"Dinas keluar kota?" tanya Rani mengulang laporan supirnya barusan. Mendapat kabar seperti itu jelas dia terkejut padahal kemarin sang putra menyanggupi permintaannya untuk menemani Gita nyekar ke makam almarhum orangtuanya.
Pun Rani mengirim Adi ke kosan calon menantunya demi mengantarkan ponsel anaknya yang tertinggal di rumah. Dia pikir mungkin Gita serta Reynald masih belum berangkat. Ternyata kabar yang dia dapatkan jauh lebih mengejutkan."Apa Gitanya juga gak ada di kosan, Pak?" Makin beranak-pinaklah pertanyaan sang nyonya. Adi sampai menggaruk tengkuknya bingung harus menjawab seperti apa."Pas saya ke sana tetangga Non Gita bilang Non Gitanya udah berangkat dari tadi pagi naik kereta." Jawaban Adi spontan membuat Rania berpikir keras. Sungguh dia tidak habis pikir.Naik kereta? Kemana anaknya itu sekarang? Kenapa sang putra tidak bisa mempertanggungjawabkan ucapannya?"Ini hape Mas Reynald, Bu."Rania mengambil telepon genggam pribadi yang seringkali Reynald gunakan. Lipatan di dahi Ibu satu anak itu kentara terlihat tatkala Adel memandanginya.Sudah dia duga pasti ada yang tidak beres dengan kliennya kali ini. Absennya Reynald dalam setiap meeting menyebabkan gadis dua puluh delapan tahun tersebut mulai berpikir macam-macam.Menyaksikan ekspresi serius Adel, Arga rasanya ingin terbahak di dalam hati. Kenapa raut wajah temannya selucu ini. Tidakah dia sadari Reynald memang se-red flag itu?Padahal sudah sering Arga memvalidasi perasaan aneh Adel ketika pertama kali berjumpa dengan sang klien untuk membicarakan konsep gedung dan lain-lain.****"Baru kali ini lihat Bu Rani sampai sesibuk itu ngehubungi Mas Reynald. Kayaknya emang Mas Reynald udah ngelakuin kesalahan deh." Ria nyeletuk tanpa filter tatkala matanya menangkap sang majikan mondar-mandir di ruang tamu sembari terus menelpon anaknya."Jelaslah. Apa pernah sebelumnya Mas Reynald kayak gini, Mbak Ri? Gak kan? Mas Reynald itu selalu nurut sama Tante Rani dan sekarang dia pergi bilangnya kemana, jalannya kemana," balas Dandy yang sudah sangat akrab dengan asisten di rumah ini.Sampai dia nimbrung bersama dua pekerja Rania. Pun mereka nampak santai duduk lesehan di pinggir kolam berenang. Masalahnya kalau bukan Dandy yang butuh udara segar dan kebosanan di dalam rumah mana mungkin mereka terdampar di sini.Saking banyaknya seserahan yang akan diberikan membuat mereka menghabiskan waktu lama membungkus serta menata barang-barang tersebut."Saya rasa Mas Reynald gak berani nolak tugas dari komandannya makanya Mas Reynald batal nganterin Mbak Gita nyekar ke makam orangtuanya." Marno yang beberapa menit lalu asyik merenung memikirkan kemana anak majikannya."Bisa jadi gitu, Pak Marno. Apalagi Mas Reynald ambis banget kalau udah urusannya sama karir."Dandy malah melanjutkan kalimat Marno, menyambung asumsi yang terlintas di kepalanya. Dia memeluk lututnya sembari menengadah ke atas merasakan embusan angin yang berlalu lalang di sekitaran kolam berenang."Tapi, Mas Dandy sadar gak sih, Mas Reynald itu gak pernah nunjukkin kedekatannya sama Mbak Gita. Kayak kurang gitu chemistry-nya padahal sebentar lagi mereka mau nikah."Marno langsung memukul pundak Ria. Omongannya sudah mulai kemana-mana. Persis seperti emak-emak yang sedang bergosip dengan gengnya."Huss, gak usah ngomong sembarangan Ri. Kita kan gak tahu gimana hubungannya Mas Reynald sama Mbak Gita."Ria langsung manyun ditegur seperti itu. Lagipula, semua