Gita membuang napas panjang. Sudah dia duga akan jadi seperti ini. Bukannya berada di dalam kamar pengantinnya, pria bernama belakang Braga tersebut malah meninggalkan sang istri sendirian dan sekarang dia terlelap dengan nyenyaknya di atas ranjang penuh kelopak mawar yang ditata sedemikian rupa.
"Harusnya gak perlu kaget kan?" Monolog Gita menertawakan kebodohannya sendiri. Kepalanya yang kini menegak terus memperhatikan laju napas sang suami yang berderu sangat tenang. Berbanding terbalik dengan hatinya yang entah kenapa merasa terluka.Langit yang masih gelap gulita di luar sana meski jam sudah menunjukkan pukul empat pagi kontan memperjelas rasa benci pria ini terhadap dirinya. Bukannya Gita tidak tahu kepulangan Reynald yang seperti pencuri, mengendap-ngendap masuk dari jendela kamar yang terhubung ke balkon.Semua itu Gita saksikan dalam tidur pura-puranya. Menyedihkan sekali bukan? Hatinya cukup rapuh menerima fakta menyakitkan itu.Di tengah lamunannya terdengar suara azan berkumandang dari luar. "Daripada memikirkan itu lebih baik aku sholat." Gita kontan memutus pandangannya dari Reynald.Dia segera beranjak dari ranjang lalu berjalan memasuki kamar mandi. Bahkan, seisi kamar mandi ini pun ditata dengan baik. Terlihat dari lilin aromaterapi yang diletakkan di sekeliling batt-up.Tanpa perlu berlama-lama Gita langsung memasuki bat-up tersebut. Gaun tidur satin berwarna nude yang tadi dia kenakan telah lepas dari tubuhnya. Water heater yang terletak tidak jauh dari batt-up sesegera mungkin dia nyalakan.Tiga puluh menit berlalu gadis cantik tersebut telah bersih dan kelihatan segar. Tentu dengan rambut panjangnya yang basah sempurna.Orang lain mungkin akan menyalahpahaminya karena keramas sepagi ini. Apalagi untuk seukuran pengantin baru sepertinya. Jangankan mandi junub, sang suami meliriknya saja tidak.Sekali lagi Gita ditampar oleh kenyataan. Inikah takdir yang Tuhan tuliskan untuknya."Gak usah terlalu dipikirin, Git. Kamu cukup jadi istri dan menantu yang baik sekarang," ujar Gita menyemangati dirinya. Untuk bertahan dia hanya perlu bersabar sedikit lagi. Siapa tahu Reynald bisa luluh dan mulai menerima pernikahan ini.Enggan sedih berlarut-larut Gita sudah mengenakan mukena yang sengaja dia sisipkan di koper sebelum pindah ke rumah sang mertua. Kewajibannya sebagai seorang muslim harus ditunaikan segera.Jangan sampai dia melupakan sang pencipta padahal baru saja memasuki lembaran baru kehidupan. Bukankah dia harus banyak-banyak bersyukur karena memiliki keluarga baru sekarang?Selama ini Gita begitu kesepian karena hidup sebatang kara. Hanya Kamilla, sahabatnyalah yang dia punya dan gadis itu sedang menikmati profesinya sebagai asisten dokter kandungan di salah satu rumah sakit di Amsterdam.Takbir pertama mengawali ibadah khusuk perempuan berdarah Jawa tersebut. Di saat sujud terakhir banyak doa-doa baik yang dia lantunkan. Pun setelah selesai melaksanakan ibadah sholat Gita pelan-pelan membuka Al-Qur'an dan mulai membacanya.Namun, di sela-sela membaca Al-qur'an suara ketukan dari luar membuatnya mempercepat bacaan yang sedikit lagi dia selesaikan."Git, kalian udah pada bangun?" Teriakan Rania terdengar dari luar. Tahu sang mertua ada di depan pintu kamar, Gita bergegas bangkit lalu membuka pakaian sholat yang baru saja dia gunakan.Tanpa gadis itu sadari Reynald sedari tadi memperhatikan gerak-geriknya. Bahkan, sejak Gita mulai membaca Al-qur'an-lah, anak laki-laki Rania