Semua penjelasan Dirga memang memakan waktu yang panjang. Tetapi dengan mudahnya Amira mengerti.
“Oke, jadi nanti aku dateng ke tempat mereka. Terus pura-pura dateng sebagai pembeli, gitu kan?”
“Yap. Itu benar banget.” sahut Dirga menjentikkan jarinya setuju.
“Tapi sayang… papa kok agak khawatir ya? Kenapa sih gak langsung kita robohin aja itu tempat ataupun rumah mereka sampai rata sama tanah. Tenang aja! Papa sanggup kok bayar semua dendanya, berapapun. Daripada kamu harus masuk lagi ke kehidupan mereka, terus malah main cinta-cintaan sama itu penjahat.” Robi sebenarnya tidak setuju, memilih jalan lain yang menurutnya tidak beresiko. Tetapi Amira ingin membalaskan dendam dari hati Rehan seperti yang telah dilakukan lelaki itu dalam menghancurkan hatinya sampai lebur.
“Maaf Pa, tapi Amira belum puas kalo gak bikin mas Rehan gila.” balas Amira, baginya kebangkrutan memang bisa membuat Rehan terpuruk tetapi bagaimanapun juga uang masih bisa dicari. Sedangkan hati yang rusak susah disembuhkan dan itulah alasan Amira lebih memilih menjadikan perasaan Rehan sebagai sasaran.
Melihat keinginan bulat putrinya tidak bisa diubah. Robi tidak bisa memaksa kehendaknya lebih lanjut, sebab semua keputusan ada ditangan Amira seorang. Namun, tidak dipungkiri sebagai orang tua dia sangat khawatir dengan keselamatan putrinya belum lagi semua kejahatan yang sempat dialami Amira tidak bisa dianggap remeh.
“Tenang aja Om. Dirga bakalan terus bantu Amira kok. Lagipula selama pergi Amira bakalan ditemenin sama bodyguard kan?” ucap Dirga melihat kegundahan Robi, seakan memintanya untuk serta menenangkannya.
Respon tulusnya cinta dan kepedulian yang nyata, menyentuh kalbu Amira. Diusapnya dengan lembut jemari tangan sang Papa menatap dalam dengan penuh keyakinan.
“Pa… Papa gak usah risau, sekarang Amira udah ada Papa sama Mama. Amira janji bakalan hati-hati, pokoknya Amira cuma minta doa restu dari kalian ya…”
Tersentuh hati Robi mendengar ungkapan terdalam dari bibir Amira. Memeluk punggung kecil itu dengan erat.
“Udah cukup kita berpisah selama ini sayang… tolong pegang janji kamu ya,” pinta Robi, beberapa detik kepala Amira terasa bergerak naik turun untuk atas restu yang diterimanya.
*
Siang berganti malam. Seharusnya Amira datang ke tempat pengepul sekarang juga. Tapi, Mila menyuruhnya untuk menunda sampai besok pagi saja. Akhirnya tanpa keterpaksaan Amira menuruti keinginannya dan memilih pulang ke rumah mewah mereka untuk pertama kalinya.
Bangunan bertingkat memiliki desain mewah berwarna putih bersih menyapa. Amira tercengang melihat rumah ini jauh lebih besar dari tempat tinggalnya yang dulu.
Para pelayan datang menyambut kedatangan di depan halaman. Isak tangis haru dari Bi Ana, pembantu senior yang lama bekerja sedari dirinya bayi.
Amira mengangguk kecil membalas salam hormat, mengikuti sang Mama masuk ke dalam rumah mewah ini.
Baru menapakkan kaki sebuah figura besar terpasang di dinding ruang tamu. Berisikan foto bayi perempuan tengah tersenyum lebar.
Sejenak Amira memandangi foto itu, apakah itu wajahnya saat masih bayi?
“Iya sayang… Itu foto kamu,” jelas Mila seakan bisa membaca isi pikirannya tentang penilaian siapakah sosok foto ini. Lucu dan menggemaskan, tersenyum lebar tanpa adanya gigi.
“Ayo, kita makan malam dulu.” Mila menuntun Amira memasuki ruang makan bersama.
Di belakang tepatnya ruang memasak, Bi Ana bersemangat menata beberapa menu yang sudah dipersiapkan. Namun, ketika sibuk tepat di belakangnya bagai ekor Dani pembantu junior mengikutinya terus.
“Kamu ini kenapa sih Dan?” sungut Bi Ana, alih-alih menjawab perlahan Dani mendekatkan bibirnya dan berkata sambil berbisik.
