpa suara. Namun, begitu Adrian pergi, Alya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ada sesuatu dalam tatapan Adrian yang membuatnya merasa bahwa pria itu tahu lebih banyak daripada yang ia tunjukkan. Apakah Adrian tahu tentang pesan misterius itu? Atau apakah ia memiliki rencana lain yang belum ia ungkapkan kepada Alya? Saat Alya mencoba menenangkan dirinya, ponselnya berdering lagi. Kali ini, ada panggilan masuk dari nomor yang sama. Jantungnya langsung berdebar kencang. Haruskah ia menjawabnya? Ataukah ia harus mengabaikannya? Setelah ragu-ragu selama beberapa detik, Alya akhirnya menjawab panggilan itu. Suara di seberang terdengar samar-samar, seolah-olah seseorang sedang berbicara dari jarak jauh. "Alya," kata suara itu dengan nada rendah, "kamu harus hati-hati. Adrian tidak seperti yang kamu kira." Alya merasa tubuhnya membeku. "Siapa kamu?" tanyanya dengan suara gemetar, mencoba menyembunyikan rasa takutnya. Suara itu tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ada jeda panjang yang membuat Alya semakin cemas. "Itu tidak penting," kata suara itu akhirnya. "Yang penting adalah kamu tidak boleh mempercayainya sepenuhnya. Dia punya rahasia besar yang bahkan dia sendiri tidak ingin kamu ketahui." Alya merasa bingung. Apa rahasia besar yang dimaksud? Apakah ini hanya lelucon untuk menakut-nakuti dirinya? Atau apakah ada sesuatu yang lebih serius yang sedang terjadi? Sebelum Alya bisa bertanya lebih lanjut, suara itu melanjutkan, "Dan satu lagi—Nadine juga bukan orang yang bisa dipercaya. Dia punya rencana sendiri, dan kamu mungkin akan menjadi korban berikutnya." Panggilan itu tiba-tiba terputus, meninggalkan Alya dengan segudang pertanyaan yang belum terjawab. Ia merasa seperti sedang berada di tengah badai yang tidak bisa ia kendalikan. Semua orang di sekitarnya tampak memiliki agenda tersembunyi, dan ia tidak tahu siapa yang bisa ia percayai. Namun, sebelum Alya bisa memikirkan hal itu lebih jauh, pintu kamarnya kembali terbuka. Kali ini, Nadine berdiri di ambang pintu, dengan senyum manis yang terlihat palsu seperti biasa. "Aku hanya ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja," katanya dengan nada ramah, meskipun ada sesuatu dalam matanya yang membuat Alya merasa tidak nyaman. Alya merasa tubuhnya menegang. Mengapa Nadine ada di sini? Apakah wanita itu tahu tentang pesan misterius itu? Dengan hati-hati, ia menjawab, "Aku baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Nadine tersenyum tipis, lalu melangkah masuk ke dalam kamar. "Aku hanya ingin memperingatkanmu," katanya dengan nada pelan, suaranya terdengar seperti bisikan dingin. "Adrian bukan orang yang bisa dipercaya. Dia hanya memikirkan keuntungannya sendiri." Alya merasa bingung. Apakah Nadine benar-benar peduli padanya, ataukah wanita itu hanya mencoba menghentikan pernikahan ini karena alasan pribadi? Ia tidak tahu harus mempercayai siapa lagi. Sebelum Alya bisa bertanya lebih lanjut, Nadine melanjutkan, "Dan satu lagi—jangan biarkan dirimu terjebak dalam rencana Adrian. Kamu hanya akan terluka jika terus melanjutkan ini." Setelah itu, Nadine berjalan pergi tanpa memberikan kesempatan bagi Alya untuk menjawab. Alya merasa tubuhnya membeku di tempat. Apa yang Nadine katakan benar-benar menghantui pikirannya. Apakah Adrian benar-benar hanya memanfaatkannya? Apakah ia membuat keputusan yang salah? Namun, sebelum Alya bisa memikirkan hal itu lebih jauh, ponselnya berdering lagi. Kali ini, ada pesan masuk dari nomor yang sama. Pesan itu hanya berisi satu kalimat: "Waktu kamu hampir habis. Pilih dengan bijak." Alya merasa napasnya tersengal-sengal. Siapa yang mengirim pesan ini? Apakah ini peringatan dari seseorang yang tahu tentang rencana pernikahannya dengan Adrian? Ataukah ini hanya lelucon yang tidak berarti? Pikiran-pikiran ini membuat Alya semakin cemas. Ia tidak tahu siapa yang bisa ia percaya lagi. Nadine tampaknya memiliki rencana sendiri, Adrian terlihat dingin dan sulit dibaca, dan sekarang ada pesan misterius yang membuatnya merasa semakin terjebak. Namun, sebelum Alya bisa memikirkan hal itu lebih jauh, pintu kamarnya kembali terbuka tanpa diketuk. Kali