tersebut terbangun dari tidur. Mungkin sedikit terusik mendengar sang istri melafalkan ayat suci al-qur'an, sementara perempuan yang mengenakan pakaian santai itu sama sekali tidak sadar sedang dipandangi.Fokus Gita kini tertuju pada Rania. Terlebih setelah pintu kamar pasutri baru tersebut telah terbuka lebar. Menampilkan sosok sang mama yang nampak sudah segar pagi ini."Git, ikut Mama sebentar ke bawah yuk. Nanti kita sarapan sekalian bangunin Rey."Itulah yang Rey dengar sebelum Mama dan istrinya melenggang pergi, meninggalkan kamar yang sedang dia tempati.****Rey tidak tahu apa yang sebenarnya dua perempuan ini bicarakan sejak tadi. Binar di wajah sang mama tertangkap jelas di sudut matanya. Suasana ruang makan yang biasanya sunyi dengan sesekali terdengar bunyi sendok yang berdenting.Setengah jam berlalu dari kemunculan ibunya di pintu kamar kini ketiganya duduk satu meja menikmati sarapan pagi."Mama harap kamu gak keberatan nerima hadiah itu. Anggap aja mahar dari Reynald." Gita yang sedang mengangkat sendoknya lantas melirik Rania. Begitu pula dengan Reynald yang namanya disebut-sebut kali ini.Gita hanya bisa mengangguk mengiyakan perkataan mertuanya. Entah berapa banyak lagi mahar bernilai puluhan juta yang harus dia terima padahal dia tahu sang suami benar-benar tidak menginginkan pernikahan ini.Gerak matanya langsung tertuju ke arah Reynald. Pria itu mengangkat sedikit alisnya, keheranan dengan percakapan barusan meski raut datar masih bertakhta di wajahnya."Kamu gak perlu terlalu sungkan Git. Kamu anak mama juga sekarang," sambung Rania atas penolakan yang sempat menantunya itu lakukan. "Kalau mau kamu sewakan rumahnya juga gak papa. Daripada kosong gak keurus kan."Mendengar ucapan Rania sekarang Rey pun mengerti apa yang dua perempuan berbeda generasi ini bicarakan. Rasa penasarannya terjawab begitu saja. Namun, dia tidak mau ambil pusing. Biarlah itu menjadi urusan sang mama. Dia acuh tak acuh dengan tetap tenang menikmati sarapan."Kalian lanjutin sarapannya. Mama mau keluar sebentar ada urusan." Wanita cantik berblouse hijau ini bangkit usai menyantap semua makanan yang ada di piringnya.Gita yang juga sudah selesai mengangguk. Setelah ibu mertuanya benar-benar pergi dia mulai membereskan meja makan. Tentu dibantu Ria, sang asisten rumah tangga. Jangan tanya suaminya. Pria itu pergi meninggalkan meja makan karena mendapat telepon dari atasannya."Biar Ria aja, Non Gita," sela Ria saat melihat istri majikannya membereskan meja. Perempua tiga puluh lima tahun itu kontan menahan lengan Gita."Gak papa Mbak Ria. Biar saya aja yang nyuci piring. Mbak Ria bisa ke belakang buat nyuci baju."Begitu cekatannya Gita mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Di saat hendak kembali ke meja makan, mengambil ponselnya yang tertinggal, sang suami tiba-tiba muncul. Tubuh mungil Gita tersentak melihat Reynald sudah ada di depannya."Sekarang saya paham kenapa kamu tetap kekeuh melanjutkan pernikahan ini padahal dua bulan lalu saya dengan tegas meminta kamu mundur. Dan alasan yang kamu sebutkan waktu itu sama sekali gak masuk akal. Demi Mama saya? Jelas-jelas kamu menginginkan hal lain."Gita tentu terhenyak mendengar ucapan ngelantur yang tiba-tiba meluncur dari bibir Reynald. Apa maksud pria ini? Apa karena rumah pemberian Ranialah yang membuat suaminya itu berpikir demikian?Hendak menimpali ucapan Reynald, bibir Gita kontan terkunci rapat melihat kehadiran Ibu mertuanya di tengah-tengah konfrontasi yang sedang putranya lakukan terhadap sang istri.