1. Tragedi.
"Gara-gara kalian tidak punya hati, Ibu jadi tidak bisa operasi dan akhirnya meninggal!”
Usai Amira mengucapkan hal tersebut, sebuah tamparan melayang ke pipinya, membuatnya terjatuh ke lantai. Tubuhnya terasa lemah tidak bertenaga.
“Kurang ajar! Kenapa malah nyalahin orang, hah?” Wanita paruh baya yang tadi menampar Amira langsung membentak. “Anak babu kayak kamu memang bisa balikin uang sebanyak itu? Sadar diri, Amira!”
Perih hati Amira mendengarnya. Meskipun memang ia benar anak pembantu, tapi pantaskah wanita paruh baya itu mengatai menantunya sendiri demikian?
Bukankah bagaimanapun juga Amira adalah anggota keluarganya?
“Bu–”
“Diam!” sentak wanita paruh baya itu sembari mengangkat tangannya, bersiap menampar Amira. “Kamu–”
‘Nit ... nit ... nit ....’
Suara monitor detak jantung menyadarkan Amira. Dia mencoba untuk membuka matanya, walau rasanya masih berat.
“Ah, mimpi?” gumam Amira, dengan senyuman getir tertutup perban.
Wanita itu belum tahu kalau ia baru sadar setelah beberapa hari mengalami koma.
Sosok lelaki dengan tampilan jas formal berdiri, menatap wajah Amira yang sedang berusaha untuk membuka matanya.
Argo nama laki-laki itu. Dialah sosok yang selama beberapa hari ini bertugas menjaga Amira.
Melihat adanya respons yang dipertunjukkan Amira, tentu adalah sebuah keajaiban baginya.
“Akhirnya, nona muda siuman!” pekik Argo dengan wajah gembira, menekan tombol earpiece pada telinganya. Kemudian Argo mengatakan beberapa kalimat kepada seseorang melalui alat komunikasi jarak jauh itu.
“Ehm … laki-laki itu siapa ya?” batin Amira melihat rupa asing yang sedang berdiri tegak, dengan wajahnya yang senang.
Tak ayal, hal tersebut membuat Amira semakin kebingungan. Belum lagi dengan seluruh badannya yang terasa lemah tak mampu digerakkan. Bagian wajah juga tak jauh berbeda, jarak pandang Amira terhalang sesuatu, sehingga tidak bisa menatap lepas ke segala arah terkecuali dengan menggerakkan kepalanya juga.
Belum berhasil Amira mengenali sosok asing itu, terdengar lagi suara langkah kaki seseorang dengan tergesa-gesa.
Brak!
Amira kembali terkejut dengan pintu masuk ruang rawat inap dibuka dengan cara yang kasar.
“Arina! Syukurlah, Nak, akhirnya kamu udah sadar!” Seorang wanita datang dengan wajah lebih bahagia lagi dibanding pria yang tadi Amira lihat.
Bahkan saking senangnya dia sampai berlari mendekati Amira.
Amira dalam posisi berbaring tak bisa berkata-kata, dia hanya bisa diam dengan berbagai pertanyaan di dalam otaknya.
Siapakah mereka? Mengapa mereka datang dan mengatakan namanya adalah Arina?
Amira ingin sekali bertanya, tetapi belum sampai Amira membuka mulutnya, datang lagi sosok baru. Kali ini lelaki paruh baya datang dengan setelan lebih rapi dari lelaki yang berdiri di sampingnya sejak tadi.
“Papa … Arina udah sadar, ya ampun Mama bahagia banget pa.” katanya wanita itu lagi, secara percaya diri tanpa adanya perasaan sungkan.
Sikapnya membuat kepala Amira semakin berdenyut. Ia merasa kurang nyaman, terlebih mendapatkan beberapa serangan kepedulian secara membabi-buta, tanpa tahu cerita di baliknya.
“Ah, sepertinya Nona Arina merasa kebingungan Nyonya,” kata Argo melihat Amira memejamkan matanya begitu lama.
“Maaf ….” sela Amira setelah berhasil mengumpulkan tenaga untuk berbicara. Walaupun terdengar lirih, namun masih bisa didengar. “Kalian ini sebenarnya siapa?”