ini, bukan Adrian atau Nadine yang berdiri di ambang pintu, melainkan seorang pria asing yang tampaknya tidak pernah ia lihat sebelumnya. Pria itu mengenakan setelan hitam rapi dan wajahnya ditutupi topeng hitam yang hanya menyisakan matanya yang tajam. "Siapa kamu?" tanya Alya dengan suara gemetar, mencoba menyembunyikan rasa takutnya. Pria itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia melangkah masuk ke dalam kamar, menutup pintu di belakangnya dengan pelan. Ia mengeluarkan sebuah amplop dari sakunya dan meletakkannya di atas meja kecil di dekat tempat tidur Alya. "Baca ini," katanya dengan nada rendah, suaranya terdengar seperti bisikan yang dingin. Alya merasa tubuhnya membeku. Ia tidak tahu apakah ia harus membuka amplop itu atau tidak. Namun, pria itu tidak memberinya waktu untuk berpikir. Setelah meletakkan amplop itu, ia langsung berbalik dan meninggalkan ruangan, menutup pintu di belakangnya tanpa suara. Alya menatap amplop itu dengan tangan gemetar. Apa isi amplop itu? Apakah ini bagian dari rencana Adrian? Atau apakah ini ancaman dari seseorang yang ingin menghancurkan hidupnya? Setelah ragu-ragu selama beberapa detik, Alya akhirnya membuka amplop itu. Di dalamnya, ada sebuah surat pendek yang hanya berisi satu kalimat: "Jika kamu ingin tahu kebenaran, datanglah ke alamat ini besok malam pukul sepuluh." Di bawah kalimat itu, ada alamat yang tertulis dengan rapi—sebuah lokasi yang tidak ia kenali, tetapi tampaknya berada di pinggiran kota. Alya merasa tubuhnya membeku. Apa yang harus ia lakukan? Apakah ia harus pergi ke alamat itu? Atau apakah ini hanya jebakan untuk menjeratnya? Namun, sebelum Alya bisa memikirkan hal itu lebih jauh, ponselnya berdering lagi. Kali ini, ada panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Saat ia menjawabnya, suara di seberang terdengar sangat familiar—namun ia tidak bisa mengenali siapa itu. "Alya," kata suara itu dengan nada rendah, "kamu harus datang ke alamat itu. Ini satu-satunya cara untuk mengetahui kebenaran." Alya merasa napasnya tersengal-sengal. Siapa yang berbicara di telepon itu? Dan apa kebenaran yang dimaksud? Panggilan itu tiba-tiba terputus, meninggalkan Alya dengan segudang pertanyaan yang belum terjawab. Ia merasa seperti sedang berada di tengah badai yang tidak bisa ia kendalikan. Semua orang di sekitarnya tampak memiliki agenda tersembunyi, dan ia tidak tahu siapa yang bisa ia percayai. Namun, satu hal yang pasti: ia harus membuat keputusan besar malam ini. Apakah ia akan pergi ke alamat itu? Atau apakah ia akan tetap tinggal dan menghadapi ketidakpastian ini sendirian? Namun, sebelum Alya bisa memutuskan, pintu kamarnya kembali terbuka. Kali ini, Adrian dan Nadine berdiri di ambang pintu bersama-sama, dengan ekspresi yang sulit dibaca. Mereka saling bertukar pandang sejenak, sebelum akhirnya Adrian melangkah masuk dengan langkah mantap. "Alya," katanya dengan nada dingin, "aku tahu kamu sedang menyembunyikan sesuatu." Alya merasa tubuhnya membeku. Apakah Adrian tahu tentang amplop itu? Atau apakah ia telah mengetahui rencana Alya untuk pergi ke alamat misterius itu? Nadine melangkah mendekat, dengan senyum yang terlihat lebih dingin daripada biasanya. "Kamu tidak bisa terus berbohong," katanya dengan nada pelan, seolah-olah ia sedang mencoba membujuk Alya. "Kami tahu segalanya." Alya merasa jantungnya berdebar kencang. Apa yang mereka maksud dengan "segalanya"? Apakah mereka tahu tentang amplop itu? Atau apakah mereka mengetahui sesuatu yang lebih besar? Sebelum Alya bisa bertanya lebih lanjut, Adrian melanjutkan, "Kamu harus memilih sekarang. Apakah kamu akan tetap bersama kami? Atau apakah kamu akan meninggalkan semuanya?" Alya merasa tubuhnya membeku. Apa yang harus ia lakukan? Apakah ia harus mempercayai Adrian dan Nadine? Atau apakah ia harus pergi ke alamat itu untuk menemukan kebenaran? Namun, sebelum Alya bisa menjawab, ponselnya berdering lagi. Kali ini, ada pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Pesan itu hanya berisi satu kalimat: "Kebenaran lebih berbahaya daripada yang kamu bayangkan." Alya merasa napasnya tersengal-sengal. Apa artinya semua