***Holla, guys! Kalau kamu suka cerita jangan lupa like, komen dan share cerita ini ke teman kamu. Biar makin banyak yang baca kisah Gita dan Reynald.Reynald begitu tenang mengunci mulutnya tatkala melihat bayangan sang ibu. Keterdiaman Gita semula jelas membuat dia bingung sekaligus heran sebab dari gestur perempuan itu yang hendak mendebat tiba-tiba terdiam. Beruntung dia tidak melanjutkan kalimatnya tadi. Tapi, jika itu terjadi bukankah lebih baik? Biarlah ibunya kecewa di awal yang penting pernikahan ini bisa segera berakhir. Reynald betul-betul tidak menaruh perasaan apa pun terhadap wanita yang sekarang menjadi istrinya. Pun rasa tidak sukanya bertambah saat menyadari ada yang gadis ini inginkan dari keluarganya.Sementara Rania justru menatap anak serta menantunya bergantian. Apa yang terjadi dengan dua anak manusia ini? Kenapa mereka saling menatap seperti itu. Namun, bukan itu yang jadi masalahnya sekarang. "Rey kamu nampak kunci Sedan Mama?" Pertanyaan Rania menyebabkan Rey menaikan alisnya. "Mobil yang biasa Mama pakai ternyata masih di bengkel. Adi bilang baru bisa diambil besok."Bukannya Reynald yang merasa lega men
"Dimana jam tangannya padahal semalam ada di sini." Decakan kecil Reynald terdengar pagi ini padahal sebelum-sebelumnya dia tidak pernah merasa kesusahan seperti ini. Netra tajamnya langsung mengarah ke satu titik. Siapa lagi kalau bukan Mahagita Arunika yang sedang dia tatap sedemikian rupa. Wanita yang menggunakan kaos oblong panjang tersebut nampak fokus menata meja yang terletak di sudut ruangan.Entah apa yang wanita itu lakukan, melihatnya saja sudah membuat Rey jengkel setengah mati. Dia sudah sangat paham siapa yang mengubah tatanan barang di kamar ini. Namun, bukannya bertanya, Reynald memilih membuka lemari. Mengambil arloji berwarna silver yang dia beli dua tahun lalu. Jam mahal keluaran brand ternama. Meski tak bersuara raut sinis tetap tak mampu dia hilangkan. Sungguh dia muak dengan perempuan muda tidak tahu diri itu. Kekesalan Reynald dapat Gita sadari. Pergerakan sang suami yang tiba-tiba membuka lemari kayu jelas membuat kepala Gita otomatis mendongak lalu menghent
Dengan langkah pelan, Reynald menggeret kakinya menuju dapur. Suasana hening malam mengisi selasar lantai dua tempat dia berpijak sekarang. Dapur bersih yang seringkali ditujukan untuk menghidangkan makanan yang sudah selesai dimasak sekarang menjadi destinasi tujuannya. Tempat yang kadang dimanfaatkan Rania untuk menyantap cemilan dan berbagai hidangan lainnya. Belum sempat menginjakan kaki di kamar, cacing-cacing di perutnya lebih dulu berbunyi minta diisi.Terlebih cuaca dingin malam hari yang membuatnya sangat lapar. Mau membangunkan Ria pun dia tidak tahu apakah sang asisten rumah tangga masih terjaga di tengah malam begini. "Apa minta tolong Pak Abdi aja buat beliin makanan di luar?" Reynald berbicara pada dirinya sendiri. Sungguh perutnya sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Sementara di kamar, Gita masih sibuk dengan ponselnya. Jari-jarinya lancar mengetikan huruf demi huruf, membalas pesan Tia, teman kerjanya yang saat ini mendapat jatah sift malam. Selesai membalas