yang dikatakan berdasarkan fakta dilapangan bukan sekedar omong kosong belaka."Santai aja kali, Pak. Itukan berdasarkan penglihatan saya."Dandy terdiam beberapa saat. Entah kenapa tiba-tiba kepalanya mulai mencerna ucapan pembantu tantenya. Jujur, pun selama ini dia sangat jarang menyaksikan kedekatan antara kakak sepupunya itu dengan sang calon. Ah, tidak, bukan jarang melainkan tidak pernah."Saya juga ngerasa gitu Mbak. Kayak gak ada chemistri-nya mereka berdua. Flat." Komentar Dandy makin menambah bumbu gosip yang tanpa sadar telah mereka lakukan sejak sepuluh menit lalu.."Nah Mas Dandy aja ngerasa gitu," timpal Ria membenarkan.Marno cuma geleng-geleng kepala mendengarnya. Dia takut Bu Rani menangkap pembicaraan mengada-ngada dua orang ini. Terlebih kalau sang majikan sampai kepikiran dan membuat kondisi kesehatannya terganggu."Apalagi Mas Reynald dijodohin. Mungkin karena gak berani nolak mamanya dia diam aja." Dandy mengatakan hal tersebut saat matanya memperhatikan sang tante yang masih sibuk bersama ponsel serta telepon rumahnya."Iya, Mas. Tapi kasihan Mbak Gitanya kalau beneran Mas Reynald diam-diam gak setuju sama perjodohan ini." Helaan napas keluar dari mulut Ria.Dia tidak bisa membayangkan bagaimana sengsaranya hidup Gita karena tidak dicintai oleh sang suami. Pasti akan lebih dramatis daripada sinetron yang sering dia tonton di televisi.Saling terjebak keheningan selama beberapa menit terdengarlah suara mobil yang memasuki gerbang. Dandy yang terlanjur kepo memusatkan padangannya."Itu mobilnya Mas Reynald kan, Pak?" tanya Dandy kepada tukang kebun Rani.Mendapat pertanyaan seperti itu, Pak Marno ikut melongokan kepalanya, memperhatikan mobil yang baru saja melintas di depan matanya. Kolam berenang terbuka yang majikannya desain sendiri ini membuat mereka bisa melihat siapa saja yang sedang berkunjung."Lha, iya Mas. Itu mobilnya Mas Reynald.""Lho beneran Mas Reynald." Bukan lagi mobil orangnya pun sudah terlihat jelas baru turun dari kendaraan.Tanpa aba-aba mereka langsung menuju ke ruang tamu, tempat dimana Rania, nyonya berdiam diri menunggu kepulangan anak sematawayangnya."Darimana aja kamu Nak?" Rania yang baru melihat kedatangan putranya secepat kilat bertanya. Hatinya sedari tadi ingin sekali mendengar penjelasan kenapa putranya itu sampai hati membohongi dirinya. "Kenapa dari tadi hape kamu gak bisa dihubungi?""Bener kamu sama sekali batal ngantar Gita nyekar ke makam orangtuanya?"Rentetan pertanyaan beruntun memborbardir Reynald. Rania seakan tidak memberi putranya waktu untuk menghindar dari pertanyaan tersebut."Kenapa diam? Kamu bohongi mama kan? Kamu bilang bakal nganterin Gita tapi nyatanya kamu pergi keluar kota tanpa sepengetahuan siapa pun," tantang Rania menuntut Reynald untuk terus terang.Binar kekecewaan terpatri di bola matanya. Selama tiga puluh dua tahun baru kali ini dia dibohongi sedemikian rupa oleh sang putra."Mama kecewa sama kamu Rey. Mama gak tahu lagi harus bicara apa. Mama malu sama Gita. Awalnya Mama masih positif thinking ngelihat interaksi kalian waktu itu. Ternyata feeling Mama salah."Rania mendudukan dirinya di sofa. Dia semakin kecewa karena keterdiaman Rey yang sama dengan membenarkan semua pertanyaannya.Air mata wanita lima puluh lima tahun itu pun sedikit menetes. Entah bagaimana caranya dia minta maaf dengan sang calon menantu. Pasti gadis itu juga kecewa."Pokoknya Mama gak mau tahu, pernikahan kamu bakal Mama percepat. Lebih cepat lebih baik," putus Rania tidak akan membiarkan perjodohan ini berakhir begitu saja.