Mendengar pertanyaan itu, si Nyonya tampak sedih. Wanita itu, Mila, menyentuh pergelangan tangan Amira dengan lembut, penuh rasa sayang.
“Sayang … selama ini pasti kehidupan kamu berat banget ya? Maafkan kami.”
Amira makin bingung.
Baru saja ia hendak bertanya, terdengar suara pintu terbuka.
“Mang Dirman?” gumam Amira melihat tetangga rumahnya juga datang.
Rupanya ada orang yang mampu ia kenal setelah sadar dari mimpi panjangnya. Amira akhirnya merasa lega dan ingin sekali mencoba untuk mengangkat tubuhnya.
Tetapi kekuatannya tidak cukup kuat, dan Mila juga memberikan tekanan agar dia tidak melakukannya dengan cara menggelengkan kepalanya lirih sebagai larangan.
“Syukurlah, Neng, akhirnya Eneng udah sadar.” Mang Dirman berkata. “Waktu itu Amang takut banget. Lihat badan Eneng udah kebakar, mana ditutup pakai karung goni lagi. Bener-bener biadab itu Rehan sama keluarganya!”
Nyut!
Kepala Amira kembali berdenyut.
Setelah mendengarkan cerita Mang Dirman, barulah dia ingat. Ia mengalami siksaan tragis dari keluarga suaminya.
Kejadian awal terjadi karena perdebatan sengit saat satu-satunya kalung peninggalan mendiang ibunya hendak dijual dan uang hasil penjualan mereka kuasai tanpa memberikan sepeserpun pada Amira.
Meskipun demikian, Amira tidak menyerah. Sebisa mungkin ia mencoba merebut uang itu dari tangan Rehan, suaminya.
Tetapi sayangnya karena mereka telah gelap mata, Ibu Santika, Pak Bimo, dan Rehan melakukan penyiksaan dengan cara yang brutal. Mereka berusaha untuk melenyapkan Amira, dengan cara yang telah diceritakan oleh Mang Dirman tanpa dilebih-lebihkan.
Untungnya, nasib baik Tuhan mengirimkan Mang Dirman sebagai penyelamat, dan percobaan itu gagal Walaupun sampai akhir keluarga Rehan tidak tahu tentang kenyataan bahwa Amira masih hidup sampai sekarang. Dengan percaya diri mereka meninggalkan Amira di tempat pembuangan sampah begitu saja, dan memiliki harapan jahat agar Amira mati di sana tanpa ada yang tahu.
Jatuhlah air mata Amira, membasahi kedua pipinya. Meski terhalang dengan perban yang telah menutupi semua wajahnya.
Amira menangis, sampai tidak bisa bersuara. Kedua bahunya sampai bergetar karena tangisannya semakin kencang. Sakit hati Amira bila teringat dengan kenyataan pahit yang selama ini dia dapatkan dari keluarga suaminya. Bahkan bukan hanya kepalanya saja yang sakit, melainkan juga hatinya pun juga.
Amira mencengkram kuat kulit dadanya sebagai pelampiasan. Siapapun yang melihatnya, pasti bisa turut merasakannya, terlebih Mang Dirman sebagai saksi hidup atas tindakan jahat yang sering Amira dapatkan selama ini.
“Neng, kenalin ini ibu Mila dan Pak Robi. Sebenarnya mereka ini orang tua kandung Eneng.” celetuk Mang Dirman, membuat Amira memutar kepalanya. Apakah pernyataan Mang Dirman hanyalah sebuah lelucon saja? Tetapi wajah teduhnya, sama sekali tidak tersirat sedang berbohong. Bahkan untuk meyakinkan Amira, kepala Mang Dirman mengangguk berkali-kali.
“Sayang … selama ini kehidupan kamu pasti berat banget ya? Tapi mama akuin kamu hebat sayang. Mama janji! Setelah perpisahan kita selama beberapa tahun, Mama bakal kasih apapun yang kamu mau termasuk cinta dan kasih sayang.” ujar Mila memberikan pelukan terhangatnya kepada Amira. Walaupun ada perasaan senang, di hati Amira masih mengingat rasa cinta dari mendiang sang ibu. Apalagi Rahima merawat dirinya sejak kecil, dan dewasa sampai menikah. Tentu saja semua itu tidak bisa tergantikan dengan sosok yang baru.