ini? Siapa yang bisa ia percaya? Dan yang paling penting, apa yang akan ia temukan jika ia pergi ke alamat itu? Namun, sebelum Alya bisa memutuskan, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka kembali. Kali ini, seorang pria asing lainnya muncul di ambang pintu, wajahnya sama sekali tidak dikenal oleh Alya. Pria itu mengenakan setelan hitam yang serupa dengan orang yang sebelumnya memberinya amplop. Namun, kali ini, ia tidak membawa amplop—melainkan sebuah pistol yang diarahkan langsung ke kepala Alya. "Jangan bergerak," kata pria itu dengan suara dingin, matanya yang tajam menatap lurus ke arah Alya. "Kamu sudah terlalu banyak tahu." Alya merasa tubuhnya benar-benar membeku. Apa yang sedang terjadi? Mengapa semua orang di sekitarnya tampak ingin menghentikannya? Apakah ini bagian dari rencana Adrian? Atau apakah ada rahasia yang lebih besar yang tidak boleh ia ketahui? Adrian dan Nadine saling bertukar pandang lagi, namun kali ini ada kepanikan yang jelas terlihat di mata mereka. "Apa yang kamu lakukan?" tanya Adrian dengan suara keras, langkahnya maju ke arah pria itu. Pria itu tersenyum dingin, pistolnya tetap teracung pada Alya. "Ini bukan urusanmu, Adrian. Kamu sudah terlalu banyak bermain-main. Sekarang, biarkan aku yang menyelesaikan ini." Alya merasa dunia di sekitarnya mulai runtuh. Apa yang sedang terjadi? Kenapa semua orang di sekitarnya tampak memiliki agenda tersembunyi, dan kenapa ia selalu berada di tengah-tengah konflik yang semakin membingungkan? Adrian melangkah maju dengan cepat, mencoba mendekati pria bersenjata itu. "Jangan bodoh," bentak Adrian, suaranya tegas namun ada nada panik yang tidak bisa ia sembunyikan. "Kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan." Pria itu tertawa kecil, suaranya dingin dan menusuk seperti es. "Oh, aku tahu persis apa yang aku lakukan," katanya sambil tetap mengarahkan pistolnya pada Alya. "Dan kau, Adrian, seharusnya sudah tahu bahwa segala sesuatunya akan berakhir seperti ini. Kamu pikir kamu bisa menyembunyikan rahasia keluargamu selamanya?" Alya merasa tubuhnya gemetar hebat. Rahasia keluarga? Apa maksud pria itu? Apakah ini tentang ayah Adrian yang sedang sekarat? Atau apakah ada sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang bahkan Adrian sendiri belum pernah ceritakan padanya? Nadine, yang masih berdiri di ambang pintu, tampak semakin gelisah. Ia melangkah masuk ke dalam kamar, matanya beralih antara pria bersenjata, Adrian, dan Alya. "Ini bukan cara yang tepat," katanya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. "Kita bisa menyelesaikan ini tanpa kekerasan." Pria itu tertawa lagi, kali ini lebih keras. "Tanpa kekerasan? Kau benar-benar naif, Nadine. Setelah semua yang telah terjadi, kau masih berpikir kita bisa menyelesaikan ini dengan damai? Tidak ada jalan lain." Alya merasa napasnya tersengal-sengal. Ia tidak tahu harus percaya siapa lagi. Pria asing ini tampaknya mengetahui banyak hal tentang Adrian dan Nadine, tetapi ia juga tidak bisa memastikan apakah pria itu benar-benar ingin membantunya atau hanya ingin memperburuk situasi. "Kamu tidak perlu melakukan ini," kata Adrian dengan nada yang lebih tenang, meskipun ada ketegangan yang jelas terlihat di wajahnya. "Aku bisa menjelaskan semuanya. Biarkan Alya pergi, dan kita bisa bicara." Pria itu menggeleng pelan, senyum dinginnya masih terpatri di wajahnya. "Terlambat untuk itu, Adrian. Dia sudah terlalu dalam terlibat. Dan kau tahu, begitu dia mengetahui kebenaran, semuanya akan berakhir." Alya merasa jantungnya berdebar kencang. Apa kebenaran yang dimaksud pria itu? Apakah ini tentang pernikahan kontraknya dengan Adrian? Atau apakah ada rahasia lain yang lebih besar—rahasia yang bahkan Adrian sendiri belum pernah ceritakan padanya? Sebelum Alya bisa bertanya lebih lanjut, pria itu melanjutkan, "Dia harus memilih, Adrian. Apakah dia akan tetap tinggal di sisimu dan menghadapi konsekuensinya? Atau apakah dia akan meninggalkanmu dan mencari kebenarannya sendiri?" Alya merasa tubuhnya membeku. Apa yang harus ia lakukan? Apakah ia harus tetap bersama Adrian, meskipun ia tidak yakin apakah pria itu benar-benar