****Tidak ada yang bisa menebak seperti apa takdir akan berjalan. Pernikahan yang semula digadang-gadang akan dilaksanakan dua bulan lagi kini berada selangkah di depan mata. Bahkan, sang calon mempelai pria pun tak menyangka bahwa ibunya akan mengambil keputusan seperti ini. Begitu pula Gita yang cukup terkejut ketika dikabari oleh mertuanya tentang tanggal pernikahannya yang dimajukan lebih awal. Dia pikir calon suaminya itu akan bersikeras meminta pada Ibunya untuk membatalkan pernikahan sebelah pihak ini. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Tepat di hadapan rumah berlantai dua ini rombongan calon pengantin pria telah berdiri, siap memasuki kediaman calon mempelai wanita dengan membawa banyak seserahan di tangan. "Mbak Gita kalau mau lihat calon suaminya bisa lewat jendela dulu aja ya. Untuk sekarang masih belum bisa. Masih dipingit," goda salah satu perias yang mendandani Gita pada malam midodareni kali ini. Wajah perias itu bersemu memandangi Gita yang sejak tadi tampak gugup
Gita membuang napas panjang. Sudah dia duga akan jadi seperti ini. Bukannya berada di dalam kamar pengantinnya, pria bernama belakang Braga tersebut malah meninggalkan sang istri sendirian dan sekarang dia terlelap dengan nyenyaknya di atas ranjang penuh kelopak mawar yang ditata sedemikian rupa."Harusnya gak perlu kaget kan?" Monolog Gita menertawakan kebodohannya sendiri. Kepalanya yang kini menegak terus memperhatikan laju napas sang suami yang berderu sangat tenang. Berbanding terbalik dengan hatinya yang entah kenapa merasa terluka. Langit yang masih gelap gulita di luar sana meski jam sudah menunjukkan pukul empat pagi kontan memperjelas rasa benci pria ini terhadap dirinya. Bukannya Gita tidak tahu kepulangan Reynald yang seperti pencuri, mengendap-ngendap masuk dari jendela kamar yang terhubung ke balkon. Semua itu Gita saksikan dalam tidur pura-puranya. Menyedihkan sekali bukan? Hatinya cukup rapuh menerima fakta menyakitkan itu. Di tengah lamunannya terdengar suara azan
Reynald begitu tenang mengunci mulutnya tatkala melihat bayangan sang ibu. Keterdiaman Gita semula jelas membuat dia bingung sekaligus heran sebab dari gestur perempuan itu yang hendak mendebat tiba-tiba terdiam. Beruntung dia tidak melanjutkan kalimatnya tadi. Tapi, jika itu terjadi bukankah lebih baik? Biarlah ibunya kecewa di awal yang penting pernikahan ini bisa segera berakhir. Reynald betul-betul tidak menaruh perasaan apa pun terhadap wanita yang sekarang menjadi istrinya. Pun rasa tidak sukanya bertambah saat menyadari ada yang gadis ini inginkan dari keluarganya.Sementara Rania justru menatap anak serta menantunya bergantian. Apa yang terjadi dengan dua anak manusia ini? Kenapa mereka saling menatap seperti itu. Namun, bukan itu yang jadi masalahnya sekarang. "Rey kamu nampak kunci Sedan Mama?" Pertanyaan Rania menyebabkan Rey menaikan alisnya. "Mobil yang biasa Mama pakai ternyata masih di bengkel. Adi bilang baru bisa diambil besok."Bukannya Reynald yang merasa lega men