Suasana di UGD mendadak chaos sesaat setelah lima belas pasien kecelakaan lalu lintas tiba di rumah sakit Delta Medikal. Beberapa koas dan dokter yang berjaga di UGD langsung bergegas memberi pertolongan pertama kepada para korban. Kondisi pasien yang sudah berdarah-darah menjadi tontonan semua orang. Beberapa pasien rawat jalan yang sedang melintas di lobi kelihatan bergidik ngeri melihat keadaan korban luka parah akibat kecelakaan beruntun tersebut. "Tolong minggir." Begitulah suara yang terdengar di antara rintihan kesakitan para korban. Salah satu dari korban-korban kecelakaan itu ada yang sudah tidak sadarkan diri. Mungkin dialah si korban utama dalam kecelakaan ini. Petugas ambulans yang membawa korban-korban itu terlihat terburu-buru seolah tengah dikejar setan. Tidak ada ketakutan tersirat di mata mereka kala sedekat itu menyaksikan kondisi mengenaskan si korban.Sesampainya di UGD ketujuh korban luka-luka tersebut langsung ditempatkan di bilik-bilik yang memang sedang koso
Gita terus mengaduk sotonya dengan pandangan tidak minat. Aroma harum dari makanan berkuah itu entah mengapa urung menggugah seleranya. Ibaratkan, orangnya di sini pikirannya berlarian kemana-mana. Raut masam juga terbit dari bibir mungilnya. Setidaknya, itulah yang tengah Tiara perhatikan sekarang. Dia tidak tahu kenapa rekan sejawatnya ini tidak berselera padahal sudah berjam-jam mereka tertahan di UGD. Pun es jeruk yang es-nya telah mencair sedikit demi sedikit tak mampu menarik atensi Gita. "Git, dimakan sotonya. Masa cuma diaduk-aduk aja. Ini kan bukan bubur," celetuk Tiara sesudah menyeruput soto nan kaya akan rempah itu. Kepalanya sampai menoleh ke Gita selama beberapa menit. "Iyaa, Ti." Hanya itu yang Gita ucapkan sebelum dia menyantap soto miliknya. Namun, sama saja, raut tak berselera masih mewakili ekspresinya. Tiara yang tidak puas menilik ekspresi menyebalkan Gita lantas memutar otak. Dia mencari beberapa alasan yang tepat kenapa temannya bersikap seperti ini. Apa ja
Usai sudah pekerjaan Gita kali ini. Jadwal visit ke kamar-kamar pasien telah dia lakukan lima belas menit lalu. Bahkan, pekerjaannya cukup lancar sebab para penghuni kamar-kamar VIP itu tidak banyak tingkah. Mereka cenderung menyukai pelayanan yang Gita berikan. Pantas bila setiap akhir tahun penilaian kerjanya selalu memuaskan. Keramahan gadis itulah yang menjadi kunci. Berprofesi sebagai perawat sudah seharusnya kan Gita mengabdikan diri."Udah selesai sift kamu, Git?" Tiara bertanya tatkala melihat Gita keluar dari deretan kamar VIP tersebut. Kini mereka sedang berpapasan di lorong lantai lima dengan bawaan alat tempur masing-masing. "Udah, Ti. Minggu depan aku baru kebagian jaga malam," jelas Gita sangat mengingat jadwal tugasnya. "Kamu udah selesai juga?" Sekarang gantian Gita yang bertanya. Pasalnya, sang rekan terlihat hendak naik ke lantai enam belas. "Aku kebagian lembur kali ini, hehe. Gantiin cutiku yang bulan lalu." Gita mengangguk saja. Sepertinya dia harus buru-buru
"Tolong katakan pada Mama saya kamu akan mundur dari pernikahan ini." Sebaris kalimat tersebut akhirnya meluncur keluar setelah keduanya terjebak dalam keheningan. "Saya sama sekali gak punya perasaan apa pun dengan kamu."Ekspresi datar yang pria bernama Reynald itu tampilkan mengisyaratkan kalau dia sama sekali tidak peduli dengan tanggapan gadis di hadapannya. Bahkan, amplop coklat yang sedari tadi tersimpan di saku seragam dinasnya lantas tersodor di atas meja. "Ambil uang ini. Anggap saja itu sedikit kompensasi untuk kamu," titah polisi tampan tersebut seolah tidak punya perasaan ketika mengatakannya. "Nominalnya memang gak banyak, tapi saya harap itu cukup mengganti kerugian waktu yang kamu luangkan untuk menuruti kemauan Mama."Masih saja pria arogan ini menyambung ucapan demi ucapannya yang tidak berperasaan itu. Berharap wanita pilihan ibunya tersebut segera paham dan tidak menggangu kehidupannya lagi. Namun, wanita bernama lengkap Mahagita Arunika ini tetap saja bergeming