bisa dipercaya? Atau apakah ia harus pergi ke alamat misterius yang tertulis di amplop itu, meskipun ia tidak tahu apa yang menunggunya di sana? Namun, sebelum Alya bisa membuat keputusan, pria itu tiba-tiba menurunkan pistolnya sedikit, seolah-olah memberinya waktu untuk memikirkan pilihannya. "Kamu punya waktu lima menit," katanya dengan nada dingin. "Setelah itu, aku tidak bisa menjamin keselamatanmu." Alya merasa tubuhnya gemetar hebat. Lima menit? Bagaimana mungkin ia bisa membuat keputusan sebesar ini dalam waktu yang begitu singkat? Ia menoleh ke arah Adrian, berharap pria itu bisa memberinya jawaban. Namun, Adrian hanya menatapnya dengan mata penuh ketegangan, seolah-olah ia juga tidak tahu apa yang harus dilakukan. Nadine melangkah maju, mencoba mendekati Alya. "Alya," katanya dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. "Kamu harus mempercayaiku. Jangan ikuti pria ini. Dia tidak akan membawamu ke tempat yang aman." Alya merasa bingung. Apakah Nadine benar-benar peduli padanya? Atau apakah wanita itu hanya mencoba menghentikannya agar ia tidak menemukan kebenaran? Pria itu tertawa dingin lagi. "Dengarkan mereka, Alya," katanya dengan nada mengejek. "Mereka hanya ingin melindungi diri mereka sendiri. Mereka tidak peduli padamu." Alya merasa kepalanya penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab. Siapa yang bisa ia percayai? Adrian, yang selalu tampak dingin dan sulit dibaca? Nadine, yang tampaknya memiliki rencana sendiri? Atau pria asing ini, yang mengancamnya dengan pistol tetapi mengklaim bahwa ia bisa membantunya menemukan kebenaran? Namun, sebelum Alya bisa memutuskan, ponselnya berdering lagi. Kali ini, ada pesan masuk dari nomor yang sama dengan sebelumnya. Pesan itu hanya berisi satu kalimat: "Waktu hampir habis. Pilihanmu akan menentukan segalanya." Alya merasa napasnya tersengal-sengal. Apa artinya semua ini? Apakah ia benar-benar harus membuat keputusan sekarang? Dan yang paling penting, apa yang akan terjadi jika ia membuat pilihan yang salah? Namun, sebelum Alya bisa menjawab, pria itu tiba-tiba mengangkat pistolnya lagi, kali ini dengan lebih tegas. "Waktumu habis," katanya dengan suara dingin. "Sekarang, pilih—ikuti aku, atau tetap di sini dan hadapi konsekuensinya." Alya merasa tubuhnya membeku. Apa yang harus ia lakukan? Apakah ia harus mempercayai pria asing ini dan pergi ke alamat misterius itu? Atau apakah ia harus tetap tinggal dan menghadapi ketidakpastian ini bersama Adrian dan Nadine? Namun, sebelum Alya bisa menjawab, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka kembali. Kali ini, seorang pria lain muncul di ambang pintu—seseorang yang tampaknya sangat dikenal oleh Adrian dan Nadine. Pria itu tampak lebih tua, dengan rambut abu-abu dan tatapan tajam yang membuat semua orang di ruangan itu membeku. "Apa yang sedang terjadi di sini?" tanya pria itu dengan suara berat, matanya menyapu ruangan sebelum akhirnya tertuju pada pistol di tangan pria asing itu. Semua orang di ruangan itu terdiam. Bahkan pria bersenjata itu tampak terkejut. "Tuan Hartanto," katanya dengan suara gemetar, pistolnya perlahan-lahan turun. Alya merasa tubuhnya benar-benar membeku. Tuan Hartanto? Apakah ini ayah Adrian? Dan mengapa semua orang tampak takut padanya?Hari-hari berikutnya di rumah Adrian semakin terasa seperti sebuah teka-teki besar bagi Alya. Setiap langkah yang ia ambil dipenuhi dengan ketidakpastian, seolah-olah ia sedang berjalan di atas jembatan rapuh yang bisa runtuh kapan saja. Pesan misterius, tatapan dingin Adrian, dan senyum palsu Nadine terus menghantui pikirannya. Ia merasa seperti sedang berada di tengah badai yang tidak bisa ia kendalikan, dengan angin kencang yang datang dari segala arah. Namun, lebih dari semua itu, ada satu hal yang membuatnya semakin cemas: rahasia besar yang belum terungkap. Alya tahu bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Adrian dan Nadine, tetapi ia tidak tahu apa itu. Ia hanya bisa menduga-duga, mencoba menyatukan potongan-potongan kecil yang ia temukan selama ini. Namun, semakin ia mencoba memahami, semakin ia merasa bingung. Pada hari Senin pagi, Alya duduk di meja makan yang luas, menikmati secangkir teh hangat sambil mencoba fokus pada pekerjaannya. Namun, pikirannya terus-menerus mela