"Dimana jam tangannya padahal semalam ada di sini." Decakan kecil Reynald terdengar pagi ini padahal sebelum-sebelumnya dia tidak pernah merasa kesusahan seperti ini. Netra tajamnya langsung mengarah ke satu titik. Siapa lagi kalau bukan Mahagita Arunika yang sedang dia tatap sedemikian rupa. Wanita yang menggunakan kaos oblong panjang tersebut nampak fokus menata meja yang terletak di sudut ruangan.Entah apa yang wanita itu lakukan, melihatnya saja sudah membuat Rey jengkel setengah mati. Dia sudah sangat paham siapa yang mengubah tatanan barang di kamar ini. Namun, bukannya bertanya, Reynald memilih membuka lemari. Mengambil arloji berwarna silver yang dia beli dua tahun lalu. Jam mahal keluaran brand ternama. Meski tak bersuara raut sinis tetap tak mampu dia hilangkan. Sungguh dia muak dengan perempuan muda tidak tahu diri itu. Kekesalan Reynald dapat Gita sadari. Pergerakan sang suami yang tiba-tiba membuka lemari kayu jelas membuat kepala Gita otomatis mendongak lalu menghent
Dengan langkah pelan, Reynald menggeret kakinya menuju dapur. Suasana hening malam mengisi selasar lantai dua tempat dia berpijak sekarang. Dapur bersih yang seringkali ditujukan untuk menghidangkan makanan yang sudah selesai dimasak sekarang menjadi destinasi tujuannya. Tempat yang kadang dimanfaatkan Rania untuk menyantap cemilan dan berbagai hidangan lainnya. Belum sempat menginjakan kaki di kamar, cacing-cacing di perutnya lebih dulu berbunyi minta diisi.Terlebih cuaca dingin malam hari yang membuatnya sangat lapar. Mau membangunkan Ria pun dia tidak tahu apakah sang asisten rumah tangga masih terjaga di tengah malam begini. "Apa minta tolong Pak Abdi aja buat beliin makanan di luar?" Reynald berbicara pada dirinya sendiri. Sungguh perutnya sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Sementara di kamar, Gita masih sibuk dengan ponselnya. Jari-jarinya lancar mengetikan huruf demi huruf, membalas pesan Tia, teman kerjanya yang saat ini mendapat jatah sift malam. Selesai membalas
Suasana di UGD mendadak chaos sesaat setelah lima belas pasien kecelakaan lalu lintas tiba di rumah sakit Delta Medikal. Beberapa koas dan dokter yang berjaga di UGD langsung bergegas memberi pertolongan pertama kepada para korban. Kondisi pasien yang sudah berdarah-darah menjadi tontonan semua orang. Beberapa pasien rawat jalan yang sedang melintas di lobi kelihatan bergidik ngeri melihat keadaan korban luka parah akibat kecelakaan beruntun tersebut. "Tolong minggir." Begitulah suara yang terdengar di antara rintihan kesakitan para korban. Salah satu dari korban-korban kecelakaan itu ada yang sudah tidak sadarkan diri. Mungkin dialah si korban utama dalam kecelakaan ini. Petugas ambulans yang membawa korban-korban itu terlihat terburu-buru seolah tengah dikejar setan. Tidak ada ketakutan tersirat di mata mereka kala sedekat itu menyaksikan kondisi mengenaskan si korban.Sesampainya di UGD ketujuh korban luka-luka tersebut langsung ditempatkan di bilik-bilik yang memang sedang koso
Gita terus mengaduk sotonya dengan pandangan tidak minat. Aroma harum dari makanan berkuah itu entah mengapa urung menggugah seleranya. Ibaratkan, orangnya di sini pikirannya berlarian kemana-mana. Raut masam juga terbit dari bibir mungilnya. Setidaknya, itulah yang tengah Tiara perhatikan sekarang. Dia tidak tahu kenapa rekan sejawatnya ini tidak berselera padahal sudah berjam-jam mereka tertahan di UGD. Pun es jeruk yang es-nya telah mencair sedikit demi sedikit tak mampu menarik atensi Gita. "Git, dimakan sotonya. Masa cuma diaduk-aduk aja. Ini kan bukan bubur," celetuk Tiara sesudah menyeruput soto nan kaya akan rempah itu. Kepalanya sampai menoleh ke Gita selama beberapa menit. "Iyaa, Ti." Hanya itu yang Gita ucapkan sebelum dia menyantap soto miliknya. Namun, sama saja, raut tak berselera masih mewakili ekspresinya. Tiara yang tidak puas menilik ekspresi menyebalkan Gita lantas memutar otak. Dia mencari beberapa alasan yang tepat kenapa temannya bersikap seperti ini. Apa ja
