"Dimana jam tangannya padahal semalam ada di sini." Decakan kecil Reynald terdengar pagi ini padahal sebelum-sebelumnya dia tidak pernah merasa kesusahan seperti ini.
Netra tajamnya langsung mengarah ke satu titik. Siapa lagi kalau bukan Mahagita Arunika yang sedang dia tatap sedemikian rupa. Wanita yang menggunakan kaos oblong panjang tersebut nampak fokus menata meja yang terletak di sudut ruangan.Entah apa yang wanita itu lakukan, melihatnya saja sudah membuat Rey jengkel setengah mati. Dia sudah sangat paham siapa yang mengubah tatanan barang di kamar ini.Namun, bukannya bertanya, Reynald memilih membuka lemari. Mengambil arloji berwarna silver yang dia beli dua tahun lalu. Jam mahal keluaran brand ternama. Meski tak bersuara raut sinis tetap tak mampu dia hilangkan.Sungguh dia muak dengan perempuan muda tidak tahu diri itu. Kekesalan Reynald dapat Gita sadari. Pergerakan sang suami yang tiba-tiba membuka lemari kayu jelas membuat kepala Gita otomatis mendongak lalu menghentikan kegiatannya merapikan meja."Mas nyari jam tangan?" Gita inisiatif bertanya. Sekarang dia sedang berhadap-hadapan dengan Reynald yang masih menunjukkan raut datarnya.Dia mengunci mulutnya beberapa saat sebelum benar-benar menyemburkan kalimat pedasnya untuk wanita ini."Kamu masih bertanya? Harusnya kamu lebih tahu diri lagi untuk gak seenaknya memindahkan barang orang lain. Entah, apa yang ada di kepala Mama saya sampai menjadikan kamu sebagai menantu," pungkas Reynald menohok. Bahkan, pertanyaan Gita tadi sama sekali tidak dia gubris.Polisi berpangkat AKP itu justru melenggang pergi meninggalkan Gita yang masih terdiam di tempat. Jujur, dia masih kaget mendengar kalimat ketus yang anak tunggal Rania itu ucapan padahal harusnya dia sudah wajib terbiasa kan?Gita menarik napasnya panjang. Dia butuh kesabaran seluas samudera menghadapi pria yang kini berstatus sebagai suaminya itu. Tapi, tenang saja dia tetap tidak akan mundur dari pernikahan ini.Pernikahan bukanlah sebuah ikatan yang bisa dipermainkan oleh siapa pun. Menikah lalu bercerai? Kalau begitu lebih baik dia menolak mentah-mentah saat sang mertua mengenalkan anak tersayangnya.Masih dalam radar penglihatan betapa terkejutnya Gita melirik sang suami yang sudah rapi dengan seragamnya setelah keluar dari kamar mandi. Jam tangan yang pria itu ambil lima menit lalu terletak di laci meja tidak jauh dari ranjang.Kalian pasti bisa menebak apa yang terjadi. Secepat kilat kaki sepanjang galah itu melewati Gita kemudian keluar dari kamar ini. Entah hatinya terbuat dari apa hingga bisa menyusul langkah lebar Reynald yang tampak acuh tidak acuh dengan kehadirannya selama ini.Dengan langkah yang cukup tenang Gita berjalan. Sampai di luar dia menuruni anak tangga satu per satu. Reynald jelas sudah menapaki lantai satu. Kalau bukan karena Rania pria tiga puluh tahun tersebut sudah lenyap dari pandangan."Kamu ke kantor Rey?" Itulah pertanyaan pertama yang Rania lontarkan untuk anaknya.Kerutan di dahi wanita lima puluh lima tahun tersebut tercetak jelas. Nampak kebingungan dengan penampilan Reynald yang sudah rapi siap berangkat kerja."Iya, Maa.""Kamu gak salah, Nak? Jatah cuti kamu masih ada seminggu lagi kan?" Rania kontan mendera anaknya dengan beragam pertanyaan."Jatah cutinya aku pindahkan ke bulan lain, Ma. Minggu ini benar-benar lagi banyak kerjaan di kantor," jawab Rey terlihat sangat tenang. Di