Share

Bab 5. Jangan mimpi!

Semua penjelasan Dirga memang memakan waktu yang panjang. Tetapi dengan mudahnya Amira mengerti.

“Oke, jadi nanti aku dateng ke tempat mereka. Terus pura-pura dateng sebagai pembeli, gitu kan?” 

“Yap. Itu benar banget.” sahut Dirga menjentikkan jarinya setuju.

“Tapi sayang… papa kok agak khawatir ya? Kenapa sih gak langsung kita robohin aja itu tempat ataupun rumah mereka sampai rata sama tanah. Tenang aja! Papa sanggup kok bayar semua dendanya, berapapun. Daripada kamu harus masuk lagi ke kehidupan mereka, terus malah main cinta-cintaan sama itu penjahat.” Robi sebenarnya tidak setuju, memilih jalan lain yang menurutnya tidak beresiko. Tetapi Amira ingin membalaskan dendam dari hati Rehan seperti yang telah dilakukan lelaki itu dalam menghancurkan hatinya sampai lebur.

“Maaf Pa, tapi Amira belum puas kalo gak bikin mas Rehan gila.” balas Amira, baginya kebangkrutan memang bisa membuat Rehan terpuruk tetapi bagaimanapun juga uang masih bisa dicari. Sedangkan hati yang rusak susah disembuhkan dan itulah alasan Amira lebih memilih menjadikan perasaan Rehan sebagai sasaran.

Melihat keinginan bulat putrinya tidak bisa diubah. Robi tidak bisa memaksa kehendaknya lebih lanjut, sebab semua keputusan ada ditangan Amira seorang. Namun, tidak dipungkiri sebagai orang tua dia sangat khawatir dengan keselamatan putrinya belum lagi semua kejahatan yang sempat dialami Amira tidak bisa dianggap remeh.

“Tenang aja Om. Dirga bakalan terus bantu Amira kok. Lagipula selama pergi Amira bakalan ditemenin sama bodyguard kan?” ucap Dirga melihat kegundahan Robi, seakan memintanya untuk serta menenangkannya.

Respon tulusnya cinta dan kepedulian yang nyata, menyentuh kalbu Amira. Diusapnya dengan lembut jemari tangan sang Papa menatap dalam dengan penuh keyakinan.

“Pa… Papa gak usah risau, sekarang Amira udah ada Papa sama Mama. Amira janji bakalan hati-hati, pokoknya Amira cuma minta doa restu dari kalian ya…” 

Tersentuh hati Robi mendengar ungkapan terdalam dari bibir Amira. Memeluk punggung kecil itu dengan erat. 

“Udah cukup kita berpisah selama ini sayang… tolong pegang janji kamu ya,” pinta Robi, beberapa detik kepala Amira terasa bergerak naik turun untuk atas restu yang diterimanya.

*

Siang berganti malam. Seharusnya Amira datang ke tempat pengepul sekarang juga. Tapi, Mila menyuruhnya untuk menunda sampai besok pagi saja. Akhirnya tanpa keterpaksaan Amira menuruti keinginannya dan memilih pulang ke rumah mewah mereka untuk pertama kalinya.

Bangunan bertingkat memiliki desain mewah berwarna putih bersih menyapa. Amira tercengang melihat rumah ini jauh lebih besar dari tempat tinggalnya yang dulu.

Para pelayan datang menyambut kedatangan di depan halaman. Isak tangis haru dari Bi Ana, pembantu senior yang lama bekerja sedari dirinya bayi. 

Amira mengangguk kecil membalas salam hormat, mengikuti sang Mama masuk ke dalam rumah mewah ini.

Baru menapakkan kaki sebuah figura besar terpasang di dinding ruang tamu. Berisikan foto bayi perempuan tengah tersenyum lebar.

Sejenak Amira memandangi foto itu, apakah itu wajahnya saat masih bayi?

“Iya sayang… Itu foto kamu,” jelas Mila seakan bisa membaca isi pikirannya tentang penilaian siapakah sosok foto ini. Lucu dan menggemaskan, tersenyum lebar tanpa adanya gigi. 

“Ayo, kita makan malam dulu.” Mila menuntun Amira memasuki ruang makan bersama.

Di belakang tepatnya ruang memasak, Bi Ana bersemangat menata beberapa menu yang sudah dipersiapkan. Namun, ketika sibuk tepat di belakangnya bagai ekor Dani pembantu junior mengikutinya terus.

