Dengan langkah pelan, Reynald menggeret kakinya menuju dapur. Suasana hening malam mengisi selasar lantai dua tempat dia berpijak sekarang. Dapur bersih yang seringkali ditujukan untuk menghidangkan makanan yang sudah selesai dimasak sekarang menjadi destinasi tujuannya.
Tempat yang kadang dimanfaatkan Rania untuk menyantap cemilan dan berbagai hidangan lainnya. Belum sempat menginjakan kaki di kamar, cacing-cacing di perutnya lebih dulu berbunyi minta diisi.Terlebih cuaca dingin malam hari yang membuatnya sangat lapar. Mau membangunkan Ria pun dia tidak tahu apakah sang asisten rumah tangga masih terjaga di tengah malam begini."Apa minta tolong Pak Abdi aja buat beliin makanan di luar?" Reynald berbicara pada dirinya sendiri. Sungguh perutnya sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi.Sementara di kamar, Gita masih sibuk dengan ponselnya. Jari-jarinya lancar mengetikan huruf demi huruf, membalas pesan Tia, teman kerjanya yang saat ini mendapat jatah sift malam.Selesai membalas pesan Tia tiba-tiba suara langkah kaki dari arah luar terdengar, menyita perhatian Gita yang hendak berlabuh ke alam mimpi lantaran mau menunggu Reynald pun dia sudah pesimis duluan, akan tetapi siapa gerangan langkah kaki itu? Tidak mungkin Ria karena wanita empat puluh tahun tersebut tiga jam lalu pamit ke Rania untuk tidur lebih awal.Atas dasar rasa penasaran, Gita memilih beranjak dari ranjang. Dia yang sudah mengenakan piyama kini berjalan keluar kamar demi memastikan bukan maling yang menyusup ke rumah mewah ini."Tapi gak mungkin malinglah. Kan di depan ada Pak Abdi sama Mas Setyo yang jaga malam." Gita menggelengkan kepalanya mengenyahkan opsi tidak masuk akal tersebut.Di tengah cahaya remang-remang lantai satu Gita melangkah perlahan. Jangan sampai dia membangunkan seisi rumah hanya karena salah menebak. Mungkin itu suaminya yang baru pulang.Pria yang rela pulang semalam ini agar tidak berpapasan dengan sang istri. Butuh ekstra kesabaran setiap kali mengingat sikap ketus pria yang jauh lebih tua darinya."Mas Reynald." Benar saja dugaan Gita. Reynald-lah yang tengah mondar-mandir di dapur membuka laci kabinet, entah mencari apa.Gerak-geriknya terkesan rusuh. Di waktu-waktu orang tidur seperti ini, Reynald justru masih berkeliaran di dapur. Masih mengenakan seragam dinasnya pula.Pun Gita mengira Reynald tidak akan pulang, mengingat kebencian sang suami begitu besar untuk dirinya karena selama beberapa hari ini pria itu lebih memilih mengurung diri di ruang kerja papanya.Reynald yang masih tidak sadar ada Gita di belakangnya terus saja melakukan kegiatannya mencari sebungkus mie instan yang jarang tersedia di rumahnya. Jujur, dia sudah lapar sekali saat ini. Mau menyuruh Abdi pun urung dia lakukan.Kalau ada yang bisa segera dia masak kenapa harus merepotkan orang lain? Terbiasa dengan kerasnya kehidupan di asrama membuat Reynald tidak manja.Namun, usahanya itu belum membuahkan hasil apa-apa. Tidak ada satu pun makanan instan di lemari-lemari yang tergantung itu. Bahkan, sebungkus biskuit pun nihil.Sia-sia dia mengharapkan barang yang tidak ada di sini. Padahal tadinya dia berharap menemukan sebungkus mie yang sering menjadi makanan favorit sang asisten rumah tangga di kala bosan."Apa cari di kulkas aja? Siapa tahu ada makanan sisa makan malam tadi yang bisa dihangatkan." Baru hendak beranjak membuka kulkas, Reynald dikejutkan oleh Gita yang memegang