Ditatapnya wajah Mila, wajah yang persis sekali dengan rupanya. Apalagi sorot mata mereka sangat memiliki kemiripan.
“Kamu jangan khawatir Arina! Karena Papa nggak akan terima kamu diperlakukan seperti ini sama keluarga suami kamu! Kalau perlu sekarang juga, Papa bakal tuntut dan masukin mereka semua ke penjara!” kecam Robi ikut menimpali, sebagai seorang ayah dia tidak terima dan harus melakukan sesuatu untuk memberikan efek jera.
“Wajahku? Kenapa wajahku diperban?!” sentak ketika melihat wajahnya ditutup hanya bersisakan kedua bola matanya saja. Tangannya mampu bergerak setelah lima menit sadar.
“Selamat pagi Nona Arina. Kenalkan saya adalah Dokter Dika spesialis bedah plastik yang sudah melakukan rekonstruksi ulang wajah anda yang baru.” ujar Dokter Dika datang memperkenalkan diri, semua orang menjauh dari Amira. Digantikan dengan Dokter Dika dan beberapa perawat yang telah membawa perlengkapan juga alat bantu medis di sebuah troli.
“Apa sekarang waktunya lepas perban, Dok?” tanya Mila dengan harapan Dokter Dika mengakuinya.
“Benar Bu. Hari ini saya akan melepaskan semua perban di wajah Nona Arina. Saya mohon bantu doanya agar wajah Nona Arina seperti yang sudah kita harapkan.” sahut Dokter Dika, memberikan kode mata agar para perawat segera mau melepaskan perban di wajah Amira.
Amira hanya bisa terdiam pasrah, ketika ranjangnya diatur menjadi lebih tegap. Setelah mengatur posisi duduknya, para Perawat langsung melakukan serangkaian untuk melakukan eksekusi. Secara perlahan membuka ujung perban Amira dengan melepaskannya sesuai urutan.
***
"Rasain! Salah sendiri kamu jadi istri gak mau nurut apa kata suami. Tanggung semua akibatnya Amira!"
Belum puas menyakiti sang istri, Rehan masih saja menyalahkan Amira. Menyeringai puas menatap langit biru.
"Nah kan, sekarang kamu udah sama ibumu yang miskin itu! Jadi aku kabulin permintaan kamu yang selalu aja nangis gak jelas! Dasar istri gak berguna. Udah miskin bisanya ngerepotin aja!"
Andai saja Rehan tahu, Amira belum meninggal seperti inginnya.
Beberapa hari mendapatkan perawatan di rumah sakit. Kesehatan Amira sudah pulih seperti sedia kala. Pagi ini tanpa alat bantu ia sudah bisa berjalan sendiri dengan leluasa. Di depan jendela Amira berdiri menatap langit luas melalui kaca tembus pandang. Dia belum bisa mengekspresikan diri atas keajaiban di kehidupannya. Serasa mimpi baginya bagai mendapatkan kesempatan kedua untuk menghirup nafas panjang, juga bonus tambahan mendapatkan kehidupan baru yang lebih layak. Dari peralatan canggih, perawatan medis VVIP, sandang mewah dan bermerek melengkapi tubuhnya. Bahkan sekarang Amira sedang menggenggam ponsel keluaran terbaru yang ia dapat dari sang ayah.Sejenak perhatian Amira terfokus ke layar ponselnya. Melihat nama Rehan di sebuah akun media sosial."Hemm... kamu udah punya pacar mas? CK! Ya sih gak kaget aku," Setelah mencari tahu dan membuat akun media sosial mencari nama Rehan dalam kontak pencarian. Muncul foto profil suaminya bersama wanita seksi lengkap dengan riasan wajah s