“Bu, emangnya itu beneran putrinya Tuan Robi yang hilang? Gimana kalo ternyata cuma ngaku-ngaku aja.” Dani bisa-bisanya berprasangka buruk, tidak mengejutkan bagi Bi Ana yang kenal betul dengan kepribadiannya. Gadis muda itu memang mempunyai obsesi untuk menjadi seorang nyonya. Bahkan sering mengaku-ngaku bahwa dirinyalah putri yang hilang.
Tetapi beberapa ciri khas tidak ditemukan di tubuhnya, alhasil karena iba Mila mengangkatnya sebagai pelayan di rumahnya. Meskipun beberapa kali Dani tertangkap basah membuat masalah. Berkali-kali Mila memberikan maaf, karena dia juga menganggap Dani sebagai pelipur rindu ketika Amira belum berhasil ditemukan.
“Udah deh gak usah berisik kamu! Itu udah jelas non Arina, baru lihat aja Ibu yakin banget kok. Matanya aja mirip banget sama Nyonya Mila.” Bi Ana bersikukuh keras, tidak ada keraguan sedikitpun.
Berbeda dengan semua orang yang tengah dilanda kebahagiaan, justru Dani merasa terancam atas kembalinya Amira ke rumah ini.
“Gawat sih ini, kalo kayak gini aku gagal dong aku di adopsi jadi anak orang kaya?” sesal Dani bermimpi terlalu jauh,
“Eh, malah bengong. Ayo sini! Cepat bantuin ibu!” sentak Bi Ana kepada Dani yang tertegun memikirkan keinginannya yang sangat konyol itu.
*
Di warung remang biasa digunakan sebagai tempat melakukan dosa. Rehan duduk di kursi bulat tanpa bahu penyangga. Termenung memikirkan bagaimana nasib keluarganya bila sampai ketahuan, merekalah yang telah melenyapkan Amira.
“Kacau banget sih. Bisa-bisanya Mang Dirman bisa curiga? Mana dia udah simpen itu tulang. Gimana ya? Atau mungkin aku curi aja?” Rehan masih belum bisa memutuskan apa yang hendak dilakukan demi menutupi kejahatannya agar tak terbongkar. Badannya bergidik membayangkan betapa dinginnya lantai di dalam jeruji besi tanpa mengenakan alas. Isi kepalanya mendidih mendapati jalan buntu. Kepulan asap rokok keluar dari mulutnya mengitari, terkadang Rehan juga menjambak kasar rambutnya yang sedang dilanda putus asa berat.
“Sayang… kapan kamu nikahin aku? Kan istrimu udah mati.” ucap Ranita datang menambah beban pikirannya semakin runyam. Jelaslah Rehan mendengus kesal, bibir mendesis bak mendapatkan tekanan berat dari dua sisi yang berbeda.
Reaksinya terbaca apalagi mimik wajahnya tidak terlihat senang atas permintaannya itu, membuat Ranita tersinggung dan merajuk.
“Udahlah, kamu mah kayak gitu. Alasan aja terus bisanya. Sini uang aku yang kamu pinjem, balikin sekarang juga!” desak Ranita enteng mengulurkan tangannya, satu masalah menambah beban kepala Rehan. Bahkan bisa saja kepalanya meledak karena tidak sanggup menanggung semua permasalahan. Ingin rasanya dia memaki Ranita, tetapi mana mungkin dia berani? Ranita adalah anak dari seorang pentolan yang memiliki warung remang-remang. Berhasil membuat satu goresan kecil saja di tubuh Ranita, sudah dipastikan Rehan akan babak belur, tanpa diberikan kesempatan hidup. Terpaksa Rehan mengubah ekspresi wajahnya menjadi penuh rasa sayang, merangkul Ranita duduk di atas pangkuannya.
“Sayang… sabar dong, kan aku belum urus surat perceraiannya ke pengadilan. Nanti kalo udah beres, aku janji kita langsung nikah. Oke?” Rehan mengeluarkan jurus rayuan mautnya. Termakan bujukan itu, Ranita percaya dan mereka melakukan adegan mesra disana.