"Setelah sebelumnya kita udah ngecek gedung dan ngukur gaun, kali ini saya mau nunjukkin beberapa dekor yang sekiranya sesuai dengan konsep yang Mbak mau." Sebuah katalog berisi desain-desain dekor lekas Adel keluarkan di hadapan kliennya. Gita memajukan sedikit badannya demi meneliti desain dekor yang sedang Adel perlihatkan. "Kalau Mbak Gita masih bingung mau pilih yang mana, bisa diskusi dulu sama Mas Reynald," lanjut Adel sang asisten WO memberikan saran. Gita otomatis menoleh ke Adel. Sudah sejak tadi gadis muda itu melamun. Ah lebih tepatnya ketika dalam perjalanan tadi. Memang saat ini Gita sedang berada di gedung 'Akad' tempat Wedding Organizernya berdiri. Terlalu sering mereschedule meeting membuat Gita langsung tancap gas, melupakan air matanya yang telah menetes akibat ucapan menyakitkan Reynald tadi. Pun ketika Adel menyebut nama Reynald, ingatannya kembali memutar pertemuan singkat yang menjelaskan segala sikap dingin calon suaminya itu selama ini. Munafik kalau dia
Usai sudah pekerjaan Gita kali ini. Jadwal visit ke kamar-kamar pasien telah dia lakukan lima belas menit lalu. Bahkan, pekerjaannya cukup lancar sebab para penghuni kamar-kamar VIP itu tidak banyak tingkah. Mereka cenderung menyukai pelayanan yang Gita berikan. Pantas bila setiap akhir tahun penilaian kerjanya selalu memuaskan. Keramahan gadis itulah yang menjadi kunci. Berprofesi sebagai perawat sudah seharusnya kan Gita mengabdikan diri."Udah selesai sift kamu, Git?" Tiara bertanya tatkala melihat Gita keluar dari deretan kamar VIP tersebut. Kini mereka sedang berpapasan di lorong lantai lima dengan bawaan alat tempur masing-masing. "Udah, Ti. Minggu depan aku baru kebagian jaga malam," jelas Gita sangat mengingat jadwal tugasnya. "Kamu udah selesai juga?" Sekarang gantian Gita yang bertanya. Pasalnya, sang rekan terlihat hendak naik ke lantai enam belas. "Aku kebagian lembur kali ini, hehe. Gantiin cutiku yang bulan lalu." Gita mengangguk saja. Sepertinya dia harus buru-buru
Gita terus mengaduk sotonya dengan pandangan tidak minat. Aroma harum dari makanan berkuah itu entah mengapa urung menggugah seleranya. Ibaratkan, orangnya di sini pikirannya berlarian kemana-mana. Raut masam juga terbit dari bibir mungilnya. Setidaknya, itulah yang tengah Tiara perhatikan sekarang. Dia tidak tahu kenapa rekan sejawatnya ini tidak berselera padahal sudah berjam-jam mereka tertahan di UGD. Pun es jeruk yang es-nya telah mencair sedikit demi sedikit tak mampu menarik atensi Gita. "Git, dimakan sotonya. Masa cuma diaduk-aduk aja. Ini kan bukan bubur," celetuk Tiara sesudah menyeruput soto nan kaya akan rempah itu. Kepalanya sampai menoleh ke Gita selama beberapa menit. "Iyaa, Ti." Hanya itu yang Gita ucapkan sebelum dia menyantap soto miliknya. Namun, sama saja, raut tak berselera masih mewakili ekspresinya. Tiara yang tidak puas menilik ekspresi menyebalkan Gita lantas memutar otak. Dia mencari beberapa alasan yang tepat kenapa temannya bersikap seperti ini. Apa ja