Disaat bersamaan Rehan sedang berencana pergi berkencan bersama Ranita. Wanita penghibur yang selama ini menjadi selingkuhannya. Apes! Ingin membenarkan posisi duduknya. Mata Amira tertuju melihat rupa Rehan sedang duduk bersama wanita lain. Sempat terkejut Amira berusaha untuk bersembunyi. Ia tidak tahu kaca mobilnya tidak tembus pandang dari arah luar. Respon gerak tubuh Amira dikira Mila sebagai penolakan.“Tenang aja sayang... kamu gak akan kelihatan dari luar kok,” ucap Mila menjelaskan, barulah Amira kembali duduk tenang. Penasaran Mila tertarik untuk melihat ke arah yang sama. Sosok lelaki yang sudah ia ketahui siapakah dia. Sebab Dirman pernah memperlihatkan foto Rehan sebelumnya."Oh, jadi dia suami yang udah tega jahatin kamu?" seru Mila tak perlu mendapatkan jawaban dari Amira.Bagai bisu mulut terkunci rapat, sepertinya Amira tidak tahu harus menjawab bagaimana. Setelah semua yang terjadi. Tidak mungkin Rehan mau mengakui status pernikahan mereka. Merasa tak enak hati, tak
Dalam kecanggungan Amira dan Dirga melewati lorong bersama. Senyap bagai di dalam sebuah goa tanpa adanya perbincangan. Di sisi kiri Dirga diam-diam melirik ke arahnya diam-diam tengah mengumpulkan niat untuk membuka percakapan lebih dulu. Lama-lama mulutnya masam sebab terkunci tak mengatakan sepatah kata. Sedangkan Amira menyalahkan keputusan sang Papa yang malah menyuruh mereka menikmati waktu bersama, agar bisa saling berkenalan untuk memudarkan kecanggungan.“Ih, Papa kenapa sih malah nyuruh aku keluar sama laki-laki ini?!” keluh Amira gusar meremas ujung dressnya. Sebagai wanita pemalu, Amira merasa sangat keberatan dengan permintaan ini. Setengah hati mengikuti karena tak berani untuk menolak. Diajaknya kakinya terus berjalan tanpa henti. Padahal tempat tujuan mereka hampir dilewati begitu saja. “Tunggu Arina! Hampir aja kita kelewatan.” Dirga berusaha menghentikan Amira, suaranya yang tegas tidak mungkin tidak sampai ke telinga Amira. Buktinya Amira berhenti dan menoleh, mel
Semua penjelasan Dirga memang memakan waktu yang panjang. Tetapi dengan mudahnya Amira mengerti.“Oke, jadi nanti aku dateng ke tempat mereka. Terus pura-pura dateng sebagai pembeli, gitu kan?” “Yap. Itu benar banget.” sahut Dirga menjentikkan jarinya setuju.“Tapi sayang… papa kok agak khawatir ya? Kenapa sih gak langsung kita robohin aja itu tempat ataupun rumah mereka sampai rata sama tanah. Tenang aja! Papa sanggup kok bayar semua dendanya, berapapun. Daripada kamu harus masuk lagi ke kehidupan mereka, terus malah main cinta-cintaan sama itu penjahat.” Robi sebenarnya tidak setuju, memilih jalan lain yang menurutnya tidak beresiko. Tetapi Amira ingin membalaskan dendam dari hati Rehan seperti yang telah dilakukan lelaki itu dalam menghancurkan hatinya sampai lebur.“Maaf Pa, tapi Amira belum puas kalo gak bikin mas Rehan gila.” balas Amira, baginya kebangkrutan memang bisa membuat Rehan terpuruk tetapi bagaimanapun juga uang masih bisa dicari. Sedangkan hati yang rusak susah dise
Bab 6. Aku datangSepanjang melakukan adegan dewasa yang kaku. Tanpa adanya rasa nikmat. Sebab sang pemain tengah tidak fokus dalam menjalankan perannya.Walaupun bibir Ranita tak berhenti meracau, sama sekali tidak menaikkan birahi Rehan. Sampai adegan selesai. Kemudian pergi tidur ditemani tumpukan masalah hingga pagi, menyambut sinar mentari."Mas, aku mau ikut ke rumahmu ya, boleh kan?" Ranita keluar dari bilik mandi mengusap rambutnya yang basah."Boleh." jawab Rehan, sibuk memasukkan kancing berbentuk bulat ke masing-masing tempatnya tanpa menoleh.Kebiasaan biasa Ranita datang ke rumahnya, bahkan sering terjadi sejak dulu saat hubungannya dengan Amira masih bersama. Meskipun secara sembunyi-sembunyi.Mereka keluar dari kamar sewa, menuju ke tempat pengepul.Dalam perjalanan, Ranita sempat berhenti di toko buah untuk membeli oleh-oleh. Sikapnya memang royal, itulah alasan utama bagi Santika mau menerima kehadirannya. Sekalipun tahu kartu hitam Ranita sebagai wanita penghibur.Sa