Malam itu, Alya tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi oleh amplop misterius dan panggilan telepon yang membuatnya semakin cemas. Ia merasa seperti sedang berada di tengah badai yang tidak bisa ia kendalikan, dengan angin kencang yang datang dari segala arah. Amplop itu masih tergeletak di atas meja kecil di dekat tempat tidurnya, seolah-olah menantangnya untuk membuka rahasia yang tersembunyi di dalamnya. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya ragu—apa yang akan ia temukan jika ia pergi ke alamat yang tertulis di surat itu? Apakah ini jebakan? Atau apakah ini satu-satunya cara untuk mengetahui kebenaran? Pagi berikutnya, Alya bangun dengan perasaan lelah yang mendalam. Matahari sudah mulai naik tinggi saat ia tiba di kantor, namun suasana di sana tampak lebih tegang dari biasanya. Para staf senior berkumpul di ruang rapat utama, membahas detail proyek kolaborasi yang semakin kompleks. Alya mencoba fokus pada pekerjaannya, tetapi pikirannya terus-menerus melayang ke amplop mi
Pukul tiga sore, seperti yang dijanjikan, Adrian tiba di apartemen Alya. Tidak seperti biasanya, ia tidak mengenakan setelan jas formal, melainkan pakaian kasual: kemeja hitam lengan panjang yang digulung hingga siku dan celana chino abu-abu. Namun, wajahnya tetap menunjukkan keseriusan yang sulit disembunyikan.Alya berdiri di ruang tamu, memegang secangkir teh yang sejak tadi tidak disentuh. Ia menunggu dengan penuh kecemasan, memikirkan apa yang akan terjadi setelah pertemuan dengan Dito dan amplop cokelat yang kini tersimpan di dalam laci meja kerjanya.“Maaf jika aku datang tiba-tiba,” ujar Adrian sambil berjalan masuk, menutup pintu di belakangnya. “Ada hal penting yang ingin kubicarakan denganmu.”Alya mencoba terlihat tenang meski jantungnya berdetak cepat. “Apa yang ingin kau bicarakan?”Adrian duduk di sofa, mengamati Alya dengan tatapan mendalam. “Alya, aku tahu akhir-akhir ini kau merasa tidak nyaman. Aku bisa melihatnya dari caramu bersikap. Kau selalu tampak gelisah, sep
Matahari pagi menerobos melalui celah tirai, memberikan cahaya lembut di kamar Alya. Namun, ketenangan pagi itu tidak mampu menghapus kegelisahan yang melanda dirinya. Malam sebelumnya meninggalkan jejak yang begitu kuat di pikirannya—kehadiran Dito, ancamannya, dan sikap Adrian yang semakin misterius. Alya memutuskan bahwa ia tidak bisa hanya diam menunggu jawaban dari Adrian. Jika Adrian tidak bersedia membuka rahasianya, maka ia harus mencari tahu sendiri. Sambil duduk di tepi tempat tidur, Alya memandangi ponselnya. Ia menggulir kontak yang ada, hingga akhirnya berhenti pada nama sahabatnya, Karin. Karin adalah orang yang selalu ia andalkan saat hidupnya berada di titik terendah. "Karin, aku butuh bantuanmu," kata Alya segera setelah panggilan tersambung. "Wow, pagi-pagi sudah serius banget. Ada apa, Alya?" tanya Karin, terdengar sedikit bingung. "Aku butuh informasi tentang seseorang. Aku tidak tahu harus mulai dari mana, tapi aku yakin kamu punya cara." "Informasi te
Restoran mewah itu berdiri megah di bawah langit malam yang kelabu, lampu-lampunya bersinar hangat menembus kaca-kaca besar. Adrian dan Alya tiba tepat waktu, mengenakan pakaian formal yang membuat keduanya tampak memukau. Namun, hati Alya penuh dengan kecemasan. Pertemuan kali ini jelas bukan hanya sekadar acara biasa. Adrian membimbing Alya memasuki ruangan privat di lantai atas. Di dalam, sudah ada tiga pria dan satu wanita yang menunggu, semuanya berpakaian mahal dan memancarkan aura otoritas. Tatapan mereka langsung tertuju pada Alya saat ia melangkah masuk bersama Adrian. “Adrian,” sapa salah satu pria, pria paruh baya dengan rambut keperakan yang tampak seperti pemimpin di antara mereka. “Kau datang tepat waktu. Dan ini pasti tunanganmu yang terkenal.” Adrian tersenyum tipis, tetapi tidak menjawab langsung. Ia menarik kursi untuk Alya, memberi isyarat agar ia duduk. Alya mematuhi, meskipun ia bisa merasakan ketegangan di udara. "Perkenalkan, ini Alya," kata Adrian akhirnya.