Suasana di UGD mendadak chaos sesaat setelah lima belas pasien kecelakaan lalu lintas tiba di rumah sakit Delta Medikal. Beberapa koas dan dokter yang berjaga di UGD langsung bergegas memberi pertolongan pertama kepada para korban. Kondisi pasien yang sudah berdarah-darah menjadi tontonan semua orang. Beberapa pasien rawat jalan yang sedang melintas di lobi kelihatan bergidik ngeri melihat keadaan korban luka parah akibat kecelakaan beruntun tersebut. "Tolong minggir." Begitulah suara yang terdengar di antara rintihan kesakitan para korban. Salah satu dari korban-korban kecelakaan itu ada yang sudah tidak sadarkan diri. Mungkin dialah si korban utama dalam kecelakaan ini. Petugas ambulans yang membawa korban-korban itu terlihat terburu-buru seolah tengah dikejar setan. Tidak ada ketakutan tersirat di mata mereka kala sedekat itu menyaksikan kondisi mengenaskan si korban.Sesampainya di UGD ketujuh korban luka-luka tersebut langsung ditempatkan di bilik-bilik yang memang sedang koso
Dengan langkah pelan, Reynald menggeret kakinya menuju dapur. Suasana hening malam mengisi selasar lantai dua tempat dia berpijak sekarang. Dapur bersih yang seringkali ditujukan untuk menghidangkan makanan yang sudah selesai dimasak sekarang menjadi destinasi tujuannya. Tempat yang kadang dimanfaatkan Rania untuk menyantap cemilan dan berbagai hidangan lainnya. Belum sempat menginjakan kaki di kamar, cacing-cacing di perutnya lebih dulu berbunyi minta diisi.Terlebih cuaca dingin malam hari yang membuatnya sangat lapar. Mau membangunkan Ria pun dia tidak tahu apakah sang asisten rumah tangga masih terjaga di tengah malam begini. "Apa minta tolong Pak Abdi aja buat beliin makanan di luar?" Reynald berbicara pada dirinya sendiri. Sungguh perutnya sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Sementara di kamar, Gita masih sibuk dengan ponselnya. Jari-jarinya lancar mengetikan huruf demi huruf, membalas pesan Tia, teman kerjanya yang saat ini mendapat jatah sift malam. Selesai membalas
"Dimana jam tangannya padahal semalam ada di sini." Decakan kecil Reynald terdengar pagi ini padahal sebelum-sebelumnya dia tidak pernah merasa kesusahan seperti ini. Netra tajamnya langsung mengarah ke satu titik. Siapa lagi kalau bukan Mahagita Arunika yang sedang dia tatap sedemikian rupa. Wanita yang menggunakan kaos oblong panjang tersebut nampak fokus menata meja yang terletak di sudut ruangan.Entah apa yang wanita itu lakukan, melihatnya saja sudah membuat Rey jengkel setengah mati. Dia sudah sangat paham siapa yang mengubah tatanan barang di kamar ini. Namun, bukannya bertanya, Reynald memilih membuka lemari. Mengambil arloji berwarna silver yang dia beli dua tahun lalu. Jam mahal keluaran brand ternama. Meski tak bersuara raut sinis tetap tak mampu dia hilangkan. Sungguh dia muak dengan perempuan muda tidak tahu diri itu. Kekesalan Reynald dapat Gita sadari. Pergerakan sang suami yang tiba-tiba membuka lemari kayu jelas membuat kepala Gita otomatis mendongak lalu menghent
Reynald begitu tenang mengunci mulutnya tatkala melihat bayangan sang ibu. Keterdiaman Gita semula jelas membuat dia bingung sekaligus heran sebab dari gestur perempuan itu yang hendak mendebat tiba-tiba terdiam. Beruntung dia tidak melanjutkan kalimatnya tadi. Tapi, jika itu terjadi bukankah lebih baik? Biarlah ibunya kecewa di awal yang penting pernikahan ini bisa segera berakhir. Reynald betul-betul tidak menaruh perasaan apa pun terhadap wanita yang sekarang menjadi istrinya. Pun rasa tidak sukanya bertambah saat menyadari ada yang gadis ini inginkan dari keluarganya.Sementara Rania justru menatap anak serta menantunya bergantian. Apa yang terjadi dengan dua anak manusia ini? Kenapa mereka saling menatap seperti itu. Namun, bukan itu yang jadi masalahnya sekarang. "Rey kamu nampak kunci Sedan Mama?" Pertanyaan Rania menyebabkan Rey menaikan alisnya. "Mobil yang biasa Mama pakai ternyata masih di bengkel. Adi bilang baru bisa diambil besok."Bukannya Reynald yang merasa lega men