Bab 6. Aku datangSepanjang melakukan adegan dewasa yang kaku. Tanpa adanya rasa nikmat. Sebab sang pemain tengah tidak fokus dalam menjalankan perannya.Walaupun bibir Ranita tak berhenti meracau, sama sekali tidak menaikkan birahi Rehan. Sampai adegan selesai. Kemudian pergi tidur ditemani tumpukan masalah hingga pagi, menyambut sinar mentari."Mas, aku mau ikut ke rumahmu ya, boleh kan?" Ranita keluar dari bilik mandi mengusap rambutnya yang basah."Boleh." jawab Rehan, sibuk memasukkan kancing berbentuk bulat ke masing-masing tempatnya tanpa menoleh.Kebiasaan biasa Ranita datang ke rumahnya, bahkan sering terjadi sejak dulu saat hubungannya dengan Amira masih bersama. Meskipun secara sembunyi-sembunyi.Mereka keluar dari kamar sewa, menuju ke tempat pengepul.Dalam perjalanan, Ranita sempat berhenti di toko buah untuk membeli oleh-oleh. Sikapnya memang royal, itulah alasan utama bagi Santika mau menerima kehadirannya. Sekalipun tahu kartu hitam Ranita sebagai wanita penghibur.Sa
Hari ini Santika terlihat repot, mengeluarkan dua gelas teh manis dan juga beberapa camilan. Bahkan buah yang dibawa Ranita sebagai oleh-oleh dikeluarkan juga olehnya.Menambah kebencian Ranita terhadap Amira saja. “Dasar ini cewek bisanya nyusahin aja! Itukan buah buat Ibu. Kenapa malah dia yang makan?!” Ranita membatin tak rela, mengintip di balik jendela. Sempat ingin keluar, tetapi Santika tidak mengizinkan. Alhasil, dengan keterpaksaan Ranita hanya bisa menahan dirinya. Menimbulkan bunyi gemeretak dari giginya, saking kesalnya.Di atas meja bundar, Rehan dan Amira duduk bersama. Mereka melakukan diskusi ringan perihal kerjasama mereka.“Eum, oke. Saya sepakat ambil cabai sama sayuran hijaunya ya di tempat Mas. Terus… setiap tiga hari sekali ada orang suruhan saya yang datang untuk ngambil semua sayuran itu.” kata Amira sepakat, langsung disambut senyuman sumringah dari keluarga Rehan.“Baik Mbak. Saya siap. Terimakasih banyak. Jarang-jarang lho ada Perusahaan besar ngajakin ker
“Lah, kenapa harus kamu? Saya sendiri geh juga bisa.” balas Dirman, untuk apa menyerahkan tugas ini kepada orang lain. Begitu isi hati Dirman. Terus dan terus melakukan serangan, selama masih ada celah,maka dia akan langsung menggunakan kesempatan untuk membuat laki-laki ini jera.“Amang mau ke kantor polisi jalan kaki? Kan gak ada motor?” kata Rehan, mengeluarkan rayuan kedua.“Kamu tuh kenapa maksa banget sih Rey? Jangan-jangan ada sesuatu yang kamu sembunyiin dari saya? Atau tulang itu ada kaitannya sama kamu? Eh, sebentar! Udah hampir satu bulan, saya kok gak pernah lihat neng Amira yah?” celetukan Dirman, tidak dijawab Rehan. Lelaki itu memilih untuk melarikan diri, darinya. Menghindari menjawab pertanyaan yang jelas-jelas tidak dapat dielak. “Nah, kan kabur dia! Dirman kok dilawan, wkwkwk.” Sifat kritis Dirman tak pelak menjadi senjata pamungkas untuk mengusir Rehan. Menghampiri motornya dan siap tancap gas. Sesekali menoleh ke arah Dirman, berjaga-jaga seolah Dirman akan menge
Hampir saja Dirga menabrak mobil yang sedang melaju di depannya. Nasib baik, masih sempat kakinya menginjak rem, "Astaga! Arina, maafin aku. Gimana ada yang luka gak?” Dirga diselimuti perasaan bersalah, nyaris melukai Amira.“Hati-hati dong! Lihat ke depan.” Amira menggerutu, apa yang terjadi bila tadi dia tidak berteriak. Mungkin sekarang mereka naik di mobil Ambulans.“Makanya jadi orang tuh jangan cantik-cantik dong. Bikin silap mata aja.” Dirga menyalahkan kecantikan Amira sebagai alasan mengapa atas kejadian barusan.“Yah, kok malah nyalahin aku sih? Makanya gak usah nengok, fokus aja lihat ke jalan.” balas Amira tak mau kalah, Jangan salah paham, mereka berdua bukan sedang bertengkar. Sebaliknya, sekedar bercanda saja dengan bukti tawa cekikikan dari bibir keduanya mulai memenuhi seluruh badan mobil Dirga. Mereka kembali melanjutkan perjalanan.Satu jam kemudian, kebetulan jam menunjukkan pukul 11.30. Dirga dan Amira tiba di tempat, “Kita ke panti asuhan?” Amira sempat membaca