Alya tidak bisa menghilangkan rasa cemas yang terus menghantuinya sejak makan malam bersama Adrian dan para mitranya. Kata-kata Adrian tadi malam terus terngiang di kepalanya, seakan menjadi alarm yang tak henti-hentinya berdentang.Pagi itu, ia duduk di meja makan, memandangi secangkir kopi yang sudah mulai mendingin. Pikiran Alya melayang-layang, memikirkan semua pengakuan Adrian. Dia adalah kelemahan Adrian. Pernyataan itu terdengar indah sekaligus mengerikan. Apakah cinta mereka cukup kuat untuk bertahan dalam badai yang sedang berkecamuk di sekitar mereka?"Alya," panggil Adrian, membuyarkan lamunannya.Alya mengangkat wajahnya. Adrian berdiri di dekat pintu dengan setelan jas abu-abu gelap yang membuatnya terlihat lebih berwibawa dari biasanya. Namun, ada lingkaran hitam di bawah matanya, tanda bahwa dia juga tidak tidur nyenyak."Aku harus pergi ke kantor," katanya. "Tapi aku sudah memerintahkan sopir untuk mengantarmu ke butik sore ini. Aku ingin kau memilih pakaian baru untuk
Alya berjalan menyusuri trotoar yang sepi, mencoba mengatur napasnya yang tidak beraturan. Angin malam menusuk kulitnya, tetapi itu tidak sebanding dengan rasa dingin yang menguasai hatinya. Amplop yang tadi ia buka masih tergenggam erat di tangannya, seolah menjadi bukti nyata bahwa hidupnya tidak lagi sama.Di kejauhan, suara kendaraan dan hiruk pikuk kota terdengar samar, tetapi pikiran Alya terlalu bising untuk memproses apa pun. Wajah Adrian, pria yang ia percayai sepenuhnya, terus muncul di benaknya. Apakah semua ini kebohongan? Apakah seluruh perasaan yang ia bangun hanyalah sandiwara belaka?Alya berhenti di depan sebuah taman kecil, duduk di bangku kayu yang basah oleh embun malam. Tangannya bergetar saat membuka kembali amplop itu, memeriksa dokumen yang tadi membuatnya terpukul.Ada foto-foto Adrian bersama pria-pria berjas hitam, berdiri di depan pabrik yang terlihat seperti fasilitas ilegal. Beberapa dokumen menunjukkan aliran dana yang mencurigakan ke rekening luar neger
Alya terbangun di pagi hari dengan perasaan berat. Tidurnya semalam tidak nyenyak. Ingatan tentang pertemuan dengan pria misterius itu terus mengganggunya. Ia merasa seperti sedang bermain dalam permainan yang aturannya tidak ia pahami.Setelah mempersiapkan diri, Alya melangkah keluar dari apartemennya. Udara pagi terasa dingin, seolah-olah menyatu dengan kecemasan yang menghantui dirinya. Langkah kakinya menuju ke kantor Adrian terasa lebih lambat dari biasanya, seakan ada sesuatu yang menahannya.Ketika tiba di lobi gedung, senyum para resepsionis menyambutnya seperti biasa. Namun, di balik senyum itu, Alya merasa seperti ada bisikan-bisikan yang membicarakannya. Entah mengapa, ia merasa semua mata tertuju padanya.“Selamat pagi, Nona Alya,” sapa seorang resepsionis. “Tuan Adrian sudah menunggu Anda di ruangannya.”Alya mengangguk, membalas senyum tipis, lalu melangkah menuju lift. Di dalam lift, ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri.Setibanya di lantai kantor Adrian
Alya menggenggam kemudi erat-erat, matanya menatap lurus ke depan sementara pikirannya berkecamuk. Jalanan malam yang sepi membentang di depannya, hanya diterangi oleh cahaya lampu jalan yang berpendar suram. Napasnya sedikit memburu, bukan karena ketakutan, tetapi karena antisipasi yang menggelitik dadanya. Pelabuhan lama. Tempat itu selalu menjadi perbincangan orang-orang, terkenal karena kisah-kisah kelam yang menyelimutinya. Tempat bagi mereka yang ingin menyembunyikan sesuatu, tempat pertemuan bagi orang-orang yang tidak ingin diketahui keberadaannya. Pikirannya masih melayang ke Adrian. Tatapan pria itu saat memergokinya tadi masih terukir jelas dalam ingatannya. Ketidakpercayaan, kemarahan, dan sesuatu yang lain—sesuatu yang tidak dapat Alya artikan dengan pasti. Tapi yang jelas, Adrian tidak menyukai kepergiannya. Tapi ia tidak peduli. Ada hal yang lebih penting yang harus ia lakukan saat ini. Setelah beberapa menit berkendara, ia akhirnya sampai di lokasi yang dituju. Pel