momen seperti ini wibawanya kentara jelas."Tapi, kamu gak bisa gitu dong, Rey. Kamu baru aja menikah. Harusnya momen kayak gini kamu manfaatkan untuk bulan madu, Nak. Bukannya malah mikirin kerjaan.""Maaf gak bisa, Ma. Kerjaan kali ini betul-betul urgent," tolak Rey begitu halus sangat berbanding terbalik dengan nada bicaranya dengan Gita."Apa perlu Mama telepon atasan kamu?""Maa, tolong." Dengan nada berat Reynald menolak mentah-mentah opsi yang ingin Rania lakukan untuk mencegah dirinya bekerja hari ini."Aku pamit dulu," sambung Reynald sadar Mamanya tidak punya pilihan lain, sedangkan Gita cuma bisa tersenyum dalam hati menyaksikan kepergian suaminya. Sekarang dia tahu apa yang pria itu bicarakan tadi malam di telepon bersama rekan kerjanya.***Apa yang bisa dia lakukan selain menyibukan diri sekarang sementara sang suami sudah mulai berkerja hari ini. Ini sudah tiga jam berlalu tapi tetap saja rasa bosan itu tidak mampu dia enyahkan.Dia pun bingung harus mengerjakan apa di rumah sebesar ini. Semua tugas rumah tangga sudah sang asisten rumah tangganya ambil alih. Rania sama sekali tidak mengizinkan menatunya mengotori tangan sekali pun hanya membersihkan ruang tamu saja.Aktifitas memberi makan ikan di kolam belakang pun sudah dia lakukan berkat ajakan Rania barusan dan kini perempuan yang bekerja sebagai perawat tersebut telah kembali ke kamarnya, menatap plafon putih kokoh dengan pandangan melamun.Andaikata, dia dan Reynald adalah pasangan yang saling mencintai pasti momen-momen ini mereka gunakan untuk menghabiskan waktu berdua. Entah itu bulan madu atau saling bercengkerama satu sama lain di kamar."Mama tahu kamu pasti di sini." Kedatangan Rania yang begitu mendadak terpaksa membuyarkan lamunannya. "Daripada kamu melamun aja lebih baik kita bongkar album masa kecil Rey."Gita memberikan atensi lebih saat album tua berwarna biru tersebut Rania buka. Sekilas terpampang deretan foto yang Gita bisa pastikan itu adalah Reynald versi kanak-kanak."Ini album foto masa kecil Mas Reynald, Ma?" Gita cukup takjub melihat potret-potret lawas suaminya.Reynald versi masa kecil terlihat sangat manis di matanya. Apalagi gaya imut yang sang suami pasang sedemikian rupa. Beberapa tatapan polos khas anak kecil juga tertangkap di lensa kamera."Iyaa, album foto dari zaman suami kamu masih bocah sampai dia lulus di akademi kepolisian. Kamu takjub ya lihat ketampanan anak Mama ini?" Seperti tertular virus Kamilla, Rania ikut-ikutan menggoda Gita yang tampak terpukau dengan sosok Reynald versi mini."Kamu tahu foto ini diambil pas Rey habis nangis-nangis sepulang dari taman cuma karena tukang balon yang dia tunggu gak muncul-muncul. Isengnya Papa waktu itu malah Rey dijadiin objek foto dadakan dan dari situ suami kamu langsung diam. Gak mau kelihatan cengeng lagi."Mengalirlah cerita tentang masa kecil Rey yang penuh warna. Rania tidak merasa lelah menceritakan hal itu terhadap menantu tersayangnya. Lembar demi lembar pun mereka buka dengan semangat.Namun, dari semua foto yang Gita lihat barusan entah mengapa dia merasa tidak asing dengan sosok Reynald yang tengah memakai seragam tarunanya?Apakah dia dan Reynald saling mengenal satu sama lain di masa lalu?