Hari ini Santika terlihat repot, mengeluarkan dua gelas teh manis dan juga beberapa camilan. Bahkan buah yang dibawa Ranita sebagai oleh-oleh dikeluarkan juga olehnya.Menambah kebencian Ranita terhadap Amira saja. “Dasar ini cewek bisanya nyusahin aja! Itukan buah buat Ibu. Kenapa malah dia yang makan?!” Ranita membatin tak rela, mengintip di balik jendela. Sempat ingin keluar, tetapi Santika tidak mengizinkan. Alhasil, dengan keterpaksaan Ranita hanya bisa menahan dirinya. Menimbulkan bunyi gemeretak dari giginya, saking kesalnya.Di atas meja bundar, Rehan dan Amira duduk bersama. Mereka melakukan diskusi ringan perihal kerjasama mereka.“Eum, oke. Saya sepakat ambil cabai sama sayuran hijaunya ya di tempat Mas. Terus… setiap tiga hari sekali ada orang suruhan saya yang datang untuk ngambil semua sayuran itu.” kata Amira sepakat, langsung disambut senyuman sumringah dari keluarga Rehan.“Baik Mbak. Saya siap. Terimakasih banyak. Jarang-jarang lho ada Perusahaan besar ngajakin ker
“Lah, kenapa harus kamu? Saya sendiri geh juga bisa.” balas Dirman, untuk apa menyerahkan tugas ini kepada orang lain. Begitu isi hati Dirman. Terus dan terus melakukan serangan, selama masih ada celah,maka dia akan langsung menggunakan kesempatan untuk membuat laki-laki ini jera.“Amang mau ke kantor polisi jalan kaki? Kan gak ada motor?” kata Rehan, mengeluarkan rayuan kedua.“Kamu tuh kenapa maksa banget sih Rey? Jangan-jangan ada sesuatu yang kamu sembunyiin dari saya? Atau tulang itu ada kaitannya sama kamu? Eh, sebentar! Udah hampir satu bulan, saya kok gak pernah lihat neng Amira yah?” celetukan Dirman, tidak dijawab Rehan. Lelaki itu memilih untuk melarikan diri, darinya. Menghindari menjawab pertanyaan yang jelas-jelas tidak dapat dielak. “Nah, kan kabur dia! Dirman kok dilawan, wkwkwk.” Sifat kritis Dirman tak pelak menjadi senjata pamungkas untuk mengusir Rehan. Menghampiri motornya dan siap tancap gas. Sesekali menoleh ke arah Dirman, berjaga-jaga seolah Dirman akan menge
Hampir saja Dirga menabrak mobil yang sedang melaju di depannya. Nasib baik, masih sempat kakinya menginjak rem, "Astaga! Arina, maafin aku. Gimana ada yang luka gak?” Dirga diselimuti perasaan bersalah, nyaris melukai Amira.“Hati-hati dong! Lihat ke depan.” Amira menggerutu, apa yang terjadi bila tadi dia tidak berteriak. Mungkin sekarang mereka naik di mobil Ambulans.“Makanya jadi orang tuh jangan cantik-cantik dong. Bikin silap mata aja.” Dirga menyalahkan kecantikan Amira sebagai alasan mengapa atas kejadian barusan.“Yah, kok malah nyalahin aku sih? Makanya gak usah nengok, fokus aja lihat ke jalan.” balas Amira tak mau kalah, Jangan salah paham, mereka berdua bukan sedang bertengkar. Sebaliknya, sekedar bercanda saja dengan bukti tawa cekikikan dari bibir keduanya mulai memenuhi seluruh badan mobil Dirga. Mereka kembali melanjutkan perjalanan.Satu jam kemudian, kebetulan jam menunjukkan pukul 11.30. Dirga dan Amira tiba di tempat, “Kita ke panti asuhan?” Amira sempat membaca