Usai sudah pekerjaan Gita kali ini. Jadwal visit ke kamar-kamar pasien telah dia lakukan lima belas menit lalu. Bahkan, pekerjaannya cukup lancar sebab para penghuni kamar-kamar VIP itu tidak banyak tingkah. Mereka cenderung menyukai pelayanan yang Gita berikan. Pantas bila setiap akhir tahun penilaian kerjanya selalu memuaskan. Keramahan gadis itulah yang menjadi kunci. Berprofesi sebagai perawat sudah seharusnya kan Gita mengabdikan diri."Udah selesai sift kamu, Git?" Tiara bertanya tatkala melihat Gita keluar dari deretan kamar VIP tersebut. Kini mereka sedang berpapasan di lorong lantai lima dengan bawaan alat tempur masing-masing. "Udah, Ti. Minggu depan aku baru kebagian jaga malam," jelas Gita sangat mengingat jadwal tugasnya. "Kamu udah selesai juga?" Sekarang gantian Gita yang bertanya. Pasalnya, sang rekan terlihat hendak naik ke lantai enam belas. "Aku kebagian lembur kali ini, hehe. Gantiin cutiku yang bulan lalu." Gita mengangguk saja. Sepertinya dia harus buru-buru
Usai sudah pekerjaan Gita kali ini. Jadwal visit ke kamar-kamar pasien telah dia lakukan lima belas menit lalu. Bahkan, pekerjaannya cukup lancar sebab para penghuni kamar-kamar VIP itu tidak banyak tingkah. Mereka cenderung menyukai pelayanan yang Gita berikan. Pantas bila setiap akhir tahun penilaian kerjanya selalu memuaskan. Keramahan gadis itulah yang menjadi kunci. Berprofesi sebagai perawat sudah seharusnya kan Gita mengabdikan diri."Udah selesai sift kamu, Git?" Tiara bertanya tatkala melihat Gita keluar dari deretan kamar VIP tersebut. Kini mereka sedang berpapasan di lorong lantai lima dengan bawaan alat tempur masing-masing. "Udah, Ti. Minggu depan aku baru kebagian jaga malam," jelas Gita sangat mengingat jadwal tugasnya. "Kamu udah selesai juga?" Sekarang gantian Gita yang bertanya. Pasalnya, sang rekan terlihat hendak naik ke lantai enam belas. "Aku kebagian lembur kali ini, hehe. Gantiin cutiku yang bulan lalu." Gita mengangguk saja. Sepertinya dia harus buru-buru
Gita terus mengaduk sotonya dengan pandangan tidak minat. Aroma harum dari makanan berkuah itu entah mengapa urung menggugah seleranya. Ibaratkan, orangnya di sini pikirannya berlarian kemana-mana. Raut masam juga terbit dari bibir mungilnya. Setidaknya, itulah yang tengah Tiara perhatikan sekarang. Dia tidak tahu kenapa rekan sejawatnya ini tidak berselera padahal sudah berjam-jam mereka tertahan di UGD. Pun es jeruk yang es-nya telah mencair sedikit demi sedikit tak mampu menarik atensi Gita. "Git, dimakan sotonya. Masa cuma diaduk-aduk aja. Ini kan bukan bubur," celetuk Tiara sesudah menyeruput soto nan kaya akan rempah itu. Kepalanya sampai menoleh ke Gita selama beberapa menit. "Iyaa, Ti." Hanya itu yang Gita ucapkan sebelum dia menyantap soto miliknya. Namun, sama saja, raut tak berselera masih mewakili ekspresinya. Tiara yang tidak puas menilik ekspresi menyebalkan Gita lantas memutar otak. Dia mencari beberapa alasan yang tepat kenapa temannya bersikap seperti ini. Apa ja