***Holla! Aku update lagi. Vote kalau kamu suka cerita ini. Komen sebanyak-banyaknya, siapa tahu aku bisa double update ya kan šDengan langkah pelan, Reynald menggeret kakinya menuju dapur. Suasana hening malam mengisi selasar lantai dua tempat dia berpijak sekarang. Dapur bersih yang seringkali ditujukan untuk menghidangkan makanan yang sudah selesai dimasak sekarang menjadi destinasi tujuannya. Tempat yang kadang dimanfaatkan Rania untuk menyantap cemilan dan berbagai hidangan lainnya. Belum sempat menginjakan kaki di kamar, cacing-cacing di perutnya lebih dulu berbunyi minta diisi.Terlebih cuaca dingin malam hari yang membuatnya sangat lapar. Mau membangunkan Ria pun dia tidak tahu apakah sang asisten rumah tangga masih terjaga di tengah malam begini. "Apa minta tolong Pak Abdi aja buat beliin makanan di luar?" Reynald berbicara pada dirinya sendiri. Sungguh perutnya sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Sementara di kamar, Gita masih sibuk dengan ponselnya. Jari-jarinya lancar mengetikan huruf demi huruf, membalas pesan Tia, teman kerjanya yang saat ini mendapat jatah sift malam. Selesai membalas
Suasana di UGD mendadak chaos sesaat setelah lima belas pasien kecelakaan lalu lintas tiba di rumah sakit Delta Medikal. Beberapa koas dan dokter yang berjaga di UGD langsung bergegas memberi pertolongan pertama kepada para korban. Kondisi pasien yang sudah berdarah-darah menjadi tontonan semua orang. Beberapa pasien rawat jalan yang sedang melintas di lobi kelihatan bergidik ngeri melihat keadaan korban luka parah akibat kecelakaan beruntun tersebut. "Tolong minggir." Begitulah suara yang terdengar di antara rintihan kesakitan para korban. Salah satu dari korban-korban kecelakaan itu ada yang sudah tidak sadarkan diri. Mungkin dialah si korban utama dalam kecelakaan ini. Petugas ambulans yang membawa korban-korban itu terlihat terburu-buru seolah tengah dikejar setan. Tidak ada ketakutan tersirat di mata mereka kala sedekat itu menyaksikan kondisi mengenaskan si korban.Sesampainya di UGD ketujuh korban luka-luka tersebut langsung ditempatkan di bilik-bilik yang memang sedang koso
Gita terus mengaduk sotonya dengan pandangan tidak minat. Aroma harum dari makanan berkuah itu entah mengapa urung menggugah seleranya. Ibaratkan, orangnya di sini pikirannya berlarian kemana-mana. Raut masam juga terbit dari bibir mungilnya. Setidaknya, itulah yang tengah Tiara perhatikan sekarang. Dia tidak tahu kenapa rekan sejawatnya ini tidak berselera padahal sudah berjam-jam mereka tertahan di UGD. Pun es jeruk yang es-nya telah mencair sedikit demi sedikit tak mampu menarik atensi Gita. "Git, dimakan sotonya. Masa cuma diaduk-aduk aja. Ini kan bukan bubur," celetuk Tiara sesudah menyeruput soto nan kaya akan rempah itu. Kepalanya sampai menoleh ke Gita selama beberapa menit. "Iyaa, Ti." Hanya itu yang Gita ucapkan sebelum dia menyantap soto miliknya. Namun, sama saja, raut tak berselera masih mewakili ekspresinya. Tiara yang tidak puas menilik ekspresi menyebalkan Gita lantas memutar otak. Dia mencari beberapa alasan yang tepat kenapa temannya bersikap seperti ini. Apa ja