semangkok semur ayam di tangannya."Mas lapar kan? Duduk aja di meja makan biar aku aja yang hangatkan makanannya," urai Gita menawarkan diri, sedangkan Rey diam di tempat seolah masih mencerna keadaan.Dan saat sadar akan sesuatu, dia mulai bersuara hendak menghentikan niat baik istrinya."Biar saya aja. Kamu gak perlu bersikap sok baik karena saya gak butuh itu semua." Apalagi yang bisa Reynald ucapkan selain kata-kata pedas nan menohoknya. Pria itu seakan tidak bisa lepas dari sikap sinisnya yang sudah mendarah daging.Untuk kali ini Gita mencoba menulikan telinga. Dia akan bersikap seolah-olah tidak mendengar penolakan yang baru saja Reynald berikan. Dengan terampil dan sangat cekatan dia mulai menghidupkan kompor lalu sesekali membolak-balik daging ayam tersebut agar menghangat sempurna.Tahu omongannya sedang tidak digubris, untuk kali ini dia mencoba mengalah. Pun perutnya sudah tidak bisa memberi toleransi lagi. Tanpa sadar bokongnya telah mendarat ke permukaan kursi meja makan. Tidak lain dan tidak bukan menunggu Gita menyiapkan makanan untuknya.Tak berapa lama makanan itu pun selesai. Gita membawakannya ke hadapan sang suami beserta sepiring nasi hangat.Ketika meletakkannya tanpa sengaja keduanya bertemu pandang sekian detik. Reynald yang sedari awal tampak acuh tidak acuh kini menatap Gita selama beberapa detik."Mas bisa makan sekarang. Aku gak akan ganggu." Setelah memutus tatapan tersebut, Gita izin pamit ke kamarnya, sedangkan Reynald memperhatikan punggung perempuan yang baru saja dia nikahi itu semakin menjauh.***Hujan yang menghadang kali ini benar-benar sangat mengerikan. Tak luput diiringi suara gemuruh yang saling bersaut-sautan di atas sana. Seorang gadis remaja yang masih mengenakan seragam putih abu-abunya tersebut terlihat berdiri di depan pintu gerbang yang hanya dilindungi oleh sebuah plafon biru selebar satu setengah meter.Gerbang itu juga yang biasanya menjadi satu dari sekian banyak tempat duduk yang dipilih orang-orang kala menunggu jemputan. Namun, sial kali ini dia terjebak seorang diri di sini. Tidak ada siapa pun yang bisa dia ajak bicara.Siang menuju sore yang harusnya masih terang kini terlihat sendu diselimuti awan gelap. Kaki gadis tujuh belas tahun itu menghentak-hentak kecil bersamaan dengan tangan yang saling memeluk tubuhnya satu sama lain. Menunggu entah berapa lama lagi dirinya akan dijemput.Namun, seorang pemuda mendadak muncul sembari menyelimuti punggung sang gadis dengan jaket yang dia bawa. Melihat itu, Sania tersenyum hangat. Begitu pula si pemuda yang nampak terpukau untuk ke sekian kalinya menyaksikan senyum tersebut.Bak seperti film yang berganti latar, suasana manis itu hilang secepat kilat digantikan dengan pemandangan seorang perempuan yang berdiri di tepi atap gedung pencakar langit bersama raut depresinya yang terpampang nyata. Seolah telah yakin dengan keputusannya, sosok tersebut memasrahkan tubuhnya digilas oleh puluhan mobil di bawah sana.Dan keinginannya itu menjadi kenyataan saat sebuah mobil menghantam tubuh mungilnya sangat keras. Senyum segarisnya sempat muncul sebelum dia benar-benar menutup mata lalu mengembuskan napas terakhirnya.Kejadian menyeramkan tersebut perlahan memudar dan membangunkan Reynald yang baru beberapa jam terlelap di ruang kerja Papanya.