Suasana di UGD mendadak chaos sesaat setelah lima belas pasien kecelakaan lalu lintas tiba di rumah sakit Delta Medikal. Beberapa koas dan dokter yang berjaga di UGD langsung bergegas memberi pertolongan pertama kepada para korban. Kondisi pasien yang sudah berdarah-darah menjadi tontonan semua orang. Beberapa pasien rawat jalan yang sedang melintas di lobi kelihatan bergidik ngeri melihat keadaan korban luka parah akibat kecelakaan beruntun tersebut. "Tolong minggir." Begitulah suara yang terdengar di antara rintihan kesakitan para korban. Salah satu dari korban-korban kecelakaan itu ada yang sudah tidak sadarkan diri. Mungkin dialah si korban utama dalam kecelakaan ini. Petugas ambulans yang membawa korban-korban itu terlihat terburu-buru seolah tengah dikejar setan. Tidak ada ketakutan tersirat di mata mereka kala sedekat itu menyaksikan kondisi mengenaskan si korban.Sesampainya di UGD ketujuh korban luka-luka tersebut langsung ditempatkan di bilik-bilik yang memang sedang koso
Dengan langkah pelan, Reynald menggeret kakinya menuju dapur. Suasana hening malam mengisi selasar lantai dua tempat dia berpijak sekarang. Dapur bersih yang seringkali ditujukan untuk menghidangkan makanan yang sudah selesai dimasak sekarang menjadi destinasi tujuannya. Tempat yang kadang dimanfaatkan Rania untuk menyantap cemilan dan berbagai hidangan lainnya. Belum sempat menginjakan kaki di kamar, cacing-cacing di perutnya lebih dulu berbunyi minta diisi.Terlebih cuaca dingin malam hari yang membuatnya sangat lapar. Mau membangunkan Ria pun dia tidak tahu apakah sang asisten rumah tangga masih terjaga di tengah malam begini. "Apa minta tolong Pak Abdi aja buat beliin makanan di luar?" Reynald berbicara pada dirinya sendiri. Sungguh perutnya sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Sementara di kamar, Gita masih sibuk dengan ponselnya. Jari-jarinya lancar mengetikan huruf demi huruf, membalas pesan Tia, teman kerjanya yang saat ini mendapat jatah sift malam. Selesai membalas
"Dimana jam tangannya padahal semalam ada di sini." Decakan kecil Reynald terdengar pagi ini padahal sebelum-sebelumnya dia tidak pernah merasa kesusahan seperti ini. Netra tajamnya langsung mengarah ke satu titik. Siapa lagi kalau bukan Mahagita Arunika yang sedang dia tatap sedemikian rupa. Wanita yang menggunakan kaos oblong panjang tersebut nampak fokus menata meja yang terletak di sudut ruangan.Entah apa yang wanita itu lakukan, melihatnya saja sudah membuat Rey jengkel setengah mati. Dia sudah sangat paham siapa yang mengubah tatanan barang di kamar ini. Namun, bukannya bertanya, Reynald memilih membuka lemari. Mengambil arloji berwarna silver yang dia beli dua tahun lalu. Jam mahal keluaran brand ternama. Meski tak bersuara raut sinis tetap tak mampu dia hilangkan. Sungguh dia muak dengan perempuan muda tidak tahu diri itu. Kekesalan Reynald dapat Gita sadari. Pergerakan sang suami yang tiba-tiba membuka lemari kayu jelas membuat kepala Gita otomatis mendongak lalu menghent
Reynald begitu tenang mengunci mulutnya tatkala melihat bayangan sang ibu. Keterdiaman Gita semula jelas membuat dia bingung sekaligus heran sebab dari gestur perempuan itu yang hendak mendebat tiba-tiba terdiam. Beruntung dia tidak melanjutkan kalimatnya tadi. Tapi, jika itu terjadi bukankah lebih baik? Biarlah ibunya kecewa di awal yang penting pernikahan ini bisa segera berakhir. Reynald betul-betul tidak menaruh perasaan apa pun terhadap wanita yang sekarang menjadi istrinya. Pun rasa tidak sukanya bertambah saat menyadari ada yang gadis ini inginkan dari keluarganya.Sementara Rania justru menatap anak serta menantunya bergantian. Apa yang terjadi dengan dua anak manusia ini? Kenapa mereka saling menatap seperti itu. Namun, bukan itu yang jadi masalahnya sekarang. "Rey kamu nampak kunci Sedan Mama?" Pertanyaan Rania menyebabkan Rey menaikan alisnya. "Mobil yang biasa Mama pakai ternyata masih di bengkel. Adi bilang baru bisa diambil besok."Bukannya Reynald yang merasa lega men