Usai sudah pekerjaan Gita kali ini. Jadwal visit ke kamar-kamar pasien telah dia lakukan lima belas menit lalu. Bahkan, pekerjaannya cukup lancar sebab para penghuni kamar-kamar VIP itu tidak banyak tingkah. Mereka cenderung menyukai pelayanan yang Gita berikan. Pantas bila setiap akhir tahun penilaian kerjanya selalu memuaskan. Keramahan gadis itulah yang menjadi kunci. Berprofesi sebagai perawat sudah seharusnya kan Gita mengabdikan diri."Udah selesai sift kamu, Git?" Tiara bertanya tatkala melihat Gita keluar dari deretan kamar VIP tersebut. Kini mereka sedang berpapasan di lorong lantai lima dengan bawaan alat tempur masing-masing. "Udah, Ti. Minggu depan aku baru kebagian jaga malam," jelas Gita sangat mengingat jadwal tugasnya. "Kamu udah selesai juga?" Sekarang gantian Gita yang bertanya. Pasalnya, sang rekan terlihat hendak naik ke lantai enam belas. "Aku kebagian lembur kali ini, hehe. Gantiin cutiku yang bulan lalu." Gita mengangguk saja. Sepertinya dia harus buru-buru
"Tolong katakan pada Mama saya kamu akan mundur dari pernikahan ini." Sebaris kalimat tersebut akhirnya meluncur keluar setelah keduanya terjebak dalam keheningan. "Saya sama sekali gak punya perasaan apa pun dengan kamu."Ekspresi datar yang pria bernama Reynald itu tampilkan mengisyaratkan kalau dia sama sekali tidak peduli dengan tanggapan gadis di hadapannya. Bahkan, amplop coklat yang sedari tadi tersimpan di saku seragam dinasnya lantas tersodor di atas meja. "Ambil uang ini. Anggap saja itu sedikit kompensasi untuk kamu," titah polisi tampan tersebut seolah tidak punya perasaan ketika mengatakannya. "Nominalnya memang gak banyak, tapi saya harap itu cukup mengganti kerugian waktu yang kamu luangkan untuk menuruti kemauan Mama."Masih saja pria arogan ini menyambung ucapan demi ucapannya yang tidak berperasaan itu. Berharap wanita pilihan ibunya tersebut segera paham dan tidak menggangu kehidupannya lagi. Namun, wanita bernama lengkap Mahagita Arunika ini tetap saja bergeming
"Setelah sebelumnya kita udah ngecek gedung dan ngukur gaun, kali ini saya mau nunjukkin beberapa dekor yang sekiranya sesuai dengan konsep yang Mbak mau." Sebuah katalog berisi desain-desain dekor lekas Adel keluarkan di hadapan kliennya. Gita memajukan sedikit badannya demi meneliti desain dekor yang sedang Adel perlihatkan. "Kalau Mbak Gita masih bingung mau pilih yang mana, bisa diskusi dulu sama Mas Reynald," lanjut Adel sang asisten WO memberikan saran. Gita otomatis menoleh ke Adel. Sudah sejak tadi gadis muda itu melamun. Ah lebih tepatnya ketika dalam perjalanan tadi. Memang saat ini Gita sedang berada di gedung 'Akad' tempat Wedding Organizernya berdiri. Terlalu sering mereschedule meeting membuat Gita langsung tancap gas, melupakan air matanya yang telah menetes akibat ucapan menyakitkan Reynald tadi. Pun ketika Adel menyebut nama Reynald, ingatannya kembali memutar pertemuan singkat yang menjelaskan segala sikap dingin calon suaminya itu selama ini. Munafik kalau dia
Rania yang duduk tidak jauh dari menantunya lantas mengedarkan pandangan. Tentu dia mencari keberadaan putranya. Tak bisa dipungkiri ruangan 5 x 5 meter yang semula kosong sekarang telah penuh terisi. Hanya Gitalah yang duduk sendirian di bangkunya. "Kemana kamu Rey. Mama kira kamu gak bakal telat buat acara sepenting ini," gerutu Rania menyesali kenapa mereka tidak berangkat berbarengan saja tadi. Ah, tapi apa boleh buat nasi sudah menjadi bubur. Arah pandangan Rania hanya tertuju ke pintu saja. Dia sangat berharap anaknya tidak akan terlambat meski sedetik saja. "Gak usah panik ya Git. Mama yakin Reynald bentar lagi datang," seru Rania saat mengetikan pesan singkat ke calon menantunya. Gita yang sudah tidak tahu mau berbuat apa cuma bisa pasrah di tempat duduknya. Dia kalut bukan main mengingat ketidaksiapan Reynald membangun rumah tangga dengannya. Bagi Gita jika seorang laki-laki sudah membuat keputusan maka dia takkan menelan ludahnya sendiri.Sebagai bentuk kegelisahan terse