****Holla, dear. Aku update lagi nih. Jangan lupa tekan like dan komen ya. Kalau kalian suka sama cerita Reynald dan Gita masukan ke perpus dan share sebanyak-banyaknya ke media sosial.Suasana di UGD mendadak chaos sesaat setelah lima belas pasien kecelakaan lalu lintas tiba di rumah sakit Delta Medikal. Beberapa koas dan dokter yang berjaga di UGD langsung bergegas memberi pertolongan pertama kepada para korban. Kondisi pasien yang sudah berdarah-darah menjadi tontonan semua orang. Beberapa pasien rawat jalan yang sedang melintas di lobi kelihatan bergidik ngeri melihat keadaan korban luka parah akibat kecelakaan beruntun tersebut. "Tolong minggir." Begitulah suara yang terdengar di antara rintihan kesakitan para korban. Salah satu dari korban-korban kecelakaan itu ada yang sudah tidak sadarkan diri. Mungkin dialah si korban utama dalam kecelakaan ini. Petugas ambulans yang membawa korban-korban itu terlihat terburu-buru seolah tengah dikejar setan. Tidak ada ketakutan tersirat di mata mereka kala sedekat itu menyaksikan kondisi mengenaskan si korban.Sesampainya di UGD ketujuh korban luka-luka tersebut langsung ditempatkan di bilik-bilik yang memang sedang koso
Gita terus mengaduk sotonya dengan pandangan tidak minat. Aroma harum dari makanan berkuah itu entah mengapa urung menggugah seleranya. Ibaratkan, orangnya di sini pikirannya berlarian kemana-mana. Raut masam juga terbit dari bibir mungilnya. Setidaknya, itulah yang tengah Tiara perhatikan sekarang. Dia tidak tahu kenapa rekan sejawatnya ini tidak berselera padahal sudah berjam-jam mereka tertahan di UGD. Pun es jeruk yang es-nya telah mencair sedikit demi sedikit tak mampu menarik atensi Gita. "Git, dimakan sotonya. Masa cuma diaduk-aduk aja. Ini kan bukan bubur," celetuk Tiara sesudah menyeruput soto nan kaya akan rempah itu. Kepalanya sampai menoleh ke Gita selama beberapa menit. "Iyaa, Ti." Hanya itu yang Gita ucapkan sebelum dia menyantap soto miliknya. Namun, sama saja, raut tak berselera masih mewakili ekspresinya. Tiara yang tidak puas menilik ekspresi menyebalkan Gita lantas memutar otak. Dia mencari beberapa alasan yang tepat kenapa temannya bersikap seperti ini. Apa ja
Usai sudah pekerjaan Gita kali ini. Jadwal visit ke kamar-kamar pasien telah dia lakukan lima belas menit lalu. Bahkan, pekerjaannya cukup lancar sebab para penghuni kamar-kamar VIP itu tidak banyak tingkah. Mereka cenderung menyukai pelayanan yang Gita berikan. Pantas bila setiap akhir tahun penilaian kerjanya selalu memuaskan. Keramahan gadis itulah yang menjadi kunci. Berprofesi sebagai perawat sudah seharusnya kan Gita mengabdikan diri."Udah selesai sift kamu, Git?" Tiara bertanya tatkala melihat Gita keluar dari deretan kamar VIP tersebut. Kini mereka sedang berpapasan di lorong lantai lima dengan bawaan alat tempur masing-masing. "Udah, Ti. Minggu depan aku baru kebagian jaga malam," jelas Gita sangat mengingat jadwal tugasnya. "Kamu udah selesai juga?" Sekarang gantian Gita yang bertanya. Pasalnya, sang rekan terlihat hendak naik ke lantai enam belas. "Aku kebagian lembur kali ini, hehe. Gantiin cutiku yang bulan lalu." Gita mengangguk saja. Sepertinya dia harus buru-buru