“Kamu ini kenapa sih Dan?” sungut Bi Ana, alih-alih menjawab perlahan Dani mendekatkan bibirnya dan berkata sambil berbisik.

“Bu, emangnya itu beneran putrinya Tuan Robi yang hilang? Gimana kalo ternyata cuma ngaku-ngaku aja.” Dani bisa-bisanya berprasangka buruk, tidak mengejutkan bagi Bi Ana yang kenal betul dengan kepribadiannya. Gadis muda itu memang mempunyai obsesi untuk menjadi seorang nyonya. Bahkan sering mengaku-ngaku bahwa dirinyalah putri yang hilang.

Tetapi beberapa ciri khas tidak ditemukan di tubuhnya, alhasil karena iba Mila mengangkatnya sebagai pelayan di rumahnya. Meskipun beberapa kali Dani tertangkap basah membuat masalah. Berkali-kali Mila memberikan maaf, karena dia juga menganggap Dani sebagai pelipur rindu ketika Amira belum berhasil ditemukan.

“Udah deh gak usah berisik kamu! Itu udah jelas non Arina, baru lihat aja Ibu yakin banget kok. Matanya aja mirip banget sama Nyonya Mila.” Bi Ana bersikukuh keras, tidak ada keraguan sedikitpun. 

Berbeda dengan semua orang yang tengah dilanda kebahagiaan, justru Dani merasa terancam atas kembalinya Amira ke rumah ini.

“Gawat sih ini, kalo kayak gini aku gagal dong aku di adopsi jadi anak orang kaya?” sesal Dani bermimpi terlalu jauh, 

“Eh, malah bengong. Ayo sini! Cepat bantuin ibu!” sentak Bi Ana kepada Dani yang tertegun memikirkan keinginannya yang sangat konyol itu.

*

Di warung remang biasa digunakan sebagai tempat melakukan dosa. Rehan duduk di kursi bulat tanpa bahu penyangga. Termenung memikirkan bagaimana nasib keluarganya bila sampai ketahuan, merekalah yang telah melenyapkan Amira.

“Kacau banget sih. Bisa-bisanya Mang Dirman bisa curiga? Mana dia udah simpen itu tulang. Gimana ya? Atau mungkin aku curi aja?” Rehan masih belum bisa memutuskan apa yang hendak dilakukan demi menutupi kejahatannya agar tak terbongkar. Badannya bergidik membayangkan betapa dinginnya lantai di dalam jeruji besi tanpa mengenakan alas. Isi kepalanya mendidih mendapati jalan buntu. Kepulan asap rokok keluar dari mulutnya mengitari, terkadang Rehan juga menjambak kasar rambutnya yang sedang dilanda putus asa berat.

“Sayang… kapan kamu nikahin aku? Kan istrimu udah mati.” ucap Ranita datang menambah beban pikirannya semakin runyam. Jelaslah Rehan mendengus kesal, bibir mendesis bak mendapatkan tekanan berat dari dua sisi yang berbeda.

Reaksinya terbaca apalagi mimik wajahnya tidak terlihat senang atas permintaannya itu, membuat Ranita tersinggung dan merajuk.

“Udahlah, kamu mah kayak gitu. Alasan aja terus bisanya. Sini uang aku yang kamu pinjem, balikin sekarang juga!” desak Ranita enteng mengulurkan tangannya, satu masalah menambah beban kepala Rehan. Bahkan bisa saja kepalanya meledak karena tidak sanggup menanggung semua permasalahan. Ingin rasanya dia memaki Ranita, tetapi mana mungkin dia berani? Ranita adalah anak dari seorang pentolan yang memiliki warung remang-remang. Berhasil membuat satu goresan kecil saja di tubuh Ranita, sudah dipastikan Rehan akan babak belur, tanpa diberikan kesempatan hidup. Terpaksa Rehan mengubah ekspresi wajahnya menjadi penuh rasa sayang, merangkul Ranita duduk di atas pangkuannya.

“Sayang… sabar dong, kan aku belum urus surat perceraiannya ke pengadilan. Nanti kalo udah beres, aku janji kita langsung nikah. Oke?” Rehan mengeluarkan jurus rayuan mautnya. Termakan bujukan itu, Ranita percaya dan mereka melakukan adegan mesra disana.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status