"Dinas keluar kota?" tanya Rani mengulang laporan supirnya barusan. Mendapat kabar seperti itu jelas dia terkejut padahal kemarin sang putra menyanggupi permintaannya untuk menemani Gita nyekar ke makam almarhum orangtuanya. Pun Rani mengirim Adi ke kosan calon menantunya demi mengantarkan ponsel anaknya yang tertinggal di rumah. Dia pikir mungkin Gita serta Reynald masih belum berangkat. Ternyata kabar yang dia dapatkan jauh lebih mengejutkan. "Apa Gitanya juga gak ada di kosan, Pak?" Makin beranak-pinaklah pertanyaan sang nyonya. Adi sampai menggaruk tengkuknya bingung harus menjawab seperti apa. "Pas saya ke sana tetangga Non Gita bilang Non Gitanya udah berangkat dari tadi pagi naik kereta." Jawaban Adi spontan membuat Rania berpikir keras. Sungguh dia tidak habis pikir. Naik kereta? Kemana anaknya itu sekarang? Kenapa sang putra tidak bisa mempertanggungjawabkan ucapannya? "Ini hape Mas Reynald, Bu."Rania mengambil telepon genggam pribadi yang seringkali Reynald gunakan. Li
Usai sudah pekerjaan Gita kali ini. Jadwal visit ke kamar-kamar pasien telah dia lakukan lima belas menit lalu. Bahkan, pekerjaannya cukup lancar sebab para penghuni kamar-kamar VIP itu tidak banyak tingkah. Mereka cenderung menyukai pelayanan yang Gita berikan. Pantas bila setiap akhir tahun penilaian kerjanya selalu memuaskan. Keramahan gadis itulah yang menjadi kunci. Berprofesi sebagai perawat sudah seharusnya kan Gita mengabdikan diri."Udah selesai sift kamu, Git?" Tiara bertanya tatkala melihat Gita keluar dari deretan kamar VIP tersebut. Kini mereka sedang berpapasan di lorong lantai lima dengan bawaan alat tempur masing-masing. "Udah, Ti. Minggu depan aku baru kebagian jaga malam," jelas Gita sangat mengingat jadwal tugasnya. "Kamu udah selesai juga?" Sekarang gantian Gita yang bertanya. Pasalnya, sang rekan terlihat hendak naik ke lantai enam belas. "Aku kebagian lembur kali ini, hehe. Gantiin cutiku yang bulan lalu." Gita mengangguk saja. Sepertinya dia harus buru-buru
Gita terus mengaduk sotonya dengan pandangan tidak minat. Aroma harum dari makanan berkuah itu entah mengapa urung menggugah seleranya. Ibaratkan, orangnya di sini pikirannya berlarian kemana-mana. Raut masam juga terbit dari bibir mungilnya. Setidaknya, itulah yang tengah Tiara perhatikan sekarang. Dia tidak tahu kenapa rekan sejawatnya ini tidak berselera padahal sudah berjam-jam mereka tertahan di UGD. Pun es jeruk yang es-nya telah mencair sedikit demi sedikit tak mampu menarik atensi Gita. "Git, dimakan sotonya. Masa cuma diaduk-aduk aja. Ini kan bukan bubur," celetuk Tiara sesudah menyeruput soto nan kaya akan rempah itu. Kepalanya sampai menoleh ke Gita selama beberapa menit. "Iyaa, Ti." Hanya itu yang Gita ucapkan sebelum dia menyantap soto miliknya. Namun, sama saja, raut tak berselera masih mewakili ekspresinya. Tiara yang tidak puas menilik ekspresi menyebalkan Gita lantas memutar otak. Dia mencari beberapa alasan yang tepat kenapa temannya bersikap seperti ini. Apa ja