"Tolong katakan pada Mama saya kamu akan mundur dari pernikahan ini." Sebaris kalimat tersebut akhirnya meluncur keluar setelah keduanya terjebak dalam keheningan. "Saya sama sekali gak punya perasaan apa pun dengan kamu."Ekspresi datar yang pria bernama Reynald itu tampilkan mengisyaratkan kalau dia sama sekali tidak peduli dengan tanggapan gadis di hadapannya. Bahkan, amplop coklat yang sedari tadi tersimpan di saku seragam dinasnya lantas tersodor di atas meja. "Ambil uang ini. Anggap saja itu sedikit kompensasi untuk kamu," titah polisi tampan tersebut seolah tidak punya perasaan ketika mengatakannya. "Nominalnya memang gak banyak, tapi saya harap itu cukup mengganti kerugian waktu yang kamu luangkan untuk menuruti kemauan Mama."Masih saja pria arogan ini menyambung ucapan demi ucapannya yang tidak berperasaan itu. Berharap wanita pilihan ibunya tersebut segera paham dan tidak menggangu kehidupannya lagi. Namun, wanita bernama lengkap Mahagita Arunika ini tetap saja bergeming
"Setelah sebelumnya kita udah ngecek gedung dan ngukur gaun, kali ini saya mau nunjukkin beberapa dekor yang sekiranya sesuai dengan konsep yang Mbak mau." Sebuah katalog berisi desain-desain dekor lekas Adel keluarkan di hadapan kliennya. Gita memajukan sedikit badannya demi meneliti desain dekor yang sedang Adel perlihatkan. "Kalau Mbak Gita masih bingung mau pilih yang mana, bisa diskusi dulu sama Mas Reynald," lanjut Adel sang asisten WO memberikan saran. Gita otomatis menoleh ke Adel. Sudah sejak tadi gadis muda itu melamun. Ah lebih tepatnya ketika dalam perjalanan tadi. Memang saat ini Gita sedang berada di gedung 'Akad' tempat Wedding Organizernya berdiri. Terlalu sering mereschedule meeting membuat Gita langsung tancap gas, melupakan air matanya yang telah menetes akibat ucapan menyakitkan Reynald tadi. Pun ketika Adel menyebut nama Reynald, ingatannya kembali memutar pertemuan singkat yang menjelaskan segala sikap dingin calon suaminya itu selama ini. Munafik kalau dia
Rania yang duduk tidak jauh dari menantunya lantas mengedarkan pandangan. Tentu dia mencari keberadaan putranya. Tak bisa dipungkiri ruangan 5 x 5 meter yang semula kosong sekarang telah penuh terisi. Hanya Gitalah yang duduk sendirian di bangkunya. "Kemana kamu Rey. Mama kira kamu gak bakal telat buat acara sepenting ini," gerutu Rania menyesali kenapa mereka tidak berangkat berbarengan saja tadi. Ah, tapi apa boleh buat nasi sudah menjadi bubur. Arah pandangan Rania hanya tertuju ke pintu saja. Dia sangat berharap anaknya tidak akan terlambat meski sedetik saja. "Gak usah panik ya Git. Mama yakin Reynald bentar lagi datang," seru Rania saat mengetikan pesan singkat ke calon menantunya. Gita yang sudah tidak tahu mau berbuat apa cuma bisa pasrah di tempat duduknya. Dia kalut bukan main mengingat ketidaksiapan Reynald membangun rumah tangga dengannya. Bagi Gita jika seorang laki-laki sudah membuat keputusan maka dia takkan menelan ludahnya sendiri.Sebagai bentuk kegelisahan terse
"Dinas keluar kota?" tanya Rani mengulang laporan supirnya barusan. Mendapat kabar seperti itu jelas dia terkejut padahal kemarin sang putra menyanggupi permintaannya untuk menemani Gita nyekar ke makam almarhum orangtuanya. Pun Rani mengirim Adi ke kosan calon menantunya demi mengantarkan ponsel anaknya yang tertinggal di rumah. Dia pikir mungkin Gita serta Reynald masih belum berangkat. Ternyata kabar yang dia dapatkan jauh lebih mengejutkan. "Apa Gitanya juga gak ada di kosan, Pak?" Makin beranak-pinaklah pertanyaan sang nyonya. Adi sampai menggaruk tengkuknya bingung harus menjawab seperti apa. "Pas saya ke sana tetangga Non Gita bilang Non Gitanya udah berangkat dari tadi pagi naik kereta." Jawaban Adi spontan membuat Rania berpikir keras. Sungguh dia tidak habis pikir. Naik kereta? Kemana anaknya itu sekarang? Kenapa sang putra tidak bisa mempertanggungjawabkan ucapannya? "Ini hape Mas Reynald, Bu."Rania mengambil telepon genggam pribadi yang seringkali Reynald gunakan. Li
