Dalam kecanggungan Amira dan Dirga melewati lorong bersama. Senyap bagai di dalam sebuah goa tanpa adanya perbincangan. Di sisi kiri Dirga diam-diam melirik ke arahnya diam-diam tengah mengumpulkan niat untuk membuka percakapan lebih dulu. Lama-lama mulutnya masam sebab terkunci tak mengatakan sepatah kata. Sedangkan Amira menyalahkan keputusan sang Papa yang malah menyuruh mereka menikmati waktu bersama, agar bisa saling berkenalan untuk memudarkan kecanggungan.
“Ih, Papa kenapa sih malah nyuruh aku keluar sama laki-laki ini?!” keluh Amira gusar meremas ujung dressnya.
Sebagai wanita pemalu, Amira merasa sangat keberatan dengan permintaan ini. Setengah hati mengikuti karena tak berani untuk menolak. Diajaknya kakinya terus berjalan tanpa henti. Padahal tempat tujuan mereka hampir dilewati begitu saja.
“Tunggu Arina! Hampir aja kita kelewatan.” Dirga berusaha menghentikan Amira, suaranya yang tegas tidak mungkin tidak sampai ke telinga Amira. Buktinya Amira berhenti dan menoleh, melihat sebuah pintu kaca dimana Dirga berdiri. Tidak ada kata yang terucap, Amira menghela nafasnya dalam kemudian kembali.
Layaknya laki-laki jantan bertanggung jawab Dirga membukakan pintu untuknya. Menunggu sampai sang tuan putri masuk dan memastikan keselamatannya.
Pemandangan hijau di area gedung menyapa kedatangan mereka. Indah! Satu pujian untuk tempat ini. Siapa sangka di lantai dua belas terdapat taman yang cukup luas dilengkapi berbagai macam tumbuhan dan juga bunga hias. Bahkan ada pula pohon cemara kecil di dalam sebuah pot cukup besar.
“Eh, disini ada taman?” ucap Amira untuk pertama kalinya, kesempatan yang bagus bagi Dirga memperpanjang obrolan mereka.
“Kamu inget gak? Dulu om Robi sengaja bikin taman ini buat kamu.” jelasnya berjalan santai memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Dirga tahu, bermain kontak mata adalah pilihan yang salah, dia pun sadar Amira tidak menyukainya. Dan benar saja, usahanya membuahkan hasil. Sebab Amira memperlihatkan rasa tertarik dengan cara berjalan mendekatinya.
“Beneran? Papa bikin taman ini buat aku?” ulang Amira sekali lagi,
“Ayo duduk dulu! Kalo berdiri terus takutnya kamu capek.” Dirga tanpa menyentuhnya menuntun berjalan lebih dulu, meletakkan bokongnya di atas kursi kayu yang berjajar di sana. Sedikit Amira ragu, tetapi dia tidak ingin mendapatkan perintah yang sama untuk kedua kalinya. Alhasil dia pun duduk di kursi yang berbeda namun letaknya masih dalam posisi sejajar. Sama sekali Dirga tidak tersinggung atas pilihannya duduk menjauh darinya. Sikapnya tenang tampak menerima dan menyandarkan kepalanya di bahu kursi.
“Waktu kecil kita sering ketemu. Lebih tepatnya sih aku yang sering banget minta Papaku buat anter ke sini biar bisa ketemu sama kamu.” kata Dirga mengulum salivanya, geli rasanya bila mengingat kejadian dulu. Saat bocah berumur lima tahun sudah memiliki rasa ketertarikan terhadap lawan jenis layaknya orang dewasa. Lagi-lagi ceritanya berhasil membuat Amira masuk ke dalam suasana, sampai wajahnya tampak serius menantikan bagaimana cerita selanjutnya.
“Umur kita selisih lima tahun, aku sering jaga kamu waktu orang tua kita lagi sibuk meeting. Bahkan pernah ada loh kejadian lucu,”
“Apa emangnya?” timpal Amira langsung, tak sabar menunggu cerita hingga sempurna. Mengundang kekehan Dirga atas sikap tidak sabarnya itu.