Hujan rintik-rintik mengguyur kota malam itu, seolah menjadi saksi bisu atas kekacauan yang baru saja terjadi. Alya duduk di tepi ranjangnya, matanya terpaku pada lantai kayu yang dingin. Suasana hatinya serupa badai, penuh dengan kekhawatiran dan pertanyaan yang tak terjawab.Wanita yang mengaku sebagai istri Adrian telah meninggalkan ruangan itu dengan senyuman penuh arti, menyisakan kebisuan yang menghantui. Adrian, seperti biasanya, memilih untuk tidak memberikan penjelasan apa pun. Hanya keheningan yang membuat Alya semakin tenggelam dalam labirin pikirannya.Namun malam itu berbeda. Alya tidak bisa lagi menelan diam Adrian seperti sebelumnya. Selama ini, ia telah mengorbankan banyak hal untuk hubungan yang penuh teka-teki ini, tetapi kehadiran wanita itu memecahkan sesuatu dalam dirinya. Ia tidak lagi bisa bersikap pasrah.Langkah kaki Adrian terdengar mendekat. Pintu kamar mereka terbuka perlahan, memperlihatkan sosok pria itu dengan wajah yang penuh dengan ketegangan. Ia berdi
Alya memejamkan matanya, merasakan setiap helai udara yang dingin menyentuh kulitnya. Seluruh tubuhnya masih gemetar, bukan hanya karena hawa malam yang menusuk, tetapi juga akibat dari perasaan yang meluap-luap dalam hatinya. Kata-kata Adrian, pria yang selama ini ia anggap penyelamat sekaligus penjaranya, terus terngiang di benaknya.Langkah-langkah kecil Alya terdengar lemah saat ia melintasi koridor panjang rumah itu. Masing-masing langkahnya terasa berat, seolah ada rantai tak kasat mata yang mengikat kakinya. Tatapannya kosong, tapi pikirannya penuh. Suara Adrian, perasaan pengkhianatan, dan wajah pria asing yang tiba-tiba muncul malam itu bercampur menjadi satu, menciptakan badai dalam hatinya.Ketika tiba di kamarnya, Alya mengunci pintu dan menyandarkan tubuhnya di baliknya. Nafasnya memburu, dan ia mencoba menenangkan dirinya. Namun, pikirannya kembali mengarah pada wajah Adrian—wajah yang penuh dengan kepedihan, penyesalan, dan cinta yang membingungkan."Apa yang sebenarnya
Alya berdiri di depan cermin besar di kamar mereka, matanya masih basah oleh air mata yang tak kunjung berhenti. Pikirannya penuh dengan kebenaran pahit yang baru saja ia temukan. Dokumen-dokumen itu masih berserakan di atas meja, seperti hantu yang terus mengejarnya. Setiap kata yang ia baca terasa seperti belati yang menusuk jantungnya berulang kali.Adrian, lelaki yang ia percayai, lelaki yang ia cintai, ternyata menyimpan rahasia yang begitu mengerikan. Rahasia yang bukan hanya menghancurkan kepercayaannya, tetapi juga seluruh kehidupannya. Alya menggigit bibirnya, mencoba menahan isak yang semakin keras. Namun, tubuhnya bergetar hebat, tangannya mengepal dengan kekuatan yang hampir melukai dirinya sendiri.Adrian berdiri di ambang pintu, diam dan penuh kehancuran. Tatapannya kosong, tapi wajahnya jelas menunjukkan penderitaan yang tak kalah dalam dari Alya. Ia ingin mendekat, ingin memeluk Alya, tapi langkahnya terasa begitu berat. Jarak di antara mereka kini lebih lebar dari sam
Denting jam di dinding terasa begitu menggema di ruangan yang sunyi. Alya duduk di sudut ruangan dengan tubuh gemetar, tangannya mencengkeram dokumen yang baru saja ia baca. Kata-kata dalam dokumen itu seakan menampar kenyataan yang selama ini ia pikir aman dan terkendali. Ia menatap Adrian dengan tatapan penuh kebingungan, namun lelaki itu tampak membisu, seolah waktu telah berhenti di antara mereka. "Apa maksud semua ini, Adrian?" Alya akhirnya bertanya dengan suara bergetar, mencoba mencari jawaban dari tatapan lelaki itu. "Kenapa semua ini terasa seperti jebakan yang kau buat sendiri?" Adrian tidak langsung menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke jendela, menatap langit malam yang kelam seakan mencari kekuatan di balik kegelapan itu. Sorot matanya menyiratkan campuran rasa bersalah, kemarahan, dan ketakutan. "Aku tidak pernah menginginkan ini terjadi," katanya pelan, suaranya hampir seperti bisikan yang terbawa angin. "Jadi, kau tahu tentang ini?" Alya mendesak, nadanya meni