Tidak ada yang bisa menebak seperti apa takdir akan berjalan. Pernikahan yang semula digadang-gadang akan dilaksanakan dua bulan lagi kini berada selangkah di depan mata. Bahkan, sang calon mempelai pria pun tak menyangka bahwa ibunya akan mengambil keputusan seperti ini. Begitu pula Gita yang cukup terkejut ketika dikabari oleh mertuanya tentang tanggal pernikahannya yang dimajukan lebih awal. Dia pikir calon suaminya itu akan bersikeras meminta pada Ibunya untuk membatalkan pernikahan sebelah pihak ini. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Tepat di hadapan rumah berlantai dua ini rombongan calon pengantin pria telah berdiri, siap memasuki kediaman calon mempelai wanita dengan membawa banyak seserahan di tangan. "Mbak Gita kalau mau lihat calon suaminya bisa lewat jendela dulu aja ya. Untuk sekarang masih belum bisa. Masih dipingit," goda salah satu perias yang mendandani Gita pada malam midodareni kali ini. Wajah perias itu bersemu memandangi Gita yang sejak tadi tampak gugup
Usai sudah pekerjaan Gita kali ini. Jadwal visit ke kamar-kamar pasien telah dia lakukan lima belas menit lalu. Bahkan, pekerjaannya cukup lancar sebab para penghuni kamar-kamar VIP itu tidak banyak tingkah. Mereka cenderung menyukai pelayanan yang Gita berikan. Pantas bila setiap akhir tahun penilaian kerjanya selalu memuaskan. Keramahan gadis itulah yang menjadi kunci. Berprofesi sebagai perawat sudah seharusnya kan Gita mengabdikan diri."Udah selesai sift kamu, Git?" Tiara bertanya tatkala melihat Gita keluar dari deretan kamar VIP tersebut. Kini mereka sedang berpapasan di lorong lantai lima dengan bawaan alat tempur masing-masing. "Udah, Ti. Minggu depan aku baru kebagian jaga malam," jelas Gita sangat mengingat jadwal tugasnya. "Kamu udah selesai juga?" Sekarang gantian Gita yang bertanya. Pasalnya, sang rekan terlihat hendak naik ke lantai enam belas. "Aku kebagian lembur kali ini, hehe. Gantiin cutiku yang bulan lalu." Gita mengangguk saja. Sepertinya dia harus buru-buru
Gita terus mengaduk sotonya dengan pandangan tidak minat. Aroma harum dari makanan berkuah itu entah mengapa urung menggugah seleranya. Ibaratkan, orangnya di sini pikirannya berlarian kemana-mana. Raut masam juga terbit dari bibir mungilnya. Setidaknya, itulah yang tengah Tiara perhatikan sekarang. Dia tidak tahu kenapa rekan sejawatnya ini tidak berselera padahal sudah berjam-jam mereka tertahan di UGD. Pun es jeruk yang es-nya telah mencair sedikit demi sedikit tak mampu menarik atensi Gita. "Git, dimakan sotonya. Masa cuma diaduk-aduk aja. Ini kan bukan bubur," celetuk Tiara sesudah menyeruput soto nan kaya akan rempah itu. Kepalanya sampai menoleh ke Gita selama beberapa menit. "Iyaa, Ti." Hanya itu yang Gita ucapkan sebelum dia menyantap soto miliknya. Namun, sama saja, raut tak berselera masih mewakili ekspresinya. Tiara yang tidak puas menilik ekspresi menyebalkan Gita lantas memutar otak. Dia mencari beberapa alasan yang tepat kenapa temannya bersikap seperti ini. Apa ja