“Aku pernah mau bikin kamu hampir mati, saking senangnya aku dorong stroller kamu kenceng banget. Eh, karena waktu itu aku juga masih kecil. Gak tahu di depan ada kursi ini, yaudah deh nabrak terus kamunya lompat gelinding di atas rumput.” jelasnya membuat Amira membelalakkan matanya.
“Terus aku gimana?” tanyanya.
“Hehe, ya jatuh. Hebatnya kamu sama sekali gak nangis loh. Untung aja waktu itu rumputnya tebel bisa jadi pelindung. Terus ya… lebih parahnya lagi aku gak panggil papa buat nolongin, asal nekat aja angkat kamu macem tikus got. Dan anehnya kamu malah ketawa seneng banget, bikin takutku ilang”
“Enak aja! Masak aku dikatain kayak tikus got.” sungut Amira tidak terima dengan perumpamaan hewan yang dianggap kotor dan menjijikan itu.
“He… iya maaf-maaf. Mana ada tikus got secantik kamu.”
Blush
Rona merah jambu tergambar jelas di kedua pipi Amira. Mendapatkan pujian secara langsung tanpa terhalang apapun.
Keakraban masih berlanjut, Amira mulai terbiasa dan mau bertanya lebih banyak lagi.
*
Suasana ramai di tempat pengepul. Rehan bersama keluarganya sibuk melayani para penjual menimbang hasil di timbangan gantung. Membayarkan sejumlah uang sesuai dengan timbangan.
Dirman datang seperti biasa setiap satu bulan dia datang menjual cabai hasil panennya disini.
“Ah, kalo karena gak kepepet mana sudi aku kesini.” Dirman tidak memiliki pilihan lain karena Rehan adalah satu-satunya pengepul di desanya. Ditambah terhimpit kebutuhan memaksa Dirman untuk menjual hasil panenan demi mendapatkan sejumlah uang memenuhi kebutuhan hidupnya.
“Eh, Mang Dirman… kumaha damang?” sapa Rehan basa-basi, meminta karung dari tangannya.
“Baik kok. Walaupun sempat sesak nafas karena bersihin abu di tempat sampah yang baunya kayak mayat manusia.” balas Dirman sangat mengandung kesengajaan.
Deg!
Bimo kebetulan berdiri tak jauh, matanya berkerut dengan air keringat mengucur deras. Gelagatnya panik menimbulkan perhatian Santika yang duduk di kursi kasir.
“Pak? Ada apa?” tanyanya, Bimo mengangkat wajahnya dadanya terlihat kembang kempis. Tubuhnya bereaksi atas ketakutan yang melanda, tidak bisa dipungkiri. Setelah kejadian malam itu sekalipun Bimo tidak pernah bisa tidur nyenyak dan sering begadang sampai pagi harinya. Dan sekarang perkataan Dirman semakin menambah kegelisahannya saja. Melihat kepanikan di wajah sang bapak, mengubah sikap ramah Rehan menjadi kecemasan. Sebisa mungkin menyembunyikan raut wajahnya itu seolah tak mengerti. Selesainya di timbang Rehan menuangkan cabai ke dalam wadahnya.
“Mang Dirman kok ngomongnya ngaco banget sih? Mana ada mayat di bakar?” katanya berusaha menepis praduga Dirman sejauh mungkin. Tetapi tentu tidak semudah itu, bagai udang dibalik batu. Kejahatan mereka sudah lama diendusnya. Dirman tidak akan berhenti sampai disini, masih ada beberapa cara yang belum dikeluarkan.
Melihat Rehan menyerahkan catatan hasil timbangan kepada Santika. Langkah selanjutnya adalah mengambil uang pembayaran. Dirman berpindah tempat untuk mengambil uang itu di meja kasir.
“Kayaknya saya gak mungkin salah deh Rey. Orang kemarin saya lihat ada tulang gede banget kok. Macem tulang tangan manusia, terus saya masukin deh ke karung... rencananya mau saya bawa ke kantor polisi buat diperiksa.” jelas Dirman sangat mengada-ada, sejujurnya bibirnya ingin sekali tertawa tetapi demi melancarkan aksinya, Dirman pun tetap harus berakting.