Gita membuang napas panjang. Sudah dia duga akan jadi seperti ini. Bukannya berada di dalam kamar pengantinnya, pria bernama belakang Braga tersebut malah meninggalkan sang istri sendirian dan sekarang dia terlelap dengan nyenyaknya di atas ranjang penuh kelopak mawar yang ditata sedemikian rupa."Harusnya gak perlu kaget kan?" Monolog Gita menertawakan kebodohannya sendiri. Kepalanya yang kini menegak terus memperhatikan laju napas sang suami yang berderu sangat tenang. Berbanding terbalik dengan hatinya yang entah kenapa merasa terluka. Langit yang masih gelap gulita di luar sana meski jam sudah menunjukkan pukul empat pagi kontan memperjelas rasa benci pria ini terhadap dirinya. Bukannya Gita tidak tahu kepulangan Reynald yang seperti pencuri, mengendap-ngendap masuk dari jendela kamar yang terhubung ke balkon. Semua itu Gita saksikan dalam tidur pura-puranya. Menyedihkan sekali bukan? Hatinya cukup rapuh menerima fakta menyakitkan itu. Di tengah lamunannya terdengar suara azan
Tidak ada yang bisa menebak seperti apa takdir akan berjalan. Pernikahan yang semula digadang-gadang akan dilaksanakan dua bulan lagi kini berada selangkah di depan mata. Bahkan, sang calon mempelai pria pun tak menyangka bahwa ibunya akan mengambil keputusan seperti ini. Begitu pula Gita yang cukup terkejut ketika dikabari oleh mertuanya tentang tanggal pernikahannya yang dimajukan lebih awal. Dia pikir calon suaminya itu akan bersikeras meminta pada Ibunya untuk membatalkan pernikahan sebelah pihak ini. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Tepat di hadapan rumah berlantai dua ini rombongan calon pengantin pria telah berdiri, siap memasuki kediaman calon mempelai wanita dengan membawa banyak seserahan di tangan. "Mbak Gita kalau mau lihat calon suaminya bisa lewat jendela dulu aja ya. Untuk sekarang masih belum bisa. Masih dipingit," goda salah satu perias yang mendandani Gita pada malam midodareni kali ini. Wajah perias itu bersemu memandangi Gita yang sejak tadi tampak gugup
"Dinas keluar kota?" tanya Rani mengulang laporan supirnya barusan. Mendapat kabar seperti itu jelas dia terkejut padahal kemarin sang putra menyanggupi permintaannya untuk menemani Gita nyekar ke makam almarhum orangtuanya. Pun Rani mengirim Adi ke kosan calon menantunya demi mengantarkan ponsel anaknya yang tertinggal di rumah. Dia pikir mungkin Gita serta Reynald masih belum berangkat. Ternyata kabar yang dia dapatkan jauh lebih mengejutkan. "Apa Gitanya juga gak ada di kosan, Pak?" Makin beranak-pinaklah pertanyaan sang nyonya. Adi sampai menggaruk tengkuknya bingung harus menjawab seperti apa. "Pas saya ke sana tetangga Non Gita bilang Non Gitanya udah berangkat dari tadi pagi naik kereta." Jawaban Adi spontan membuat Rania berpikir keras. Sungguh dia tidak habis pikir. Naik kereta? Kemana anaknya itu sekarang? Kenapa sang putra tidak bisa mempertanggungjawabkan ucapannya? "Ini hape Mas Reynald, Bu."Rania mengambil telepon genggam pribadi yang seringkali Reynald gunakan. Li