Gita membuang napas panjang. Sudah dia duga akan jadi seperti ini. Bukannya berada di dalam kamar pengantinnya, pria bernama belakang Braga tersebut malah meninggalkan sang istri sendirian dan sekarang dia terlelap dengan nyenyaknya di atas ranjang penuh kelopak mawar yang ditata sedemikian rupa."Harusnya gak perlu kaget kan?" Monolog Gita menertawakan kebodohannya sendiri. Kepalanya yang kini menegak terus memperhatikan laju napas sang suami yang berderu sangat tenang. Berbanding terbalik dengan hatinya yang entah kenapa merasa terluka. Langit yang masih gelap gulita di luar sana meski jam sudah menunjukkan pukul empat pagi kontan memperjelas rasa benci pria ini terhadap dirinya. Bukannya Gita tidak tahu kepulangan Reynald yang seperti pencuri, mengendap-ngendap masuk dari jendela kamar yang terhubung ke balkon. Semua itu Gita saksikan dalam tidur pura-puranya. Menyedihkan sekali bukan? Hatinya cukup rapuh menerima fakta menyakitkan itu. Di tengah lamunannya terdengar suara azan
Tidak ada yang bisa menebak seperti apa takdir akan berjalan. Pernikahan yang semula digadang-gadang akan dilaksanakan dua bulan lagi kini berada selangkah di depan mata. Bahkan, sang calon mempelai pria pun tak menyangka bahwa ibunya akan mengambil keputusan seperti ini. Begitu pula Gita yang cukup terkejut ketika dikabari oleh mertuanya tentang tanggal pernikahannya yang dimajukan lebih awal. Dia pikir calon suaminya itu akan bersikeras meminta pada Ibunya untuk membatalkan pernikahan sebelah pihak ini. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Tepat di hadapan rumah berlantai dua ini rombongan calon pengantin pria telah berdiri, siap memasuki kediaman calon mempelai wanita dengan membawa banyak seserahan di tangan. "Mbak Gita kalau mau lihat calon suaminya bisa lewat jendela dulu aja ya. Untuk sekarang masih belum bisa. Masih dipingit," goda salah satu perias yang mendandani Gita pada malam midodareni kali ini. Wajah perias itu bersemu memandangi Gita yang sejak tadi tampak gugup
"Dinas keluar kota?" tanya Rani mengulang laporan supirnya barusan. Mendapat kabar seperti itu jelas dia terkejut padahal kemarin sang putra menyanggupi permintaannya untuk menemani Gita nyekar ke makam almarhum orangtuanya. Pun Rani mengirim Adi ke kosan calon menantunya demi mengantarkan ponsel anaknya yang tertinggal di rumah. Dia pikir mungkin Gita serta Reynald masih belum berangkat. Ternyata kabar yang dia dapatkan jauh lebih mengejutkan. "Apa Gitanya juga gak ada di kosan, Pak?" Makin beranak-pinaklah pertanyaan sang nyonya. Adi sampai menggaruk tengkuknya bingung harus menjawab seperti apa. "Pas saya ke sana tetangga Non Gita bilang Non Gitanya udah berangkat dari tadi pagi naik kereta." Jawaban Adi spontan membuat Rania berpikir keras. Sungguh dia tidak habis pikir. Naik kereta? Kemana anaknya itu sekarang? Kenapa sang putra tidak bisa mempertanggungjawabkan ucapannya? "Ini hape Mas Reynald, Bu."Rania mengambil telepon genggam pribadi yang seringkali Reynald gunakan. Li