Kali ini tidak hanya Bimo, Rehan dan Santika mengalami kecemasan yang sama. Mereka saling lempar tatapan satu sama lain,
“Uangnya udah pas. Makasih yak,” seru Dirman memastikan uang yang disepakati sudah sesuai. Kemudian berjalan membelakangi tiga pelaku dengan senyuman teramat puas sekali “Gimana serangan pertama? Oke kan? Tunggu aja! Ini sih belum seberapa.” gumam Dirman lirih tak terdengar meninggalkan tempat pengepul.
Brakk
Lemas seketika tubuh Bimo tersungkur di atas lantai karena ulah Dirman barusan. Rehan terkejut berlari memberikan bantuan,
“Pak, tenang dong! Gak usah panik nanti kalo sampe dilihat orang gimana?” protes Rehan, benar-benar buta rasa iba. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu kepada Bimo. Meskipun di dalam hatinya merasa sama takutnya.
“Gimana ini Bu? Kalo ternyata tulang itu beneran punya Amira?”
Pertanyaan Bimo sama sekali tidak pernah dibayangkan akan terjadi. Lalu, apa yang akan mereka lakukan sekarang?
*
Di dalam gedung kerja milik sang papa. Amira melihat kegigihan Dirga dalam ikut serta membantu misi balas dendamnya terhadap keluarga suaminya.
“Dari mana kamu dapetin semua informasi ini Dirga?” tanyanya melihat informasi dari data pribadi lengkap dengan pekerjaan, letak tata rumah beserta tempat pengepul juga tertera disini.
“Puji Dirga dong! Dia cuma butuh waktu satu jam aja lho Arina cari semua data ini.” sela Robi meminta anak semata wayangnya untuk memberikan apresiasi. Amira tersenyum simpul, mulutnya mana bisa melakukan hal semacam itu.
“Emh, makasih ya Dir.” Seperti inilah kalimat terbaik yang bisa dia katakan. Itupun Amira harus mengerahkan semua keberaniannya.
Dirga mengangguk, menambahnya dengan senyuman manisnya.
“Oke, sekarang kita mulai aja. Kamu mau kan dengerin semua rencanaku?”
“Iya, aku mau.” Amira bersedia siap mendengarkan segala rencana yang telah diatur sebaik mungkin oleh Dirgantara.
Semua penjelasan Dirga memang memakan waktu yang panjang. Tetapi dengan mudahnya Amira mengerti.“Oke, jadi nanti aku dateng ke tempat mereka. Terus pura-pura dateng sebagai pembeli, gitu kan?” “Yap. Itu benar banget.” sahut Dirga menjentikkan jarinya setuju.“Tapi sayang… papa kok agak khawatir ya? Kenapa sih gak langsung kita robohin aja itu tempat ataupun rumah mereka sampai rata sama tanah. Tenang aja! Papa sanggup kok bayar semua dendanya, berapapun. Daripada kamu harus masuk lagi ke kehidupan mereka, terus malah main cinta-cintaan sama itu penjahat.” Robi sebenarnya tidak setuju, memilih jalan lain yang menurutnya tidak beresiko. Tetapi Amira ingin membalaskan dendam dari hati Rehan seperti yang telah dilakukan lelaki itu dalam menghancurkan hatinya sampai lebur.“Maaf Pa, tapi Amira belum puas kalo gak bikin mas Rehan gila.” balas Amira, baginya kebangkrutan memang bisa membuat Rehan terpuruk tetapi bagaimanapun juga uang masih bisa dicari. Sedangkan hati yang rusak susah dise