1. Tragedi."Gara-gara kalian tidak punya hati, Ibu jadi tidak bisa operasi dan akhirnya meninggal!” Usai Amira mengucapkan hal tersebut, sebuah tamparan melayang ke pipinya, membuatnya terjatuh ke lantai. Tubuhnya terasa lemah tidak bertenaga.“Kurang ajar! Kenapa malah nyalahin orang, hah?” Wanita paruh baya yang tadi menampar Amira langsung membentak. “Anak babu kayak kamu memang bisa balikin uang sebanyak itu? Sadar diri, Amira!”Perih hati Amira mendengarnya. Meskipun memang ia benar anak pembantu, tapi pantaskah wanita paruh baya itu mengatai menantunya sendiri demikian?Bukankah bagaimanapun juga Amira adalah anggota keluarganya?“Bu–”“Diam!” sentak wanita paruh baya itu sembari mengangkat tangannya, bersiap menampar Amira. “Kamu–”‘Nit ... nit ... nit ....’Suara monitor detak jantung menyadarkan Amira. Dia mencoba untuk membuka matanya, walau rasanya masih berat.“Ah, mimpi?” gumam Amira, dengan senyuman getir tertutup perban. Wanita itu belum tahu kalau ia baru sadar sete
Beberapa hari mendapatkan perawatan di rumah sakit. Kesehatan Amira sudah pulih seperti sedia kala. Pagi ini tanpa alat bantu ia sudah bisa berjalan sendiri dengan leluasa. Di depan jendela Amira berdiri menatap langit luas melalui kaca tembus pandang. Dia belum bisa mengekspresikan diri atas keajaiban di kehidupannya. Serasa mimpi baginya bagai mendapatkan kesempatan kedua untuk menghirup nafas panjang, juga bonus tambahan mendapatkan kehidupan baru yang lebih layak. Dari peralatan canggih, perawatan medis VVIP, sandang mewah dan bermerek melengkapi tubuhnya. Bahkan sekarang Amira sedang menggenggam ponsel keluaran terbaru yang ia dapat dari sang ayah.Sejenak perhatian Amira terfokus ke layar ponselnya. Melihat nama Rehan di sebuah akun media sosial."Hemm... kamu udah punya pacar mas? CK! Ya sih gak kaget aku," Setelah mencari tahu dan membuat akun media sosial mencari nama Rehan dalam kontak pencarian. Muncul foto profil suaminya bersama wanita seksi lengkap dengan riasan wajah s
Disaat bersamaan Rehan sedang berencana pergi berkencan bersama Ranita. Wanita penghibur yang selama ini menjadi selingkuhannya. Apes! Ingin membenarkan posisi duduknya. Mata Amira tertuju melihat rupa Rehan sedang duduk bersama wanita lain. Sempat terkejut Amira berusaha untuk bersembunyi. Ia tidak tahu kaca mobilnya tidak tembus pandang dari arah luar. Respon gerak tubuh Amira dikira Mila sebagai penolakan.“Tenang aja sayang... kamu gak akan kelihatan dari luar kok,” ucap Mila menjelaskan, barulah Amira kembali duduk tenang. Penasaran Mila tertarik untuk melihat ke arah yang sama. Sosok lelaki yang sudah ia ketahui siapakah dia. Sebab Dirman pernah memperlihatkan foto Rehan sebelumnya."Oh, jadi dia suami yang udah tega jahatin kamu?" seru Mila tak perlu mendapatkan jawaban dari Amira.Bagai bisu mulut terkunci rapat, sepertinya Amira tidak tahu harus menjawab bagaimana. Setelah semua yang terjadi. Tidak mungkin Rehan mau mengakui status pernikahan mereka. Merasa tak enak hati, tak
Dalam kecanggungan Amira dan Dirga melewati lorong bersama. Senyap bagai di dalam sebuah goa tanpa adanya perbincangan. Di sisi kiri Dirga diam-diam melirik ke arahnya diam-diam tengah mengumpulkan niat untuk membuka percakapan lebih dulu. Lama-lama mulutnya masam sebab terkunci tak mengatakan sepatah kata. Sedangkan Amira menyalahkan keputusan sang Papa yang malah menyuruh mereka menikmati waktu bersama, agar bisa saling berkenalan untuk memudarkan kecanggungan.“Ih, Papa kenapa sih malah nyuruh aku keluar sama laki-laki ini?!” keluh Amira gusar meremas ujung dressnya. Sebagai wanita pemalu, Amira merasa sangat keberatan dengan permintaan ini. Setengah hati mengikuti karena tak berani untuk menolak. Diajaknya kakinya terus berjalan tanpa henti. Padahal tempat tujuan mereka hampir dilewati begitu saja. “Tunggu Arina! Hampir aja kita kelewatan.” Dirga berusaha menghentikan Amira, suaranya yang tegas tidak mungkin tidak sampai ke telinga Amira. Buktinya Amira berhenti dan menoleh, mel