Suasana di UGD mendadak chaos sesaat setelah lima belas pasien kecelakaan lalu lintas tiba di rumah sakit Delta Medikal. Beberapa koas dan dokter yang berjaga di UGD langsung bergegas memberi pertolongan pertama kepada para korban. Kondisi pasien yang sudah berdarah-darah menjadi tontonan semua orang. Beberapa pasien rawat jalan yang sedang melintas di lobi kelihatan bergidik ngeri melihat keadaan korban luka parah akibat kecelakaan beruntun tersebut. "Tolong minggir." Begitulah suara yang terdengar di antara rintihan kesakitan para korban. Salah satu dari korban-korban kecelakaan itu ada yang sudah tidak sadarkan diri. Mungkin dialah si korban utama dalam kecelakaan ini. Petugas ambulans yang membawa korban-korban itu terlihat terburu-buru seolah tengah dikejar setan. Tidak ada ketakutan tersirat di mata mereka kala sedekat itu menyaksikan kondisi mengenaskan si korban.Sesampainya di UGD ketujuh korban luka-luka tersebut langsung ditempatkan di bilik-bilik yang memang sedang koso
Dengan langkah pelan, Reynald menggeret kakinya menuju dapur. Suasana hening malam mengisi selasar lantai dua tempat dia berpijak sekarang. Dapur bersih yang seringkali ditujukan untuk menghidangkan makanan yang sudah selesai dimasak sekarang menjadi destinasi tujuannya. Tempat yang kadang dimanfaatkan Rania untuk menyantap cemilan dan berbagai hidangan lainnya. Belum sempat menginjakan kaki di kamar, cacing-cacing di perutnya lebih dulu berbunyi minta diisi.Terlebih cuaca dingin malam hari yang membuatnya sangat lapar. Mau membangunkan Ria pun dia tidak tahu apakah sang asisten rumah tangga masih terjaga di tengah malam begini. "Apa minta tolong Pak Abdi aja buat beliin makanan di luar?" Reynald berbicara pada dirinya sendiri. Sungguh perutnya sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Sementara di kamar, Gita masih sibuk dengan ponselnya. Jari-jarinya lancar mengetikan huruf demi huruf, membalas pesan Tia, teman kerjanya yang saat ini mendapat jatah sift malam. Selesai membalas
"Dimana jam tangannya padahal semalam ada di sini." Decakan kecil Reynald terdengar pagi ini padahal sebelum-sebelumnya dia tidak pernah merasa kesusahan seperti ini. Netra tajamnya langsung mengarah ke satu titik. Siapa lagi kalau bukan Mahagita Arunika yang sedang dia tatap sedemikian rupa. Wanita yang menggunakan kaos oblong panjang tersebut nampak fokus menata meja yang terletak di sudut ruangan.Entah apa yang wanita itu lakukan, melihatnya saja sudah membuat Rey jengkel setengah mati. Dia sudah sangat paham siapa yang mengubah tatanan barang di kamar ini. Namun, bukannya bertanya, Reynald memilih membuka lemari. Mengambil arloji berwarna silver yang dia beli dua tahun lalu. Jam mahal keluaran brand ternama. Meski tak bersuara raut sinis tetap tak mampu dia hilangkan. Sungguh dia muak dengan perempuan muda tidak tahu diri itu. Kekesalan Reynald dapat Gita sadari. Pergerakan sang suami yang tiba-tiba membuka lemari kayu jelas membuat kepala Gita otomatis mendongak lalu menghent
Reynald begitu tenang mengunci mulutnya tatkala melihat bayangan sang ibu. Keterdiaman Gita semula jelas membuat dia bingung sekaligus heran sebab dari gestur perempuan itu yang hendak mendebat tiba-tiba terdiam. Beruntung dia tidak melanjutkan kalimatnya tadi. Tapi, jika itu terjadi bukankah lebih baik? Biarlah ibunya kecewa di awal yang penting pernikahan ini bisa segera berakhir. Reynald betul-betul tidak menaruh perasaan apa pun terhadap wanita yang sekarang menjadi istrinya. Pun rasa tidak sukanya bertambah saat menyadari ada yang gadis ini inginkan dari keluarganya.Sementara Rania justru menatap anak serta menantunya bergantian. Apa yang terjadi dengan dua anak manusia ini? Kenapa mereka saling menatap seperti itu. Namun, bukan itu yang jadi masalahnya sekarang. "Rey kamu nampak kunci Sedan Mama?" Pertanyaan Rania menyebabkan Rey menaikan alisnya. "Mobil yang biasa Mama pakai ternyata masih di bengkel. Adi bilang baru bisa diambil besok."Bukannya Reynald yang merasa lega men