Bab 6. Aku datangSepanjang melakukan adegan dewasa yang kaku. Tanpa adanya rasa nikmat. Sebab sang pemain tengah tidak fokus dalam menjalankan perannya.Walaupun bibir Ranita tak berhenti meracau, sama sekali tidak menaikkan birahi Rehan. Sampai adegan selesai. Kemudian pergi tidur ditemani tumpukan masalah hingga pagi, menyambut sinar mentari."Mas, aku mau ikut ke rumahmu ya, boleh kan?" Ranita keluar dari bilik mandi mengusap rambutnya yang basah."Boleh." jawab Rehan, sibuk memasukkan kancing berbentuk bulat ke masing-masing tempatnya tanpa menoleh.Kebiasaan biasa Ranita datang ke rumahnya, bahkan sering terjadi sejak dulu saat hubungannya dengan Amira masih bersama. Meskipun secara sembunyi-sembunyi.Mereka keluar dari kamar sewa, menuju ke tempat pengepul.Dalam perjalanan, Ranita sempat berhenti di toko buah untuk membeli oleh-oleh. Sikapnya memang royal, itulah alasan utama bagi Santika mau menerima kehadirannya. Sekalipun tahu kartu hitam Ranita sebagai wanita penghibur.Sa
Hari ini Santika terlihat repot, mengeluarkan dua gelas teh manis dan juga beberapa camilan. Bahkan buah yang dibawa Ranita sebagai oleh-oleh dikeluarkan juga olehnya.Menambah kebencian Ranita terhadap Amira saja. “Dasar ini cewek bisanya nyusahin aja! Itukan buah buat Ibu. Kenapa malah dia yang makan?!” Ranita membatin tak rela, mengintip di balik jendela. Sempat ingin keluar, tetapi Santika tidak mengizinkan. Alhasil, dengan keterpaksaan Ranita hanya bisa menahan dirinya. Menimbulkan bunyi gemeretak dari giginya, saking kesalnya.Di atas meja bundar, Rehan dan Amira duduk bersama. Mereka melakukan diskusi ringan perihal kerjasama mereka.“Eum, oke. Saya sepakat ambil cabai sama sayuran hijaunya ya di tempat Mas. Terus… setiap tiga hari sekali ada orang suruhan saya yang datang untuk ngambil semua sayuran itu.” kata Amira sepakat, langsung disambut senyuman sumringah dari keluarga Rehan.“Baik Mbak. Saya siap. Terimakasih banyak. Jarang-jarang lho ada Perusahaan besar ngajakin ker
“Lah, kenapa harus kamu? Saya sendiri geh juga bisa.” balas Dirman, untuk apa menyerahkan tugas ini kepada orang lain. Begitu isi hati Dirman. Terus dan terus melakukan serangan, selama masih ada celah,maka dia akan langsung menggunakan kesempatan untuk membuat laki-laki ini jera.“Amang mau ke kantor polisi jalan kaki? Kan gak ada motor?” kata Rehan, mengeluarkan rayuan kedua.“Kamu tuh kenapa maksa banget sih Rey? Jangan-jangan ada sesuatu yang kamu sembunyiin dari saya? Atau tulang itu ada kaitannya sama kamu? Eh, sebentar! Udah hampir satu bulan, saya kok gak pernah lihat neng Amira yah?” celetukan Dirman, tidak dijawab Rehan. Lelaki itu memilih untuk melarikan diri, darinya. Menghindari menjawab pertanyaan yang jelas-jelas tidak dapat dielak. “Nah, kan kabur dia! Dirman kok dilawan, wkwkwk.” Sifat kritis Dirman tak pelak menjadi senjata pamungkas untuk mengusir Rehan. Menghampiri motornya dan siap tancap gas. Sesekali menoleh ke arah Dirman, berjaga-jaga seolah Dirman akan menge
Hampir saja Dirga menabrak mobil yang sedang melaju di depannya. Nasib baik, masih sempat kakinya menginjak rem, "Astaga! Arina, maafin aku. Gimana ada yang luka gak?” Dirga diselimuti perasaan bersalah, nyaris melukai Amira.“Hati-hati dong! Lihat ke depan.” Amira menggerutu, apa yang terjadi bila tadi dia tidak berteriak. Mungkin sekarang mereka naik di mobil Ambulans.“Makanya jadi orang tuh jangan cantik-cantik dong. Bikin silap mata aja.” Dirga menyalahkan kecantikan Amira sebagai alasan mengapa atas kejadian barusan.“Yah, kok malah nyalahin aku sih? Makanya gak usah nengok, fokus aja lihat ke jalan.” balas Amira tak mau kalah, Jangan salah paham, mereka berdua bukan sedang bertengkar. Sebaliknya, sekedar bercanda saja dengan bukti tawa cekikikan dari bibir keduanya mulai memenuhi seluruh badan mobil Dirga. Mereka kembali melanjutkan perjalanan.Satu jam kemudian, kebetulan jam menunjukkan pukul 11.30. Dirga dan Amira tiba di tempat, “Kita ke panti asuhan?” Amira sempat membaca