Suasana di UGD mendadak chaos sesaat setelah lima belas pasien kecelakaan lalu lintas tiba di rumah sakit Delta Medikal. Beberapa koas dan dokter yang berjaga di UGD langsung bergegas memberi pertolongan pertama kepada para korban. Kondisi pasien yang sudah berdarah-darah menjadi tontonan semua orang. Beberapa pasien rawat jalan yang sedang melintas di lobi kelihatan bergidik ngeri melihat keadaan korban luka parah akibat kecelakaan beruntun tersebut. "Tolong minggir." Begitulah suara yang terdengar di antara rintihan kesakitan para korban. Salah satu dari korban-korban kecelakaan itu ada yang sudah tidak sadarkan diri. Mungkin dialah si korban utama dalam kecelakaan ini. Petugas ambulans yang membawa korban-korban itu terlihat terburu-buru seolah tengah dikejar setan. Tidak ada ketakutan tersirat di mata mereka kala sedekat itu menyaksikan kondisi mengenaskan si korban.Sesampainya di UGD ketujuh korban luka-luka tersebut langsung ditempatkan di bilik-bilik yang memang sedang koso
Dengan langkah pelan, Reynald menggeret kakinya menuju dapur. Suasana hening malam mengisi selasar lantai dua tempat dia berpijak sekarang. Dapur bersih yang seringkali ditujukan untuk menghidangkan makanan yang sudah selesai dimasak sekarang menjadi destinasi tujuannya. Tempat yang kadang dimanfaatkan Rania untuk menyantap cemilan dan berbagai hidangan lainnya. Belum sempat menginjakan kaki di kamar, cacing-cacing di perutnya lebih dulu berbunyi minta diisi.Terlebih cuaca dingin malam hari yang membuatnya sangat lapar. Mau membangunkan Ria pun dia tidak tahu apakah sang asisten rumah tangga masih terjaga di tengah malam begini. "Apa minta tolong Pak Abdi aja buat beliin makanan di luar?" Reynald berbicara pada dirinya sendiri. Sungguh perutnya sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Sementara di kamar, Gita masih sibuk dengan ponselnya. Jari-jarinya lancar mengetikan huruf demi huruf, membalas pesan Tia, teman kerjanya yang saat ini mendapat jatah sift malam. Selesai membalas
"Dimana jam tangannya padahal semalam ada di sini." Decakan kecil Reynald terdengar pagi ini padahal sebelum-sebelumnya dia tidak pernah merasa kesusahan seperti ini. Netra tajamnya langsung mengarah ke satu titik. Siapa lagi kalau bukan Mahagita Arunika yang sedang dia tatap sedemikian rupa. Wanita yang menggunakan kaos oblong panjang tersebut nampak fokus menata meja yang terletak di sudut ruangan.Entah apa yang wanita itu lakukan, melihatnya saja sudah membuat Rey jengkel setengah mati. Dia sudah sangat paham siapa yang mengubah tatanan barang di kamar ini. Namun, bukannya bertanya, Reynald memilih membuka lemari. Mengambil arloji berwarna silver yang dia beli dua tahun lalu. Jam mahal keluaran brand ternama. Meski tak bersuara raut sinis tetap tak mampu dia hilangkan. Sungguh dia muak dengan perempuan muda tidak tahu diri itu. Kekesalan Reynald dapat Gita sadari. Pergerakan sang suami yang tiba-tiba membuka lemari kayu jelas membuat kepala Gita otomatis mendongak lalu menghent
Reynald begitu tenang mengunci mulutnya tatkala melihat bayangan sang ibu. Keterdiaman Gita semula jelas membuat dia bingung sekaligus heran sebab dari gestur perempuan itu yang hendak mendebat tiba-tiba terdiam. Beruntung dia tidak melanjutkan kalimatnya tadi. Tapi, jika itu terjadi bukankah lebih baik? Biarlah ibunya kecewa di awal yang penting pernikahan ini bisa segera berakhir. Reynald betul-betul tidak menaruh perasaan apa pun terhadap wanita yang sekarang menjadi istrinya. Pun rasa tidak sukanya bertambah saat menyadari ada yang gadis ini inginkan dari keluarganya.Sementara Rania justru menatap anak serta menantunya bergantian. Apa yang terjadi dengan dua anak manusia ini? Kenapa mereka saling menatap seperti itu. Namun, bukan itu yang jadi masalahnya sekarang. "Rey kamu nampak kunci Sedan Mama?" Pertanyaan Rania menyebabkan Rey menaikan alisnya. "Mobil yang biasa Mama pakai ternyata masih di bengkel. Adi bilang baru bisa diambil besok."Bukannya Reynald yang merasa lega men