Gita membuang napas panjang. Sudah dia duga akan jadi seperti ini. Bukannya berada di dalam kamar pengantinnya, pria bernama belakang Braga tersebut malah meninggalkan sang istri sendirian dan sekarang dia terlelap dengan nyenyaknya di atas ranjang penuh kelopak mawar yang ditata sedemikian rupa."Harusnya gak perlu kaget kan?" Monolog Gita menertawakan kebodohannya sendiri. Kepalanya yang kini menegak terus memperhatikan laju napas sang suami yang berderu sangat tenang. Berbanding terbalik dengan hatinya yang entah kenapa merasa terluka. Langit yang masih gelap gulita di luar sana meski jam sudah menunjukkan pukul empat pagi kontan memperjelas rasa benci pria ini terhadap dirinya. Bukannya Gita tidak tahu kepulangan Reynald yang seperti pencuri, mengendap-ngendap masuk dari jendela kamar yang terhubung ke balkon. Semua itu Gita saksikan dalam tidur pura-puranya. Menyedihkan sekali bukan? Hatinya cukup rapuh menerima fakta menyakitkan itu. Di tengah lamunannya terdengar suara azan
Tidak ada yang bisa menebak seperti apa takdir akan berjalan. Pernikahan yang semula digadang-gadang akan dilaksanakan dua bulan lagi kini berada selangkah di depan mata. Bahkan, sang calon mempelai pria pun tak menyangka bahwa ibunya akan mengambil keputusan seperti ini. Begitu pula Gita yang cukup terkejut ketika dikabari oleh mertuanya tentang tanggal pernikahannya yang dimajukan lebih awal. Dia pikir calon suaminya itu akan bersikeras meminta pada Ibunya untuk membatalkan pernikahan sebelah pihak ini. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Tepat di hadapan rumah berlantai dua ini rombongan calon pengantin pria telah berdiri, siap memasuki kediaman calon mempelai wanita dengan membawa banyak seserahan di tangan. "Mbak Gita kalau mau lihat calon suaminya bisa lewat jendela dulu aja ya. Untuk sekarang masih belum bisa. Masih dipingit," goda salah satu perias yang mendandani Gita pada malam midodareni kali ini. Wajah perias itu bersemu memandangi Gita yang sejak tadi tampak gugup
"Dinas keluar kota?" tanya Rani mengulang laporan supirnya barusan. Mendapat kabar seperti itu jelas dia terkejut padahal kemarin sang putra menyanggupi permintaannya untuk menemani Gita nyekar ke makam almarhum orangtuanya. Pun Rani mengirim Adi ke kosan calon menantunya demi mengantarkan ponsel anaknya yang tertinggal di rumah. Dia pikir mungkin Gita serta Reynald masih belum berangkat. Ternyata kabar yang dia dapatkan jauh lebih mengejutkan. "Apa Gitanya juga gak ada di kosan, Pak?" Makin beranak-pinaklah pertanyaan sang nyonya. Adi sampai menggaruk tengkuknya bingung harus menjawab seperti apa. "Pas saya ke sana tetangga Non Gita bilang Non Gitanya udah berangkat dari tadi pagi naik kereta." Jawaban Adi spontan membuat Rania berpikir keras. Sungguh dia tidak habis pikir. Naik kereta? Kemana anaknya itu sekarang? Kenapa sang putra tidak bisa mempertanggungjawabkan ucapannya? "Ini hape Mas Reynald, Bu."Rania mengambil telepon genggam pribadi yang seringkali Reynald gunakan. Li