1. Tragedi."Gara-gara kalian tidak punya hati, Ibu jadi tidak bisa operasi dan akhirnya meninggal!” Usai Amira mengucapkan hal tersebut, sebuah tamparan melayang ke pipinya, membuatnya terjatuh ke lantai. Tubuhnya terasa lemah tidak bertenaga.“Kurang ajar! Kenapa malah nyalahin orang, hah?” Wanita paruh baya yang tadi menampar Amira langsung membentak. “Anak babu kayak kamu memang bisa balikin uang sebanyak itu? Sadar diri, Amira!”Perih hati Amira mendengarnya. Meskipun memang ia benar anak pembantu, tapi pantaskah wanita paruh baya itu mengatai menantunya sendiri demikian?Bukankah bagaimanapun juga Amira adalah anggota keluarganya?“Bu–”“Diam!” sentak wanita paruh baya itu sembari mengangkat tangannya, bersiap menampar Amira. “Kamu–”‘Nit ... nit ... nit ....’Suara monitor detak jantung menyadarkan Amira. Dia mencoba untuk membuka matanya, walau rasanya masih berat.“Ah, mimpi?” gumam Amira, dengan senyuman getir tertutup perban. Wanita itu belum tahu kalau ia baru sadar sete
Beberapa hari mendapatkan perawatan di rumah sakit. Kesehatan Amira sudah pulih seperti sedia kala. Pagi ini tanpa alat bantu ia sudah bisa berjalan sendiri dengan leluasa. Di depan jendela Amira berdiri menatap langit luas melalui kaca tembus pandang. Dia belum bisa mengekspresikan diri atas keajaiban di kehidupannya. Serasa mimpi baginya bagai mendapatkan kesempatan kedua untuk menghirup nafas panjang, juga bonus tambahan mendapatkan kehidupan baru yang lebih layak. Dari peralatan canggih, perawatan medis VVIP, sandang mewah dan bermerek melengkapi tubuhnya. Bahkan sekarang Amira sedang menggenggam ponsel keluaran terbaru yang ia dapat dari sang ayah.Sejenak perhatian Amira terfokus ke layar ponselnya. Melihat nama Rehan di sebuah akun media sosial."Hemm... kamu udah punya pacar mas? CK! Ya sih gak kaget aku," Setelah mencari tahu dan membuat akun media sosial mencari nama Rehan dalam kontak pencarian. Muncul foto profil suaminya bersama wanita seksi lengkap dengan riasan wajah s
Disaat bersamaan Rehan sedang berencana pergi berkencan bersama Ranita. Wanita penghibur yang selama ini menjadi selingkuhannya. Apes! Ingin membenarkan posisi duduknya. Mata Amira tertuju melihat rupa Rehan sedang duduk bersama wanita lain. Sempat terkejut Amira berusaha untuk bersembunyi. Ia tidak tahu kaca mobilnya tidak tembus pandang dari arah luar. Respon gerak tubuh Amira dikira Mila sebagai penolakan.“Tenang aja sayang... kamu gak akan kelihatan dari luar kok,” ucap Mila menjelaskan, barulah Amira kembali duduk tenang. Penasaran Mila tertarik untuk melihat ke arah yang sama. Sosok lelaki yang sudah ia ketahui siapakah dia. Sebab Dirman pernah memperlihatkan foto Rehan sebelumnya."Oh, jadi dia suami yang udah tega jahatin kamu?" seru Mila tak perlu mendapatkan jawaban dari Amira.Bagai bisu mulut terkunci rapat, sepertinya Amira tidak tahu harus menjawab bagaimana. Setelah semua yang terjadi. Tidak mungkin Rehan mau mengakui status pernikahan mereka. Merasa tak enak hati, tak