Gita membuang napas panjang. Sudah dia duga akan jadi seperti ini. Bukannya berada di dalam kamar pengantinnya, pria bernama belakang Braga tersebut malah meninggalkan sang istri sendirian dan sekarang dia terlelap dengan nyenyaknya di atas ranjang penuh kelopak mawar yang ditata sedemikian rupa."Harusnya gak perlu kaget kan?" Monolog Gita menertawakan kebodohannya sendiri. Kepalanya yang kini menegak terus memperhatikan laju napas sang suami yang berderu sangat tenang. Berbanding terbalik dengan hatinya yang entah kenapa merasa terluka. Langit yang masih gelap gulita di luar sana meski jam sudah menunjukkan pukul empat pagi kontan memperjelas rasa benci pria ini terhadap dirinya. Bukannya Gita tidak tahu kepulangan Reynald yang seperti pencuri, mengendap-ngendap masuk dari jendela kamar yang terhubung ke balkon. Semua itu Gita saksikan dalam tidur pura-puranya. Menyedihkan sekali bukan? Hatinya cukup rapuh menerima fakta menyakitkan itu. Di tengah lamunannya terdengar suara azan
Tidak ada yang bisa menebak seperti apa takdir akan berjalan. Pernikahan yang semula digadang-gadang akan dilaksanakan dua bulan lagi kini berada selangkah di depan mata. Bahkan, sang calon mempelai pria pun tak menyangka bahwa ibunya akan mengambil keputusan seperti ini. Begitu pula Gita yang cukup terkejut ketika dikabari oleh mertuanya tentang tanggal pernikahannya yang dimajukan lebih awal. Dia pikir calon suaminya itu akan bersikeras meminta pada Ibunya untuk membatalkan pernikahan sebelah pihak ini. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Tepat di hadapan rumah berlantai dua ini rombongan calon pengantin pria telah berdiri, siap memasuki kediaman calon mempelai wanita dengan membawa banyak seserahan di tangan. "Mbak Gita kalau mau lihat calon suaminya bisa lewat jendela dulu aja ya. Untuk sekarang masih belum bisa. Masih dipingit," goda salah satu perias yang mendandani Gita pada malam midodareni kali ini. Wajah perias itu bersemu memandangi Gita yang sejak tadi tampak gugup
"Dinas keluar kota?" tanya Rani mengulang laporan supirnya barusan. Mendapat kabar seperti itu jelas dia terkejut padahal kemarin sang putra menyanggupi permintaannya untuk menemani Gita nyekar ke makam almarhum orangtuanya. Pun Rani mengirim Adi ke kosan calon menantunya demi mengantarkan ponsel anaknya yang tertinggal di rumah. Dia pikir mungkin Gita serta Reynald masih belum berangkat. Ternyata kabar yang dia dapatkan jauh lebih mengejutkan. "Apa Gitanya juga gak ada di kosan, Pak?" Makin beranak-pinaklah pertanyaan sang nyonya. Adi sampai menggaruk tengkuknya bingung harus menjawab seperti apa. "Pas saya ke sana tetangga Non Gita bilang Non Gitanya udah berangkat dari tadi pagi naik kereta." Jawaban Adi spontan membuat Rania berpikir keras. Sungguh dia tidak habis pikir. Naik kereta? Kemana anaknya itu sekarang? Kenapa sang putra tidak bisa mempertanggungjawabkan ucapannya? "Ini hape Mas Reynald, Bu."Rania mengambil telepon genggam pribadi yang seringkali Reynald gunakan. Li