Hujan mengguyur deras di luar jendela, menciptakan simfoni yang menenangkan sekaligus penuh kecemasan di hati Alya. Ia duduk di sofa ruang kerja Adrian, tangannya menggenggam secangkir teh yang kini sudah mulai mendingin. Tatapannya terpaku pada tumpukan dokumen di meja Adrian, dokumen-dokumen yang sebagian besar bertuliskan nama yang tidak ia kenal.Adrian, yang biasanya begitu tenang dan terkendali, terlihat berbeda malam ini. Ia berjalan bolak-balik di ruang kerja dengan raut wajah tegang. Bibirnya terkatup rapat, seolah-olah ia sedang mencoba menahan kata-kata yang tak ingin diucapkan.“Adrian...” panggil Alya, suaranya terdengar ragu. “Ada apa sebenarnya? Kau tampak gelisah.”Adrian menghentikan langkahnya, menatapnya sejenak dengan tatapan yang sulit diartikan. “Ini bukan sesuatu yang perlu kau khawatirkan, Alya,” jawabnya, mencoba terdengar meyakinkan.Namun, Alya tahu lebih baik daripada percaya pada kata-kata itu. Selama beberapa minggu terakhir, ia telah belajar membaca emos
Ruangan itu diterangi oleh lampu gantung kristal yang memancarkan kilau lembut, menciptakan bayangan samar di dinding. Alya berdiri di sudut ruangan, jantungnya berdegup cepat. Gaun hitam panjang yang ia kenakan malam itu menonjolkan keanggunannya, tetapi juga membuatnya merasa rentan di tengah keramaian. Semua mata seolah tertuju padanya, atau lebih tepatnya, pada pria yang kini berdiri di sampingnya—Adrian.Pria itu mengenakan setelan jas yang sempurna, dengan dasi sutra yang senada dengan warna mata tajamnya. Senyum kecil yang menghiasi bibirnya seperti sebuah peringatan tersembunyi, membuat siapa pun yang menatapnya berpikir dua kali sebelum mendekat. Namun, Alya tahu bahwa senyum itu adalah bagian dari topeng yang Adrian kenakan. Di balik itu, ada badai yang siap menghancurkan siapa saja yang berani menantangnya.“Tenanglah,” bisik Adrian di telinganya, suaranya rendah tetapi penuh otoritas. “Ini hanya pesta.”Alya mengangguk pelan, meskipun tubuhnya kaku. “Hanya pesta?” tanyanya
Alya berdiri di depan cermin besar yang terpajang di sudut kamar. Kilauan lampu remang menyentuh kulitnya yang tampak bersinar, seolah membungkusnya dalam suasana yang memancarkan kemewahan dan ketegangan. Gaun sutra biru tua yang ia kenakan membalut tubuhnya dengan sempurna, setiap lekuknya diperlihatkan tanpa berlebihan. Namun, bukan penampilannya yang membuatnya terdiam di depan cermin. Pikirannya melayang pada kejadian-kejadian yang baru saja terjadi, terutama saat Adrian memandangnya dengan sorot mata yang tak biasa.“Apa yang sebenarnya dia pikirkan?” gumamnya pelan, suaranya hampir tidak terdengar di tengah heningnya ruangan. Ia teringat bagaimana Adrian, yang biasanya dingin dan tak tersentuh, tiba-tiba berubah menjadi sosok yang berbeda saat mereka berada di ruang makan tadi.Adrian, dengan jas hitam yang begitu rapi, terlihat seperti seorang raja di tengah kerajaan kecilnya. Tatapan tajamnya, senyum simpul yang sesekali muncul, dan caranya mengamati Alya—semuanya membuatnya
Cahaya pagi menyelinap perlahan melalui celah tirai, memantulkan bayangan samar di dinding kamar yang hening. Alya masih terbaring di ranjang, matanya tertutup, tetapi tubuhnya terasa lelah meski semalam ia memejamkan mata lebih lama dari biasanya. Dalam kepalanya, berbagai potongan kejadian terus berputar, membuat dadanya terasa sesak.Suara ketukan pintu yang lembut membangunkannya. Ia membuka mata dengan perlahan, membiarkan pandangannya beradaptasi dengan cahaya yang mulai memenuhi ruangan. Hanya beberapa detik berlalu sebelum ia menyadari bahwa ketukan itu berasal dari Adrian.“Alya, aku perlu bicara,” suara Adrian terdengar lebih tegas dari biasanya, seperti seseorang yang mencoba menutupi gejolak emosi di dalam dirinya.Alya bangkit dari ranjang, merapikan rambutnya yang sedikit kusut dengan jari-jarinya. Tanpa banyak berpikir, ia berjalan ke arah pintu dan membukanya. Di sana berdiri Adrian, mengenakan kemeja hitam yang membuat aura maskulinnya semakin mencolok. Matanya yang t